Sejak akhir Maret 2020 di lingkungan RT sudah berlangsung kegiatan jimpitan. Menabung beras dan uang untuk membantu keluarga terdampak Covid-19. Terutama yang rentan secara ekonomi. Karena beberapa keluarga mengandalkan mata pencaharian harian.
Seperti ada tetangga yang ditinggal suami meninggal, lalu jadi ngojek online. Langsung drop saat sosial distancing mulai berjalan. Tetangga yang biasa jualan makanan, minuman, dan aneka kebutuhan sehari-hari di jalan raya perumnas Karawang saat akhir pekan sudah tak bisa lagi. Ada juga yang satu-satunya sumber penghasilan dari gaji di perusahaan sementara terhenti karena dirumahkan. Sebagian ada yang mulai menjual aset.
Kejatuhan ekonomi keluarga yang dialami beberapa keluarga sahabat dan tetangga akibat terjangan wabah Covid-19 membuat alarm di otak saya berbunyi keras. Tanda ada kegentingan untuk berfikir. Mencari tahu apa sih permasalahannya? Jangan-jangan keluarga saya juga "hanya" beruntung saja. Karena tempat bekerja tidak serapuh beberapa sektor usaha swasta yang segera merumahkan karyawannya.
Bagaimana kalau benar-benar saya dirumahkan lalu kehilangan penghasilan rutin seperti sekarang? Apakah saya mampu survive dan mendapat pemasukan baru?
Ketidakmampuan keluarga memenuhi pangan sebagai salah satu kebutuhan pokok ini seperti menabrak konsep tauhid. Bahwa Allah yang menjamin rizki. Kok bisa ada manusia tak makan?
Tapi kalau diingat bahwa Allah sendiri menciptakan manusia itu berproses. Saya jadi berkeyakinan ada masalah dalam cara berproses manusia mendapatkan rizki.
Kemudian kasus kedua. Beberapa waktu lalu ramai di grup WA di RW tempat saya tinggal ribut karena petugas sampah terlambat datang. Tumpukan sampah sudah mulai terlihat bertumpuk di depan rumah warga. Mulai menebarkan bau tak sedap. Pemandangan jadi mulai kumuh.
Sebelumnya, di periode RW lalu, sampah tidak begitu diributkan. Karena sudah diambil dulu oleh petugas lingkungan dan dikumpulkan dulu di Tempat Pembuangan Sementara (TPS). Masalah sampah di rumah warga pun selesai. Tapi beberapa warga yang tinggal di sekitar TPS protes. Karena bau yang menyengat.
Di periode RW yang sekarang, kebijakannya diubah. Sampah diangkut langsung dari rumah-rumah untuk diangkut ke TPA. Pake armada mobil box. Kalau armada sampah tepat waktu, ini jadi solusi. Sebaliknya kalau pas telat seperti paska lebaran, tiba-tiba jalan lingkungan jadi tempat parade sampah.
Masalah sampah sepertinya jadi sebab orang enggan jadi pengurus RW. Karena masalah sampah ini tak pernah selesai.
Padahal, kita sendiri yang menghasilkan sampah itu. Kenapa sesuatu yang sehari-hari kita alami masih menyisakan masalah yang tak kunjung usai? Kita seperti hobi terjerumus pada lubang setiap hari. Padahal keledailah yang suka dijadikan contoh terperosok di lobang yang sama.
Maka ketika saya bicara pendidikan, kalau mau menilai keberhasilan atau kegagalan maka lihatlah cukup dua hal di atas. Kalau memang bisa dikelola dengan baik, maka itu pertanda pendidikan yang baik. Barulah kita layak bisa berbicara yang lebih tinggi tentang pendidikan. Misalnya tentang kualitas, prestasi, daya saing, atau tentang generasi kreatif 4.0 dan sebagainya.
Tetapi kalau dua hal di atas ini tidak berhasil, anak didik kita masih gagap, maka kita harus merombak dasar pendidikannya. Jelas itu salah di awal. Salah di pondasinya.
Jangan dulu bicara pembelajaran online, karena ini hanya cara belajar. Tapi mental belajar yang harus dibenahi.
Di sini saya ingin to the point. Juga tak ingin berteori. Karena saya bukan orang di dunia pendidikan formal. Tapi saya ingin langsung aksi dengan "menjerumuskan" anak-anak saya ke dua isu di atas. Tentang ketahanan pangan dan pengelolaan sampah.
Karena pangan terkait dengan ketuhanan. Sedangkan kebersihan adalah setengah dari keimanan.
Di tulisan sebelumnya saya berbicara tentang urban farming. Ini terkait dengan pangan. Project ini memang mulai berjalan, tapi masih harus diperbaiki. Tak masalah. Justru saya menikmati proses coba-cobanya. Sekalian mengajak anak-anak terlibat dalam proses coba-coba itu.
Selanjutnya adalah project sampah. Bagaimana agar terjadi zero waste. Tidak ada sampah yang dikirim ke TPA atau TPS, karena sudah habis diolah di rumah.
Kalau sampah anorganik sudah biasa dipilah. Lalu diberikan ke tetangga yang suka mengepul barang bekas. Sedangkan yang organik, baru dibuat kompos. Sebelumnya sudah praktek Takakura.
Sayangnya belum Istiqomah.
Saya yakin ini hanya kemauan saja. Karena tidak ada yang sulit. Sekarang cara bikin pupuk cair dari limbah dapur sudah ada di yutub. Tinggal cari.
Ya, salah satu aspek penting pendidikan adalah bersabar dalam menjalani proses yang lama. Karena ini juga yang akan membentuk karakter itu.
No comments:
Post a Comment