"Ingin sekali anak saya bersekolah di sekolah agama terpadu, boarding school atau pondok menghafal. Tapi biayanya itu, berat sekali. Mimpi rasanya," ungkap seorang tua yang galau.
Mendirikan sekolah atau aktif di pendidikan itu memang bersentuhan dengan kebutuhan dasar manusia. Selain sandang, pangan, dan papan, ada pendidikan. Karena itu seyogyanya mendapat back-up dari negara. Tidak diserahkan ke mekanisme pasar. Dimana berlaku rumus : ada uang ada barang.
Bukan sekedar kebutuhan utama, bahkan pendidikan semakin diyakini sebagai jaminan masa depan. Semakin baik pendidikan maka diyakini semakin cerahlah masa depan.
Sekarang ketika pendidikan identik dengan sekolah, maka persepsi orangpun menjadi : sekolah terbaik adalah pendidikan terbaik. Sekolah terbaik adalah jaminan masa depan terbaik.
Zaman lalu berkembang. Sekolah terbaik itu kemudian semakin identik dengan bangunan terbaik. Guru terbaik. Fasilitas terbaik. Lalu karena prestasi identik dengan menang kompetisi, maka segudang piala kompetisi kejuaraan menambah kriteria sekolah terbaik.
Karena ada kompetisi itu juga, telah memunculkan kasta sekolah. Ada sekolah favorit dan ada yang favorit. Ada sekolah unggulan dan non unggulan. Ada yang elit dan ada yang alit.
Terkini, seiring kekhawatiran dekadensi moral dan buah dakwah yang menyasar kalangan menengah, kriteria sekolah unggulan itu kini bergeser. Sekarang ada keharusan mengusung nilai-nilai religius. Ada penanaman nilai agama yang intens dan terpadu. Setelah selama ini masyarakat mempersepsikan sekolah hanya sebagai tempat tumbuhnya kecerdasan akademik.
Maka tumbuhlah sekolah-sekolah berbasis agama atau berlabel agama dengan fasilitas yang semakin baik.
Tetapi di sinilah dilematisnya. Bahwa ketika dikelola swasta, yang harus bertahan hidup dengan mengikuti hukum pasar, maka sekolah mau tak mau harus melakukan strategi marketing.
Bahwa ketika hanya kalangan the have saja yang bisa menikmati, maka ini bagian dari hukum pasar. Dengan pengecualian sedikit porsi untuk beasiswa.
Masalahnya, pihak penyelenggara sekolah sepertinya semakin menikmati tren ini. Pertumbuhan aset beberapa sekolah swasta yang cepat memang menggiurkan bagi para pemodal. Bank pun antusias menawarkan kredit.
Salah satu pemilik boarding school termahal di Indonesia yang berlokasi di sekitar Serpong pernah berucap, bahwa investasi di pendidikan itu "sangat menguntungkan".
Tanpa disadari, inilah awal pergeseran orientasi yang semakin jauh di kemudian hari.
Adalah sebuah tragedi ketika dunia pendidikan justru menghasilkan kesenjangan sosial baru. Berupa diskriminasi kesempatan meraih pendidikan tersebab kemampuan ekonomi.
Maka kita kudu berhati-hati dengan godaan ini. Bahkan ini yang harus diwaspadai di awal berkiprah di dunia pendidikan dan selama proses berlangsung. Termasuk yang bergerak di dunia parenting. Sebagaimana kita berlindung dari godaan setan ketika mau beramal saleh.
Salah satu contoh terkini adalah tren Rumah Penghafal. Awalnya adalah ide yang sangat bagus bagaimana anak-anak kita dekat dengan Kitab Suci. Salah satunya dengan menghafal itu.
Tetapi tren ini berubah menuju hal yang banyak mulai dikritisi. Terutama ketika para orang tua menjadi terobsesi anak anaknya menjadi penghafal di usia kecil. Adalah para penghafal cilik yang berusia sekitar usia 6 tahun 12 tahun yang sudah hafal 30 juz yang telah menjadi pemicu. Menjadi semacam obsesi dan berujung tuntutan kepada anak agar mengikuti jejak anak-anak yang ajaib tadi.
Kemudian, fenomena ini diambil peluang oleh para pelaku dan pebisnis jasa pendidikan dengan mendirikan rumah-rumah menghafal yang sekarang seperti jamur di musim hujan. Berdiri dimana-mana dan orangtua pun berbondong-bondong memasukkannya.
Sebagian sambil tetap bersekolah di sekolah normal. Bahkan yang sudah full day school ada yang masih merasa kurang. Sang anak diikutkan juga program rumah menghafal.
Apalagi metode semakin beragam. Ini menambah semarak menjadi tren baru di tengah masyarakat. Apalagi hafalan sangat terukur dan cepat kelihatan hasilnya. Berbeda dengan aqidah yang tidak terukur. Juga pendidikan akhlak yang hasilnya tidak langsung tampak.
Kritik muncul ketika ada kasus anak merasa stres. Sehingga memunculkan diskursus, apakah program menghafal ini ramah anak atau tidak?
Dan ini menimbulkan debat yang tidak berujung. Ada yang mengatakan bahwa di manapun yang namanya pendidikan itu menimbulkan ketidaknyamanan. Maka beban stres itu wajar saja.
Sedangkan di seberangnya mengatakan bahwa kondisi ini tidak bagus di masa depan. Karena membuat anak memiliki persepsi negatif tentang Tuhan, nabi dan agamanya sendiri. Walaupun hafalannya banyak tetapi semangat untuk mencintai agama dikhawatirkan justru hilang. Karena persepsi negatif tadi.
Hal di atas semakin memunculkan satu pesan bahwa ada semangat dasar yang harus dijaga ketika kita berkiprah di dunia pendidikan. Wabil khusus menghindari godaan keuntungan duniawi yang memungkinkan kita tergelincir atau menyimpang dari jalan yang sebenarnya. Menjauh dari misi yang seharusnya.
Maka inilah prinsip-prinsip pokok yang harus dipegang sebelum kita berkiprah di dunia pendidikan:
Pertama niat ikhlas. Bahwa dunia pendidikan adalah ladang dakwah dan ibadah. Harus ekstra hati-hati saat ada hasrat mengharapkan keuntungan saat penerimaan publik semakin baik. Awal penyimpngan terjadi ketika niatnya adalah memburu profit.
Kedua, mengembalikan basis pendidikan ke habitat aslinya, yaitu keluarga. Ini prinsip yang harus tetap dijaga. Karena di sanalah habitat asli pendidikan berada.
Maka, ketika sekolah mengambil alih tanggung jawab pendidikan anak dari orang tua, dan memposisikan orang tua ada "di bawah" yang harus manut alih-alih sebagi mitra yang sejajar dan sinergis, ini adalah pintu lain dari penyimpangan pendidikan.
Ketiga, menjadikan anak sebagai subjek pendidikan. Dengan menjadikan fitrah anak sebagai sentral proses pendidikan. Bisa dikatakan sebagai fitrah based education.
Sebaliknya, ketika anak diposisikan sebagai objek yang tak merdeka, dipersepsikan sebagai kertas putih kosong, ini juga awal dari terhalangnya tumbuh kembang fitrah anak yang optimal.
Keempat, mengaktifkan peran orang tua sebagai tulang punggung dari seluruh proses pendidikan. Mengesampingkan ini sama saja dengan membangkucadangkan striker terbaik saat pertandingan final sepakbola.
Bila terjadi dalam pendidikan, akibatnya akan mengorbankan pembangunan pondasi karakter yang itu menjadi bagian orang tua yang menghelanya. Kalau itu sebuah bangunan yang tinggi. Maka pastilah rawan hancur ketika ada gempa.
Kelima, prinsip kolaborasi berbasis keluarga dan lingkungan. Ini menjadi kata kunci berikutnya. Karena keberadaan kita di lingkungan kita pasti ada tujuan. Selama ini anak-anak tercerabut dari akar sosial karena harus mengikuti agenda persekolahan yang menyita waktu. Bekerja sendirian, tentu akan banyak energi. Apalagi ada ungkapan, "It takes a village to rasie a child', perlu orang sekampung untuk mendidik seorang anak. Berat sekali bukan? kalau ditangani sendirian?
Keenam, menjadikan pendidikan bisa terjangkau oleh semua kalangan. Tidak hanya untuk yang punya. Maka semua konsep program harus dibuat sesederhana mungkin dan efisien. Kalaupun nanti ada yang menggunakan sarana lain, itu hanya pilihan personal. Tetapi tidak dijadikan standar dan keharusan.
Inilah yang menjadikan keluhan ketika pendidikan Islam berbiaya sangat tinggi, yang telah menjadikannya tidak terjangkau oleh kebanyakan orang. Jelas ini menimbulkan dampak negatif. Memunculkan kecemburuan dan kesenjangan sosial. Ini tentu sangat tidak edukatif. Tidak mencerminkan nilai-nilai pendidikan itu sendiri. Juga menjauh dari nilai-nilai Islam.
Tantangan buat kita sekarang adalah mulai merangkai amal nyata yang berangkat dari gagasan di atas...
No comments:
Post a Comment