Wednesday, June 24, 2020

HARI PERTAMA DUA KELUARGA



Momennya sederhana. Tapi bagi saya ada tambahan "tum"-nya. Jadi momentum. 

Dua keluarga bertemu. Keluarga saya dan keluarga Pak Aris Widodo. Walau tak seluruhnya. Walau bentuknya juga sederhana. Tapi mempertemukannya tidak sederhana. Ada keyakinan yang mendahului. Ada visi yang difahami. Ada cita-cita yang diingini.

"Pak, kita besok ketemuan ya. Bareng anak-anak," ajak saya via Whatsapp.
“Agendanya apa?” tanya pak Aris.
“Sarapan saja. Rileks,” balas saya.

Memang jadinya hanya sarapan. Dan ngobrol ngalor ngidul. Saya dengan dua anak saya, Dhiya dan Uki. Pak Aris dengan tiga jagoannya : Farhan, Faiz dan Fahmi.

Targetnya hanya membuat anak-anak itu enjoy. Bahwa belajar tidak harus kaku dan serius. Belajar ternyata bisa sambil rileks.

Saya ingin mengajak anak-anak lihat kolam ikan percobaan yang hampir jadi bikinan Pak Aris. Ada tiga lokal yang sedang dibangun. Kolam tembok dibangun dari semen dan hebel. Jadinya memang rapi jali. Jadi mirip taman karena diselingi aneka tumbuhan. Ada jati solomon, kelor, juga kelengkeng. Rindang dan dingin. Aneka sayur seperti kangkung dan bayam sudah tumbuh subur. Suasananya jadi hijau dan segar jadinya.

Nanti akan ada saung buat ngobrol dan pertemuan. Ada juga kandang percobaan untuk anak ayam umur 0-20 hari dan mungkin anak kambing lucu 1-2 ekor atau kelinci. Untuk ayam pembesaran dan dan sekawanan kambing yang sudah besar sebagai bagian dari project integrated farming-nya keluarga Pak Aris ada di tempat lain.

Satu lagi yang unik adalah kandang percobaan untuk budidaya magot. Makhluk mungil sejenis belatung tapi bersih yang kaya protein. Ini untuk  pakan ikan dan unggas. Sekaligus mesin daur ulang sampah yang canggih tapi alami.

Saya sempat melihat dan memegang seonggok magot yang sedang bergerombol memangsa sayur sisa dapur. Betapa cepat dan rakusnya. Cocok untuk pemroses cepat daur ulang. Jauh lebih cepat dibanding cacing. Apalagi pembusukan oleh bakteri. Walaupun dari segi kekuatan, magot kalau jauh dari cacing. Magot berumur pendek saja. Harus segera dikonsumsi oleh ikan atau ayam. Kalau dibiarkan, maka akan jadi lalat BSF, Black Soldier Fly.

“Apa yang Farhan fahami dari homeschooling?” Tanya saya sambil melahap uli goreng dan secangkir teh manis hangat. Kami duduk melingkar berjauhan (phisical distancing) di pinggir jalan lingkungan Blok LA Perumnas, lokasi rumah Pak Aris.
“Homeschooling itu berarti belajar matematikanya di rumah,” jawab Farhan 
“Jadi, sekolahnya pindah ke rumah?” tanya saya lagi.
“Iya,” jawabnya. 

Saya ingin menggali pemahaman tentang apa itu belajar dan apa itu sekolah. Selama SFH (School from home, sekolah di rumah) ini saya mendapat gambaran bahwa belajar itu sudah semakin sekolah-sentris. Bahwa belajar itu ya apa-apa yang dikerjakan atau ditugaskan oleh sekolah. 

"Farhan sama Faiz katanya suka menggambar ya?" saya tanya lagi.
"Iya"
"Wah, calon desainer ini. Apalagi ada konveksi punya abinya"

"Kalau A’ Dhiya, pingin jadi apa?" Pak Aris giliran tanya ke Dhiya
"Pengusaha," Dhiya jawab singkat saja. Tipikalnya begitu.
"Nah, kalau Uki, senang belajar apa?"
"Matematika," jawab Uki.
"Kepingin jadi hafidz, nggak?" Saya tanya.
"Kepingin," jawab Uki dan Dhiya 
"Pada ingin mondok, nggak?" Tanya Pak Aris
"Nggak," jawab Dhiya
"Kenapa? Padahal sudah khatam Negeri 5 Menara?" Saya yang tanya
"Nggak ingin aja," timbal Dhiya. Khas jawaban anak sekarang.
"Ingin sih, tapi nggak jadi?" Jawab Farhan.
"Kenapa?" Saya tanya
"Ya, nggak jadi aja," jawab Farhan. 

Lalu obrolan tiba pada tema aktual.
"Apa beda dan persamaan Atta Halilintar dan Ferdian Paleka?" Saya memancing dengan pertanyaan.
"Siapa itu Pak?" Tanya pak Aris ke saya.
"Yutuber," bisik saya pelan.
"Samanya, keduanya sama-sama yutuber," jawaban anak-anak.
"Siapa yang suka nge-prank?" Saya tanya balik 
"Dua-duanya, sama-sama suka nge-prank." Rupanya anak-anak cepat nyambung kalau ditanya tokoh yutuber.
"Bedanya?" Saya kejar sedikit.
"Emmmm….apa ya?" Di titik ini anak-anak mentok. Nggak bisa jawab. Berarti posisinya masih sebagai konsumen yutub. 

"Nah, ini bedanya…. kalau si Atta itu pengalaman hidupnya macam-macam. Komplet. Beda dengan satunya. Modal nge-prank doang." Saya sedikit jelaskan beda si Atta dan satunya.

Sengaja saya memilih Atta Halilintar sebagai contoh. Mewakili yutuber papan atas yang kemudian menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk mengikuti jejaknya. Yang ingin kaya dari yutub.

Singkatnya, para millenial begitu terobsesi jadi yutuber. Tanpa memahami proses bisnisnya. Yang penting jadi yutuber. 

Lalu agar video dilihat banyak orang muncullah "kreativitas" membuat konten yang bisa dilihat banyak pengunjung. 
Di sinilah muncul kenaifan. Karena terobsesi untuk cepat terkenal, maka dipilihlah konten yang tujuannya semata membuat terkenal. Diantaranya yang dijadikan andalan adalah nge-prank. "Ngerjain orang" kalau dalam istilah sehari-hari.

Yang lainnya ada yang membuat dialog lucu dan absurd pasangan yang lagi pacaran. Sedangkan yang serius dengan membuat podcast. Yang lain bikin joged aneh-aneh. Ada juga yang nekad buat konten nyerempet pornografi.

Yang jelas banyak yang jauh dari manfaat secara pendidikan. Bahkan bisa merusak akhlak. Misalnya, jadi nggak tau malu. Hanya demi konten. Ideologinya benar-benar ideologi pasar. Views, like, dan subscribe sudah jadi tuhan era sekarang, barangkali.

Begitulah, ini hanya ulasan sekilas dari fenomena yang melatarbelakangi saya membuat project yang manual dan konvensional untuk anak-anak saya. Yang jauh dari selera kebanyakan anak sekarang yang serba teknologi dan gadget. Macam bikin rumah cacing, atau ternak lele dalam ember (budikdamber). Budidaya ubi, kangkung, bayam, dll. Tujuannya, biar anak-anak saya tahu proses alamiah. Manual. Konvensional. Tradisional. 

Saya yakin, anak-anak itu perlu keterampilan petukangan. Tahu cara memakai gergaji, palu, pisau, golok. Tahu cara buat kandang ayam. Buat kompos. Manjat pohon dll.

Anak-anak harus tahu matematika terapan untuk hitung laba rugi. Membuat perencanaan bisnis sederhana beternak ikan. 

Mereka perlu tahu perilaku makhluk hidup. Ternyata berbeda memperlakukan lele dan ikan nila. Beda dengan ikan patin dan ikan mas. Lebih berbeda lagi nanti saat "bergaul" dengan kucing dan kambing.

Saya ternyata tidak sendiri. Banyak orang tua di luar sana yang juga was-was dengan perilaku anak-anak sekarang. Tapi bingung menyikapinya. 

Sebagian ortu memakai pemaksaan yang berujung konflik antara generasi. Sebagian lagi cuek, lalu tetiba "kehilangan" anak-anaknya dibawa larut daya tarik internet bagai tersedot ke dalam pasir hisap yang susah keluarnya.

Saya semakin meyakini pentingnya kegiatan yang "manusiawi" ini karena yang memilih aktivitas konvensional, manual dan tradisional adalah seorang Bill Gates (Microsoft), juga Steve Jobs (Apple), Tim Cook (Google)  dan Evan Williams (pendiri Twitter) yang kampiun teknologi itu. Anak-anak mereka ternyata tidak dilepaskan begitu saja bergaul dan larut dalam keasyikan bergawai.

"Abi ingin kalian menjalani proses alamiah seperti yang dialami Atta Halilintar. Jangan hanya lihat saat sudah jadi yutuber. Dia masih muda tapi sudah beragam pengalaman dan kegiatan. 

"Dan ingat, bahwa kita harus tuntas di satu tema kegiatan. Misalnya, ternak lele. Itu harus tuntas. Bisa membiakkan lele, memelihara, hingga bikin kolamnya. Tahu cara menyiapkan airnya. Ngukur pH-nya. Juga bikin pakannya. Hingga bisa menjual dengan harga yang menguntungkan. Disamping sedekah lele ke tetangga.

"Terus ada ilmu yang diperlukan. Ilmu agama, matematika dasar, bahasa Arab, inggris, tahsin Qur'an. Semua ilmu yang kita perlu. Walau tak suka. Selainnya silakan pelajari ilmu yang disukai."

Begitulah, ngombrol saja. Sambil menyantap sarapan pagi. Ada ayam goreng. Tahu bakso, uli dan bontot. Diselingi minuman teh manis hangat. Juga saling ledek antar saudara.

Sebentar kemudian sudah jam sembilan. Kami pun kembali pulang. 

Berikutnya, sepertinya harus bawa raket badminton. Biar anak-anak itu berinteraksi lebih seru lagi. Sekalian berolahraga. Sekalian ngobrol lagi.


Karawang, 23 Juni 2020

Friday, June 12, 2020

PANGAN, SAMPAH dan PENDIDIKAN KITA



Sejak akhir Maret 2020 di lingkungan RT sudah berlangsung kegiatan jimpitan. Menabung beras dan uang untuk membantu keluarga terdampak Covid-19. Terutama yang rentan secara ekonomi. Karena beberapa keluarga mengandalkan mata pencaharian harian. 


Seperti ada tetangga yang ditinggal suami meninggal, lalu jadi ngojek online. Langsung drop saat sosial distancing mulai berjalan. Tetangga yang biasa jualan makanan, minuman, dan aneka kebutuhan sehari-hari di jalan raya perumnas Karawang saat akhir pekan sudah tak bisa lagi. Ada juga yang satu-satunya sumber penghasilan dari gaji di perusahaan sementara terhenti karena dirumahkan. Sebagian ada yang mulai menjual aset.


Kejatuhan ekonomi keluarga yang dialami beberapa keluarga sahabat dan tetangga akibat terjangan wabah Covid-19 membuat alarm di otak saya berbunyi keras. Tanda ada kegentingan untuk berfikir. Mencari tahu apa sih permasalahannya?  Jangan-jangan keluarga saya juga "hanya" beruntung saja. Karena tempat bekerja tidak serapuh beberapa sektor usaha swasta yang segera merumahkan karyawannya.


Bagaimana kalau benar-benar saya dirumahkan lalu kehilangan penghasilan rutin seperti sekarang? Apakah saya mampu survive dan mendapat pemasukan baru? 


Ketidakmampuan keluarga memenuhi pangan sebagai salah satu kebutuhan pokok ini seperti menabrak konsep tauhid. Bahwa Allah yang menjamin rizki. Kok bisa ada manusia tak makan?


Tapi kalau diingat bahwa Allah sendiri menciptakan manusia itu berproses. Saya jadi berkeyakinan ada masalah dalam cara berproses manusia mendapatkan rizki.


Kemudian kasus kedua. Beberapa waktu lalu ramai di grup WA di RW tempat saya tinggal ribut karena petugas sampah terlambat datang. Tumpukan sampah sudah mulai terlihat bertumpuk di depan rumah warga. Mulai menebarkan bau tak sedap. Pemandangan jadi mulai kumuh.


Sebelumnya, di periode RW lalu, sampah tidak begitu diributkan. Karena sudah diambil dulu oleh petugas lingkungan dan dikumpulkan dulu di Tempat Pembuangan Sementara (TPS). Masalah sampah di rumah warga pun selesai. Tapi beberapa warga yang tinggal di sekitar TPS protes. Karena bau yang menyengat.


Di periode RW yang sekarang, kebijakannya diubah. Sampah diangkut langsung dari rumah-rumah untuk diangkut ke TPA. Pake armada mobil box. Kalau armada sampah tepat waktu, ini jadi solusi. Sebaliknya kalau pas telat seperti paska lebaran, tiba-tiba jalan lingkungan jadi tempat parade sampah.

 

Masalah sampah sepertinya jadi sebab orang enggan jadi pengurus RW. Karena masalah sampah ini tak pernah selesai.

 

Padahal, kita sendiri yang menghasilkan sampah itu. Kenapa sesuatu yang sehari-hari kita alami masih menyisakan masalah yang tak kunjung usai? Kita seperti hobi terjerumus pada lubang setiap hari. Padahal keledailah yang suka dijadikan contoh terperosok di lobang yang sama. 


Maka ketika saya bicara pendidikan, kalau mau menilai keberhasilan atau kegagalan maka lihatlah cukup dua hal di atas. Kalau memang bisa dikelola dengan baik, maka itu pertanda pendidikan yang baik. Barulah kita layak bisa berbicara yang lebih tinggi tentang pendidikan. Misalnya tentang kualitas, prestasi, daya saing, atau tentang generasi kreatif 4.0 dan sebagainya.


Tetapi kalau dua hal di atas ini tidak berhasil, anak didik kita masih gagap, maka kita harus merombak dasar pendidikannya. Jelas itu salah di awal. Salah di pondasinya.


Jangan dulu bicara pembelajaran online, karena ini hanya cara belajar. Tapi mental belajar yang harus dibenahi.


Di sini saya ingin to the point. Juga tak ingin berteori. Karena saya bukan orang di dunia pendidikan formal. Tapi saya ingin langsung aksi dengan "menjerumuskan" anak-anak saya ke dua isu di atas. Tentang ketahanan pangan dan pengelolaan sampah. 


Karena pangan terkait dengan ketuhanan. Sedangkan kebersihan adalah setengah dari keimanan.


Di tulisan sebelumnya saya berbicara tentang urban farming. Ini terkait dengan pangan. Project ini memang mulai berjalan, tapi  masih harus diperbaiki. Tak masalah. Justru saya menikmati proses coba-cobanya. Sekalian mengajak anak-anak terlibat dalam proses coba-coba itu.


Selanjutnya adalah project sampah. Bagaimana agar terjadi zero waste. Tidak ada sampah yang dikirim ke TPA atau TPS, karena sudah habis diolah di rumah. 


Kalau sampah anorganik sudah biasa dipilah. Lalu diberikan ke tetangga yang suka mengepul barang bekas.  Sedangkan yang organik, baru dibuat kompos. Sebelumnya sudah praktek Takakura. 

Sayangnya belum Istiqomah.


Saya yakin ini hanya kemauan saja. Karena tidak ada yang sulit. Sekarang cara bikin pupuk cair dari limbah dapur sudah ada di yutub. Tinggal cari. 


Ya, salah satu aspek penting pendidikan adalah bersabar dalam menjalani proses yang lama. Karena  ini juga yang akan membentuk karakter itu.




RUMAH CACING?



Wow! Saya menulis astronomi? sebuah ilmu dengan tingkat kerumitan yang tinggi?


Anda kali ini salah tebakan! Saya tidak bicara tentang Lubang Cacing atau Worm Hole yang ada di luar angkasa. Bahkan punya teropong pun tidak.  Saya hanya belajar astronomi itu dari aplikasi Stellarium.  


Nah, kalau yang ini memang benar-benar rumah cacing. Sungguhan.  


Adalah kebutuhan untuk menemukan pakan alternatif buat lele dalam ember. Untuk memenuhi kebutuhan asupan makanan bergizi tetapi terkendala suplai. Adapun pelet yang bisa dibeli di toko peternakan atau toko akuarium ternyata menimbulkan efek samping. Membuat beberapa anak lele kembung. Lalu mati. Mengambang.


Tetapi kendalanya adalah ketika memilih cacing sebagai sumber pakan, bagaimana untuk menjamin keberlangsungan pasokan? sedangkan halaman rumah kami sempit. Bukan ladang sawah yang luas?


Qodarullah, sebagian pekarangan kami dibiarkan berupa lahan yang tidak di tembok semen. Juga ada yang ditanami beberapa tanaman. Dari situlah ternyata banyak cacing tersembunyi di bawah pot.

Saya gali sedikit, maka munculla makhluk panjang licin yang membuat sebagian orang merasa geli atau jijik itu. Tetapi kita tahu kadar proteinnya sangat tinggi. Kalau tidak salah sampai 70%. 


Lalu kami kumpulkan makhluk menggemaskan itu. Kemudian ditaruh di pot persegi yang sebelumnya sudah kami beli. Untuk nutrisi ditambahkan potongan daun lidah buaya dan daun lainnya. Lalu dibiarkan.


Haripun berganti hari. Ternyata ketika diangkat pot atau rumah cacing itu di bawahnya teronggok tanah yang keluar dari perut ikan cacing. Sangat subur. Inilah yang dikatakan dalam literatur bahwa cacing memang menyuburkan lahan.


Jadinya saya menemukan alternatif sederhana sumber makanan ikan. Ini juga sebagai contoh bagaimana kita bisa menciptakan nilai tambah dari apa yang ada di sekitar kita. Cacing yang sebelumnya hanya menyuburkan lahan itu, ternyata kita bisa membuat nilai tambah.


Kita akan melihat ada setidaknya tiga manfaat : 


Pertama, untuk mendaur ulang sampah organik dari daun-daun yang kita ambil atau dari yang sudah busuk. Kemudian si cacing itu berkembang biak dan perilaku cacing memunculkan pupuk yang sangat subur.


Kedua, anak-anak cacing yang sudah agak besar sebesar lidi kira-kira ini yang kita ambil sebagai pakan ikan. Kita bersihkan dulu. Jangan lupa baca basmalah. Lalu potong-potong cacing itu. Lalu kita berikan ke anak-anak lele. Ternyata luar biasa sambutan si lele. Sangat antusias. Bersukacita. Alias rakus. Dalam sekejap lenyap itu potongan-potongan cacing.


Setelah menemukan prototipe rumah cacing, maka selanjutnya adalah menghitung berapa jumlah rumah cacing yang memadai untuk memasok pakan lele sebanyak katakanlah 100 ekor.


Ini yang akan kita coba hitung. Sehingga target ke depan kita tidak perlu pelet. Cukup dari cacing yang kita ternakan atau makanan sisa yang berupa limbah dapur. Harapannya limbah organik dari dapur itu tidak terbuang ke tempat pembuangan sampah. Tetapi kita olah sendiri menjadi pupuk atau bahan makanan ikan.


Ketiga, ini adalah bagian dari ide besar membangun kemandirian pangan dari rumah. Yakni dari apa-apa yang ada di sekitar kita. Kita olah. Kita beri nilai tambah. Sekaligus sebagai bahan pembelajaran anak-anak kita, bahwa ada peluang yang menjadikan sesuatu yang selama ini ini terabaikan menjadi bermanfaat dan bahkan bernilai ekonomi. Kita bisa baca literatur tentang nilai ekonomi dari cacing tanah.



Friday, June 5, 2020

MANA CONTOHNYA?



Sehebat apapun sebuah gagasan, kalau tanpa real project jadi tidak terlihat hebat. "Ah, teori?!" Ungkapan ini sepertinya mewakili. Begitupun dengan pendidikan. 


Gagasan pendidikan fitrah, aqil baligh, sekolah karakter, sekolah juara, strenght based education, pendidikan berbasis keluarga, sekolah "manusia", sekolah ramah bakat, pendidikan yang memerdekakan dll akan tidak dilirik kalau tak ada bukti yang terlihat. Buktinya pun harus masif. Tidak satu dua orang saja. Alias bukan kasuistik.


Sebaliknya, salah satu sebab kenapa Rumah Hafalan cepat diterima karena output-nya jelas. Padahal gagasannya sederhana, hanya menghafal. karena sederhana itu, jadinya mudah difahami. Jadinya mudah diterima. Hasilnya langsung ketahuan. Jumlah yang dihafal anak, bisa Anda cek di tempat.


Maka, inilah tantangan terbesarnya. Memberi bukti, bukan sekedar janji.


Kalau bicara WHY, saya kira semua setuju. Tentang filosofi dari gagasan hebat ini.Apalagi syiarnya sudah tersebar ke empat penjuru mata angin. Semua orang tua saya yakin setuju dengan konsep mandiri di usia baligh. 


Karena itu, saya ingin mengusulkan langkah nyata : membuat model, percontohan atau prototipe.


Dimana dengan model ini, dari A-Z proses pendidikan ideal ini akan bisa terbaca, terlihat.  Seperti melihat ikan di aquarium. Sehingga dinamika pihak-pihak yang terlibat dan bersinergi itu juga bisa dipelajari. Hasilnya  juga terlihat dan bisa ditelusuri prosesnya.  Sehingga kenapa berhasil dan kenapa belum berhasil bisa ditelusuri. Baru setelah itu dipersilakan untuk melakukan adjusment. Disesuaikan sesuai keadaan individu dan keluarga.


Untuk membuat prototipe itu langkah, saya coba rangkum dulu pihak-pihak yang terlibat beserta fungsinya:


Home Education


Ini sebagai konsep dasarnya. Sebagai konsep yang  wajib dijalankan oleh semua keluarga. Perlu penegasan bahwa apakah anak sekolah maupun tidak, fungsi HE ini wajib dijalankan orang tua. Konsep ini sekaligus untuk mengembalikan pendidikan ke habitat aslinya, di keluarga.


Idealnya sudah ada contoh kurikulum HE yang dijadikan acuan. Tapi bukan untuk di salin-tempel. Hanya sebagai acuan. Untuk kemudian disesuaikan dengan kondisi setiap keluarga.


PKBM atau Sekolah


Kita memerlukan lembaga penyelenggara administrasinya. Sesuai peraturan, yang  bisa kita pilih misalnya PKBM untuk mewadahi Homeschooling. Ini untuk legalitas dan untuk penataan administrasi. Juga memudahkan peserta memanfaatkan akses pendidikan yang disediakan pemerintah. 


Selain PKBM, kalau ada sekolah yang bisa dijadikan sekolah induk dengan pembelajaran yang fleksibel bisa dicoba. Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah di Salatiga, pada awal berdirinya menginduk ke salah satu sekolah negeri.


Selain itu, sekolah formal yang sudah menerapkan sinergi dengan orang tua juga sudah ada. Sekolah alam dalam hal ini bisa jadi pilihan.


Keluarga Rujukan


Karena pendidikan berbasis keluarga, maka anggotanya adalah keluarga. Maka wajib ada keluarga yang dijadikan rujukan. Berfungsi sebagai contoh, sekaligus mentor. Ada dua kategori. Ada keluarga rujukan akhlak. Ada juga keluarga rujukan bakat. Idealnya ada di satu keluarga. Tetapi untuk keperluan penataan bisa difungsikan salah satunya saja.


Keluarga Rujukan Akhlak, adakah keluarga rujukan terkait dengan implementasi pendidikan karakter. Mulai dari aqidah, ibadah, akhlak keseharian, sifat pembelajar, mengelola waktu, menata urusan, kesehatan fisik, penngedalian diri, serta kebermanfaatan.


Sedangkan Keluarga Rujukan Bakat lebih ke peran spesifik. Setiap keluarga yang sukses mestinya karena ada peran optimal yang berangkat dari bakat yang teraktualisasi. Misal keluarga pendidik, keluarga ustad, keluarga dokter, keluarga enterpreneur, keluarga akademisi, keluarga relawan, keluarga seniman dll.


Halaqah Parenting


Adalah pertemuan rutin yang diadakan untuk kepala keluarga (ayah dan bunda). Ini sangat penting untuk menjadi titik berangkat dan mengarahkan dinamika keseharian pendidikan di keluarga.


Maestro. Adalah person yang memiliki keahlian tertentu yang bersedia berbagi ilmunya.


Mitra Magang


Adalah orang atau lembaga yang bersedia dijadikan tempat magang.


Komunitas Parenting


Adalah wadah untuk edukasi dan aktualisasi konsep Home Education.


Fasilitator 


Adalah mitra orang tua, terutama ketika bicara pendalaman akademik. Salah satu fungsinya adalah mengkonstruksi pengalaman dan wawasan anak-anak kita menjadi tema ilmu pengetahuan yang terstruktur.


Proyek Bersama


Misalnya urban farming di perkotaan, atau desa wisata di pedesaan. Wisata Bakau di pesisir pantai sudah ada yang memulai.  Bisa juga seperti Kampung Inggris di Pare Kediri. Kampung Batik yang mengkhususkan pada batik khas setempat. Gagasan One Village One Product (OVOP) bisa diekplorasi lebih jauh. 


SDM Pendukung lainnya


Misalnya tenaga administrasi, humas dan media, serta para relawan.


Nah, saya tengah mencoba merangkai puzzle-puzzle di atas menjadi sebuah prototipe Pendidikan Aqil Baligh.


Semoga Allah memberi jalan, dan dimudahkan… aamiin…



 


Thursday, June 4, 2020

MENJAGA IDEALISME



"Ingin sekali anak saya bersekolah di sekolah agama terpadu, boarding school atau pondok menghafal. Tapi biayanya itu, berat sekali. Mimpi rasanya," ungkap seorang tua yang galau.


Mendirikan sekolah atau aktif di pendidikan itu memang bersentuhan dengan kebutuhan dasar manusia. Selain sandang, pangan, dan papan, ada pendidikan. Karena itu seyogyanya mendapat back-up dari negara. Tidak diserahkan ke mekanisme pasar. Dimana berlaku rumus : ada uang ada barang.


Bukan sekedar kebutuhan utama, bahkan pendidikan semakin diyakini sebagai jaminan masa depan. Semakin baik pendidikan maka diyakini semakin cerahlah masa depan. 


Sekarang ketika pendidikan identik dengan sekolah, maka persepsi orangpun menjadi : sekolah terbaik adalah pendidikan terbaik. Sekolah terbaik adalah jaminan masa depan terbaik.


Zaman lalu berkembang. Sekolah terbaik itu kemudian semakin identik dengan bangunan terbaik. Guru terbaik. Fasilitas terbaik. Lalu karena prestasi identik dengan menang kompetisi, maka segudang piala kompetisi kejuaraan menambah kriteria sekolah terbaik.


Karena ada kompetisi itu juga, telah memunculkan kasta sekolah. Ada sekolah favorit dan ada yang favorit. Ada sekolah unggulan dan non unggulan. Ada yang elit dan ada yang alit. 


Terkini, seiring kekhawatiran dekadensi moral dan buah dakwah yang menyasar kalangan menengah, kriteria sekolah unggulan itu kini bergeser. Sekarang ada keharusan mengusung nilai-nilai religius. Ada penanaman nilai agama yang intens dan terpadu. Setelah selama ini masyarakat mempersepsikan sekolah hanya sebagai tempat tumbuhnya kecerdasan akademik.  


Maka tumbuhlah sekolah-sekolah berbasis agama atau berlabel agama dengan fasilitas yang semakin baik. 


Tetapi di sinilah dilematisnya. Bahwa ketika dikelola swasta, yang harus bertahan hidup dengan mengikuti hukum pasar, maka sekolah mau tak mau harus melakukan strategi marketing.


Bahwa ketika hanya kalangan the have saja yang bisa menikmati, maka ini bagian dari hukum pasar. Dengan pengecualian sedikit porsi untuk beasiswa. 


Masalahnya, pihak penyelenggara sekolah sepertinya semakin menikmati tren ini. Pertumbuhan aset beberapa sekolah swasta yang cepat memang menggiurkan bagi para pemodal. Bank pun antusias menawarkan kredit.


Salah satu pemilik boarding school termahal di Indonesia yang berlokasi di sekitar Serpong pernah berucap, bahwa investasi di pendidikan itu "sangat menguntungkan".


Tanpa disadari, inilah awal pergeseran orientasi yang semakin jauh di kemudian hari. 


Adalah sebuah tragedi ketika dunia pendidikan justru menghasilkan kesenjangan sosial baru. Berupa diskriminasi kesempatan meraih pendidikan tersebab kemampuan ekonomi. 


Maka kita kudu berhati-hati dengan godaan ini. Bahkan ini yang harus diwaspadai di awal berkiprah di dunia pendidikan dan selama proses berlangsung. Termasuk yang bergerak di dunia parenting. Sebagaimana kita berlindung dari godaan setan ketika mau beramal saleh.


Salah satu contoh terkini adalah tren Rumah Penghafal. Awalnya adalah ide yang sangat bagus bagaimana anak-anak kita dekat dengan Kitab Suci. Salah satunya dengan menghafal itu.  


Tetapi tren ini berubah menuju hal yang banyak mulai dikritisi. Terutama ketika para orang tua menjadi terobsesi anak anaknya menjadi penghafal di usia kecil.  Adalah para penghafal cilik yang berusia sekitar usia 6 tahun 12 tahun yang sudah hafal 30 juz yang telah menjadi pemicu. Menjadi semacam obsesi dan berujung tuntutan kepada anak agar mengikuti jejak anak-anak yang ajaib tadi. 


Kemudian, fenomena ini diambil peluang oleh para pelaku dan pebisnis jasa pendidikan dengan mendirikan rumah-rumah menghafal yang sekarang seperti jamur di musim hujan. Berdiri dimana-mana dan orangtua pun berbondong-bondong memasukkannya.


Sebagian sambil tetap bersekolah di sekolah normal. Bahkan yang sudah full day school ada yang masih merasa kurang. Sang anak diikutkan juga program rumah menghafal.


Apalagi metode semakin beragam. Ini menambah semarak menjadi tren baru di tengah masyarakat. Apalagi hafalan sangat terukur dan cepat kelihatan hasilnya. Berbeda dengan aqidah yang tidak terukur. Juga pendidikan akhlak yang hasilnya tidak langsung tampak.


Kritik muncul ketika ada kasus anak merasa stres. Sehingga memunculkan diskursus, apakah program menghafal ini ramah anak atau tidak?


Dan ini menimbulkan debat yang tidak berujung. Ada yang mengatakan bahwa di manapun yang namanya pendidikan itu menimbulkan ketidaknyamanan. Maka beban stres itu wajar saja.  


Sedangkan di seberangnya mengatakan bahwa kondisi ini tidak bagus di masa depan. Karena membuat anak memiliki persepsi negatif tentang Tuhan, nabi dan agamanya sendiri. Walaupun hafalannya banyak tetapi semangat untuk mencintai agama dikhawatirkan justru hilang. Karena persepsi negatif tadi.


Hal di atas semakin memunculkan satu pesan bahwa ada semangat dasar yang harus dijaga ketika kita berkiprah di dunia pendidikan.  Wabil khusus menghindari godaan keuntungan duniawi yang memungkinkan kita tergelincir atau menyimpang dari jalan yang sebenarnya. Menjauh dari misi yang seharusnya.


Maka inilah prinsip-prinsip pokok yang harus dipegang sebelum kita berkiprah di dunia pendidikan:


Pertama niat ikhlas. Bahwa dunia pendidikan adalah ladang dakwah dan ibadah. Harus ekstra hati-hati saat ada hasrat mengharapkan keuntungan saat penerimaan publik semakin baik. Awal penyimpngan terjadi ketika niatnya adalah memburu profit.


Kedua, mengembalikan basis pendidikan ke habitat aslinya, yaitu keluarga. Ini prinsip yang harus tetap dijaga. Karena di sanalah habitat asli pendidikan berada.


Maka, ketika sekolah mengambil alih tanggung jawab pendidikan anak dari orang tua, dan memposisikan orang tua ada "di bawah" yang harus manut alih-alih sebagi mitra yang sejajar dan sinergis, ini adalah pintu lain dari penyimpangan pendidikan.


Ketiga, menjadikan anak sebagai subjek pendidikan. Dengan menjadikan fitrah anak sebagai sentral proses pendidikan. Bisa dikatakan sebagai fitrah based education.


Sebaliknya, ketika anak diposisikan sebagai objek yang tak merdeka, dipersepsikan sebagai kertas putih kosong, ini juga awal dari terhalangnya tumbuh kembang fitrah anak yang optimal.


Keempat, mengaktifkan peran orang tua sebagai tulang punggung dari seluruh proses pendidikan. Mengesampingkan ini sama saja dengan membangkucadangkan striker terbaik saat pertandingan final sepakbola.


Bila terjadi dalam pendidikan, akibatnya akan mengorbankan pembangunan pondasi karakter yang itu menjadi bagian orang tua yang menghelanya. Kalau itu sebuah bangunan yang tinggi. Maka pastilah rawan hancur ketika ada gempa.


Kelima, prinsip kolaborasi berbasis keluarga dan lingkungan. Ini menjadi kata kunci berikutnya. Karena keberadaan kita di lingkungan kita pasti ada tujuan. Selama ini anak-anak tercerabut dari akar sosial karena harus mengikuti agenda persekolahan yang menyita waktu. Bekerja sendirian, tentu akan banyak energi. Apalagi ada ungkapan, "It takes a village to rasie a child', perlu orang sekampung untuk mendidik seorang anak. Berat sekali bukan? kalau ditangani sendirian?


Keenam, menjadikan pendidikan bisa terjangkau oleh semua kalangan.  Tidak hanya untuk yang punya. Maka semua konsep program harus dibuat sesederhana mungkin dan efisien. Kalaupun nanti ada yang menggunakan sarana lain, itu hanya pilihan personal. Tetapi tidak dijadikan standar dan keharusan. 


Inilah yang menjadikan keluhan ketika pendidikan Islam berbiaya sangat tinggi, yang telah menjadikannya tidak terjangkau oleh kebanyakan orang. Jelas ini menimbulkan dampak negatif. Memunculkan kecemburuan dan kesenjangan sosial. Ini tentu sangat tidak edukatif. Tidak mencerminkan nilai-nilai pendidikan itu sendiri. Juga menjauh dari nilai-nilai Islam.


Tantangan buat kita sekarang adalah mulai merangkai amal nyata yang berangkat dari gagasan di atas...







MANFAAT URBAN FARMING




Sepekan lalu pohon mangga di samping rumah panen. Cukup lebat kali ini. Seratusan biji berhasil saya petik. Sendiri. Masih cukup kuat kaki ini ternyata. Anak saya malah tidak berani. Walah, kalah nih milenial lawan kolotnial, hehe.


Awalnya sekedar ingin sedekah oksigen. Lewat fotosintesis di klorofil daun yang membuat warna hijau itu. Itu 12 tahun lalu. Saat menanam mangga hasil cangkokan. Jenis mangganya saya juga tak pedulikan. Pokoknya tanam. Ternyata bukan Manalagi atau Gedong. Nggak jelas. Alhamdulillah rajin berbuah juga ternyata.


Setelah disimpan sepekan barulah matang si mangga. Nah, saatnya action! Mangga matang itu dibagikan ke tetangga. Tahap awal sepuluh kantong masing-masing tujuh buah. Tinggal kupas dan santap.


Walaupun sambil agak cemberut, pasukan millenial saya kebagian tugas door to door ke tetangga. Saya beri sedikit sentuhan kultum a la ayah tega, "Kalian tidak disuruh jadi sales mangga agar dibeli orang. Ini gampang tinggal kasih doang. Apa susahnya?" Dan pasukanpun berangkat ke empat penjuru mata angin.


Baik, to the point saja ya. Bahwa membuat project bercocok tanam di rumah itu multi manfaat. Tak sekedar penghijauan.


Setelah membaca tulisan di bawah ini semoga semakin termotivasi. 


Keindahan


Tanaman melati, bougenville, pucuk merah, palem, puring, anggrek, anthurium dan aneka bunga warna-warni ini akan menjadikan halaman rumah kita menjadi segar dan indah. Kalau mau belajar lagi bisa membuat bonsai aneka rupa. Ini bisa menurunkan stress serta menaikkan imunitas. Apalagi kalau sambil pelihara burung kicau.


Ketahanan Pangan


Ini akan kita peroleh dari budidaya ikan di dalam ember, atau kolam terpal. Juga dari bertanam aneka sayur. Ada bayam, kangkung, sawi, pokcoy, tomat, juga cabai. Bisa juga umbi-umbian yang ditanam di polybag.  Buah-buahan yang ditanam di pot bisa dipanen dalam jangka panjang. Mangga di samping rumah saya sudah tahun ke-12. Lalu ada juga jambu air, jeruk purut dan pepaya.


Dengan lahan terbatas tetapi efektif, rencananya saya akan coba juga vertical gardening sederhana. 


Literasi Keuangan


Kita bisa menambah pundi kas keluarga dari ikan, sayur, bunga yang kita jual. Lalu anak-anak kita dikenalkan dengan budgeting atau penganggaran. Bagaimana  menghitung biaya pengadaan bahan-bahan seperti bibit ikan pakan, pupuk organik, pompa dan peralatan. Kemudian nanti berapa penghasilan yang masuk. Lalu dihitung berapa selisih antara penghasilan dan biaya. Itulah keuntungan atau kerugian. Inilah keuangan dasar dalam berbisnis. Ini penting dalam membangun enterpreneurship.


Tetapi saya dahulukan sedekah sebagai pembelajaran pertama literasi keuangan ini. Bahwa infak tak selalu berupa uang. Buah-buahan hasil bertanam sendiri bisa juga.


Pembelajaran Tematik


Di sini kerennya. Ketika aneka pembelajaran akan dialami oleh anak-anak kita di halaman rumah sendiri. Di Sekolah Alam ada istilah spiderweb. Di mana satu tema bisa menjaring banyak tema belajar.


Misalnya tentang klasifikasi makhluk hidup, antara jenis-jenis hewan dan tumbuhan.  Kemudian hewan pun beraneka ragam. Selain ikan nila, lele, juga patin.

Kita juga bisa mengenalkan kehidupan cacing tanah, belalang, kupu-kupu, ulat dan lainnya. Ini adalah pelajaran biologi.


Kemudian belajar pertukangan sederhana. Cara memotong kayu, bambu dengan gergaji. Membuat instalasi hidroponik. Membuat instalasi kolam ember dengan sirkulasi air yang baik.


Mengenalkan praktek elektronika sederhana, misal cara memakai solder listrik. Juga cara kerja pompa air dan aerator aquarium. Saya bisa  mengenalkan cara kerja hukum bejana berhubungan saat memasang instalasi kolam ember.


Sosial 


Bahwa ketika project urban farming ini terlihat hasilnya oleh tetangga kiri kanan, biasanya ini akan memunculkan minat. Biasanya akan menular. Biasanya ingin meniru. 


Ini kesempatan bagi anak-anak kita untuk bersosialisasi. Menerangkan bagaimana proses pembuatan urban farming. Lebih luas lagi ini bisa memunculkan budaya baru yang lebih hijau, produktif, indah, edukatif dan ekonomis.


Pemberdayaan 


Bahwa di sekitar kita ada banyak sumber daya manusia yang hebat dan berpengalaman yang selama ini tidak diberdayakan. Misalnya di depan rumah saya ada seorang yang pandai membuat bonsai, memelihara burung kicau serta menjahit. Beliau ternyata bersedia untuk ngajarin anak-anak. Kapanpun mau. 


Kemudian juga ada yang pandai outbond, camping, dan survival. Kemudian ada juga doktor ekonomi, ustadz dan guru ngaji. Ada juga pakar pertanahan, pakar dekorasi pernikahan. Pun ada yang yang pandai membudidayakan anggur.


Tentu para wirausahawan tak ketinggalan. Ada pengusaha percetakan, aqiqah, toko agen, kuliner, barber shop dll. Tinggal mau apa tidak, anak-anak kita?


Kelestarian Lingkungan


Udara bersih dari oksigen yang keluar dari dedaunan yang rimbun adalah sumber dari lingkungan yang sehat. Ketika tanah tanah semakin sempit untuk tumbuh tanaman, ruang terbuka hijau semakin menghilang maka upaya berbasis rumah ini akan menghasilkan lingkungan yang lebih berkualitas.


Membangun Teamwork


Walaupun sederhana karena skala rumah tangga, tetapi project urban farming ini tetap memerlukan penerapan prinsip-prinsip dan unsur managemen. Mulai dari perencanaan, pengorganisasian, penerapan, pengawasan dan evaluasi. 


Sejak awal, karena project ini berbasis keluarga. Maka  orang tua posisinya sebagai pengawas sekaligus project owner. 


Ortu yang mencanangkan visi, misi serta strategi, program dan anggaran saat membuat perencanaan. Lalu mendelegasikan habis tugas kepada anggota keluarga lainnya. Lalu memimpin eksekusinya. Memberi contoh dan tauladan. Mengawal proses dan mengawasinya. Serta melakukan evaluasi.


Maka, dari rumah pun anak-anak kita akan terbiasa bekerja berorganisasi.



Kesehatan


Selain kualitas udara lebih bersih, imunitas meningkat, tubuh bergerak terus saat merawat aneka makhluk hidup, kita bisa menanam aneka tanaman obat keluarga seperti jahe, kunyit, kencur, kumis kucing, katuk, bidara, sirih, dan lainnnya.


Jangan lupa obrolkan


Salah satu sarana agar anak-anak kita mendapat manfaat-manfaat edukatif dari project di atas lebih banyak dengan ngobrol. Ya, dengan ngobrol. Berbincang tentang tema-tema di atas sebenarnya sama saja dengan guru yang menerangkan pelajaran di kelas. Bedanya ini lebih rileks dan informal. Tetapi saling terkait. Tidak fokus di satu pelajaran. Siapa tahu, dari obrolan itu, ada yang berhasil memancing keluar bakat terpendamnya.








KELUARGA : DARI KETAHANAN MENUJU PERADABAN

  Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...