Sunday, May 24, 2020

KETAHUAN ASLINYA, KETAHUAN HASILNYA




Dua bulan lebih berada di rumah bersama keluarga memunculkan hal unik sekaligus menggelitik.


Bahwa di dalam kebersamaan dalam jangka waktu yang lama, ternyata kita tidak bisa lagi berpura-pura. Tak lagi bisa jaga image atau sok berwibawa. Semakin lama kita jadi semakin natural. Apa adanya.


Biasanya ketika kita berjarak dalam jangka waktu yang lama, maka ketika bertemu, yang dominan adalah suasana kangen. Suasana kegembiraan. Suasana euforia. Kita hanya melihat kehebatan, kebaikan, kelebihan, keunggulan, atau keistimewaan. Kita tidak sempat berpikir tentang kekurangan, kelemahan, atau keburukan.


Ketika bertemu dalam jangka waktu yang lama. Terlihatlah semua kekurangan, kesalahan, kejelekan, keburukan, atau aib itu semuanya terlihat. 


Saya yang suka slenge'an menjadikan anak-anak menganggap saya seperti teman sahaja. Pun anak-anak yang terlihat hebat dari luar, lama-lama kelihatan bolong-bolongnya.


Semuanya jadi terlihat terang benderang.


Termasuk ketika bicara konflik antar generasi. Sampai-sampai saya punya persepsi yang subjektif pada generasi millenial. Saya melihat ini generasi yang melangit. Tidak membumi.  Sepertinya ada yang tak nyambung antara pikiran generasi ini dengan dunia nyata. Apa karena terbiasa segala sesuatu selesai dengan usap-usap gadget? Sehingga aktivitas manual jadi nggak menarik sepertinya di mata mereka.


Aktivitas manual seperti cuci baju, cuci piring, nyapu lantai, ngepel, beres-beres rumah lainnya, baca buku, pertukangan sederhana, bercocok tanam, memberi makan ikan, nganter makanan ke tetangga, manjat pohon, masak, seperti bukan pilihan menarik bagi mereka.


Di mata mereka, bisa jadi saya adalah sisa peninggalan zaman old yang masih berkuasa. Yang masih membanggakan era manual. Yang suka membanggakan kalau dulu suka main ke sawah cari ikan di sungai. Jago nangkap capung.

Tapi baramgkali inilah hikmahnya. Setelah kita mendapat gambaran yang sesungguhnya dari anak-anak kita. Maka ini bisa kita jadikan sebagai pijakan bagi upaya mendidik mereka selanjutnya. Yang selama ini kita tahu beres itu. 

Sekarang ini adalah momentum yang sangat berharga bagi para orang tua mengaktifkan fitrah keayahbundaan. Fitrah untuk mendidik anak.


Bahwa kita sebenarnya dibekali naluri, insting, atau fitrah untuk mendidik anak-anak kita sendiri. Maka aktifkanlah naluri itu. Ekspresikan! Lalu coba dan coba lagi. Maka kita akan menemukan pola yang tepat dan indah ketika fitrah keayahbundaan berinteraksi dengan fitrah anak-anak kita.


Bahwa inilah pendidikan yang sesungguhnya, sebagaimana defininisinya. Yaitu cara ideal berinteraksi dengan fitrah manusia baik langsung dengan nasehat atau kata-kata maupun dengan sistem yang diyakini untuk merubah ke arah yang lebih baik (Dr.  Ali Abdul Halim Mahmud)


Pun dengan interaksi yang dekat ini setiap anak akan terlihat unik dengan keadaan maupun bakat masing-masingnya. Maka bakat ini juga yang akan kita tumbuhkan dengan pendidikan.


Maka, rancangan kurikulum individual bisa kita susun. Bisa kita bicarakan.  Bisa kita coba implementasikan. 


Kemudian, jangan takut untuk mencoba! 

Maka kalimat populer, "Buat anak kok coba coba?" hendaknya disingkirkan. 


Hilangkan statement yang membuat kita mundur melangkah, karena pada dasarnya mencoba itulah yang harus kita lakukan. Sampai menemukan pola yang pas untuk setiap anak kita. Sampai menemukan cara mendidik yang benar. Sampai menemukan arah pendidikan yang benar. Sampai menemukan mitra mendidik yang sesuai. 


Semuanya harus dicoba dulu karena kalau tidak dicoba, bagaimana kita tahu apa yang terbaik?


Kalau hanya mengandalkan kepada sarana yang tersedia semisal sekolah, apalagi memilihnya hanya karena faktor favorit atau selera. Bisa jadi sebenarnya kurang cocok dengan anak-anak kita.


Karena itu proses mencoba ini, ya harus dicoba...


Kebersamaan yang memunculkan keaslian kita itu menjadikan tak bisa hanya mengandalkan kata-kata.

Sebaliknya, ketulusan dan niat baik, kesungguhan serta tauladan, juga  harapan-harapan yang terungkap, pujian pujian dan penghargaan yang tulus akan lebih kuat dan lebih relevan dalam membangun karakter, membangun budaya belajar, maupun menemukan bakat dan potensi.


Kadang, diam itu lebih baik daripada berkata-kata.  


Kadang air mata seorang bapak lebih tajam dari argumentasi ilmiah.


Sayapun menyadari dengan sangat, bahwa sarana terbaik adalah doa. Disamping aspek lahiriah di atas. Juga ilmu yang kita pelajari. Komunikasi yang dijalin. Serta niat tulus kita canangkan. Maka doa di awal dan akhir proses pendidikan adalah hal terbaik yang kita upayakan.


Jangan lupa, berilmu tentang pendidikan anak adalah wajibul kudu. Alias urgent banget. Jangan langsung balik kanan saat mengalami kebingungan. Atau menganggap hanya teori. 


Semua keterampilan awalnya canggung bagi pemula. Maka mencoba dan mencoba lagi akan menghasilkan kepiawaian.


Jadi, itulah salah satu hikmah yang bisa kita ambil dari pandemik Corona ini.




Thursday, May 21, 2020

MATA RANTAI TERLEMAH



Proses pendidikan melibatkan mata rantai proses. Masing-masing ada penanggung jawabnya. Ada PIC-nya. Person In Charge. Sinergi terjadi bila masing-masing menjalankan fungsi dan perannya.


  1. Ayah yang menjadi penanggung jawab. Perumus misi pendidikan. Hingga menyusun strategi dan kurikulumnya. Sumber rujukan sosok maskulin. Pembangun sistem berfikir. Sosok yang bisa tega. Pendidik aqidah. Sosok rasional.  

  2. Bunda sebagai manager harian. Sumber rujukan sosok feminim. Pengasah rasa. Pendidik ibadah dan akhlak.

  3. Guru sebagai fasilitator dan konstruktor ilmu pengetahuan.

  4. Ustadz atau muroby sebagai rujukan akhlak.

  5. Para maestro sebagai rujukan bakat.

  6. Pemimpin lokal sebagai rujukan kepemimpinan

  7. Pengusaha lokal sebagai rujukan enterpreunership


Rumus kekuatan rantai adalah : kekuatan ada pada mata rantai terlemah.


Siapakah mata rantai terlemahnya?


Di antara pihak-pihak di atas, yang paling urgen untuk diaktivasi adalah orang tua. Sekaligus sebagai mata rantai terlemahnya.


Karena :

  • Sudah terlanjur merasa tak mampu. Padahal di sana ada modal paling berharga: cinta dan ketulusan.
  • Kedekatan emosional antara ortu dan anak. Kenyamanan. 
  • Sumber finansial. Sangat mungkin selama ini sumber daya finansial para orang tua disalurkan untuk hal remeh, duniawi, aksesoris dan tidak signifikan untuk membangun peradaban.
  • Bila orang tua sudah teraktivasi, yang lain akan menyusul. Orang tua yang akan mencari guru terbaik, mentor terbaik, muroby terbaik, pengusaha terbaik, serta maestro terbaik.


Maka PR terbesar sekarang adalah menyadarkan para orang tua. Maka langkah-langkah alternatif yang bisa dicoba adalah :


  • Kampanye masif dan terus menerus melalui kajian-kajian parenting
  • Menghimpun para orang tua yang sudah seirama pemikiran
  • Membuat forum diskusi untuk menerjemahkan gagasan ideal ke dalam langkah-langkah nyata, hingga terwujud contoh project pendidikan berbasis keluarga.
  • Membangun komunitas parenting


Konsep yang bisa dijadikan acuan misalnya :

- Manhaj Tabiyah

- Pendidikan Aqil Baligh, Ust Adriano Rusfi

- Fitrah Based Education, Ust Harry Santosa

- Kutab Al Fatih, Ust. Budi Ashari

- Qaryah Thayyibah, Bahrudin - Salatiga

- Talents Mapping, Abah Rama atau tools pemetaan bakat lainnya

- Fatherman, Ust Bendri Jaisyurrahman

- Kurikulum Taqwa, Ust Adian Husaini

- Sisdiknas

- dll



Wednesday, May 20, 2020

INILAH SAATNYA

 

Ilustrasi, sumber : internet


Ketika semua orang ragu untuk kembali masuk sekolah. Bahkan di Finlandia yang disiplin warganya lebih baik, saat sekolah dibuka kembali, justru berujung pada terjangkitnya siswa dan guru dengan virus Covid-19 ini.


Di negara asal virus ketika lockdown dibuka oleh otoritas China, dan sekolah masuk kembali, maka protokol kesehatannya sangat ketat sekali. Situasinya sangat jauh dari normal. Anak-anak seperti terpenjara di alam terbuka. Hanya beda tampilan saja. Tangan tidak diborgol dan kaki dirantai.


Pertanyaannya: apakah kondisi tidak normal itu kita pertahankan atau kita harus mencari alternatif lain yang lebih layak, lebih mudah, juga lebih manusiawi. Benar-benar move on.


Kita harus memberikan solusi alternatif yang mendasar sekaligus menyeluruh. Solusi total tentang desain baru pendidikan berbasis rumah dan keluarga.  Di mana rumah adalah tempat pendidikan karakter yang sesungguhnya. Melibatkan orang tua secara optimal. Sedangkan guru adalah partner terkait fasilitator untuk mengkonstruksi pengetahuan.


Lingkungan sekitar adalah laboratorium alam yang menjadi tempat belajar anak-anak. Sekaligus tempat mengekspresikan ilmu yang diperoleh.  Sehingga anak-anak kita kembali mengakar di lingkungannya. Mengakar di keluarganya. Mengakar di masyarakatnya.


Lebih jauh mereka mampu memberikan solusi bagi masalah di lingkungannya. 


Secara sederhana, misalnya project urban farming yang coba kita sodorkan sebagai proyek percontohan alternatif. Ketika sudah berjalan maka ini menjadi solusi bagi lingkungan yang lebih hijau, oksigen yang lebih sehat, pemanfaatan pekarangan yang lebih produktif, ketahanan pangan, ketersediaan obat obatan keluarga.


Tak henti di situ, setelah ada hasil panen misalnya sayuran atau ikan, maka ini bisa disedekahkan kepada tetangga yang membutuhkan.  Jadi tidak semata-mata berorientasi profit. 


Menjual hasil dari ternak ikan atau hasil budidaya sayuran tetap menjadisalah satu target. Bahwa anak-anak kita punya bisnis yang dijalani prosesnya dari a sampai z.


Jadi sekali lagi bahwa momentum Covid-19 ini harus betul-betul dimanfaatkan sebagai koreksi bagi sistem pendidikan yang sudah terlanjur mengakar kokoh dan seolah-olah tidak ada yang bisa merubahnya. Yang membelenggu alam pikiran kita sehingga kita diperbudak dan tidak bisa berkata "tidak". Dimana kita tidak bisa melawan, seolah tidak punya pilihan kecuali menuruti apa kata sistem.


Kita akan kembali menerjemahkan, mengekspresikan gagasan pendidikan yang memerdekakan, yang menghargai  bakat, sebagaimana yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara. Sebagai taman bagi anak-anak kita.


Anak-anak kita menjadi bunga yang beraneka warna yang indah. Tidak lagi menjadi rumput yang seragam atau diseragamkan sesuai dengan keinginan industri yang akan memanfaatkannya.


Jadi, kalau tidak sekarang kapan lagi?


Mari kita bergabung bersama merangkai satu gerakan awal dari pendidikan yang lebih menjanjikan. Untuk masa depan yang lebih baik. Sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri.

Sunday, May 17, 2020

EASY COME EASY GO



Tulisan kali ini tentang  salah satu strategi terpenting untuk menumbuhkan karakter adalah dengan mengalami proses. Termasuk kesusahan yang menyertainya, yang semua orang cenderung menghindarinya itu. Di akhir tulisan ada pengalaman masa kecil pribadi penulis sebagai salah satu inspirasinya.


Tantangannya, orang lebih suka yang mudah-mudah. Pun anak-anak kita. 


"Mudah" dan "gampang" itu pengertiannya sama. Dalam bahasa Inggris sama-sama memakai kata "easy". Seperti judul di atas. Namun, di sini saya ingin membahasnya dalam konteks pendidikan karakter.


Ketika mudah memperolehnya, maka orang akan cenderung menggampangkan. Mudah mempelajari cenderung juga mudah melupakan. Mudah menghafal, maka biasanya gampang hilang. 


Penghargaan terhadap sesuatu biasanya seiring dengan kadar kesulitan di dalam memperolehnya.


Misalnya, apa istimewanya sebuah slayer? Yang hanya selembar kain itu?

Tetapi kalau itu diperoleh melalui perjuangan berat saat outbound atau survival di tengah hutan hingga mendaki puncak gunung, maka slayer itu memiliki nilai yang tinggi. 


Sebuah piala bisa kita beli di manapun. Tetapi mereka yang memperolehnya dengan keringat bercucuran. Berlelah dalam perjuangan. Maka ia akan merawatnya baik-baik. Disimpan di lemari kaca yang bagus. Disimpan di ruang tamu.


Selembar sertifikat atau ijazah bisa kita print dari manapun. Tetapi sertifikat atau ijazah hasil dari belajar bertahun-tahun, kemudian melalui ujian maraton, maka kita menempatkannya di tempat yang strategis. Dibingkai dengan bingkai yang bagus. Sehingga setiap saat kita bisa memandangnya atau memperlihatkan kepada keluarga, sahabat dan handai-taulan.


Saya punya koleksi buku yang diperolehnya dengan menabung, atau menyisihkan gaji. Saya rawat baik-baik. Saya bersihkan. Saya rapikan. Saya belikan lemari buku dari kaca yang besar. Dan betapa senangnya melihat buku berjejer aneka judul.


Tetapi anak-anak saya berbeda. Mereka mendapat buku paket dari sekolah tiap tahun. Yang saya bayari itu, sebagai orang tuanya. Juga yang selalu baru tiap tahun itu. Tetapi karena tidak memperolehnya dengan susah payah, disimpannya buku itu asal-asalan. Seperti nggak butuh. Seperti tak ada penghargaan terhadap buku.


Demikian juga mereka yang suka menyisakan makanan atau makan hanya yang sesuai selera. Sangat mungkin belum pernah mengalami susahnya memperoleh makanan. Tidak tahu bagaimana susahnya menanam padi. Memanen, mengolahnya hingga jadi beras dan nasi. Beternak ayam atau ikan. Membuat sambal. Atau sekedar menggoreng tempe sambil panas-panasan di dapur.


Mereka yang memperoleh makanan hanya karena punya uang dan tinggal klik tombol di gadget maka biasanya penghargaan terhadap makanan juga minimal.  Tidak enak sedikit, maka tak mau makan.


Berbeda dengan mereka yang mengalami kesulitan saat mengikuti proses menjadi makanan siap makan, penghargaan mereka relatif lebih baik. Selalu menghabiskan makanan. Juga tidak tergantung selera dalam makan. Relatif selalu mensyukuri.


Saya, kalau ditanya," apa rasa makanan yang ada di rumah makan saat wisata kuliner?" Maka saya jawab, "rasanya antara enak dan ueeeenaaak." Bagi saya tak ada yang tak enak. Karena terbiasa makan yang tanpa rasa. Juga mengalami susahnya mengikuti proses hingga jadi makanan.


Maka dalam konteks pendidikan karakter,  salah satu yang harus dikenalkan kepada anak-anak kita adalah mengalami susahnya menjalani proses. Apakah itu menanak nasi, menanam hingga memasak sayur, beternak atau menangkap ikan, memelihara ayam, membuat kandang, mencari pakan, pupuk, kandang, menggunakan perkakas dll.


Semua hal di atas akan memberikan pengalaman dan sikap kesyukuran serta menghargai proses. Menumbuhkan karakter lebih bijak dalam bersikap. Bersabar dalam menunggu hasil. Serta mengapresiasi usaha orang lain. Empati terhada kesulitan. Mudah menolong orang.


Bukan bermaksud menarik mundur waktu.Tetapi itulah kenapa project semacam urban farming perlu kita coba. Sebagai pilihan. Tentu ada banyak pilihan lain.


Dulu, di bawah didikan Abah saya. Hingga usia SMP. Saya punya pengalaman beragam. Tahu proses tumbuh kembang ayam mulai dari berbentuk telur, dieram induknya, menetas, lalu memelihara hingga besar. Lalu menyembelih sendiri. Tahu cara melepaskan bulu dari tubuh ayam. Hingga masak dan menyantapnya. Komplit.


Tahu pertukangan hingga bisa membuat kandang ayam sendiri. Membuat sangkar burung juga pernah. Apalagi sekedar kandang jangkrik. Jadinya saya tahu bagaimana menggunakan alat-alat pertukangan yang manual.


Saya juga tahu mengetam padi pake ani-ani. Melepaskan bulir padi dari batang. Hingga menggiling padi ke heuler. Dengan bonus desak halus buat pakan ayam dan ikan.


Banyak keterampilan hidup yang saya pelajari. Dalam suasana alami pedesaan.

Maka, kalau saya mengamati anak-anak saya di sekolah alam, itu saya alami dulu secara alamiah. Saya sebenarnya alumnus sekolah alam juga, hehe. Malah jauh lebih dan tidak artifisial.


Semoga di sisa waktu ini saya masih diberi kesempatan untuk merekonstruksi pengalaman-pengalaman hidup itu menjadi referensi kurikulum pendidikan yang unik untuk anak-anak saya.




 



Tuesday, May 12, 2020

AGAR KERKELANJUTAN






Kios bunga (sumber: internet)



Sekarang bagaimana agar proyek urban farming bisa berkelanjutan?


Pertanyaan super penting ini pasti muncul. Mengingat penyakit kita yang suka "hangat-hangat tahi ayam", yang bagai kembang api di malam lebaran itu. Atau bagai kilat di tengah mendung itu. Hanya sejenak menggelegar lalu hilang. Paling banter cuma jadi fenomena musiman. Semisal tren semusim bunga "gelombang cinta" atau bunga pucuk merah itu. Lalu melempem dan biasa lagi.


Sayang sekali project urban farming kalau juga mengikuti pola di atas. Maka, hemat saya jangan biarkan project ini melenggang sendirian. Menjomblo tanpa bergandeng tangan. Bisa nelangsa nasibnya.


Artinya proyek ini harus kita  integrasikan dengan tema lain. Bisa bisnis. Bisa pendidikan. Bisa juga diadopsi jadi program pemerintah. Bisa juga jadi program CSR. 


Contoh saja yang sukses dengan diintegrasikan dengan bisnis. Lihatlah lapak-lapak bunga di pinggir-pinggir jalan. Ini sebenarnya project taman kota yang ditempelkan ke bisnis jualan bunga. 


Satu yang saya ingat betul, waktu dalam perjalanan ke Lembang. Di sepanjang jalan banyak kios penjual bunga. Deretan kios dengan bunga-bunga indah menjadikan sepanjang jalan praktis jadi taman terbuka yang indah nian dipandang. 


Saya jumpai juga saat dalam perjalanan menuju taman hutan raya Cibodas di Cianjur. Juga di jalan Pantura antara Tanjungpura Karawang dan By Pass jelang pusat kota. Dapat dilihat juga di jalan raya Kopo, dari pertigaan gerbang tol Cikampek arah Purwakarta sebelum Sate Maranggi Cibungur itu. Rerimbunan pohon dan warna-warni bunga begitu indahnya.


Dinas Pertamanan setempat bisa tak perlu keluarkan anggaran pemeliharaan. Cukup beri izin saja. Bahkan kalau saya jadi bupati, pasti akan saya modalin. Karena dua agenda pemerintah bisa jalan. Program berbasis kelestarian lingkungan dan ekonomi bisa tuna dengan sekali mendayung.


Di sini saya akan coba mengintegrasikan project urban farming ini dengan pendidikan dan bisnis sekaligus!


Pertama, setiap siswa SMP dan SMA diwajibkan punya project ini di rumah masing-masing. Sebagai pembelajaran tematik. Lalu capaian  aspek afektif, kognitif dan psikomotorik dari menjalankan project ini dijadikan nilai raport. Baik portofolio, narasi maupun angka.


Bahkan di Sekolah Alam mestinya ini bisa jadi kurikulum wajib personal di rumah semua siswa. Agar karakter anak yang bersahabat dengan alam terbawa dan terbukti di rumah dan lingkungan. 


Untuk level SMA bahkan harus sudah bisa menghasilkan uang.  Menjadikan urban farming sebagai lahan bisnis. Agar uang yang dikeluarkan orang tua tidak lagi sebagai biaya an sich. Tapi sebagai investasi. Harus menghasilkan keuntungan. Hasilnya untuk menabung buat biaya kuliah kelak.


Sudah waktunya anak kita yang SMA berfikir mandiri. Bisa menghasilkan uang dari tangan, keringat atau bisnis sendiri. Keterusan dibiayai sampai kuliah telah menjadikan anak-anak kita semakin terlambat mandiri.


Misalnya ada yang menyarankan anak kita yang level SMA berbisnis penggemukan kambing untuk suplai kebutuhan qurban dan aqiqah. Hasilnya cukup  menjanjikan. Penggemukan kambing sendiri adalah salah satu pilihan dari program urban farming. Selainnya adalah pembuatan susu segar siap minum dan susu kambing bubuk, pupuk organik, biogas, budidaya ikan tawar dinkoam terpal, budidaya magot atau cacing, teknik hidroponik, hidroganik, vertikal garden dll.


Jadi, urban farming memang bisa dijadikan pengalaman bisnis pertama anak-anak kita.


Kedua, biaya pembuatan urban farming masuk ke biaya kegiatan yang dicatat dan dikelola sekolah. Agar jelas hitung-hitungannya sebagai bagian dari biaya pendidikan.


Ketiga, pendampingan dilakukan oleh orang tua, guru, fasilitator dan expert. Benar-benar menerapkan prinsip, bahwa "it take a village to raise a child". Bahwa butuh orang sekampung untuk mendidik seorang anak. Bahwa butuh satu ton pendidikan untuk satu kilo karakter.


Nah, semakin menarik bukan? Bahwa project urban farming yang diawali dari ternak lele dalam ember bisa dikembangkan jadi gerakan pendidikan dan pemberdayaan ekonomi.


(Bersambung)







Saturday, May 9, 2020

SEBESAR APA?


Sumber : internet



Setelah memutuskan memilih urban farming sebagai project anak-anak kita. Muncul pertanyaan: seberapa besar skalanya project ini?


Saya suka dengan proses dinamis ini. Setelah project berjalan pasti akan muncul pertanyaan susulan mengiringi perjalanannya. Salah satunya ya ini: seberapa besar?


Kenapa? Karena kalau tujuannya menciptakan ketahanan pangan, maka berapa volume panen ikan yang harus dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan satu rumah dengan tujuh orang penghuni, misalnya?


Selain itu, setelah memulai project misalnya dari membuat kolam ember, nanti akan muncul pertanyaan susulan. Misalnya : ikan apa saja yg dipelihara? Apa cukup hanya ikan lele? Bagaimana kalau coba ikan nila dan fatin?

Lalu muncul lagi : untuk tanaman sayuran apa saja yang ditanam? 

Lalu : Untuk pemenuhan kebutuhan karbohidrat, apa yang perlu kita tanam? Bagaimana menanam ubi di lahan sempit, mungkinkah? Bagaimana menanamnya?

Lalu, muncul lagi : bisakah kita mengupayakan bahan pakan ikan dan pupuk organik dari proses yang berlangsung di rumah?


Beragam kegiatan yang terangkum dalam project ini penting untuk anak-anak ikuti. Agar mereka faham beragam aspek yang saling terkait. Agar faham secara general. Holistik.


Coba saja kita urai keterkaitan itu dari proses memelihara lele, nila, atau fatin.


Pendidikan karakter yang didapat :

  • Kesabaran, ketekunan,dan  ketelitian
  • Berbagi hasil panen dengan tetangga
  • Entrepreneurship semakin terasah
  • Leadership semakin kuat
  • Kesadaran dan tanggung jawab untuk hidup mandiri semakin kuat


Aspek pembelajarannya juga lengkap :


Aspek afektif :

  • Empati kepada para peternak
  • Syukur atas hasil


Aspek kognitif :

  • Faham perbedaan ikan lele, nila dan latin. Setidaknya nama latinnya bisa dihafal. Rasa dagingnya juga berbeda. Emmicu diskusi kalsifikasi makhluk hidup pada pelajaran biologi.
  • Menghitung kecepatan tumbuh tiga jenis ikan yang berbeda. Studi kasus pada pelajaran matematik.
  • Pengetahuan elektronik dasar dari instalasi pompa air aquarium untuk membuat sirkulasi air. Memicu diskusi prinsip motor listrik, dan trafo step-down.


Aspek psikomotorik

  • Keterampilan menakar pakan. Mencari pakan di pasar. 
  • Kemampuan membuat sendiri pakan dari bahan yang ada.
  • Keterampilan membuat pupuk organik, sekaligus menghasilkan pakan. Misalnya dengan beternak cacing tanah.
  • Skill marketing mulai diasah
  • Skill komunikasi dengan penjual benih ikan
  • Skill publik speaking saat menerangkan urban farming ke masyarakat.
  • Skill membuat presentasi project
  • Skill literasi dengan membuat jurnal harian project


Sekali lagi semua aspek di atas penting untuk difahami secara komprehensif, menyeluruh dan saling terkait, terintegrasi. Agar kelak anak kita tidak berfikir parsial. Walaupun saat kuliah mereka bisa mengambil spesialisasi di bidang tertentu.


Pemahaman secara komprehensif dan integral sangat penting untuk seorang pemimpin. Salah satunya, agar adil saat mengambil keputusan.



Wednesday, May 6, 2020

SENI MEMULAI



Sekarang waktunya memulai! 

Tantangan terbesarnya adalah melibatkan generasi milenial yang menganggap kalau "rebahan adalah solusi".  Apalagi saat wabah Covid-19. Ada ungkapan "Rebahan adalah jalan para pahlawan, merdeka!"

Ketika internet tersambung. Ketika informasi bisa diakses begitu mudah. Ketika banyak keinginan dan masalah yang bisa diselesaikan hanya dengan mengusap layar gadget sambil rebahan, maka menjadi tantangan tersendiri ketika membawa mereka kepada aktivitas yang menuntut gerak fisik.

Maka inilah seni melibatkan generasi yang akrab dengan rebahan itu.

Pertama, yang harus kita sadari adalah pentingnya keteladanan. Ini adalah kuncinya. Kita tidak bisa sekedar menyuruh mereka atau sekedar memotivasi atau memberi teori. Kita harus terlihat. Kita harus mencontohkan. Membuktikan. Memulai. 

Prosesnya adalah kita yang membuat project dulu. Menjadi starter. Lalu biarkan mereka mengikutinya. Lalu kita dampingi mereka saat mengikuti kita. 

Seperti halnya ketika bicara urban farming. Salah satu bentuknya adalah ternak lele di dalam ember. Ternyata sulit sekali kalau kita hanya menyuruh mereka membaca tutorial di yutub lalu mengharap mereka bergerak. Mereka akan bilang "mager, Bi!" Lalu rebahan lagi.

Maka yang harus kita lakukan adalah bergerak saja. Mengeksekusi apa yang dicontohkan di dalam tutorial sampai kelihatan bentuknya. Sambil melibatkan mereka di dalam prosesnya. Sambil mengobrol atau bercerita tentang teori ilmu pengetahuan terkait dengan apa yang sedang dilakukan.

Misalnya bagaimana memberi pakan ikan lele ketika tidak ada pelet. Ternyata di halaman kita ada cacing yang bisa digali dari tanah. Dari situ kita bisa bercerita bahwa di sekitar lingkungan kita ada kehidupan selain manusia. Ada rantai makanan. Dari situ kita bisa mengembangkan wacana bagaimana beternak cacing. Sesuatu yang sebelumnya tak terpikirkan sama sekali.

Ketika terpikir untuk membuat Vertical Garden di halaman rumah, maka saya memulainya dengan memulai bertanam di polybag. Lalu memanfaatkan botol dan gelas air mineral. Membuat pupuk dari sampah organik dll.

Jadi, bagaimana sebuah gagasan hebat dan ada tutorial di yutub selalu hanya jadi wacana, maka cobalah untuk menjadi pemicunya.

Sesederhana itu.

(Bersambung)

MENCARI MODEL BARU


 

Wabah Covid-19 memang sudah menjungkirbalikan institusi yang selama ini mapan. Termasuk institusi pendidikan. Sifat virus yang membuat interaksi manusia menjadi terbatas menjadikan interaksi dalam pendidikan berubah.

Lembaga bimbingan belajar online mengambil alih peran guru di ruang kelas. Orang tua kembali mengambil peran. Setidaknya menjadi partner guru. Mendampingi anak mengerjakan tugas berbasis kurikulum. 

Masalahnya,  kapan waktu berakhir wabah ini tidak jelas. Ada ahli memperkirakan sampai akhir tahun 2022. Pada intinya sampai anti-virus dan obat ditemukan. 

Kalaupun ketika vaksin ditemukan, lantas bagaimana ia bisa menjangkau 5 miliar penduduk bumi? tentu memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit

Situasi seperti ini jika terus berlanjut akan menimbukan tarik ulur.

Karena itu ketika bicara pendidikan anak-anak kita, apa yang akan terjadi? apakah akan terus seperti sekarang? Serba canggung? Serba darurat?

Lalu bagaimana dengan kelas yang lama ditinggal kosong? 
Bagaimana dengan peran guru yang tidak lagi berjalan sebagaimana biasanya?
Walaupun bisa dengan daring, tetapi pertemuan dengan guru secara fisik tidak bisa tergantikan seluruhnya oleh pertemuan daring.

Sebagian orang memilih menunggu hingga situasi normal kembali. Tapi bagi saya justru ini situasi yang tepat untuk coba mencari formula baru pendidikan.

Beberapa pihak menyodorkan solusi homeschooling. Karena praktis semua keluarga yang menerapkan phisical distancing menerapkan homeschooling.

Tetapi ada juga yang memandang ini adalah momentum untuk membuat prototipe yang lebih genuine pendidikan masa depan. Pendidikan yang ramah lingkungan, berbasis fitrah, berbasis keluarga, membangun kedaulatan keluarga, membangun karakter.

Pertanyaannya : Dari mana memulainya?

Memulai itu seringkali berupa respon terhadap masalah yang dihadapi. Misalnya ketika ditantang wabah Corona sekarang.  Gambaran prediksi ekonomi yang menghawatirkan memunculkan tatangan bagaimana  menciptakan kemandirian pangan.

Misalnya  urban farming yang dipilih. Ya sudah, bisa memulai dari sini. Bila sebelumnya sekedar hobi atau musiman lalu hilang lagi ketika situasi normal. Maka ini harus berbeda. 

Pertanyaannya: Bagaimana agar program ini bisa berkelanjutan? Siapa yang akan mengawalnya?

Di sinilah titik temunya. Anak-anak kitalah yang akan mengelolanya sebagai program sekolahnya. Lalu mengembangkannya. Lalu menularkannya hingga menjadi sebuah gerakan sosial. 

Dari sini diharapkan muncul kultur baru yang hijau ramah lingkungan, memandirikan ekonomi keluarga, menjadi benteng sosial dan ekonomi yang berkelanjutan.

Memang selalu ada tantangan. Di hadapan anak-anak kita ada alternatif lain yang lebih menarik atau lebih bergengsi. Daripada berkotor-kotor dengan tanah, mereka pasti lebih asyik mengikuti jejak  para youtuber kaya raya di usia muda hanya dengan membuat konten yang isinya hahaha hihihi. 

Tapi, dengan dialog. Saya yakin anak-anak kita akan mengerti. Anak saya contohnya.





Tuesday, May 5, 2020

MIMPI SEKOLAH IMPIAN



Pak, kita bikin sekolah yuk!" kata pak Aris kawan dekat saya. Suatu sore. Beberapa bulan lalu.

"Apa Pak?"

"Bikin sekolah!"

"Diulangi, Pak?"

"Iya, bikin sekolah!"

Sosok langsing ini memang suka membikin saya penasaran. Karena ia tak pernah becanda yang tak jelas.

"Nggak salah nih?"

"Serius, Pak"

"Seperti apa konsepnya?"

Lalu mengalirlah dari mulutnya konsep tentang membangun kemandirian finansial atau kewirausahaan. 

Jiwa enterpreneur membuatnya meyakinkan kalau bicara bisnis. Point pentingnya, uang yang dikeluarkan oleh orang tua nanti sifatnya bukan lagi biaya sekolah. Tapi sebuah investasi. Bisa balik modal dan untung. 

Saya yang suka menelusuri sebuah gagasan hingga ke dasar teorinya, langsung tertarik. Apalagi ini dekat dengan konsep pendidikan aqil baligh. 

Saya coba kaitkan dengan dalil dan siroh, yang saya pelajari di tema parenting yang saya tekuni. Ternyata saling menguatkan.

Kemudian konsep  enterpreneurship yang ditawarkan adalah Integrated Farming. Dengan kambing dan domba sebagai project model-nya. Jenis aktivitasnya sendiri ada tiga : breeding, fattening dan milking. Project ini nanti terintegrasi dengan pengelolaan sampah lingkungan, ternak ikan dan unggas.

Teori ini ternyata sejalan dengan data historis, bahwa para nabi adalah penggembala. Para nabi rupanya disiapkan dulu dengan jadi gembala. Sebagai sekolah kepemimpinan. Sebelum memimpin ummat. Dalam konteks ekonomi, bisnis berbasis kambing termasuk yang sustain.

Walaupun saya suka gagasan futuristik, tapi sisi konservatif juga tidak hilang. Misalnya, untuk urusan administrasinya bagaimana? 

Biasanya di situlah letak keruwetan sebuah sekolah. Bahkan sebuah konsep yang bagus banyak yang mentah ketika harus memenuhi tuntutan administrasi. Guru jadi lebih banyak mengerjakan laporan ketimbang mengawal proses pendidikan itu sendiri. Tapi, aspek administrasi sendiri tetap diperlukan untuk kerapihan pekerjaan dan akuntabilitas. 

Tapi kalau diingat bahwa saat SMA-lah konsep sekolah alam mestinya bisa dibuktikan outputnya : muda dan mandiri. Sedangkan jika dialihkan ke sekolah dengan genre berbeda besar kemungkinan akan  mentah lagi. Maka aspek administrasi ini harus disiasati. Bukan menjadi penghalang.

Tinggal, anak saya yang passion-nya di bidang IT, senangnya ngoprek laptop, apa mau ngangon kambing? Mau bermain tanah, cacing, magot, dan pupuk kandang?

Memang jadi tambah lieur. Tapi saya melihat ada secercah cahaya. Di ujung jalannya.

(Bersambung)







Monday, May 4, 2020

ASAL ADA KEMAUAN

Urban farming (sumber : internet)


Dengan alam Indonesia yang relatif subur . Juga hanya ada dua musim.  Maka mewujudkan swasembada pangan seharusnya bukan perkara yang sulit.

Bahkan ada istilah Koes Plus. Kalau di Indonesia ini tongkat saja dilempar bisa jadi tanaman. Dan ini bukan sihir. "Bukan lautan hanya kolam susu," karena betapa kayanya alam Indonesia.

Jadi, sebetulnya hanya satu saja syaratnya: KEMAUAN.

Misalnya tentang menanam sayuran di halaman. Apanya yang sulit? Suhu di kita tidak seterik Afrika. Juga tidak ada salju.  Tinggal buat media tanam sederhana. Jadi itu barang!

Saya yakin 100 persen anak-anak kita juga sangat mampu membuatnya.

Maka tidak perlu lama sebenarnya halaman rumah kita menjadi kebun sayur. Apalagi sekarang ada istilah urban farming. Yang cocok diterapkan di perkotaan. Ada juga yang menggunakan teknologi hidroponik. Juga ada yang sudah berhasil membuat budidaya padi hidroganik. Menanam padi di pot dan dan instalasi paralon. Sehingga hemat lahan. 

Gilanya lagi, semua pengetahuan tentang how to, tentang bagaimana caranya, semuanya ada di internet. Tinggal cari. Lengkap dengan video tutorial. Tak perlu datangkan seorang pakar atau penyuluh pertanian. Tinggal klik dan usap-usap layar hape.

Konsep swasembada pangan memang akan jauh lebih relevan kalau diterapkan di pedesaan. Karena  lahannya masih leluasa.

Anda boleh membayangkan dan berharap kalau dalam jangka panjang ini bisa mencegah urbanisasi. Bahkan bisa mengembalikan masyarakat yang dulu urbanisasi kembali ke desa. Kembali membangun desa yang dulu ditinggalkan. 

Dengan berbekal pengetahuan yang selama ini mereka terima di bangku kuliah tentu sangat menjanjikan.

Dan kata kuncinya adalah : ada yang memulai.

Sekarang, mari jadikan kita yang memulai di lingkungan tempat tinggal kita. Memberi contoh. Menulari. Bahkan memfasilitasi. 

Apakah kita mau memulainya, sekarang?



Sunday, May 3, 2020

SOSOK INSPIRASI

sumber :internet


Saat mengobrol dengan anak-anak, berdiskusi atau bercerita tentang masa depan. Tentang bagaimana menghadapinya, biasanya saya cerita sosok-sosok inspiratif.  Baik dari zaman baheula maupun dari zaman kiwari 

Dari sosok zaman kiwari muncul Mark Zuckerberg, Jack Ma, Steve Jobs, Bill Gates,  Nadiem Makarim, Belva atau Ahmad Zaki. Mereka yang sukses dengan berselancar di atas arus besar internet. Salah satu karya canggih manusia.

Mereka memang sukses besar. Tentu dengan ukuran subjektif duniawi. Lalu membuat orang terobsesi. Ingin meniru. Menjadi yang terhebat, terpopuler atau terkaya di dunia.

Sosok-sosok ini memang banyak diulas di berbagai forum. Mulai dari pelatihan marketing, motivasi bisnis, maupun di dunia pendidikan.

Dalam lingkup lokal muncul juga nama-nama pemuda sukses seperti pendiri Ruangguru, Kitabisa.com,  Traveloka, Bukalapak dan sebagainya. Mereka sosok millenial sukses dengan memanfaatkan teknologi informasi terkini.

Sedangkan dari zaman baheula yang biasanya di munculkan adalah sosok tauladan Rasulullah dan para sahabatnya. Lalu ada Muhammad Al-fatih atau Salahudin Al Ayubi.  Juga nama-nama lokal populer misalnya Bung Karno, Natsir, Hamka, hingga Pak Habibie.

Namun tetiba ada yang interupsi. Rasanya menghentak kesadaran. Berupa kasus stafsus milenial RI-1 yang dihujat dan dikritik. Karena memanfaatkan posisinya. Lantas dituding mengambil keuntungan materi di saat krisis Corona begini. Sebuah atraksi yang tidak bermoral.

Lalu muncullah diskusi yang seru. 

Mereka memang sukses muda. Juga sangat cepat. Ruangguru misalnya. Startup yang baru seumur jagung itu bisa melampaui capaian dari lembaga bimbel konvensional semacam Primagama, NF, GO dan sebagainya.

Di sektor filantropi, ada Kitabisa.com melampaui pencapaian lembaga formal-konvensional seperti Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, juga PKPU. 

Kekuatan internet memang membuat banyak pihak melejit, sementara yang lainnya berjatuhan. Memporak-porandakan rumus baku yang selama ini berlaku. Membuat terperangah orang-orang tua, tetapi sebaliknya dijadikan acuan dari anak-anak muda milenial.

Tetapi, dengan adanya kasus stafsus presiden di atas, sebagai orangtua saya merasa perlu meninjau ulang siapa sosok yang dijadikan inspirasi untuk anak-anak kita.

Anak-anak kita memang anak zamannya, tetapi ada yang tidak boleh untuk dilepaskan yaitu basis aqidah, dan basis akhkak.

Karena itu sosok inspiratif yang di diceritakan sebaiknya beragam. Karena anak-anak kita pun beragam potensinya unik. Setiap anak special edition. Tidak ada anak yang sama. Bahkan dengan kita orang tuanya.

Maka kita perlu menyampaikan beragam profil kesuksesan dari berbagai dimensi kehidupan. Juga tak sekedar sukses di dunia. Sukses di akhirat justru harus lebih kuat pesannya.

Termasuk ketika memang harus bersabar saat di dunia. Karena tidak semua ditakdirkan kelimpahan harta. Bisa karena Allah takdirkan begitu. Bisa  karena tengah berproses yang masih butuh jatuh bangun. 

Tetapi ukuran akhiratnya yang kudu kita pegang.

Saya jadi teringat saat pamitan ke seorang sesepuh waktu mau hijrah ke Karawang Jawa Barat dari Lumajang, Jwa Timur. Waktu itu saya silaturahim untuk pamitan dan minta doa. Beliaulah satu-satunya  orang tua yang menangisi kepergian saya ke Karawang. (Catt: beliau sekarang sudah wafat, lahul fatihah)

Nasihat yang saya ingat betul adalah "hati-hati dengan kekayaan".  Padahal saya juga tidak hijrah untuk meningkatkan kekayaan. Hanya pindah kerja. 

Lalu beliau mengatakan, kalau disuruh memilih antara jadi orang kaya atau orang miskin. Beliau lebih memilih jadi orang miskin. "Orang miskin lebih mudah masuk surga," katanya. 

Beliau memang dikenal sebagai sosok yang alim tapi sangat bersahaja. Karena itu dicintai oleh jamaahnya. Penghasilan sehari-hari adalah sebagai petani.

Ungkapan beliau setidaknya menjadi penyeimbang. Dari kebanyakan obsesi kita para orang tua tentang ukuran kesuksesan.

Setidaknya saya punya banyak tema cerita untuk anak-anak. Tak sekedar seorang Zuckenberg.

Maka saya tak menyesal saat menjadikan kakak kelas anak pertama saya, seorang putri kawan saya yang berjualan bubur, untuk dijadikan panutan. Karena ia sangat baik akhlak pada orang tua. Juga seorang aktivis kebaikan di lingkungannya.

KELUARGA : DARI KETAHANAN MENUJU PERADABAN

  Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...