Monday, April 27, 2020

PENDIDIKAN YANG MEMANDIRIKAN





Bayangkan, sebuah solusi yang menjawab dua persoalan sekaligus dihadirkan di hadapan kita! Apalagi ini sangat mendasar. Pertama tentang kemandirian ekonomi keluarga. Kedua tentang model pendidikan yang terjangkau oleh semua orang. Diringkas : pendidikan yang memandirikan.

Sebelumnya, memang ada yang terdengar lebih menarik : pendidikan yang memerdekakan. Tetapi rasanya ini lebih jelas dan terukur : pendidikan yang memandirikan. Walaupun ada juga titik temunya. Karena kemerdekaan yang hakiki adalah ketika kita bisa mandiri. Istilah Bung Karno-nya : Berdikari. Berdiri diatas kaki sendiri.

Awalnya, adalah virus Covid-19 yang menelanjangi kelemahan kita. Ternyata betapa rentannya kita ini. Lihat saja daya tahan ekonomi kita. Ketika kita tidak memiliki penghasilan kecuali dari pekerjaan, jasa atau dari perdagangan, ternyata kita dihadapkan pada jurang kemungkinan yang menakutkan. Ketika interaksi terbatasi,  lalu bertransaksi dengan orang lain terhambat. Ternyata kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kita terasa begitu lemahnya.

Lalu pandangan saya mengarah ke anak-anak kita yang dididik di sekolah dan kampus. Apa solusi yang anak-anak kita sodorkan?

Entah mata saya yang buram. Tapi saya belum melihat jalan terang itu. Saya belum melihat gerakan masif para pemuda ke arah sana. Saya malah melihat mereka yang merasa jadi pahlawan dengan cara "rebahan".

Padahal FAO sudah beri alarm krisis pangan dunia. Lendo Novo pegiat Sekolah Alam mulai berteriak, "Diet beras dan bangun keragaman Pangan Nusantara!"

Menariknya, wabah Covid-19 sendiri justru memunculkan satu institusi yang selama ini diabaikan. Institusi di mana kedaulatan ekonomi seharusnya terbangun. Tempat di mana pendidikan yang utama semestinya berlangsung.

Institusi itu bernama Keluarga! 

Maka inilah  tema kunci yang kita coba sinergikan : ekonomi, pendidikan, dan keluarga


Tetapi, rasanya ada pertanyaan yang menyeruak. Bagaimana kita para orang tua menjalankannya?
Lalu bagaimana dengan tugas dan fungsi lain keluarga, bagaimana menyeimbangkannya?

Salah satu isu penting ketika menggulirkan pendidikan berbasis keluarga adalah tentang mengaktifkan kesadaran dan peran aktif orangtua.

Kabar baiknya, secara fitrahnya semua orang tua pasti dimampukan mendidik. Lewat naluri atau fitrah keayahbundaan. Dua kekuatan hebat ini adalah energi tersembunyi yang selama ini menganggur :
Pertama, ayah sebagai penanggung jawab pendidikan anak. Ia sebagai penentu visi, misi dan strategi pendidikan. Dengan rasionalitasnya. Dengan wawasan dunia luarnya.
Kedua, ibu sebagai pendamping harian pendidikan anak. Lewat kebutuhan bicaranya. Kemampuan multitaskingnya. Kelembutannya. Empatinya. 

Lalu rumah sendiri adalah alam kecil yang bisa dijadikan media belajar. Lalu lingkungan sekitar sebagai laboratorium. Juga ajang pembuktian dan tempat mencari nara sumber belajar. Adanya internet semakin membuat optimisme kita. Membuat kita saling terhubung. Terakses ke sumber informasi tanpa batas.

Sebelum ke bagaimana mendidik, mari kita bicara latar dan fakta dulu.

Dunia nyata anak kita ternyata berbeda dari dunia versi sekolah yang selama ini mereka pelajari. Dunia yang mereka terima dari guru, adalah yang idealis, terstruktur, teoritis. Sedangkan dunia di atas tanah itu realistis, seringkali acak, kerap pragmatis. Banyak penyimpangannya dari idealita.

Itulah yang menyebabkan anak kita hidup di awang-awang. Tidak menginjak bumi.

Anak kitakah itu, saat Covid-19 begini malah cuek, tidak ada sense of crisis, lebih senang dengan hal remeh ketimbang melakukan hal produktif, lalu terobsesi kayak lewat jumlah subscribers Youtube ala Atta Halilintar dan Ria Ricis. Seharian tenggelam di layar gadget. Padahal kebanyakan  masalah nyata sehari-hari tidak bisa diselesaikan hanya dengan sapuan jari di layar hape. 

Sebagian lagi, sibuk dengan tugas-tugas sekolah dan kampus. Membuat para bunda belingsatan dengan pendampingan tugas anak. Yang mahasiswa tenggelam di kamar dengan tugas dan perkuliahan online. Ada di rumah tapi tak faham apa yang terjadi di rumahnya.

Kenapa tidak menjadikan isu kekinian dan masalah di depan mata dijadikan tema pembelajaran?

Misalnya, membuat bahan makanan yang akan mereka makan sehari-hari. Sekalian untuk siaga antisipasi krisis? Mampukah anak-anak kita mengusahakan sendiri?

Jadi, para ayah dan bunda...

Sekaranglah, waktunya anak-anak kita memahami proses dan pengorbanan. Buka mata mereka tentang mata rantai yang panjang serta proses yang melelahkan bagaimana makanan itu bisa nyampe ke mulut mereka. 

Mereka yang selama ini tahunya sudah dalam bentuk pecel lele, sekarang mereka harus mampu mengembangbiakan ikan lele. Memeliharanya sejak masih kecil hingga besar. Lalu mengolahnya sampai dikunyah di mulut. Proses mulai penyiapan kolam, penyediaan bibit, cari pakan, perawatan harian, dll.

Ini contoh sederhana solusi ekonomi keluarga sekaligus media anak mempelajari aspek ilmu pengetahuan yang terlibat di dalamnya 

Sebetulnya contoh di atas adalah bagian dari pembelajaran tematik menurut kurikulum 13. Di mana setiap siswa menguraikan dari peristiwa yang dialami ke dalam berbagai disiplin ilmu yang saling berkaitan. 

Saat beternak lele maka kita bicara tentang biologi bicara tentang klasifikasi makhluk hidup. Bicara tentang hewan vertebrata bertulang belakang. Bicara tentang bagaimana budidaya ikan. Bicara bagaimana membuat pakan ikan, lalu bagaimana menghitung biaya beternak. 

Di akhir proses dihitung berapa keuntungan yang diperoleh. Ini matematika, saat menghitung berapa rata-rata waktu yang diperlukan untuk bisa panen. 

Ketika kelebihan hasil lalu bisa dijual ini, maka ini bicara marketing yang selama ini mereka hanya belajar secara artifisial bernama marketing day.

Ada banyak tema lain yang bisa anak-anak kita lakukan di rumah. Bukankah ada banyak karya besar seperti Amazon, Apple, Disney, Hewlett-Packard, Google, Mattel, Harley-Davidson yang berasal dari garasi rumah?

Sekali lagi…

Pendidikan sesungguhnya adalah pendidikan yang memberikan solusi. Tidak hanya memberikan teori.

Jadi ketika sekarang kita dihadapkan pada dua permasalahan yaitu masalah ekonomi dan masalah pendidikan saat ini, apa solusi yang disodorkan anak-anak kita?

Rupanya saat Covid-19 inilah momentum besar kita untuk merekonstruksi kembali konsep pendidikan yang selama ini terlanjur mendominasi dan dianggap sudah final.

Ingin tahu kelanjutannya?

Ikuti terus serial tulisan ini...

Monday, April 20, 2020

DILEMA CORONA



Dunia memang sedang di reset. Termasuk keluarga saya.

Tak terbayangkan sebelumnya, sejak pertengahan Maret 2020 sejak corona mulai menyapa negeri ini, kami sudah melakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Dimana saya melarang anggota keluarga saya untuk bepergian. Kecuali keperluan mendesak. 

Biasanya saya atau istri yang pergi keluar, karena kalau anak-anak yang berangkat suka agak ceroboh. Itupun dengan protap waspada dan pencegahan, pake masker, dan saat pulang langsung cuci tangan. Kalau bawa uang tunai langsung di steam di atas kompor atau dibasuh dengan sabun. Jadinya interaksi kami dengan tetangga sangat minimalis.

Sholat berjamaah pun yang biasanya kami lakukan bersama anak laki-laki saya itu juga di off-kan dulu. Saya memang mengambil opsi fiqih yang untuk sementara tidak berjamaah di masjid selama wabah. Argumen atas pilihan ini sudah banyak bertebaran di berbagai media, jadi tidak perlu saya jelaskan lagi.

Jadi  kalau saya menyerukan orang lain untuk "di rumah saja", saya memang sudah memulai. Sejak awal wabah mulai melanda Jakarta itu. Dan Karawang dekat Jakarta. Apalagi Aa Gym di Bandung di waktu itu sudah mulai me-lockdown masjid legendaris Darut Tauhid.

Begitupun ketika sebagai keluarga Masjid BM, di awal-awal saya sudah menyampaikan ke ketua DKM bahwa pendapat fiqih yang saya pegang adalah mengambil rukhshah untuk berjamaah di rumah, juga dengan tujuan bahwa saya tidak ingin menulari yang lain. Jadi lebih dari sekedar mencegah dari ditulari virus.

Jadi kalau (naudzubillah) ada yang terkena covid19 di blok saya, saya punya keyakinan itu bukan tertular dari keluarga saya. Karena praktis keluarga saya sudah  PSBB secara mandiri. Bahkan dari tetangga kiri kanan. 

Bahkan saya sangat disiplin. Sampai anak saya yang besar pun yang laki-laki, ketika sebentar saja keluar lebih dari yang keperluan, sepulangnya saya marahi. Saya bilang "Kamu sudah membahayakan nyawa keluarga!" Padahal tidak biasanya saya bersikap keras seperti itu.

Pada saat yang bersamaan, saya berusaha tidak membantah pendapat fiqh yang berseberangan dengan pilihan saya. Saya hanya berdiskusi sebentar di grup pengurus DKM. 

Walaupun di grup WA Jamaah Masjid BM kerap muncul pendapat yang mendukung  agar tetap berjamaah di masjid, ya nggak apa-apa. Saya menghargai itu sebagai sebuah pendapat  yang sangat mungkin untuk berbeda.

Saya kalau ada info yang masih debatable biasanya saya sampaikan di grup pengurus DKM. Kalau ada yang lebih sensitif saya sampaikan ke Ketua DKM. Langsung via Japri. Seperti saat Masjid Agung Karawang ditutup untuk sholat jamaah. Karena bagi saya, menyampaikan informasi sensitif begini ke grup WA  jamaah Masjid, itu sama dengan ngajak ribut. Sedangkan kalau di sampaikan di grup pengurus masih berpeluang menjadi diskusi.

Kemudian tentang upaya jaga jarak sebagai cara pokok mencegah penularan. Ada beberapa yang saya catat di bawah ini...

Saya pikir pengurus DKM sudah maksimal dalam  menjaga agar di dalam masjid agar jamaah bisa jaga jarak.  Juga tentang kesterilan tempat. Tetapi memang masih ada bolongnya. Saat salat Jumat dua pekan lalu di mana di lantai 2 masih terjadi kerumunan. Baik saat duduk dan sholat maupun saat hendak keluar ruangan masjid. Anak-anak dan remaja memang yang masih sulit disiplin. 

Masalahnya, satu saja ada bolong, maka semua upaya yang lain (desinfectan, masker, shaff dibuat rengang, karpet digulung, ada tempat cuci tangan) bisa sia-sia.

Kemudian, ada lagi hal yang tidak kita sadari. Apa itu?

Bahwa  efek dari sikap keukeuh tetap meramaikan masjid walaupun sudah ada himbauan tutup masjid bagi daerah zona merah, rupanya ini berimbas pada sikap generasi muda yang cenderung menganggap enteng wabah korona. Kok bisa?

Pekan lalu saya bersama Pak RW mendatangi anak-anak muda yang suka nongkrong di Kafe J**n. Kami menjelaskan sewajarnya dan mereka sepakat untuk tidak nongkrong. Setelah itu juga ada Binwas ikut menegaskan. 

Tetapi apa yang terjadi?
Ternyata mereka tetap saja nongkrong, berkerumun. Kafe J**n tetap ramai saat malam hari. Prinsip jaga jarak benar-benar dikacangin. Dikentutin.

Ada pembicaraan di beberapa orang untuk melaporkan ke Babinsa atau ke Binwas. Biar  ada efek jera, sepertinya perlulah ditangkap salah satunya atau Si U** nya sekalian. Toh deliknya sudah jelas. Kalau mau operasi tangkap tangan juga gampang, tiap malam ramai nongkrong.

Tapi, saya jadi teringat saat diskusi dengan mereka, bahwa yang membuat mereka pada nongkrong adalah :

Pertama, karena mereka bosan di rumah. Mereka cari tempat buat menghilangkan stress. Ketemunya ya nongkrong di Kafe J**n itu."Biar imunitas terjaga," kata mereka.

Ada benarnya juga sih. Tapi sikap itu jelas hanya lari dari masalah. Bukan menyelesaikan masalah, seharusnya mereka mencari cara bagaimana agar tidak bosan saat di rumah. Sebenarnya banyak cara kalau mereka mau sedikit kreatif.

Kedua, mereka ternyata meniru bapak-bapak seniornya.
Benar, mereka ternyata  meniru sikap para bapak yang cenderung melakukan pelanggaran terhada upaya mencegah penularan virus.

Misalnya,  mereka beralasan bahwa saat Jumatan banyak yang dari luar Blok yang ikut. Tidak terfilter oleh DKM. Dan ini menjadi alasan mereka untuk membenarkan tindakan nongkrong di warung. "Kan itu juga bentuk kerumunan, kenapa orang luar blok T boleh ikut jumatan di sini?" kata mereka.

Juga, mereka merujuk pada bapak-bapak yang suka nongkrong di bawah gardu listrik RT 5, juga di RT 07 dekat Catering. Itu dijadikan alasan mereka untuk nongkrong juga. "Jadi kalau kami para remaja  itu dilarang nongkrong, maka bapak bapak itu juga harusnya dilarang nongkrong juga, donk!"

Artinya bahwa setiap sikap dan tingkah kita para orang tua  itu dilihat dan mempengaruhi persepsi dan sikap orang lain. Terutama anak-anak kita, remaja kita.

Jadi serba salah Pak RW. Walaupun sudah persuasif memberi penjelasan dan dibantu binwas tetap saja  tidak ditaati. Karena mereka saling meniru.

Jadi kalau ada anak muda dibawa ke polsek, maka pihak bapak-bapak juga harus dibawa juga. Berarti U**, pak A**, juga ketua DKM juga kalau begitu. Kalau nggak, ya Pak RW akan dibilang tidak adil!  hadeeuuuuh…

Ketiga, sikap-sikap ambigu dan pernyataan yang tidak tegas:
- Anjuran untuk "Waspada tapi jangan panik". Ini sikap tidak jelas jenis kelaminnya. Juga sulit diterapkan. Akhirnya yang ada adalah sikap normal saja, aman-aman saja, dan menggampangkan. 
- Beda pendapat di kalangan para ahli kesehatan dan juga ulama. Mulai dari kadar sifat mematikan virus, tingkat bahaya, kapan jam waktu jemur, aman-tidaknya kamar desinfectan, juga fiqh sholat jamah, dan jumat, serta tarawih.

Dua hal di atas membuat masyarakat terbelah. Ujungnya membuat sikap warga tidak banyak berubah. Karena tidak tegas pendapat pihak yang di atasnya.

Jadi mari kembali memulai dari diri sendiri! Upayakan apa yang bisa kita upayakan!

Kepada bapak-bapak yang punya anak remaja, berilah mereka contoh disiplin di rumah. Lalu minta anak-anaknya dengan amat sangat untuk tidak nongkrong di warung atau di tempat lainnya. Beri pemahaman mereka bahwa sikap itu beresiko membahayakan nyawa keluarganya. Sudah banyak contoh-contoh betapa sakit dan tersiksa ketika terinfeksi Corona, terutama yang gejala berat. 

Sudah banyak contoh juga di kalangan orang-orang sholeh (yang berpandangan positif terhadap Tuhannya) tetapi terkena juga. 

Memangnya siapa yang dapat mendikte kehendak Allah? 
Kewajiban kita hanya berdoa dan ikhtiar maksimal, lalu tawakal. Hasilnya? Kembali terserah Allah.

Apakah seterusnya kita akan tetap santai dan berkerumun?

Ini kembali ke pilihan kita. Tentu dengan kesiapan untuk menerima konsekwensinya.

Dan, jangan salahkan juga pihak-pihak yang selama ini sudah memberi peringatan...

Blok T278
21 April 2020.

KELUARGA : DARI KETAHANAN MENUJU PERADABAN

  Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...