Wednesday, October 10, 2018

SI AYAH DAN HP ANAKNYA



Malam itu ia tak mampu memejamkan mata. Tampilan layar HP Si Kasep anaknya bergelayut terus di otaknya. Sulit dihilangkan dari pikiran. Rangkaian chat anaknya yg jadi sebab. Ia gundah. Masih tak percaya. Sesuatu yg ia khawatirkan ternyata kejadian. Ia merasa gagal jadi ortu.

“Begitulah Ustadz, saya merasa gagal”. Ia pun tertunduk di hadapan Sang Ustadz. Guru dan panutannya selama ini. Masalah anaknya membuat Si Ayah memaksakan diri untuk konsul. Rasanya ia perlu pandangan dari yang lain. Kalau mengikuti nafsu, sudah ia sidang Si Kasep anaknya itu.

“Sudah separah apa memangnya Si Kasep?” Sang Ustadz coba urai masalah.

“Kalau melihat chat-nya sepertinya sudah pacaran Tadz. Sudah kelewat batas Ustadz obrolannya. Padahal selama ini. Saya sudah melarang keras. Nggak ada ceritanya anak saya pacaran” Si Ayah menambahkan. Agak emosi.

“Bagaimana dengan anak-anak yang lain?” Sang Ustadz masih kalem.

“Alhamdulillah, kalau adiknya, Si Eneng sih bagus. Mampu memegang prinsip. Ini kakaknya yang mahasiswa koq nggak kayak adiknya” Si Ayah kali ini berubah agak sumringah.

“Adiknya yang SMA yang akhwat itu ya?”Rupanya Sang Ustadz mengenal betul keluarga ini.

“Benar Ustadz. Si Eneng sih sudah sesuai harapan saya Ustadz. Akhwat banget pokoknya. Sudah bisa berdakwah ke teman-temanya” Si Ayah sedikit teralihkan fikirannya.

“Setelah Antum baca chat itu apa yg ada di benak, selain merasa gagal?”

“Sedih dan shock, Ustadz. Juga kehilangan kepercayaan. Di hadapan saya terlihat baik, ternyata di belakang saya seperti itu. Saya jadi tidak percaya ke anak saya”

“Nah, itu poinnya! Catat ya: kehilangan kepercayaan…! Itulah kenapa kita nggak boleh tajassus, memata-matai sesama muslim”, Sang Ustadz sepertinya sudah bisa menemukan inti masalah.

“Tajassus? Saya sudah tajassus, Ustadz?”

“Apalagi selain tajassus?”

“Khan ini ke anak sendiri? Khan, biar dia nggak keterusan? Makanya saya cari tahu isi chat anak saya. Kalau nggak cari-cari bagaimana saya tahu kesalahan anak saya. Daripada saya tahunya lewat orang lain, Ustadz?” Si Ayah merasa sudah benar.

“Apa arti tajassus tadi?”

“Mmm...mencari-cari kesalahan, Ustadz”

“Siapa yg menjadi khitob perintah ini di Al Qur'an?”

“Maksud Ustadz?”

“Coba baca, di surah Al Hujurat ayat 12, larangan tajassus atau mencari-cari kesalahan orang lain, memata-matai, itu diperuntukkan untuk orang beriman. Sebagai Akhlak pergaulan antar orang beriman. Nah, Si Kasep itu orang beriman bukan?”

“Iya Ustadz” Si Ayah masih agak bingung. Kenapa larinya ke tajassus?

“Berlaku juga kan ayat ini?”

“Tapi…”

“Begini, jangan karena jadi ortu lantas merasa punya otoritas untuk mencari tahu rahasia atau memata-matai anak!” nada Sang Ustadz agak ditinggikan.

“Tapi, bagaimana kita memantau pergaulan anak saya kalau tidak cari tahu?”

“Nah di situlah luar biasanya pedoman Qur'an. Sekarang, bukankah dengan mengetahui rahasia anak, sekarang jadi kehilangan kepercayaan ke anak sendiri?”

“Iya Tadz”

“Kalau sudah kehilangan kepercayaan, bukankah semua ucapan Si Kasep jadi nggak dipercaya lagi? Jadinya terjangkit suudzhon, bukan?”

“Iya Ustadz” Si Ayah mulai tersudut jadinya. Sesuatu yang tidak terduga sebelumnya.

“Lalu bagaimana kita akan mendidik dan memimpin keluarga kalau sudah kehilangan kepercayaan? Dengan mencari-cari kesalahan anak, berarti kita bukan lagi pembimbing, tapi sudah jadi intel dan polisi. Sebentar lagi nanti jadi jaksa sekaligus hakim!” Nada Sang Ustadz semakin meninggi. Seperti memberi penekanan.

“Koq jadi begini Tadz? Berarti saya yang salah, bukan anak saya?” Sang Ayah merasa jadi tertuduh.

“Ya, muhasabahlah… itu lebih baik. Terutana ttg bagaimana selama ini mendidik Si Kasep hingga jadi seperti itu. Bisa jadi kita selama ini merasakan telah mendidik, padahal hanya menyekolahkan. Itu tidak memadai. Kita selama ini hanya fokus ke pembiasaan ibadah dan akhlaq anak kita, tanpa peduli aqidahnya. Padahal aqidah itulah yg membuat anak takut bermaksiat walaupun tidak ada orang tua. Ada keyakinan akan pengawasan Allah. Oiya, sedikit perbandingan, pekan lalu ada sahabat saya yang sangat dihormati di masyarakat nangis bombay ke sini. Anaknya ketahuan chating porno. Kirim foto selfi “bagian bawah” ke pacarnya. Si Kasep mah masih mending cuma chating biasa”

“Astagfirullah, tapi sekarang kan dengan gadget di tangan membuat ortu semakin khawatir saja, Ustadz. Makanya ada yg tergoda untuk mematai-matai anak sendiri, seperti saya”

“Begini, kalau saya cari-cari, saya mata-matai anak, saya korek-korek HP anak saya, sangat mungkin anak saya lebih buruk dari Si Kasep dan anak teman saya itu. Tapi saya memilih untuk tidak kehilangan kepercayaan ke anak saya. Tidak ingin kehilangan rasa bangga. Kalau dia punya kesalahan, biar dia dan Allah saja yang tahu. Karena itulah yg membuat saya bisa bergaul dengan lepas, dengan cinta, dengan bahagia. Toh, bukankah kita juga punya aib yang tidak ingin anak sendiri tahu?” Sang Ustadz memungkasi tausiyahnya.

“Antum punya pengajian anak muda kan?” Sang Ustadz melebarkan topik pembicaraan.

“Iya Tadz, anak-anak tetangga”.

“Nah, begitu juga semestinya perlakukan mereka”

“Baik Tadz, jazakallah ilmunya. Sungguh saya masih harus banyak belajar bagaimana mendidik anak”

“Waiyyakum, saya pun masih koq. Kita sedang sama-sama belajar. Walaupun mendidik anak zaman now terasa susah, tapi jangan sampai paranoid, panik dan pesimis, apalagi menabrak aturan. Toh, anak kita sudah baligh, sudah seperti kita orang dewasa. Harus dengan cara ke orang dewasa juga. Nggak bisa seperti ke anak kecil yang belum baligh. Terpenting, tugas mendidik anak tetap kita jalankan”

The end…

No comments:

Post a Comment

KELUARGA : DARI KETAHANAN MENUJU PERADABAN

  Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...