Tuesday, October 16, 2018

DARI BANDUNG, KAMPANYE AQIL BALIGH BERGAUNG


Gaung itu memang dari Bandung. Tepatnya dari ITB. Lebih tepat lagi dari kompleks Masjid Salman.  Masjid legendaris seniornya masjid kampus  di Indonesia. Salah satu masjid paling sibuk. Dimana pengelolanya adalah mahasiswa.  Dengan anggaran yang katanya 38 Miliar setahun. Ya, 38 Miliar!

Penulis sendiri punya kesan khusus dengan masjid ini. Pertama, ketika membaca buku terbitan Pustaka-Salman ITB saat SMA dulu tahun 1990an. Karangan Muhammad Quthb. Judulnya “Jahiliah Masa Kini”. Ini buku agama yang beda. Biasanya tentang  fiqh ibadah. Buku yang berisi fakta tentang akumulasi kejahiliyahan sejak  zaman Nabi Adam. Semua berkumpul di abad ini. Buku itu membuat pembacanya menjadi tersadarkan dan bersemangat  untuk berubah. Spirit ini yang memang tidak diperoleh di buku fiqh.

Kedua, Masjid Salman kembali menjadi latar dari sebuah kesadaran baru. Bila sebelumnya  disadarkan sebagai individu. Kali ini  disadarkan   sebagai seorang kepala keluarga. Kalau dulu tentang jahiliah abad 21. Kali ini tentang fenomena kegagalan pendidikan di keluarga, penyebab kejahiliyahan anak-anak kita.

Judul acaranya:  Seminar  Intensif Pendidikan  Aqil Baligh atau PAB. Karena acara dua hari, tanggal 19 dan 20 September 2018 lalu. Jadinya menginap di Wisma Dago. Karena bawa nyonya. Letaknya di seberang masjid.  Jadi bisa shalat magrib, isya dan shubuh di sana. Menikmati ruangan sejuk dan lantai kayunya. Jadi bisa mendengar bacaan imam yang mirip Muzammil Hasaballah. Arsitek lulusan ITB yang jadi simbol generasi millenial yang sholeh. Tapi kali ini bukan Muzammil. Tapi tetap semerdu Muzammil. Sayangnya  tidak panjang surat yang dibaca. Pendek saja. Tapi tetap bikin betah.

Masjid Salman saat Maghrib

Istilah Aqil Baligh ini sudah lama akrab sebenarnya. Sejak mengikuti serial seminar  Fitrah Based Education di Jakarta yang digagas Harry Santosa. Sampai Seri ke-7 kalau tak salah.  Inti FBE adalah bahwa mendidik anak itu menumbuhkan fitrah, makanya  dinamai Fitrah Based. Filosofinya bukan mencetak manusia unggul. Tapi menumbuhkan keunggulan,  kemuliaan dan keunikan fitrah. Meliputi fitrah keimanan, perkembangan, intelektual, seksualitas, moralitas, individual, sosial, bakat, bahasa, estetika. Nah, di ujung dari proses  itu adalah sebuah profil Generasi Aqil Baligh.  Seorang dikatakan Aqil Baligh ketika semua fitrah tumbuh optimal saat usia baligh.

Ternyata istilah Generasi Aqil Baligh (dengan huruf kapital) ini awalnya dari Ust. Adriano Rusfi. Seorang psikolog senior. Pembina Masjid Salman ITB. Beliau inilah pemateri tunggal seminar dua hari itu.
Ust. Adriano Rusfi

Di seminar ini, Ust. Adriano memberi pemaknaan Aqil Baligh bukan sekedar dalam konteks fiqh sebagai sebuah keadaan  dimana seseorang yang mencapai baligh dengan akal yang normal, yang sejak itu mulai berlaku kewajiban syariat. Menurutnya, Aqil Baligh adalah keadaan yang harus diraih oleh pendidikan Islam, yaitu generasi yang sanggup memikul beban syariah. Di mana beban syariah itu sendiri tidak sekedar beribadah saja.  Seluruh syariat puasa, zakat, haji, dakwah, memimpin, amar makruf nahi munkar berkeluarga mencari nafkah. Semuanya berlaku.


Di masyarakat kita sendiri, apabila berbicara batas usia dewasa memang beragam, menurut aturan yang berlaku ada beberapa perbedaan, misalnya :

  1. Hukum Perdata : 21 tahun,
  2. Hukum Pidana : 16 tahun,
  3. Kompilasi Hukum Islam (KHI) : 21 tahun, Selain itu dalam Hukum Islam juga dikenal istilah "baligh". Baligh merupakan istilah dalam Hukum Islam yang menunjukkan seseorang telah mencapai kedewasaan. "Baligh" diambil dari kata bahasa Arab yang secara bahasa memiliki arti "sampai", maksudnya "telah sampainya usia seseorang pada tahap kedewasaan". Secara hukum Islam, seseorang dapat dikatakan baligh apabila mengetahui, memahami, dan mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, serta telah mencapai usia 15 tahun ke atas dan atau sudah mengalami mimpi basah (sumber : wikipedia).
  4. Hukum Adat : Tidak mengenal batasan umur.
  5. Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) : Pria 19 tahun dan Wanita 16 tahun
  6. Undang-Undang Lalu Lintas : 17 tahun,
  7. Undang-Undang Kependudukan : 17 tahun, 
  8. Undang-Undang Pemilihan Umum : 17 tahun
Di dalam Islam sendiri ada angka-angka "keramat" yang menunjukan waktu:
  • Dua tahun masa disusui
  • Tujuh tahun mulai diperintahkan sholat
  • Sepuluh tahun saat boleh dipukul ketika anak tidak mau diperintah sholat
  • Saat baligh, saat berlaku hukum syariah
  • Empat puluh tahun, usia nabi saat diangkat jadi Rasul, juga disebut dalam Al Ahqaf 15. Usia peran dan amal optimal dimulai.
  • Enam puluh tahun, rata-rata usia manusia.
Ternyata di balik angka angka yang disebutkan di atas, ada makna yang dalam. Bagi para orang tua atau pendidik, saat baligh tiba itulah saat semua variabel keberhasilan pendidikan seharusnya dilihat. Bila belum mencapai aqil berarti misi pendidikan belum dikatakan tuntas. (Kalau saya memilih kata yang lebih tegas : GAGAL )

Ust. Adriano juga menekankan sinergi ayah bunda. Dalam hal ini mengingatkan peran ayah yang lebih banyak disebut di Al Quran terkait pendidikan anak. Bahwa dari 17 ayat tentang dialog orang ta ke anak, 14 ayat adalah tentang dialog ayah dan anak.


Selama ini para orang tua menganggap wajar saja  saat anaknya yang mencapai baligh menjadi “remaja”  yang nakal. “Namanya juga remaja, wajarlah. Kita juga pernah mengalami”, begitulah biasanya para ortu memaklumi. Padahal itu adalah tanda kegagalan mendidik.

Selama ini kita hanya fokus ke target membangun karakter. Tapi sama sekali tidak memperhatikan target waktu. Maka dianggap bukan masalah ketika  seorang sudah lulus S2, tapi melamar kerja masih didampingi ortu. Kita anggap wajar usia 20 tahun masih belum siap menikah.

Kita selama ini pandai mengidentifikasi masalah, tapi gagal mencari sumber masalah. Di konsep Pendidikan Aqil Baligh ini sumber masalah itu jelas dan tegas : ketika aqil tidak membersamai baligh.

Ketika kematangan biologis tiba, nafsu mulai bicara, dorongan syahwat mulai aktif. Ketika pahala dan dosa berlaku. Maka ketika itu tidak diimbangi kematangan mental, maka dari sinilah awal petaka: ketidakjelasan orientasi hidup, galau akut, ketidakmandirian,  pacaran, pergaulan bebas, kenakalan remaja, kriminalitas, narkoba, bahkan penyimpangan seksual. Karena dorongan dari dalam diri itu kalau tidak disalurkan ya dikendalikan. Bukan disalahartikan, bukan kemudian diberi saluran yang salah, atau dimaklumi kesalahannya.

Bagi para orang tua, konsep Pendidikan Aqil Baligh adalah sebuah konsep mendidik yang bersumber dari Islam. Artinya ia ada sejak Islam itu ada. Sebenarnya di Indonesia sendiri, konsep Aqil Baligh sebenarnya bukan barang baru juga, UU Pendidikan dan Pengajaran RI tahun 1951 menyatakan bahwa : “Putra-putri Indonesia yang telah berusia 15 tahun harus mampu melakukan seluruh peran dan tanggung jawab orang dewasa”. Usia 15 tahun sangat dengan dengan keadaan baligh.

Karena tanggung jawab pendidikan ada pada orang tua, maka mengaktifkan fitrah orang tua untuk mendidik anak dengan komitmen untuk menghantarkan anaknya Aqil di usia baligh menjadi isu utama seminar ini.

Berikut konstruksi Sistem dan Proses Pembelajaran pada Pendidikan Aqil Baligh

SISTEM PEMBELAJARAN

A. ASUMSI DASAR PEMBELAJARAN
  1. Anak adalah calon aqil-baligh dan mukallaf
  2. Allah telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang sempurna, mulia, dan berdaya
  3. Allah telah menjadikan kehidupan ini sempurna dan mudah, dan tak akan membebani hambaNya kecuali sesuai dengan kadar kesanggupannya
  4. Allah telah menjadikan kehidupan ini sebagai ladang, permainan, dan cobaan
  5. Allah itu hidup, berdiri, dan mengurusi makhlukNya
  6. Kesuksesan di dunia merupakan salah satu indikator kesuksesan di akhirat
  7. Keterlibatan dalam realita kehidupan di dunia dengan segala konsekuensinya merupakan prasyarat keimanan dan surga
  8. Kehidupan adalah guru yang terbaik, sehingga Anak harus diberikan kesempatan seluas mungkin untuk menjalani dan belajar dari kehidupan.

B. PRAKONDISI PEMBELAJARAN
  1. Merupakan representasi dari kehidupan nyata
  2. Berfikiran terbuka
  3. Memiliki kebebasan berekspresi
  4. Pengelolaan diri maksimal
  5. Tanggung jawab maksimal
  6. Tersedia sistem konsekuensi spontan
  7. Tersedianyan aktivitas sosial
  8. Tersedianya sistem pembelajaran orang dewasa
C. METODE PEMBELAJARAN
  1. Luar-ruang (outdoor)
  2. Belajar sendiri (Self-learning)
  3. Belajar dari kehidupan itu sendiri (real-life experiential learning)
  4. Belajar mandiri (self-motivated learning)
  5. Pembelajaran swa-kelola (self-managed learning system)

D. KARAKTERISTIK PEMBELAJARAN
  1. Terpadu (Integrated),
  2. Tematik (Thematic),
  3. Tut Wuri Handayani (Supportive),

PROSES PEMBELAJARAN
  1. Pemberian Tugas (tasking)
  2. Melaksanakan Tugas (Behaving)
  3. Meraih Pengalaman (Experiencing)
  4. Belajar Dari Pengalaman (Learning)
inilah  Generasi Aqil Baligh!


Terakhir, peserta seminar itu tidak sekedar menerima materi, tetapi diharapkan menjadi menyebar misi setelahnya. Sebuah misi mulia yang menantang.

Merubah mindset memang tidak mudah. Apalagi merubah kultur pendidikan. Apalagi membuat arus baru di masyarakat. Tetapi semua berawal dari niat. Tetapi, demi generasi penerus yang lebih baik, bismillah...

Peserta Seminar PAB angkatan 1 dan 2


Wednesday, October 10, 2018

SI AYAH DAN HP ANAKNYA



Malam itu ia tak mampu memejamkan mata. Tampilan layar HP Si Kasep anaknya bergelayut terus di otaknya. Sulit dihilangkan dari pikiran. Rangkaian chat anaknya yg jadi sebab. Ia gundah. Masih tak percaya. Sesuatu yg ia khawatirkan ternyata kejadian. Ia merasa gagal jadi ortu.

“Begitulah Ustadz, saya merasa gagal”. Ia pun tertunduk di hadapan Sang Ustadz. Guru dan panutannya selama ini. Masalah anaknya membuat Si Ayah memaksakan diri untuk konsul. Rasanya ia perlu pandangan dari yang lain. Kalau mengikuti nafsu, sudah ia sidang Si Kasep anaknya itu.

“Sudah separah apa memangnya Si Kasep?” Sang Ustadz coba urai masalah.

“Kalau melihat chat-nya sepertinya sudah pacaran Tadz. Sudah kelewat batas Ustadz obrolannya. Padahal selama ini. Saya sudah melarang keras. Nggak ada ceritanya anak saya pacaran” Si Ayah menambahkan. Agak emosi.

“Bagaimana dengan anak-anak yang lain?” Sang Ustadz masih kalem.

“Alhamdulillah, kalau adiknya, Si Eneng sih bagus. Mampu memegang prinsip. Ini kakaknya yang mahasiswa koq nggak kayak adiknya” Si Ayah kali ini berubah agak sumringah.

“Adiknya yang SMA yang akhwat itu ya?”Rupanya Sang Ustadz mengenal betul keluarga ini.

“Benar Ustadz. Si Eneng sih sudah sesuai harapan saya Ustadz. Akhwat banget pokoknya. Sudah bisa berdakwah ke teman-temanya” Si Ayah sedikit teralihkan fikirannya.

“Setelah Antum baca chat itu apa yg ada di benak, selain merasa gagal?”

“Sedih dan shock, Ustadz. Juga kehilangan kepercayaan. Di hadapan saya terlihat baik, ternyata di belakang saya seperti itu. Saya jadi tidak percaya ke anak saya”

“Nah, itu poinnya! Catat ya: kehilangan kepercayaan…! Itulah kenapa kita nggak boleh tajassus, memata-matai sesama muslim”, Sang Ustadz sepertinya sudah bisa menemukan inti masalah.

“Tajassus? Saya sudah tajassus, Ustadz?”

“Apalagi selain tajassus?”

“Khan ini ke anak sendiri? Khan, biar dia nggak keterusan? Makanya saya cari tahu isi chat anak saya. Kalau nggak cari-cari bagaimana saya tahu kesalahan anak saya. Daripada saya tahunya lewat orang lain, Ustadz?” Si Ayah merasa sudah benar.

“Apa arti tajassus tadi?”

“Mmm...mencari-cari kesalahan, Ustadz”

“Siapa yg menjadi khitob perintah ini di Al Qur'an?”

“Maksud Ustadz?”

“Coba baca, di surah Al Hujurat ayat 12, larangan tajassus atau mencari-cari kesalahan orang lain, memata-matai, itu diperuntukkan untuk orang beriman. Sebagai Akhlak pergaulan antar orang beriman. Nah, Si Kasep itu orang beriman bukan?”

“Iya Ustadz” Si Ayah masih agak bingung. Kenapa larinya ke tajassus?

“Berlaku juga kan ayat ini?”

“Tapi…”

“Begini, jangan karena jadi ortu lantas merasa punya otoritas untuk mencari tahu rahasia atau memata-matai anak!” nada Sang Ustadz agak ditinggikan.

“Tapi, bagaimana kita memantau pergaulan anak saya kalau tidak cari tahu?”

“Nah di situlah luar biasanya pedoman Qur'an. Sekarang, bukankah dengan mengetahui rahasia anak, sekarang jadi kehilangan kepercayaan ke anak sendiri?”

“Iya Tadz”

“Kalau sudah kehilangan kepercayaan, bukankah semua ucapan Si Kasep jadi nggak dipercaya lagi? Jadinya terjangkit suudzhon, bukan?”

“Iya Ustadz” Si Ayah mulai tersudut jadinya. Sesuatu yang tidak terduga sebelumnya.

“Lalu bagaimana kita akan mendidik dan memimpin keluarga kalau sudah kehilangan kepercayaan? Dengan mencari-cari kesalahan anak, berarti kita bukan lagi pembimbing, tapi sudah jadi intel dan polisi. Sebentar lagi nanti jadi jaksa sekaligus hakim!” Nada Sang Ustadz semakin meninggi. Seperti memberi penekanan.

“Koq jadi begini Tadz? Berarti saya yang salah, bukan anak saya?” Sang Ayah merasa jadi tertuduh.

“Ya, muhasabahlah… itu lebih baik. Terutana ttg bagaimana selama ini mendidik Si Kasep hingga jadi seperti itu. Bisa jadi kita selama ini merasakan telah mendidik, padahal hanya menyekolahkan. Itu tidak memadai. Kita selama ini hanya fokus ke pembiasaan ibadah dan akhlaq anak kita, tanpa peduli aqidahnya. Padahal aqidah itulah yg membuat anak takut bermaksiat walaupun tidak ada orang tua. Ada keyakinan akan pengawasan Allah. Oiya, sedikit perbandingan, pekan lalu ada sahabat saya yang sangat dihormati di masyarakat nangis bombay ke sini. Anaknya ketahuan chating porno. Kirim foto selfi “bagian bawah” ke pacarnya. Si Kasep mah masih mending cuma chating biasa”

“Astagfirullah, tapi sekarang kan dengan gadget di tangan membuat ortu semakin khawatir saja, Ustadz. Makanya ada yg tergoda untuk mematai-matai anak sendiri, seperti saya”

“Begini, kalau saya cari-cari, saya mata-matai anak, saya korek-korek HP anak saya, sangat mungkin anak saya lebih buruk dari Si Kasep dan anak teman saya itu. Tapi saya memilih untuk tidak kehilangan kepercayaan ke anak saya. Tidak ingin kehilangan rasa bangga. Kalau dia punya kesalahan, biar dia dan Allah saja yang tahu. Karena itulah yg membuat saya bisa bergaul dengan lepas, dengan cinta, dengan bahagia. Toh, bukankah kita juga punya aib yang tidak ingin anak sendiri tahu?” Sang Ustadz memungkasi tausiyahnya.

“Antum punya pengajian anak muda kan?” Sang Ustadz melebarkan topik pembicaraan.

“Iya Tadz, anak-anak tetangga”.

“Nah, begitu juga semestinya perlakukan mereka”

“Baik Tadz, jazakallah ilmunya. Sungguh saya masih harus banyak belajar bagaimana mendidik anak”

“Waiyyakum, saya pun masih koq. Kita sedang sama-sama belajar. Walaupun mendidik anak zaman now terasa susah, tapi jangan sampai paranoid, panik dan pesimis, apalagi menabrak aturan. Toh, anak kita sudah baligh, sudah seperti kita orang dewasa. Harus dengan cara ke orang dewasa juga. Nggak bisa seperti ke anak kecil yang belum baligh. Terpenting, tugas mendidik anak tetap kita jalankan”

The end…

KELUARGA : DARI KETAHANAN MENUJU PERADABAN

  Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...