Gaung itu memang dari Bandung. Tepatnya dari ITB. Lebih tepat lagi dari kompleks Masjid Salman. Masjid legendaris seniornya masjid kampus di Indonesia. Salah satu masjid paling sibuk. Dimana pengelolanya adalah mahasiswa. Dengan anggaran yang katanya 38 Miliar setahun. Ya, 38 Miliar!
Penulis sendiri punya kesan khusus dengan masjid ini. Pertama, ketika membaca buku terbitan Pustaka-Salman ITB saat SMA dulu tahun 1990an. Karangan Muhammad Quthb. Judulnya “Jahiliah Masa Kini”. Ini buku agama yang beda. Biasanya tentang fiqh ibadah. Buku yang berisi fakta tentang akumulasi kejahiliyahan sejak zaman Nabi Adam. Semua berkumpul di abad ini. Buku itu membuat pembacanya menjadi tersadarkan dan bersemangat untuk berubah. Spirit ini yang memang tidak diperoleh di buku fiqh.
Kedua, Masjid Salman kembali menjadi latar dari sebuah kesadaran baru. Bila sebelumnya disadarkan sebagai individu. Kali ini disadarkan sebagai seorang kepala keluarga. Kalau dulu tentang jahiliah abad 21. Kali ini tentang fenomena kegagalan pendidikan di keluarga, penyebab kejahiliyahan anak-anak kita.
Judul acaranya: Seminar Intensif Pendidikan Aqil Baligh atau PAB. Karena acara dua hari, tanggal 19 dan 20 September 2018 lalu. Jadinya menginap di Wisma Dago. Karena bawa nyonya. Letaknya di seberang masjid. Jadi bisa shalat magrib, isya dan shubuh di sana. Menikmati ruangan sejuk dan lantai kayunya. Jadi bisa mendengar bacaan imam yang mirip Muzammil Hasaballah. Arsitek lulusan ITB yang jadi simbol generasi millenial yang sholeh. Tapi kali ini bukan Muzammil. Tapi tetap semerdu Muzammil. Sayangnya tidak panjang surat yang dibaca. Pendek saja. Tapi tetap bikin betah.
Masjid Salman saat Maghrib |
Istilah Aqil Baligh ini sudah lama akrab sebenarnya. Sejak mengikuti serial seminar Fitrah Based Education di Jakarta yang digagas Harry Santosa. Sampai Seri ke-7 kalau tak salah. Inti FBE adalah bahwa mendidik anak itu menumbuhkan fitrah, makanya dinamai Fitrah Based. Filosofinya bukan mencetak manusia unggul. Tapi menumbuhkan keunggulan, kemuliaan dan keunikan fitrah. Meliputi fitrah keimanan, perkembangan, intelektual, seksualitas, moralitas, individual, sosial, bakat, bahasa, estetika. Nah, di ujung dari proses itu adalah sebuah profil Generasi Aqil Baligh. Seorang dikatakan Aqil Baligh ketika semua fitrah tumbuh optimal saat usia baligh.
Ternyata istilah Generasi Aqil Baligh (dengan huruf kapital) ini awalnya dari Ust. Adriano Rusfi. Seorang psikolog senior. Pembina Masjid Salman ITB. Beliau inilah pemateri tunggal seminar dua hari itu.
Ust. Adriano Rusfi |
Di seminar ini, Ust. Adriano memberi pemaknaan Aqil Baligh bukan sekedar dalam konteks fiqh sebagai sebuah keadaan dimana seseorang yang mencapai baligh dengan akal yang normal, yang sejak itu mulai berlaku kewajiban syariat. Menurutnya, Aqil Baligh adalah keadaan yang harus diraih oleh pendidikan Islam, yaitu generasi yang sanggup memikul beban syariah. Di mana beban syariah itu sendiri tidak sekedar beribadah saja. Seluruh syariat puasa, zakat, haji, dakwah, memimpin, amar makruf nahi munkar berkeluarga mencari nafkah. Semuanya berlaku.
Di masyarakat kita sendiri, apabila berbicara batas usia dewasa memang beragam, menurut aturan yang berlaku ada beberapa perbedaan, misalnya :
- Hukum Perdata : 21 tahun,
- Hukum Pidana : 16 tahun,
- Kompilasi Hukum Islam (KHI) : 21 tahun, Selain itu dalam Hukum Islam juga dikenal istilah "baligh". Baligh merupakan istilah dalam Hukum Islam yang menunjukkan seseorang telah mencapai kedewasaan. "Baligh" diambil dari kata bahasa Arab yang secara bahasa memiliki arti "sampai", maksudnya "telah sampainya usia seseorang pada tahap kedewasaan". Secara hukum Islam, seseorang dapat dikatakan baligh apabila mengetahui, memahami, dan mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, serta telah mencapai usia 15 tahun ke atas dan atau sudah mengalami mimpi basah (sumber : wikipedia).
- Hukum Adat : Tidak mengenal batasan umur.
- Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) : Pria 19 tahun dan Wanita 16 tahun
- Undang-Undang Lalu Lintas : 17 tahun,
- Undang-Undang Kependudukan : 17 tahun,
- Undang-Undang Pemilihan Umum : 17 tahun
- Dua tahun masa disusui
- Tujuh tahun mulai diperintahkan sholat
- Sepuluh tahun saat boleh dipukul ketika anak tidak mau diperintah sholat
- Saat baligh, saat berlaku hukum syariah
- Empat puluh tahun, usia nabi saat diangkat jadi Rasul, juga disebut dalam Al Ahqaf 15. Usia peran dan amal optimal dimulai.
- Enam puluh tahun, rata-rata usia manusia.
Ust. Adriano juga menekankan sinergi ayah bunda. Dalam hal ini mengingatkan peran ayah yang lebih banyak disebut di Al Quran terkait pendidikan anak. Bahwa dari 17 ayat tentang dialog orang ta ke anak, 14 ayat adalah tentang dialog ayah dan anak.
Selama ini para orang tua menganggap wajar saja saat anaknya yang mencapai baligh menjadi “remaja” yang nakal. “Namanya juga remaja, wajarlah. Kita juga pernah mengalami”, begitulah biasanya para ortu memaklumi. Padahal itu adalah tanda kegagalan mendidik.
Selama ini kita hanya fokus ke target membangun karakter. Tapi sama sekali tidak memperhatikan target waktu. Maka dianggap bukan masalah ketika seorang sudah lulus S2, tapi melamar kerja masih didampingi ortu. Kita anggap wajar usia 20 tahun masih belum siap menikah.
Kita selama ini pandai mengidentifikasi masalah, tapi gagal mencari sumber masalah. Di konsep Pendidikan Aqil Baligh ini sumber masalah itu jelas dan tegas : ketika aqil tidak membersamai baligh.
Bagi para orang tua, konsep Pendidikan Aqil Baligh adalah sebuah konsep mendidik yang bersumber dari Islam. Artinya ia ada sejak Islam itu ada. Sebenarnya di Indonesia sendiri, konsep Aqil Baligh sebenarnya bukan barang baru juga, UU Pendidikan dan Pengajaran RI tahun 1951 menyatakan bahwa : “Putra-putri Indonesia yang telah berusia 15 tahun harus mampu melakukan seluruh peran dan tanggung jawab orang dewasa”. Usia 15 tahun sangat dengan dengan keadaan baligh.
Karena tanggung jawab pendidikan ada pada orang tua, maka mengaktifkan fitrah orang tua untuk mendidik anak dengan komitmen untuk menghantarkan anaknya Aqil di usia baligh menjadi isu utama seminar ini.
Berikut konstruksi Sistem dan Proses Pembelajaran pada Pendidikan Aqil Baligh
SISTEM PEMBELAJARAN
A. ASUMSI DASAR PEMBELAJARAN
- Anak adalah calon aqil-baligh dan mukallaf
- Allah telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang sempurna, mulia, dan berdaya
- Allah telah menjadikan kehidupan ini sempurna dan mudah, dan tak akan membebani hambaNya kecuali sesuai dengan kadar kesanggupannya
- Allah telah menjadikan kehidupan ini sebagai ladang, permainan, dan cobaan
- Allah itu hidup, berdiri, dan mengurusi makhlukNya
- Kesuksesan di dunia merupakan salah satu indikator kesuksesan di akhirat
- Keterlibatan dalam realita kehidupan di dunia dengan segala konsekuensinya merupakan prasyarat keimanan dan surga
- Kehidupan adalah guru yang terbaik, sehingga Anak harus diberikan kesempatan seluas mungkin untuk menjalani dan belajar dari kehidupan.
B. PRAKONDISI PEMBELAJARAN
- Merupakan representasi dari kehidupan nyata
- Berfikiran terbuka
- Memiliki kebebasan berekspresi
- Pengelolaan diri maksimal
- Tanggung jawab maksimal
- Tersedia sistem konsekuensi spontan
- Tersedianyan aktivitas sosial
- Tersedianya sistem pembelajaran orang dewasa
- Luar-ruang (outdoor)
- Belajar sendiri (Self-learning)
- Belajar dari kehidupan itu sendiri (real-life experiential learning)
- Belajar mandiri (self-motivated learning)
- Pembelajaran swa-kelola (self-managed learning system)
D. KARAKTERISTIK PEMBELAJARAN
- Terpadu (Integrated),
- Tematik (Thematic),
- Tut Wuri Handayani (Supportive),
PROSES PEMBELAJARAN
- Pemberian Tugas (tasking)
- Melaksanakan Tugas (Behaving)
- Meraih Pengalaman (Experiencing)
- Belajar Dari Pengalaman (Learning)
inilah Generasi Aqil Baligh! |
Terakhir, peserta seminar itu tidak sekedar menerima materi, tetapi diharapkan menjadi menyebar misi setelahnya. Sebuah misi mulia yang menantang.
Merubah mindset memang tidak mudah. Apalagi merubah kultur pendidikan. Apalagi membuat arus baru di masyarakat. Tetapi semua berawal dari niat. Tetapi, demi generasi penerus yang lebih baik, bismillah...
Peserta Seminar PAB angkatan 1 dan 2 |