Tuesday, May 10, 2016

Dari BREAKING THE LIMIT Ke HUSNUL KHOTIMAH




Di pelataran Masjid Agung
Syiarul Islam, Kuningan
Udara yang dingin, bacaan imam yang panjang saat sholat Subuh, dan jamaah yang khusyuk. Itulah suasana Jumat pagi di Masjid Agung Syiรกrul Islam Kuningan, tujuh Mei kemarin. Memang terasa spesia karena amat jarang saya berkesempatan sholat di situ. Apalagi sholat Subuh. Masjid Agung yang dulunya bernama Al Manar ini, menjadi transit sebelum ke lokasi tujuan. Saya bersama rombongan dari Insan Cendekia Madani BSD hendak menuju Pondok Pesantren Husnul Khotimah, Manis Kidul, Kuningan. Rombongan terdiri dari Ustadzah Uli, Fathia dan Mas Yanto. Saya sendiri ikut nebeng saja sebenarnya. Ingin mendampingi Si Teteh tampil di hadapan santri HK yang terkenal alim dan pintar-pintar. Ponpes HK sendiri kini menjadi salah satu destinasi favorit para santri untuk menuntut ilmu agama dan umum secara terintergrasi. Mereka datang dari berbagai daerah. Seleksi masuknya juga semakin ketat saja. 


Kedatangan kami memenuhi undangan dari OSHK (OSIS Husnul Khotimah), di mana anak saya Fathia diminta sharing. Mungkin karena ada sedikit pengalaman yang dianggap perlu dibagi ke teman-temannya sesama siswa atau santri. Terutama pengalaman menulis buku yang memang masih jarang dilakukan oleh anak sekolah menengah. Meski diinisiasi penuh oleh santri, secara tidak langsung acara ini adalah ajang silaturahim dua lembaga pendidikan Islam : Insan Cendekia Madani BSD dan Ponpes Husnul Khotimah Kuningan. Permintaan tersebut adalah lanjutan dari silaturahim sebulan sebelumnya yang dilakukan saat Si Teteh pulang ke kampung Abinya. Saya memang lahir dan besar di Kuningan. Pada kesempatan itu kami berjumpa dengan Ustadzah Mia Rusmia dan pengurus OSHK (OSIS-nya ponpes HK). Silaturahim itu ternyata berlanjut ke permintaan mengisi acara di atas. 

Bertemu Ustzh Mia Rusmia
Pembina asrama santri putri

Selepas sholat subuh saya ganti pegang setir. Gantian dengan Mas Yanto yang asli Cilacap itu. Ia kelihatan ngantuk sekali. Ada guna juga saya ikut. Bisa jadi sopir cadangan. Sedangkan Si Teteh dan Ustadzah Uli tetap dibiarkan terlelap di kursi tengah hingga tiba di lokasi sekitar pukul tujuh pagi.

Setelah tiba di lokasi dan berkordinasi dengan panitia serta menikmati sarapan pagi dan bersih-bersih badan dengan siraman air yang dingin menggigit, kami menuju tempat acara di Masjid Al Husna 2 yang terletak di tengah-tengah kompleks asrama santri putri. Sayapun kebagian jadi juru foto dadakan.

Dengan persiapan yang cukup ringkas dan praktis karena bertempat di masjid, di mana tidak perlu ada kursi untuk peserta, pukul 09.00 acara dimulai. Tidak ada sambutan ini itu yang biasanya ada. Fathia langsung menyampaikan pemaparan materi, tepatnya sharing pengalaman. Sepertinya ia cukup lelah karena harus begadang malam sebelumnya ditambah perjalanan enam jam Serpong-Kuningan. Ini membuatnya kurang full power, sehingga volume suara kurang lantang. Mungkin juga karena posisi mic-nya kurang dekat. Syukurnya ia sempat membuat slide powerpoint. Cukup membantu alur pemaparan ringkasnya.



Setengah jam ia memaparkan materi. Tema  yang saya tangkap adalah tentang mencari keunikan diri, kepenulisan, serta dibumbui tema tentang Si Virus Merah Jambu. Tiga tema ini memang tema yang klik banget. Karena ia tidak berwacana. Ia berbicara berdasarkan pengalaman pribadinya. 

Setelah pemaparan singkat, ia lanjut dialog interaktif. Pertama ia meminta lima peserta menyampaikan mimpi-mimpinya. Terlihat sekali, santri putri HK memang pintar-pintar, kritis dan percaya diri. Pada kesempatan berikutnya ia memberi kesempatan peserta bertanya.

Konsep mencari jati diri dan keunikan diri ia peroleh langsung dari sang maestro Talents Mapping, Ir. Rama Royani atau Abah Rama. Di mana ia sempat mengikuti ToT basic level pada bulan September tahun lalu di Jakarta. Sehingga saat ditanya bagaimana menggali keunikan diri, ia bisa menjawab dengan lugas. Menurutnya ada dua cara  menggali potensi keunikan diri. Pertama dengan melakukan beraneka ragam kegiatan, kemudian temukan yang paling disukai dan paling mudah dikuasai. Karena Allah tidak memberi tahu kita secara langsung tentang keunikan kiita. Harus dicari. Cara mencarinya dengan mencoba banyak kegiatan. Ia sendiri sebelumnya suka mencoba berbagai hal. Mulai baca puisi, pidato, memainkan musik degung, memainkan drum perkusi, mengorganisir klub sepeda. Juga backpaker, fotografi, drama, broadcasting,  menulis sampai camping. Sampai akhirnya bertemu dengan potensi dan kekuatan dirinya yang paling kuat. Menjadi diri sendiri. Konsep pencarian ini dalam istilah Ayah Edy disebut metode ayakan pasir.
cita-cita para santri...semoga Allah kabulkan...amiin..


Cara kedua, dengan mengikuti semacam talents mapping assesment melalui situs  www.temubakat.com yang bahkan ada yang tersedia secara gratis. Tapi syaratnya tetap harus melakukan banyak kegiatan terlebih dahulu sebelumnya, sehingga asesmen bisa akurat.
 
Saat berbicara tentang konsep keunikan diri, iapun dengan jujur mengakui kalau dalam aspek akademik sangat mungkin para Santri HK lebih hebat dibanding dirinya. Karena pada dasarnya semua anak itu unik. Semua anak istimewa pada bidang peran yang sesuai bakat dan kekuatannya.

Saat ditanya tentang menulis. Iapun menjawab simple saja, tulis saja apa yang ada di fikiran. Jangan terlalu ribet dengan tata bahasa. Ya, memang se-simple itu membuat tulisan. Memakai otak kanan dulu baru memakai otak kiri. Kalau tentang sistematika tulisan dan editing sesuai tata bahasa, bisa mudah berkonsultasi dengan guru bahasa dalam hal ini.

Seperti biasa, tema yang menjadi penyegar adalah saat bicara virus merah jambu. Mirip bumbu penyedap atau sesendok sambal pada semangkuk bakso. Bagaimana menyikapi cowok yang nembak atau mengajak jadian. Ini tema yang selalu membuat riuh peserta. Apalagi yang cerita sesama abege seusia. Sepertinya memang lebih mudah dicerna ketimbang yang bicara seorang dewasa yang langsung menyerukan “Sudah, putusin aja!” walau lengkap dengan rentetan dalil ayat dan hadits.
Semisal bagaimana menyikapi dengan benar dan elegan tanpa harus mengambil opsi pacaran, Si Teteh menjelaskan bahwa pacaran itu akan lebih banyak merugikan, apalagi di pihak perempuan. Terutama ketika sedang berproses mencari potensi dan keunikan diri, bisa berantakan karena waktu dan perhatian akan terbagi bahkan habis mengikuti maunya sang pacar. Karena biasanya akan sulit keluar dari agenda bersama sang pacar. Tidak leluasa lagi! 

Alhamdulillah, hingga usai acara relatif berjalan lancar.  Begitu usai, sesi foto-foto dan ajang selfie serta minta tanda tangan melengkapi keriuhan acara yang digelar di masjid Al Husna 2 ini. Mirip acara temu artis, hehe.


Bila sebelumnya saya menyaksikan dan mendampingi langsung bagaimana anakku menjadi seorang penulis saat masih SMP, maka pada kesempatan ini saya menyaksikan proses menjadi seorang publik speaker di masa SMA.  Benar juga kata Jamil Azzaini seorang motivator nasional,  bahwa kartu nama seorang motivator atau public speaker itu adalah buku. Bedanya, bila Jamil Azzaini menjadikan buku sebagai pendukung peran motivator dan public speaking-nya, sedang anakku mengikuti saja alur bakat yang sudah ia ketahui. Tidak ada obsesi sebelumnya ingin jadi pembicara atau motivator.  Just following the flow!   Di mana setelah buku perdananya itu terbit, kemudian ia beberapa kali diminta berbagi cerita pengalaman seputar mencari potensi diri, tentang dunia kepenulisan hingga si virus merah jambu. Mulai FORNUSA Jabar yang bertempat di Salman ITB, STIKES KHARISMA Karawang menyelengarakan acara bedah buku, Komunitas ODOJ Karawang yang selenggarakan seminar motivasi. Terakhir, anak-anak OSHK Ponpes Husnul Khotimah Kuningan ini yang memintanya sharing. Semua mengalir saja.


Menyaksikan tumbuh kembang anak memang amat mengasyikkan dan membahagiakan. Dari tidak tahu menjadi tahu. Dari tidak bisa menjadi bisa. Dari anak kecil yang masih imut-imut menjadi sosok yang punya prinsip, konsep diri yang jelas, juga sikap yang tegas.  Rupanya di sinilah salah satu kebahagiaan orang tua yang sesungguhnya. Seperti seorang petani yang berbahagia saat melihat benih yang ditanamnya tumbuh subur. Saat daunnya hijau dan rimbun. Karena memang tak perlu menunggu berbuah untuk merasakan bahagia.Tak perlu harus masuk di universitas elit, atau menjadi pejabat atau pengusaha untuk dikatakan sukses dan bahagia. Berbahagialah ketika anak-anak kita sudah tahu siapa dirinya dan siapa Tuhannya, mengabdi pada-Nya, serta memberi manfaat kepada yang lain...


Karawang, 10 Mei 2016




KELUARGA : DARI KETAHANAN MENUJU PERADABAN

  Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...