Wednesday, September 9, 2015

Agar Pewarisan Dakwah Tidak Terputus





"Kalau sudah besar kami tidak mau menjadi seperti abi dan ummi, kami ingin menjadi muslim yang biasa-biasa saja"

Suara hati anak-anak aktivis dakwah di atas tertuang bagian pengantar buku "Ingatlah untuk Bercermin". Ditulis seorang yang juga aktivis dakwah Salim A Fillah. Hasil dari sebuah jajak pendapat sederhana pada suatu ketika, pada anak-anak kader pegiat dakwah.


Suatu waktu mereka sempat suarakan secara berjamaah. Mereka komplain, kenapa abi-umminya bisa berlapang dada pada orang lain, pada mad'u, pada masyarakat, tetapi kenapa sulit berlapang dada pada anak-anak sendiri. Abi-ummi mereka cenderung reaktif, juga gampang marah. Gampang memotong pembicaraan. Otoriter. Maka anak-anak itu  cemburu. Mereka heran. Mereka menderita. Tetapi mereka hanya bisa diam. 

Terakhir, adalah puisi seorang anak aktivis yang baitnya berbunyi :

.....

Teruntuk umi tersayang.., abi tercinta
terasa amat jauh, antara ketaatanku
dibandingkan dengan segala pengorbanan yang engkau berikan
terlihat begitu tertinggal diriku
dari jutaan amal kebaikan yang telah engkau wujudkan
terdengar sangat menyakitkan
bahwa dakwahmu,
justru diteruskan bukan dari generasi yang terlahir dari rahimmu

....
bait puisi yang membuat seorang ust Shohibul Iman tak mampu menahan isak tangis...


Uraian di atas sungguh menjadi peringatan bagi para aktivis dakwah. Bahwa pewarisan perjuangan bisa mengalami keterputusan justru pada nasabnya sendiri. Ketika anak biologis sang da'i justru tak berhasrat melanjut dan merajut perjuangan abi-umminya.

Sungguh menyesakkan dada. Bahwa orang paling dekat dengan sang aktivis justru yang tidak merasakan dakwah itu sendiri. Padahal setiap hari segala sumber daya dikerahkan untuk berdakwah. Seluruh wilayah dijelajah. Seluruh kampung dikunjung. Seluruh negeri disambangi. Untuk dakwah. Menggelar tarbiyah. Menebar syiar. Menggerakan ummat.

Segala pengorbanan itu kerap diiringi harap bahwa dengan segala niat baik untuk dakwah, maka Allah yang jaga dan lindungi anak-anak. Membimbing mereka dengan cara-Nya.

Tapi deretan fakta di atas sungguh membuat kita galau. Adakah yang salah dengan sikap para orang tua yang aktivis itu kepada anak-anaknya?

Sikap terbaik memang tidak buru-buru menyalahkan pihak lain, apalagi berburuk sangka pada Allah. Semisal salahkan saudaranya yang dianggap tak saling meringankan beban hingga beban bertumpuk pada segelintir orang, atau menyalahkan zaman yang berubah atau tantangan yang berbeda. Ada juga yang salahkan guru dan sekolahnya. Suara lain menyalahkan mahalnya Sekolah Islam, sehingga anaknya terpaksa masuk sekolah umum dan terbawa pergaulan buruk. Jadilah si anak tak berhasrat dengan segala yang berbau kerohanian Islam.

Duhai ummi dan abi....

Anak kita ada aset, bukan sekedar anak biologis yang bernasab ke kita. Mereka adalah calon pelanjut estafeta dakwah. Mereka adalah sumber do'a yang dirindukan kelak. Dari do'a mereka kita berharap ada syafaat yang kan selamatkan kita dari terjerumus ke neraka yang pedih. Duhai indahnya mahkota surga dari hafalan-hafalan mereka.

Namun jangan sampai harapan ini sirna karena ulah kita sendiri. Karena sikap kita sendiri yang tak dinyana ternyata salah . Ternyata kita lalai dengan mad'u yang dekat, tahu-tahu derita anak bertumpuk tumpuk. Kegelisahan, kesepian, marah, kesal bertumpuk bak gunungan sampah di jiwa mereka. Tanpa mengerti bagaimana membuangnya. Memunculkan polusi yang baunya akibatkan kebencian dan trauma. Padahal yang dibenci adalah jalan ke surga. Jalan para Nabi dan Shahabat-nya nan mulia.

Duhai ummi dan abi...

Jangan sampai sakit nan tek terperi saat persalinan dan beban berat saat membesarkan anak justru berujung fitnah nan menyesakkan.

Maka cobalah kita bermuhasabah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah. Barangkali memang ada fase-fase yang terlewati untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi pendidikan anak. Barangkali memang ada cara pandang dan fikir  yang perlu dibenahi.

Mudah-mudahan Allah tunjukan jalan untuk perbaiki kualitas pendidikan anak-anak kita. Insya Allah masih ada waktu. Sehingga pewarisan perjuangan dakwah tidak berhenti justru di anak-anak kita.


  1. [   ] Sudahkan kita berdo'a di setiap kesempatan agar anak kita menjadi pejuang-pejuang agama-Nya? tidak "hanya" jadi anak yang sholeh?
  2. [   ] Sudahkan kita hadir di jiwa anak dengan  memeluknya, dengan menatapnya penuh sayang?
  3. [   ] Sudahkah kita bercerita tentang alam sekitar sebagai ciptaan-Nya?
  4. [   ] Apakah kita selalu berupaya menjumpai mereka dengan wajah cerah dan gembira?
  5. [   ] Sudahkah kita menerangkan bahwa makanan yang masuk itu adalah rizki dari-Nya?
  6. [   ] Sudahkah mengatakan bahwa pakaian yang dipakai ananda adalah pemberian dari-Nya?      bahwa abi umi hanya perantara saja?
  7. [   ] Sudahkah kita menerangkan bahwa alam semesta ada yang mengaturnya dengan sempurna?
  8. [   ] Sudahkah menerangkan sesuai bahasa mereka bahwa burung-burung di angkasa, ikan yang berenang, semut yang merayap adalah makhluk ciptaan-Nya?
  9. [   ] Apakah kita selalu menerima dan merengkuh saat mereka memburu kita begitu pulang dari tempat kerja?
  10. [   ] Sudahkah kita menyegerakan memenuhi panggilan anak, agar kelak mereka percaya bahwa kita bisa dipercaya?
  11. [   ] Sudahkah memanggil mereka dengan panggilan sayang "Jundi sholih, kebanggaan abi, yang pintar" sebelum menyuruh mereka sholat, baca qur'an atau berkata jujur? dan setelah itu memberi penjelasan kenapa kita sholat, kenapa kita baca qur'an kenapa kita tak boleh bohong, kenapa tak boleh syirik pada Allah?
  12. [   ] Sudahkah kita jadi teladan dalam bagi anak-anak? tidak sekedar jadi tukang suruh dan larang?
  13. [   ] Sudahkan kita menerangkan dengan penuh sayang bahwa abi-dan umi akan menuntut ilmu saat akan berangkatke majelis halaqah?
  14. [   ] Sudahkah menjelaskan bahwa abi dan umi sedang tunaikan amanah dakwah untuk kejayaan Islam saat pergi malam-malam mengisi halaqah-halaqah tarbiyah?
  15. [   ] Sudahkah kita menerima perasaan mereka saat marah, kecewa, gelisah, cemburu, kesal...?
  16. [   ] Sudahkah kita memberikan apresiasi atas proses yang dikerjakan anak?
  17. [   ] Sudahkan memberi mereka kepercayaan untuk menetukan sendiri apa yg akan mereka lakukan?
  18. [   ] Sukakah kita bermain bersama, belajar besama, membaca buku bersama?
  19. [   ] Pernahkah kita main hujan-hujanan di halaman dan berlarian bermain lepas di bawah guyuran hujan?
  20. [   ] Sudahkah ayah menyempatkan pergi berdua bergantian dengan setiap anak. Semata untuk menemani dan mendengarkan? bukan dalam rangka  menasihati atau menyelidiki.
  21. [   ] Apakah ayah bunda kadang dilanda merasa cemas akan masa depan ananda, ketika ananda kalah ranking di kelasnya?
  22. [   ] Apakah ayah bunda  merasa wajib memasukkan ananda ke PAUD?
  23. [   ] Apakah ayah bunda kerap merasa was-was dengan masa depan yang semakin kompetitif?
  24. [   ] Apakah sering bingung dengan kegiatan ananda saat liburan?
  25. [   ] Apakah memasukkan ananda ke sekolah favorit dirasakan relatif lebih menjamin kesuksesan masa depan ananda?
  26. [   ] Ayah bunda merasa bahwa sekolah Islam lebih menjamin pendidikan agama ananda sehingga apapun akan diupayakan agar ananda dapat bersekolah di sekolah Islam, walaupun mahal biayanya?
  27. [   ] Apakah ayah memandang bahwa pendidikan anak itu urusan bunda?dan tugas ayah fokus ke mencari nafkah?
  28. [   ] Apakah ayah berpandangan bahwa ayah harus menjaga wibawa di mata anak sehingga tidak perlu terlalu akrab dengan anak
  29. [   ] Apakah komunikasi ayah lebih to the point agar menjaga wibawa dan ketegasan, sehingga cukup sedikit kata yang diucap. Misal "Kak, sholat!" 

Bila jawaban no 1-20 adalah  "ya" bersyukurlah, insya Allah itu indikasi upaya menjadi ortu yang semestinya.
Bila jawaban 21-29 adalah "ya", tandanya kita harus belajar lagi jadi ortu.









No comments:

Post a Comment

KELUARGA : DARI KETAHANAN MENUJU PERADABAN

  Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...