Wednesday, September 23, 2015

Qowiy dan Amiin


Qowiyyun Amin adalah karakter Nabi Musa ‘Alaihissalaam yang diabadikan dalam Al-Qur’an Surat ke-28 :26, saat beliau masih belum diangkat menjadi Nabi dan Rosul ketika itu. Lari dari negeri Mesir dalam sesal dan takut. Lelah yang belum lagi luruh, letih yang belum juga pergi.

Syahdan, hingga tiba di negeri Madyan,  saat ia melihat ada orang yang kesusahan ia pun masih saja rela tanpa pamrih membantu dan menolong, padahal dirinya sendiri sangat membutuhkan pertolongan. Merekalah anak-anak dari Nabi Syu’aib ‘Alaihissalaam. Atas karakter inilah Nabi Musa kemudian diangkat menjadi karyawan oleh Nabi Syu’aib, membantu bekerja mengembala ternak dan segala macam urusan dalam beberapa tahun lamanya.

Qowiy artinya kuat yang dalam dunia usaha bisa mencakup kompetensi, professionalism dan sejenisnya. Amin artinya amanah; dapat dipercaya.

Dunia usaha, dunia bisnis, kata para pakar entrepreneur, modal utama bukanlah uang, melainkan kepercayaan. Integritas! Begitu pula yang membuat Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihii wassalaam dapat sukses dalam setiap perniagaannya hingga mengantarkan kepada kegemilangan, tak lain adalah:  kepercayaan. Al Amin.

Kalau mau meringkas, harapan kita pada kualitas pribadi hasil dari proses tarbiyah bisa diwakili oleh dua kata di atas. Kalau dalam bahasa Inggrisnya kader dakwah memiliki strength dan integrity. Kalau saya lebih suka meminjam dari Ir Rama Royani, memakai frasa Karakter Moral/Akhlaq (diwakili oleh "amiin") dan Karakter Kinerja (diwakili oleh kata "qowiy").

Dengan Karakter Kinerja, seseorang akan hasilkan produktifitas yang maksimal. Karena ia bekerja berdasarkan strenght atau kekuatan yang dimiliki. Seorang dikatakan memiliki strength ketika ia mampu melakukan aktivitas dengan  4E : Enjoy, Easy, Excelent dan Earn/Produktive. Sedangkan Karakter Akhlaq adalah ketika seorang mampu memberi manfaat sebesar-besarnya bagi alam semesta. Rahmatan lil 'alamiin.


Tarbiyah adalah hal yang krusial. Karena di situlah kunci regenerasi. Alhamdulillah, tarbiyah yang dijalankan secara konsisten oleh para pegiatnya selama ini telah mampu melahirkan generasi yang taat beribadah juga peduli sosial. Pejuang kepedulian. Pembela umat yang gigih.

Tetapi masih ada pertanyaan besar yang mungkin selama ini belum terjawab, yaitu adanya fenomena yang banyak muncul :
  • Seseorang sudah sholeh tapi tidak menguasai bidang tertentu sehingga miskin kontribusi
  • Seorang yang sholeh kemudian jadi pejabat publik dari proses politik tapi tidak maksimal kontribusi. Hanyak mampu untuk tidak korupsi. Tapi minim kreasi.
  • Seseorang yang sholeh diberi amanah struktur organisasi tertentu tapi tidak maksimal kinerjanya.
  • Seorang yang amat rajin ibadahnya dan baik akhlaqnya, tapi bingung mau bergerak di bidang apa
  • Seorang sudah istiqomah ibadahnya, tapi mata pencahariannya masih serabutan,  belum jelas.
Usut punya usut, memang Sang Sholeh tersebut  menerima tugas atau amanah, umumnya karena akhlaqnya yang membuat tidak bisa menolak amanah. Bukan karena kekuatannya ada di situ. Padahal idealnya amanah itu diberikan kepada ahlinya : mereka yang amanah dan kompeten di bidangnya.
 
Memang ada saatnya amanah dipikul segelintir orang. Tapi itu boleh terjadi saat jumlah orang sholeh atau jumlah kader masih sedikit sedikit. Kalau sudah banyak hal ini tentu tidak perlu terjadi. Maka PR terbesar kekinian dalam konteks tarbiyah adalah menyandingkan Qowi dan amiin pada setiap individu.


Kenapa tidak cukup hanya qowiy saja atau amiin saja?
kenapa harus keduanya?

Inilah perbedaannya, dan keduanya harus dimiliki!

Qowiy bersifat relatif permanen. Sifat ini tidak mudah hilang. Sedangkan Amiin bersifat mudah hilang. Dalam sekejap orang bisa tidak amanah. Secara tiba-tiba seseorang bisa menjadi khianat.

Qowiy bersumber dari bakat, yang diasah oleh knowledge dan dikuatkan oleh latihan. Sedangkan Amiin bersumber dari keimanan, dan suara hati nurani. Dikuatkan oleh ilmu, di asah oleh ibadah, dipercantik dengan nasihat dan lingkungan yang baik. Ia akan rusak oleh maksiat, makanan haram, juga godaaan syaithan.

Standar Qowiy untuk tiap orang berbeda. Sesuai kombinasi bakat-bakatnya yang unik pada setiap individu.  Walaupun sama-sama penyanyi, akan beda karakter khasnya. Walau sama-sama ilmuwan, akan beda specialisasi. Walau sama-sama olahragawan, akan beda di olah raga apa. Walau sama-sama analis, akan beda bidang yang digarap.

Standar Amiin adalah sama. Sifatnya universal. Ukuran standarnya adalah Al Quran dan sunnah Rasul, nilai-nilai kearifan lokal,  kepatutan sosial, atau kepantasan yang tidak bertentangan dengan syariat..

Qowiy yang tidak amiin misalnya ada pada koruptor. Ia kuat secara intelektual, berfikir strategis dan analisis. Tetapi lemah sisi amiin-nya.

Amiin yang tidak qowiy ada pada orang sholeh yang hanya baik untuk dirinya sendiri. Tapi tidak memperbaiki orang lain, atau orang sholeh tapi tidak memiliki specialisasi bidang tertentu, sehingga kurang memberi manfaat untuk orang lain.

Tarbiyah dengan segala perangkatnya memang secara detail lebih didesain  untuk “memelihara dan menumbuhkan ”  karakter akhlaq. Lihat saja 10 Muwashofat mulai dari Salimul Aqidah hingga nafi’un lil ghoiri. Semua berbicara tentang akhlaq. Sedangkan untuk Krakter Kinerja hanya bersifat arahan umum. Teknisnya diserahkan ke individu masing masing. Di halaqah-halaqah tidak akan diajarkan kursus jurnalistik atau kursus akuntansi, misalnya. Tapi dianjurkan untuk mendalami satu spesialisasi.

Lalu bagaimana memahami ajaran Islam terkait Karakter Kinerja ?

Hal ini bisa difahami ketika Al Quran dan hadits  yang isinya ribuan ayat memang secara rinci ditujukan kesempurnaan akhlaq. Bahkan diustusnya Raulullah secara eksplisit memang untuk menyempurnakan akhlaq (innamaa bu'istu li utammima makarimal akhlaq). Sedangkan arahan untuk karakter kinerja bersifat umum.  Bahkan Rasulullah secara terus-terang bersabda “antum a’lamu bi umuri dunyakum”.  Ia bicara tentang salah satu kompetensi yaitu budidaya tanam. Dimana beliau “gagal” saat mau mengawinkan bunga kurma. Maka keluarlah hadits ini. Hal ini bukan aib bagi Rasul. Justru petunjuk amat terang bagaimana Rasul mengakui kemanusiaannya dan menghargai kompetensi yang beragam untuk urusan “dunia”. Di mana kekuatan setiap orang memang berbeda.

Tapi untuk standar akhlaq, Rasulullah sangat jelas dan tegas. Mulai akhlaq kepada Sang Pencipta hingga ke urusan style rambut.  Bahkan standar kemuliaan semua manusia adalah kebaikan akhlaqnya. Itulah system pendidikan Islam. Mengatur secara rinci terkait akhlaq tetapi mengatur secara umum tentang kinerja.  

Lantas bagaimana memahami  aturan tarbiyah tentang memerlakukan potensi bakat dan kekuatan  pada setiap individu?

Kita baru bisa melihat bagaimana mengelola potensi bakat dan kekuatan pada aplikasi Qur'an  yang terekam pada hadits-hadits Nabi, juga pada periaku para Shahabat dan generasi terbaik selanjutnya. Dimana terbaca bahwa Rasulullah adalah seorang yang amat sadar-bakat. Begitupun para shahabat.

Pada zaman RAsul tidak ada potensi shahabat yang tidak berguna. Bahkan pernah Rasulullah melarang Zaid bin Tsabit untuk berangkat perang. Karena kelak ia dijadikan sekretaris pribadi Rasul yang mencatat Al Qur'an yang diterima dari Jibril.

Rasulullah juga yang memilih Mush'ab bin Umair untuk jadi duta dakwah ke Madinah. Karena kepiawaian Mush'ab dalam berkomunikasi dan bernegosiasi. Lihat juga bagaimana daftar rahasia kaum munafik hanya diamanahkan oleh Rasulullah kepada Hudzaifah. Simak juga kekuatan suara nan merdu shahabat Bilal yang amat diapresiasi Rasulullah sehingga ditahbiskan menjadi muadzin.

Maka, tugas besar para pendidik (guru/muroby) terkait bakat dan kekuatan murid/mutroby-nya adalah
  • Menggali, mengenali dan menerima keunikan setiap kader
  • Mampu memetakan bakat dan kekuatan kader
  • Memotivasi kader agar terus dan fokus mengembangkan kekuatannya
  • Menyediakan akses knowledge yang relevan dengan strenght-nya
  • Memberikan akses pelatihan
  • Menyambungkan dengan maestro di mana kader memiliki bakat dan kekuatan
  • Memberi panggung atau memberi akses kepada konsumen
Untuk memetakan bakat dan kekuatan kader, sekarang ada beberapa  tools yang tersedia. Ada metode STIFIN. Ada juga konsep kecerdasan majemuk. Sebelumnya ada personality plus, Ada juga dari dalam negeri yaitu Talents Mapping dan turunannya ST-30. Bisa juga dengan mengamati passion atau kecenderungan kader secara individual. Kalau saya merekomendasikan Talents Mapping dan ST30-nya Ir Rama Royani. Karena saya pernah mengikuti pelatihannya, juga assement-nya bisa dilakukan secara onlie dan gratis di www.temubakat.com

Mengapa saya tidak menyarankan faktor kesarjanaan sebagai tolok ukurnya?

Karena menurut sebuah penelitian, mayoritas mahasiswa (87%)  di negeri ini ternyata salah dalam memilih jurusan. Sehingga gelar sarjana sangat mungkin tidak sesuai dengan bakat dan kekuatannya. Juga terlalu banyak gelar yang asal gelar. Asal lulus dengan IPK minimal. Kesalahan jurusan biasanya berimbas pada kesalahan memilih profesi.  Lihat saja betapa banyak yang bekerja tidak sesuai passion-nya. Maka memetakan kader dilihat dari gelar kesarjanaan dan profesi sangat berpotensi menghasilkan kesalahan pemetaan.

Memetakan potensi kader berbasis  pada BAKAT dan KEKUATAN diharapkan akan memunculkan energy yang hebat karena melibatkan 4E berupa Enjoy, Easy, Excellent dan Earn/productive. Dimana seseorang akan bersuka cita mengerjakan aktivitas yang sesuai dengan kekuatannya. Dimana ia akan mudah menegerjakannya, serta akan excellent hasilnya.

Menjalani amanah dan peran berbasis bakat dan kekuatan menjadikan sesesorang akan  leading di bidangnya. Dari sini diharapkan lahirnya para pemimpin di berbagai bidang. Ketahuilah, bahwa pemimpin bukan tentang jabatan. Tetapi juga apabila seseorang menonjol dan produktif di bidangnya. Karena pemimpin itu tidak sebatas jadi ketua RT, RW, Kades saja. Juga bukan jadi ketua di struktur partai, mulai DPRa sampai DPP.

Seorang aktifis pelajar menggariskan motto one student, one product, one community. Satu pelajar, satu karya, satu komunitas.  Maka dalam konteks pembinaan tarbiyah, harapan kita adalah  setiap individu akan mampu memunculkan kerumunan/komunitas orang di sekitarnya. Tersebab keunggulan karyanya.

Seorang yang excellent dalam dunia tulis menulis bila difasilitasi dan diberi panggung akan jadi magnet bagi mereka yang punya bakat menulis.

Seorang yang excellent di bakat olah raga, bila difasilitas dan diberi panggung akan jadi tokoh di bidang olah raganya. Menciptakan komunitas dan menjadi leader di situ.

Seorang yang berbakat di seni, bila difasilitasi akan manggung dengan seninya dan jadi idola.

Seorang yang jago komunikasi, bila difasilitas akan memukau audiens. Memproduksi para fans.





Ref :
https://99ideasforhappyworker.wordpress.com/2014/03/02/rabbi-indah-sa/

Wednesday, September 9, 2015

Agar Pewarisan Dakwah Tidak Terputus





"Kalau sudah besar kami tidak mau menjadi seperti abi dan ummi, kami ingin menjadi muslim yang biasa-biasa saja"

Suara hati anak-anak aktivis dakwah di atas tertuang bagian pengantar buku "Ingatlah untuk Bercermin". Ditulis seorang yang juga aktivis dakwah Salim A Fillah. Hasil dari sebuah jajak pendapat sederhana pada suatu ketika, pada anak-anak kader pegiat dakwah.


Suatu waktu mereka sempat suarakan secara berjamaah. Mereka komplain, kenapa abi-umminya bisa berlapang dada pada orang lain, pada mad'u, pada masyarakat, tetapi kenapa sulit berlapang dada pada anak-anak sendiri. Abi-ummi mereka cenderung reaktif, juga gampang marah. Gampang memotong pembicaraan. Otoriter. Maka anak-anak itu  cemburu. Mereka heran. Mereka menderita. Tetapi mereka hanya bisa diam. 

Terakhir, adalah puisi seorang anak aktivis yang baitnya berbunyi :

.....

Teruntuk umi tersayang.., abi tercinta
terasa amat jauh, antara ketaatanku
dibandingkan dengan segala pengorbanan yang engkau berikan
terlihat begitu tertinggal diriku
dari jutaan amal kebaikan yang telah engkau wujudkan
terdengar sangat menyakitkan
bahwa dakwahmu,
justru diteruskan bukan dari generasi yang terlahir dari rahimmu

....
bait puisi yang membuat seorang ust Shohibul Iman tak mampu menahan isak tangis...


Uraian di atas sungguh menjadi peringatan bagi para aktivis dakwah. Bahwa pewarisan perjuangan bisa mengalami keterputusan justru pada nasabnya sendiri. Ketika anak biologis sang da'i justru tak berhasrat melanjut dan merajut perjuangan abi-umminya.

Sungguh menyesakkan dada. Bahwa orang paling dekat dengan sang aktivis justru yang tidak merasakan dakwah itu sendiri. Padahal setiap hari segala sumber daya dikerahkan untuk berdakwah. Seluruh wilayah dijelajah. Seluruh kampung dikunjung. Seluruh negeri disambangi. Untuk dakwah. Menggelar tarbiyah. Menebar syiar. Menggerakan ummat.

Segala pengorbanan itu kerap diiringi harap bahwa dengan segala niat baik untuk dakwah, maka Allah yang jaga dan lindungi anak-anak. Membimbing mereka dengan cara-Nya.

Tapi deretan fakta di atas sungguh membuat kita galau. Adakah yang salah dengan sikap para orang tua yang aktivis itu kepada anak-anaknya?

Sikap terbaik memang tidak buru-buru menyalahkan pihak lain, apalagi berburuk sangka pada Allah. Semisal salahkan saudaranya yang dianggap tak saling meringankan beban hingga beban bertumpuk pada segelintir orang, atau menyalahkan zaman yang berubah atau tantangan yang berbeda. Ada juga yang salahkan guru dan sekolahnya. Suara lain menyalahkan mahalnya Sekolah Islam, sehingga anaknya terpaksa masuk sekolah umum dan terbawa pergaulan buruk. Jadilah si anak tak berhasrat dengan segala yang berbau kerohanian Islam.

Duhai ummi dan abi....

Anak kita ada aset, bukan sekedar anak biologis yang bernasab ke kita. Mereka adalah calon pelanjut estafeta dakwah. Mereka adalah sumber do'a yang dirindukan kelak. Dari do'a mereka kita berharap ada syafaat yang kan selamatkan kita dari terjerumus ke neraka yang pedih. Duhai indahnya mahkota surga dari hafalan-hafalan mereka.

Namun jangan sampai harapan ini sirna karena ulah kita sendiri. Karena sikap kita sendiri yang tak dinyana ternyata salah . Ternyata kita lalai dengan mad'u yang dekat, tahu-tahu derita anak bertumpuk tumpuk. Kegelisahan, kesepian, marah, kesal bertumpuk bak gunungan sampah di jiwa mereka. Tanpa mengerti bagaimana membuangnya. Memunculkan polusi yang baunya akibatkan kebencian dan trauma. Padahal yang dibenci adalah jalan ke surga. Jalan para Nabi dan Shahabat-nya nan mulia.

Duhai ummi dan abi...

Jangan sampai sakit nan tek terperi saat persalinan dan beban berat saat membesarkan anak justru berujung fitnah nan menyesakkan.

Maka cobalah kita bermuhasabah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah. Barangkali memang ada fase-fase yang terlewati untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi pendidikan anak. Barangkali memang ada cara pandang dan fikir  yang perlu dibenahi.

Mudah-mudahan Allah tunjukan jalan untuk perbaiki kualitas pendidikan anak-anak kita. Insya Allah masih ada waktu. Sehingga pewarisan perjuangan dakwah tidak berhenti justru di anak-anak kita.


  1. [   ] Sudahkan kita berdo'a di setiap kesempatan agar anak kita menjadi pejuang-pejuang agama-Nya? tidak "hanya" jadi anak yang sholeh?
  2. [   ] Sudahkan kita hadir di jiwa anak dengan  memeluknya, dengan menatapnya penuh sayang?
  3. [   ] Sudahkah kita bercerita tentang alam sekitar sebagai ciptaan-Nya?
  4. [   ] Apakah kita selalu berupaya menjumpai mereka dengan wajah cerah dan gembira?
  5. [   ] Sudahkah kita menerangkan bahwa makanan yang masuk itu adalah rizki dari-Nya?
  6. [   ] Sudahkah mengatakan bahwa pakaian yang dipakai ananda adalah pemberian dari-Nya?      bahwa abi umi hanya perantara saja?
  7. [   ] Sudahkah kita menerangkan bahwa alam semesta ada yang mengaturnya dengan sempurna?
  8. [   ] Sudahkah menerangkan sesuai bahasa mereka bahwa burung-burung di angkasa, ikan yang berenang, semut yang merayap adalah makhluk ciptaan-Nya?
  9. [   ] Apakah kita selalu menerima dan merengkuh saat mereka memburu kita begitu pulang dari tempat kerja?
  10. [   ] Sudahkah kita menyegerakan memenuhi panggilan anak, agar kelak mereka percaya bahwa kita bisa dipercaya?
  11. [   ] Sudahkah memanggil mereka dengan panggilan sayang "Jundi sholih, kebanggaan abi, yang pintar" sebelum menyuruh mereka sholat, baca qur'an atau berkata jujur? dan setelah itu memberi penjelasan kenapa kita sholat, kenapa kita baca qur'an kenapa kita tak boleh bohong, kenapa tak boleh syirik pada Allah?
  12. [   ] Sudahkah kita jadi teladan dalam bagi anak-anak? tidak sekedar jadi tukang suruh dan larang?
  13. [   ] Sudahkan kita menerangkan dengan penuh sayang bahwa abi-dan umi akan menuntut ilmu saat akan berangkatke majelis halaqah?
  14. [   ] Sudahkah menjelaskan bahwa abi dan umi sedang tunaikan amanah dakwah untuk kejayaan Islam saat pergi malam-malam mengisi halaqah-halaqah tarbiyah?
  15. [   ] Sudahkah kita menerima perasaan mereka saat marah, kecewa, gelisah, cemburu, kesal...?
  16. [   ] Sudahkah kita memberikan apresiasi atas proses yang dikerjakan anak?
  17. [   ] Sudahkan memberi mereka kepercayaan untuk menetukan sendiri apa yg akan mereka lakukan?
  18. [   ] Sukakah kita bermain bersama, belajar besama, membaca buku bersama?
  19. [   ] Pernahkah kita main hujan-hujanan di halaman dan berlarian bermain lepas di bawah guyuran hujan?
  20. [   ] Sudahkah ayah menyempatkan pergi berdua bergantian dengan setiap anak. Semata untuk menemani dan mendengarkan? bukan dalam rangka  menasihati atau menyelidiki.
  21. [   ] Apakah ayah bunda kadang dilanda merasa cemas akan masa depan ananda, ketika ananda kalah ranking di kelasnya?
  22. [   ] Apakah ayah bunda  merasa wajib memasukkan ananda ke PAUD?
  23. [   ] Apakah ayah bunda kerap merasa was-was dengan masa depan yang semakin kompetitif?
  24. [   ] Apakah sering bingung dengan kegiatan ananda saat liburan?
  25. [   ] Apakah memasukkan ananda ke sekolah favorit dirasakan relatif lebih menjamin kesuksesan masa depan ananda?
  26. [   ] Ayah bunda merasa bahwa sekolah Islam lebih menjamin pendidikan agama ananda sehingga apapun akan diupayakan agar ananda dapat bersekolah di sekolah Islam, walaupun mahal biayanya?
  27. [   ] Apakah ayah memandang bahwa pendidikan anak itu urusan bunda?dan tugas ayah fokus ke mencari nafkah?
  28. [   ] Apakah ayah berpandangan bahwa ayah harus menjaga wibawa di mata anak sehingga tidak perlu terlalu akrab dengan anak
  29. [   ] Apakah komunikasi ayah lebih to the point agar menjaga wibawa dan ketegasan, sehingga cukup sedikit kata yang diucap. Misal "Kak, sholat!" 

Bila jawaban no 1-20 adalah  "ya" bersyukurlah, insya Allah itu indikasi upaya menjadi ortu yang semestinya.
Bila jawaban 21-29 adalah "ya", tandanya kita harus belajar lagi jadi ortu.









KELUARGA : DARI KETAHANAN MENUJU PERADABAN

  Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...