Thursday, July 23, 2015

MEMANGNYA MEREKA ANAK SIAPA?


Judul yang berupa pertanyaan di atas sejatinya ditujukan bukan ke siapa-siapa. Tapi ditujukan kepada saya sendiri. Kenapa?

Ceritanya berawal saat hendak mengambil buku rapor anak. Baik yang SD, SMP, maupun SMA. Karena satu dan lain hal semua anak saya bersekolah di swasta. Dimana salah satu ritual wajibnya adalah orang tua yang mengambil buku raport saat Akhir semester atau akhir tahun. Berbeda dengan zaman dulu saya sekolah, orang tua amat jarang ke sekolah.

Ada satu hal yang membuat saya berfikir ketika akan menerima buku raport itu. Saat orang tua antri terlebih dahulu kemudian ada wawancara singkat. Saya amati pola pertanyaannya ternyata sama :” Bu Guru, anak saya bagaimana selama ini perkembangan belajarnya?”

Awalnya saya rasa itu bagus untuk menunjukkan adanya komunikasi ortu dan guru. Karena di sekolah lain pada umumnya guru yang dominan. Tidak ada komunikasi terkait pelajaran dengan orang tua. Ada komunikasi biasanya kalau ada masalah dengan guru BP atau saat ada rapat komite untuk menetukan besaran bantuan financial ke sekolah. Secara umum memang orang tua sepenuhnya mempercayakan pada guru dan sekolah.

Tanya jawab di atas kali ini menyentil hati saya. “Memangnya yang punya anak siapa? saya atau gurunya? Kenapa guru yang lebih tahu dibanding saya orang tuanya?”. Dialog itu berhasil memicu otak kanan untuk terbang ke mana-mana. Memunculkan gambaran yang lebih luas. Bahwa dialog di atas bukan sekadar sebuah sebuah tanya jawab. Tapi kesadaran massal yang selama ini memang telah terbangun sangat lama. Bahwa sekolah sudah terlalu percaya diri atau over confident, sedangkan orang tua semakin merasa tidak mampu. Ya, kalau berbicara pendidikan, maka otomastis kita bicara sekolah.

Lihatlah, semakin banyak sekolah yang memberi garansi mampu mencetak ”anak juara”, “generasi unggul”. Bukankah itu sebuah pernyataan penuh keyakinan dan percaya diri?. Seolah berkata “Serahkan saja pada kami, dijamin beres!”. Sekolah merasa mempunyai segala hal yang dibutuhkan dalam proses mendidik anak. Dan rupanya kalimat-kalimat marketing yang menghypnotis itu berhasil membuat orang tua semakin yakin kalau anak-anaknya dijamin sukses dengan memasukkan ke sekolah yang ditawarkan.

Di sisi lain, kenapa semakin pintar dan terdidik para orang tua justru semakin merasa tidak mampu mendidik anak? Semakin lepas tangan. Semakin cepat mereka memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan. Mulai dari day care, PAUD, dan TK. Semakin banyak yang mengandalkan sekolah full day dan asrama. Bukankah logikanya, semakin pintar kita maka akan semakin mampu memintarkan orang lain? Kenapa justru para orang tua pintar itu semakin bergantung kepada sekolah? Padahal sekolah hanyalah mitra, bukan pengganti orang tua.

Bahkan sampai saat liburpun semangat untuk menyerahkan anak ke pihak lain tak juga surut. Pada bersemangat membuat program pengisi liburan. Seakan apa yang diterima sekolah masih tidak mencukupi.
Sepertinya memang para orang tua itu bingung mau melakukan apa dengan anak-anaknya ketika ada di rumah. Karena saat bersama di rumahpun sepertinya setiap individu penghuninya nafsi-nafsi saja. Lihatlah, anak-anak saat liburan, seharian bisa non stop main facebook. Mata tak lepas dari layar laptop dan smartphone. Tak ada lagi cengkerama hangat. Tak ada lagi obrolan canda tawa bersama. Bahkan untuk mengakrabkan ortu anak, harus diadakan family gathering. Lalu di mana surga rumah itu? Bukankah keadaan di surga itu penghuninya duduk-duduk bercengkerama di atas dipan, dan tertawa gembira?

Padahal, ada satu energy dahsyat yang melimpah sebagai bahan bakar pendidikan anak. Itulah CINTA para orang tua. Sayangnya, cinta para ortu tidak diaktifkan. Tidak diekspresikan dengan baik dengan bahasa cinta yang sampai dan dirasakan anak. Saat bersama, seringkali bukan bahasa cinta yang dirasakan. Tapi hanya perintah dan larangan yang mereka terima. Betapa tak nyaman kalau di rumah hanya ada perintah dan larangan.

Padahal sebagaimana do’a favorit para orang tua: “Rabbighfirlii wa liwalidayya warhamhuma kamaa rabbayaanii shagiraa”(Rabbi, ampunilah aku dan orangtuaku, KASIHIlah mereka sebagaimana mereka telah MENDIDIK-ku di waktu kecil) bahwa ekpresi dari kasih sayang orang tua itu adalah dalam bentuk mendidik anak. Sehingga, ketika kita lalai dari aktivitas mendidik anak, maka kadar “KEORANGTUAAN” kita memang layak dipertanyakan.

Jadi, sudahkah kita jadi orang tua yang sebenarnya bagi anak-anak kita?

Karawang, 25062015
‪#‎introspeksi‬

Fitrah – The Primordial Nature of Man




Fitrah – The Primordial Nature of Man

by Dr. M. Nazir Khan | Jan 1, 2015


Apakah pikiran seorang bayi itu merupakan “batu tulis kosong” ataukah di sana terdapat konsep-konsep tertentu yang tertanam dalam pikiran manusia? Dapatkah sifat manusia ditunjukkan pada bayi sejak lahir? Apakah pikiran tentang Tuhan dan nilai-nilai moral tumbuh secara alami terjadi pada manusia atau merupakan ide-fabrikasi yang diciptakan oleh budaya sebelumnya? Mengapa ide-ide dan nilai-nilai tertentu meluas di kalangan orang-orang?

Orang-orang telah lama bertanya-tanya dan berdebat tentang sifat manusia. Bayi-bayi memang tampak sangat mirip, namun ada sesuatu yang harus diperhitungkan tentang variasi yang luas dalam ide-ide, nilai-nilai, tujuan, dan gaya hidup individu dan masyarakat yang berbeda. Apakah ada  perilaku-perilaku yang muncul secara alami dari manusia dan perilaku yang lain timbul semata-mata karena pengaruh budaya sekitarnya? Beberapa berpendapat bahwa banyak dari sifat-sifat yang baik dari manusia muncul secara alami, termasuk sifat-sifat moral yang seperti kasih sayang dan kepedulian terhadap orang lain.

Tokoh yang dikenal sebagai bapak ekonomi modern, Adam Smith (d. 1790CE), berpendapat bahwa rasa simpati itu pasti sudah melekat (inheren). Dia menulis, "Tidak peduli seberapa egois Anda berpikir tentang seorang manusia, adalah jelas bahwa ada beberapa prinsip di alam yang  memberinya suatu ketertarikan untuk kesejahteraan orang lain" Sedangkan yang lain, seperti filsuf Inggris John Locke (d.1704CE), berpendapat bahwa pikiran manusia pada dasarnya adalah sebuah batu tulis kosong saat lahir dan bahwa semua pengetahuan diperoleh melalui experience.

Adapun ulama Muslim pada abad sebelumnya justru telah lebih dulu memberi pandangan dengan analisis yang luas, tajam dan sistematis terkait sifat manusia ketika mereka mendefinisikan Fitrah - sifat primordial semua manusia.


Apa Fitrah?

Fitrah adalah kata Arab yang digunakan dalam teologi Islam untuk merujuk pada konstitusi alami manusia, yaitu keadaan semula murni dan murni di mana Allah menciptakan semua manusia. Keadaan alami manusia itu meliputi kecenderungan terhadap apa yang secara moral dan spiritual murni, tegak lurus dan suci.

Konsep Fitrah berasal dari Al-Qur'an yang menyatakan:

"Arahkan wajah Anda ke agama yang lurus - fitrah pilihan Allah (konstitusi) di mana ia telah membentuk manusia. Tidak ada yang mengubah dari ciptaan Allah. Itu adalah cara hidup yang benar meskipun kebanyakan manusia tidak menyadari hal itu. Ini adalah jalan menuju Allah, yang tersisa berbakti kepada-Nya, mendirikan shalat, dan menjadi bukan dari orang-orang yang menganggap mitra-Nya "(QS 30: 30-31)

Ini adalah default 'pengaturan pabrik' yang diterima semua manusia, jika Anda sepakat. Al-Qur'an menerangkan bahwa aspek yang paling mendasar dari fitrah adalah kecenderungan spiritual terhadap Allah, mengungkapkan cinta seseorang akan Allah dalam doa dan rasa syukur, dan berjuang untuk datang lebih dekat kepada Allah. Selain itu, kecenderungan moral untuk peduli terhadap  orang lain dan melakukan yang baik juga merupakan bagian dari unsur primordial ini (spiritual dan moral juga saling berhubungan - baca artikel ini). Inilah yang menyumbang "kesadaran moral" yang kita biacarakan dalam kehidupan sehari-hari. Jika tidak rusak, hati nurani moral kita akan marah ketika kita tahu bahwa kita melakukan sesuatu yang salah. Nabi Muhammad berkata, "Kebenaran adalah karakter yang baik, sedangkan dosa adalah sesuatu yang mempengaruhi dan mengganggu jiwa Anda dan Anda akan membenci orang lain untuk mengungkapnya" (Sahih Muslim). Fitrah adalah seperti memiliki kompas internal yang selalu menunjuk ke arah perbuatan baik yang membawa kita lebih dekat kepada Allah.

Terlepas dari kenyataan bahwa manusia hidup dengan begitu banyak ideologi yang berbeda, agama, sistem kepercayaan, dan pandangan dunia, Islam mengajarkan bahwa kita semua dilahirkan dengan sifat yang melekat yang sama dan bahwa “manufactured labels” diperoleh melalui pendidikan seseorang, budaya , masyarakat dan lingkungan seseorang. “Label” ini adalah cara manusia mengakui "merek" mereka sendiri. Nabi Muhammad terkenal mengatakan, "Setiap anak tunggal lahir pada fitrah, dan kemudian orang tuanya mungkin membuatnya menjadi seorang Yahudi atau Kristen atau Majusi... dst "(Sahih Bukhari). Fitrah berarti kecenderungan yang alami yang mengembangkan dan membentuk cara kita melihat diri kita dan dunia - itu tidak berarti dilahirkan dengan satu set fakta di kepala seseorang, karena Al-Qur'an menyatakan, "Dan Tuhan membawa Anda keluar dari rahim ibu Anda tidak tahu apa-apa, tetapi Dia diberikan Anda mendengar, melihat, dan penalaran jadi mungkin Anda bisa menunjukkan rasa terima kasih "(Qur'an 16:78).

Bagaimana Islam berhubungan dengan fitrah itu?

Tanpa bimbingan, fitrah bisa rusak. Sistem bimbingan diungkapkan oleh Allah (hanya dikenal sebagai 'menyerah kepada-Nya' atau 'Islam') adalah pemenuhan fitrah manusia. Fitrah menemukan kenyamanan dalam Islam secara alami seperti tangan cocok dengan sarung tangan. Ahli Hadits generasi awal, Ibn al-Quthaybah Daynuri (d.276H) menunjukkan bahwa teologi Islam tidak mengajarkan bahwa anak-anak dilahirkan Muslim, melainkan bahwa mereka dilahirkan dengan kecenderungan spiritual dan intelektual sederhana terhadap Allah dan terhadap yang baik, bahwa Allah mengambil perjanjian dengan manusia sebelum keberadaan duniawi mereka (dirujuk dalam Al Qur'an 7: 172) dan itu adalah penegasan primordial ini, bahwa Allah yang menghasilkan kecenderungan untuk perjalanan menuju-Nya dan terhadap yang baik yang ada di bumi ini. Dengan demikian, setiap anak lahir dengan fitrah (konstitusi alami) spiritual, moral dan intelektual yang dengannya mereka memahami realitas, dan kecenderungan bawaan ini ditegaskan dan dipelihara oleh sistem bimbingan yang dikenal sebagai Islam.

Tidak seperti pernyataan tentang dosa asal manusia atau sifat jahat yang melekat dalam sistem teologis dan ideologis lainnya, wacana Alquran berpendapat bahwa sifat dasar manusia secara inheren adalah baik. Namun, alih-alih membudidayakan kecenderungan alaminya itu menuju kebaikan, manusia sering turun ke pemuasan keinginan yang rendah termasuk keserakahan, kebencian, iri hati, nafsu dan kekuatan. Keinginan yang lebih rendah ini dalam teologi Islam disebut dengan NAFSU. Jiwa manusia terus pertempuran dengan keinginan untuk menuruti nafsu ini, yang manusia sendiri tahu bahwa ini akan merusak, berdasarkan fitrah itu.

Dalam karya kolosalnyaya tentang akal dan wahyu berjudul Dar 'ta'arud al-Aql wa-Naql, teolog Islam terkenal Ibnu Taimiyah menulis, "Para hamba Tuhan yang terdorong dari dalam oleh fitrah mereka untuk mencintai Allah, meskipun di antara mereka ada yang merusak fitrah ini ... dan rasa cinta kepada Allah ini mengintensifkan menurut pengetahuan seseorang tentang Dia dan tingkat kesehatan fitrah seseorang. Dan itu berkurang dengan pengetahuan berkurang, dan polusi fitrah seseorang dengan keinginan sia-sia koruptif. "

Sementara konsep disposisi manusia yang melekat telah dibahas dalam teologi Islam selama berabad-abad, banyak implikasinya yang sedang dielaborasi oleh penelitian kontemporer dari psikolog anak, ilmuwan kognitif, ahli etika, antropolog dan ahli bahasa. Beberapa rincian fitrah akan dieksplorasi secara paralel di bawah ini.

Kasih sayang, Keadilan, dan Moralitas

Sejumlah besar penelitian eksperimental dalam psikologi anak telah menetapkan bahwa bayi dan balita menunjukkan kasih sayang, empati, serta rasa keadilan dan keadilan. Psikolog Paul Bloom menguraikan banyak sekali bukti dalam bukunya, Just Babies - The Origins of Good and Evil. Bloom mencatat bahwa, "psikolog perkembangan telah lama mengamati bahwa anak usia satu tahun akan menepuk dan membelai yang lain saat dalam kesulitan."

Terdapat juga kapasitas yang jelas untuk membedakan moral yang baik dari yang jahat pada usia dini. Ketika anak-anak berusia lima bulan diperlihatkan boneka berperilaku baik (seperti membantu untuk membuka kotak atau menggulirkan bola kembali) dan boneka lain yang menunjukkan perilaku buruk (seperti membanting kotak tertutup atau mencuri bola), anak-anak selalu suka boneka baik.  Delapan bulan bayi berusia bahkan menunjukkan rasa keadilan disiplin - mereka lebih suka boneka yang berarti bagi boneka buruk dibanding dari boneka yang menyenangkan untuk boneka buruk; dan pada usia 21 bulan, balita akan lebih memilih untuk menghargai boneka baik dengan merawatnya dan lebih memilih untuk tidak merawat boneka yang buruk

Kejujuran  dan keadilan muncul dari fitrah tersebut. Ibnu Taimiyah (d.728H) menulis, "Jiwa secara alami dikeluarkan (majbula) untuk mencintai keadilan dan pendukungnya, dan membenci ketidakadilan dan pendukungnya; cinta ini, yang di fitrah, adalah apa yang dimaksudkan untuk [keadilan] untuk menjadi baik. "Nilai-nilai moral di atas mana kita membangun kehidupan kita berasal dari intuisi yang secara alami muncul di masa kecil dan yang tidak dibentuk oleh tekanan dari sosial budaya.

Tuhan, Tujuan dan Spiritualitas

Semua orang bertanya-tanya tentang tujuan. Bertanya "mengapa?" mungkin salah satu tindakan yang paling dasar dari manusia yg dapat diukur. Sebagai individu, seorang datang untuk mewujudkan banyak fakta tak terbantahkan tentang kondisi manusia. Saya seorang makhluk hidup, menyadari diri sendiri dan alam semesta dimana saya menghuni; Saya merasakan kasih, sukacita, rasa sakit, penderitaan; Saya dapat memilih bagaimana menjalani hidup saya; Saya mungkin menghabiskan hidup saya mengejar kehidupan sampai aku pasti mati, terkubur di bawah bumi dan dilupakan oleh semua. Untuk apa itu semua? Apakah hidup akan sama sekali sia-sia? Beberapa orang mengejar kesenangan dan kebahagiaan, membuat lebih banyak uang, menyenangi sering hiburan, melihat dari satu liburan ke berikutnya sampai pensiun - tetapi pada akhir hari, hidup mungkin merasa hampa, dangkal, kosong, dan tak berarti. Seorang manusia dapat saja mengalihkan perhatian dirinya dari pertanyaan-pertanyaan yang lebih dalam tentang hidup dengan mengejar kesenangan sekilas seperti dilakukan banyak orang, atau menantang diri untuk terlibat dalam pencarian makna yang serius.

Ternyata, pencarian makna adalah intuisi manusia yang sangat awal. Bayi pada 3 dan 6 bulan usia akan mengikuti tatapan mata orang dewasa untuk memvisualisasikan objek tertentu yang menartik. Bahkan, pengujian pada bayi dua hari setelah lahir, menunjukkan bahwa bayi yang baru lahir akan lebih memilih untuk melihat tindakan yang bertujuan - mereka lebih suka melihat tangan mencapai ke arah sesuatu ketika suatu objek hadir dan tangan bergerak menuju tujuan yang tepat

Tapi penelitian pada anak-anak berjalan lebih jauh dari ini. Psikolog Justin Barrett membahas sejumlah besar penelitian eksperimental dalam hal ini dalam bukunya Born Belivers - The Science of Children Religious Belief. Anak-anak memiliki kecenderungan yang sangat kuat untuk melihat benda-benda alam dan peristiwa sebagai hasil dari lembaga disengaja tak terlihat - sesuatu disebut sebagai Hipersensitive Agency Detection Device (hadd). Anak-anak menawarkan penjelasan teleologis terhadap fenomena lebih memilih untuk berpikir tentang tujuan di balik hal. Jadi, bagaimana anak-anak akhirnya percaya pada Tuhan? Ide bahwa keyakinan itu berasal dari orang tua seseorang - hipotesis indoktrinasi - telah digantikan oleh penelitian psikologis yang mendukung hipotesis kesiapan - anak secara alami mengembangkan keyakinan ini karena mekanisme mental mereka memiliki sifat yang mendukung belajar tentang Tuhan

Selain itu, anak-anak secara intuitif menunjukkan pengertian teologis tertentu tentang Tuhan. Ketika ditanya siapa yang akan tahu apa yang ada di dalam hadiah tersembunyi tanpa membukanya, anak-anak berusia tiga tahun menjawab bahwa teman tidak akan tahu apa yang ada di dalam, tapi Tuhan akan know.Ibnu Taimiyah menulis bahwa Allah dikenal sebagai Yang Maha Melihat dan Maha Mendengar oleh fitrah seseorang

Barrett dan rekan juga menemukan bahwa anak-anak berumur tiga tahun memiliki rasa yang kuat bahwa Allah adalah abadi dan tidak akan pernah mati. Bahkan, menurut Barrett, penelitian psikologis memungkinkan seseorang untuk mampu merekonstruksi "agama alamiah" anak termasuk keyakinan berikut: keberadaan makhluk super dengan pikiran, keinginan, perspektif, dan emosi; dan unsur-unsur alam telah sengaja dirancang oleh makhluk super, yang memiliki pengetahuan melampaui manusia, dan mungkin tidak terlihat dan abadi.

Bahasa dan Nomor

Bahasa adalah karunia manusia yang paling luar biasa, dasar dari semua prestasi peradaban, dan hanya dimiiliki oleh spesies kita. Bahasa manusia memungkinkan untuk memiliki kemampuan luar biasa untuk menggunakan sistem terbatas sangat kecil dari simbol untuk merumuskan berbagai makna tak terbatas, mendalam yang kompleks, sehingga kalimat yang Anda baca ini belum pernah diungkapkan sebelumnya dalam sejarah alam semesta. Bahasa adalah sistem sintaks, semantik, dan suara yang spektakuler dan kompleks. Tapi mungkin aspek yang paling membingungkan dari semua adalah bagaimana bayi di  bumi memperolehnya begitu mudah, terutama dalam tidak adanya pelatihan yang difokuskan (ini dikenal sebagai 'kemiskinan stimulus' ). Pertimbangkan kalimat " Fred appeared to Jim to like him” (Fred menampakkan ke Jim bahwa ia menyukainya) dan kalimat " Fred appealed to Jim to like him”(Fred mengimbau Jim menyukainya). Mengapa 'dia' mengacu Jim dalam kalimat pertama tetapi untuk Fred di kedua, meskipun struktur permukaan kedua kalimat adalah sama? Mengekspresikan aturan tata bahasa untuk kasus-kasus seperti ini tidak mudah, tapi penutur asli bisa memahami kalimat tersebut seperti intuitif, tanpa pelatihan apapun.


Ketika kita mencari dan mempelajari 7000 atau lebih bahasa di dunia, kita menemukan bahwa ada sintaks umum atau tata bahasa universal yang semua sistem tersebut beroperasi. Linguis terkenal Noam Chomsky menulis, "Ada prinsip-prinsip yang sangat dalam dan membatasi yang menentukan sifat bahasa manusia dan berakar pada karakter spesifik dari pikiran manusia". Poin bukti adanya struktur internal dalam pikiran manusia yang bayi gunakan untuk menentukan apa bahasa harus terdiri dari, dan sistem ini disebut 'Language Acquisition Device' (LAD). Bahwa struktur tersebut harus ada akan datang tidak mengejutkan kepada siswa teologi Islam. Dalam karya yang menariknya Miftah Dar al-Sa'adah, teolog Ibn al-Qayyim (d.751H) mencatat bahwa Allah adalah Dia  "yang menyiapkan pikiran manusia dengan membuatnya setuju untuk belajar bahasa berbeda dengan semua hewan lain" dan Al-Qur'an menggambarkan bahasa sebagai kapasitas yang melekat pada manusia (Qur'an 55: 4, 02:31).

Memahami bilangan juga terjadi menjadi kapasitas yang berkembang secara alami pada manusia. Konsepsi dasar dari ukuran bilangan telah ditunjukan pada bayi di usia enam bulan, dalam percobaan di mana mereka membedakan antara menampilkan dengan jumlah yang berbeda dari item, serta percobaan dengan nomor yang berbeda dari bunyi. Berulang Ibnu Taimiyah memberikan proposisi "satu setengah dua "sebagai contoh pengetahuan fitrah, yang tampaknya sangat tepat, mengingat bahwa pada tahap awal ini bayi bergantung pada" rasio dan bukan perbedaan mutlak antara dua angka, karena bayi berhasil membedakan empat berbanding delapan suara namun gagal di empat dibandingkan enam suara ".

Kalau kita kilas balik dan memeriksa gagasan metafisik yang lebih luas, seperti kausalitas, maka akan menjadi jelas bahwa ini juga didasarkan pada pandangan dunia alami manusia itu. Bahkan, penelitian eksperimental pada anak-anak prasekolah (usia 3 sampai 5) menunjukkan jenis yang tepat dari struktur kausal di mana kita lebih suka melihat di alam semesta. Dimana anak akan bertindak dengan asumsi hubungan sebab-akibat-deterministik saat intervensi di skenario, menerima kesimpulan stokastik sebagai upaya terakhir atau saat tidak ada sebab-akibat langsung yang jelas kaitannya.

Kami juga cenderung untuk melihat alam semesta sebagai yang dimengerti manusia dan diatur oleh tatanan alam hukum yang berlaku seragam. Ketika seorang kosmolog terkemuka, Paul Davies, menunjukkan bahwa pandangan metafisis harus diterima pada iman tanpa data empiris atau argumen deduktif dapat mendukung mereka, itu menciptakan sebuah kebingungan tanggapan terkejut. Bahkan, itu hanya bagian dari yang melekat makna-membuat proses dimana pikiran manusia beroperasi. Tidak ada alasan apriori untuk menganggap bahwa prinsip-prinsip logika dirancang dalam pikiran organisme duniawi dengan kapasitas terbatas harus berlaku unfailingly ke alam semesta. Namun demikian, kami sepenuh hati merangkul penerapan penalaran logis, hanya karena fitrah kita menentukan itu.

Apa implikasinya

Dari saat lahir, manusia dibanjiri dengan tsunami data visual dan pendengaran. Dunia terang, berisik, berantakan, dan dengan estimasi yang wajar - itu harus dimengerti untuk bayi yang baru lahir. Tapi pikiran manusia bukanlah kapal pasif yang hanya diisi dengan akumulasi data sensorik. Sebaliknya, benar dari awal, pikiran manusia secara aktif menerapkan arsitektur konseptual untuk dunia sekitarnya, dan menggunakan kerangka interpretatif ini untuk menyaring suara dan pemandangan sehingga mereka bisa diurai menjadi paket-paket yang berarti kata-kata, benda, orang, peristiwa, kejadian , tujuan, ide, nilai-nilai, dan makna. Manusia didorong oleh fitrah mereka untuk menemukan tujuan dan kemakmuran di dunia, sehingga mereka menangis saat butuh bimbingan dan perawatan, mengamati lingkungan mereka, menginterpretasikan lingkungan mereka dengan hubungan sebab akibat dan deduksi, mencari pola moral perilaku yang tegak, dan merindukan keberadaan yang semestinya tentang persahabatan Tuhan.

Beberapa implikasi epistemologis terefleksikan pada fitrah ternyata  cukup mendalam. Ada cara alami melihat dunia yang koheren dan bermakna (dibahas lebih lanjut dalam artikel ini pada kebermaknaan). Kami mencoba untuk menyesuaikan segala sesuatu bersama-sama - prinsip-prinsip kami logis, pengalaman kami, penilaian moral kita, kecenderungan rohani kita. Ketika sesuatu tidak masuk akal, kita terus-menerus menyesuaikan dan memperbaiki pemahaman kita seperti kita memproses lingkungan kita. Seorang anak awalnya salah menghasilkan bentuk jamak dari "domba" yang disebabkan oleh penerapan-berlebih dari aturan yang benar, sebelum menggunakan pengalaman dan data sensorik untuk memangkas kesalahan tersebut dari sistem.

Ketika manusia bertemu kejadian baru atau fenomena dalam realitas eksternal, diproses sesuai dengan arsitektur internal dari fitrah tersebut, ditafsirkan dan kemudian dimasukkan. Hasilnya adalah sebuah proses dinamis yang terus menyempurnakan intuisi untuk membawa mereka sejalan dengan gambaran yang lengkap kita tentang realitas. Hal ini cukup beralasan bahwa kita harus mempertahankan komponen standar kerangkakerja kita kecuali dan sampai ada bukti yang bertentangan secara luar biasa yang menunjukkan bahwa ada sesuatu yang  perlu disesuaikan untuk mengkalibrasi ulang sistem kita dengan kenyataan. Ini tidak masuk akal untuk berbicara tentang bukti fitrah, untuk itu adalah salah ketika mengandaikan logika dan bukti sebagai sepenuhnya ekstrinsik untuk fitrah, sedangkan konsep pembuktian sendiri hanya muncul dari fitrah tersebut; fitrah tidak bisa dihindari.

Mempertanyakan komponen individual dari arsitektur konseptual asli ini secara epistemis setara dengan mempertanyakan bagian lain dari itu. Jika seseorang mengatakan, "mengapa repot-repot dengan percaya pada Tuhan, itu hanya gagasan kecil kita harus meninggalkan!", Respon akan menjadi “bahwa itu akan tidak masuk akal untuk membuang komponen utama dari fitrah seseorang dan mempertahankan pinggirannya”. Jika alam semesta adalah sup partikel yang sia-sia, maka tidak akan ada yang baik atau buruk baik, dan moralitas bisa keluar jendela juga. Kausalitas, pikiran, waktu, dan semua sisa bagasi metafisik harus turun juga. Dan di mana arti dalam menjaga aksioma masa kecil kami tentang angka, penalaran dan logika, atau harapan kekanak-kanakan dari alam semesta yang diatur dan dimengerti (di mana semua ilmu dibangun)? Membuang segala sesuatu dari fitrah, maka tak seorangpun  dapat membangun pemahaman yang waras atau dimengerti tentang  sesuatu. Satu-satunya hal yang masuk akal untuk dilakukan adalah untuk mempertahankan cara yang masuk akal tentang “merasakan dunia”. Dan kita hanya membuang sesuatu yang tidak masuk akal.

Jadi kita telah datang jauh dari 'batu tulis kosong' untuk gagasan yang agak canggih dari sifat manusia. Bahasa, nilai-nilai moral, kecenderungan spiritual, pengertian metafisik - semua ini mereprestasikan struktur dalam pikiran, disusun dalam arsitektur yang berfungsi sangat kuat. Fitrah yang demikian terdiri dari peralatan konseptual dengan etika, spiritual, dan intelektual fungsi pengolahan dimana realitas eksternal diberi makna, dan perjalanan kehidupan menuju Allah terkandung di dalamnya.


___________________________________________________


Teks aslinya


Is the mind of a baby a blank slate or are there certain concepts ingrained in the human mind? Can human nature be demonstrated in infants from birth? Do thoughts about God and moral values naturally occur to a human growing up or are they fabricated ideas invented by previous cultures? Why are certain ideas and values so widespread among people?

People have long wondered and debated about human nature. Babies seem so similar and yet something must account for wide variation in the ideas, values, goals, and lifestyles of different individuals and societies. Are there some behaviours which arise naturally from the human being and others which arise solely due to the influence of the surrounding culture? Some would argue that many of the good traits of human beings arise naturally, including moral traits like compassion and concern for others.

The man known as the father of modern economics, Adam Smith (d. 1790CE), argued that sympathy must be inherent. He wrote, “No matter how selfish you think man is, it’s obvious that there are some principles in his nature that give him an interest in the welfare of others.”1 Others, like English philosopher John Locke (d.1704CE), argued that the human mind is essentially a blank slate at birth and that all knowledge is acquired through experience.2

Muslim scholars centuries earlier preceded such comments with a vast, rigorous and systematic analysis of human nature when defining the Fitrah – the primordial nature of all human beings.
What is the Fitrah?

Fitrah is an arabic word used in Islamic theology to refer to the natural constitution of human beings, i.e. the pure and pristine original state upon which God creates all human beings. The human’s natural state encompasses an inclination towards that which is morally and spiritually pure, upright and wholesome.3 The concept of the Fitrah comes from the Qur’an which states:

“So turn your face toward the true natural way of life – God’s chosen fitrah (constitution) upon which He has formed humanity. There is no altering the primary state of God’s creation. That is the correct way of life though most men fail to realize it. It is the path of turning towards God, remaining dutiful to Him, establishing prayer, and being not of those who ascribe partners to Him.” (Qur’an 30:30-31).

This is the default ‘factory setting’ with which all humans are delivered, if you will. The Qur’an presents the most fundamental aspect of the fitrah to be the spiritual inclination toward God, expressing one’s love of God in prayer and gratitude, and striving to come closer to God. In addition, the moral inclination towards caring for others and doing good is also part of this primordial state (the spiritual and moral are also interconnected – refer to this article). This is what accounts for our “moral conscience” that we speak about in every day life. If it is not corrupted, our moral conscience will be upset when we know we are doing something wrong. The Prophet Muhammad said, “Righteousness is good character, while sin is that which agitates and disturbs your soul and you would hate others to uncover” (Sahih Muslim). The fitrah is like having an internal compass that always points in the direction of good works which bring us closer to God.

Despite the fact that human beings live with so many different ideologies, religions, belief systems, and world-views, Islam teaches that we are all born with the same inherent nature and that these manufactured labels are acquired through one’s upbringing, one’s culture, one’s society and one’s environment. These labels are human ways of recognizing their own “brand”. Prophet Muhammad famously said, “Every single child is born upon the fitrah, and then his parents may make him into a Jew or Christian or Magian. Similarly, animals are born unbranded. Have you ever found an animal born branded until you brand it yourselves?” (Sahih Bukhari). The fitrah means a tendency that naturally develops and shapes the way we see ourselves and the world – it does not mean being born with set a of facts in one’s head, since the Qur’an states, “And God brought you forth from the wombs of your mothers not knowing a thing, but He granted you hearing, seeing, and reasoning so perhaps you may show gratitude” (Qur’an 16:78).

How does Islam relate to the fitrah?             

Without guidance, the fitrah is corruptible. The system of guidance revealed by God (known simply as ‘surrendering to Him’ or ‘Islam’) is the fulfillment of the natural disposition of human beings. The fitrah finds comfort in Islam as naturally as a hand fits in a glove. The early hadith scholar, Ibn Qutayba al-Daynuri (d.276H) points out that Islamic theology does not teach that children are born Muslim,4 but rather that they are born with a simple spiritual and intellectual inclination towards God and towards good,5 for God took a covenant with humanity prior to their earthly existence (referenced in Qur’an 7:172) and it is this primordial affirmation of God that yields the tendency to journey towards Him and towards good in this earthly existence. Thus, every child is born with a natural spiritual, moral and intellectual constitution by which they make sense of reality, and this inborn tendency is affirmed and nourished by the revealed system of guidance known as Islam.

Unlike assertions of man’s original sin or inherent evil in other theological and ideological systems, the Qur’anic discourse argues that the fundamental nature of human beings is inherently good. However, rather than cultivating that natural inclination towards good, human beings often descend into the gratification of lower desires including greed, hatred, envy, lust and power. These lower desires are termed the nafs in Islamic theology. The human soul constantly battles with a desire to feed the appetite of the nafs, which the human being knows to be destructive by virtue of the fitrah.

In his colossal work on reason and revelation entitled Dar’ ta’arud al-Aql wa’l-Naql,6 the famous Islamic theologian Ibn Taymiyyah writes, “The servants of God are inherently compelled by their fitrah to love God, though amongst them are those who corrupt this fitrah… and this love of God intensifies according to one’s knowledge of Him and the soundness of one’s fitrah. And it diminishes with diminished knowledge, and the pollution of one’s fitrah with corruptive vain desires.”7

While the concept of the inherent human disposition has been discussed in Islamic theology for centuries, many of its implications are remarkably being elaborated by contemporary research from childhood psychologists, cognitive scientists, ethicists, anthropologists and linguists. Some of the details of the fitrah shall be explored in parallel below.


Compassion, Justice, and Morality
                   
A large volume of experimental research in childhood psychology has established that infants and toddlers demonstrate compassion, empathy, as well as a sense of fairness and justice. The psychologist Paul Bloom outlines copious evidence in his book, Just Babies – The Origins of Good and Evil. Bloom notes that, “Developmental psychologists have long observed that one-year olds will pat and stroke others in distress.”8

There is also a clear capacity to discriminate moral good from evil at a strikingly early age. When five month old children were shown puppets demonstrating good behaviour (like helping to open a box or rolling a ball back) and other puppets demonstrating bad behaviour (like slamming the box shut or stealing the ball), the children invariably preferred the good puppets.9 Eight-month old infants even demonstrate a sense of disciplinary justice – they prefer a puppet that is mean to the bad puppet over one that is nice to the bad puppet; and at 21 months of age, toddlers will prefer to reward the good puppet with a treat and prefer to remove a treat from the bad puppet.10

This fairness and justice arises from the fitrah. Ibn Taymiyyah (d.728H) writes, “Souls are naturally disposed (majbula) to love justice and its supporters, and to hate injustice and its supporters; this love, which is in the fitra, is what is meant for [justice] to be good.”11 The moral values upon which we construct our lives stem from the intuitions which naturally arise in childhood and which are not stamped out by overriding sociocultural pressures.12

God, Purpose and Spirituality

Everyone wonders about purpose. Asking “why?” is perhaps one of the most quintessentially human acts fathomable. As an individual, one comes to realize many undeniable facts about the human condition. I am a sentient being, aware of myself and the universe I inhabit; I feel love, joy, pain, anguish; I can choose how to live my life; I may spend my life chasing livelihood until I inevitably die, buried beneath the earth and forgotten by all. What is it all for? Is life altogether pointless? Some people chase after pleasure and happiness, making more money, relying on frequent forms of entertainment, looking from one vacation to the next until retirement – but at the end of the day, life may feel hollow, shallow, empty, and meaningless. A human being can distract oneself from the deeper questions of life by pursuing the fleeting bodily pleasures as many do, or challenge oneself to engage in a serious search for meaning.

As it turns out, the search for meaning is a very early human intuition. Infants at 3 and 6 months of age will follow the eye gaze of an adult to visualize the intended object of interest.13 In fact, even testing on infants two days after birth, shows that newborn babies will prefer to look at actions that are purposeful – they prefer to look at a hand reaching toward something when an object is present and the hand is traveling in the appropriate direction.14

But the research on young children goes much further than this. The psychologist Justin Barrett discusses a large volume of experimental studies in this regard in his book Born Believers – The Science of Children’s Religious Belief. Children have a very strong propensity to see natural objects and events as the result of unseen intentional agency – something referred to as the Hypersensitive Agency Detection Device (HADD). Children offer teleological explanations for phenomena, preferring to think about the purpose behind things. So, how do children end up believing in God? The idea that belief came from one’s parents – the indoctrination hypothesis – has been supplanted by psychological research in favour of the preparedness hypothesis – children naturally develop this belief because their mental mechanisms have properties that favour learning about God.15

Moreover, children intuitively demonstrate certain theological notions about God. When asked who would know what was inside a concealed gift without opening it, three-year old children answered that a friend would not know what was inside, but God would know.16 Ibn Taymiyyah writes that the God is known to be All-Seeing and All-Hearing by one’s fitrah.17

Barrett and colleagues also found that children as young as three-years had a strong sense that God is immortal and would never die.18 In fact, according to Barrett,19 the psychological research allows one to reliably reconstruct a child’s “natural religion” as including the following beliefs: existence of superhuman beings with thoughts, wants, perspectives, and emotions; and elements of the natural world have been purposefully designed by superhuman beings, who possess knowledge beyond humans, and may be invisible and immortal.

Language and Numbers

Language is humanity’s most remarkable gift, the foundation of all civilizational achievements, and a defining property of our species. Human language allows for the incredible ability to use a very small finite system of symbols to formulate an infinite range of profoundly complex meanings, such that the present sentence you are reading has never been expressed before in the history of the universe. Languages are spectacularly complex systems of syntax, semantics, and sounds, but perhaps the most puzzling aspect of all is how on earth babies acquire it so easily, especially in the absence of any focused training (this is known as the ‘poverty of stimulus’). Consider the sentences “Fred appeared to Jim to like him” and the sentence “Fred appealed to Jim to like him“.20 Why does ‘him’ refer to Jim in the first sentence but to Fred in the second, even though the surface structure of both sentences is the same? Expressing a grammatical rule for such cases is no easy matter, but native speakers understand such sentences intuitively without any training.21

When we search and study the 7000 or so languages in the world, we find that there is a common syntax or universal grammar by which all such systems operate. The renowned linguist Noam Chomsky writes, “There are very deep and restrictive principles that determine the nature of human language and are rooted in the specific character of the human mind“.22 The evidence points to the existence of an internal structure within the human mind which infants use to determine what a language should consist of, and this system is called the ‘language acquisition device’ (LAD). That such a structure should exist would come as no surprise to the student of Islamic theology. In his fascinating work Miftah Dar al-Sa’adah, the theologian Ibn al-Qayyim (d.751H) notes that God is the one “who prepared the mind of the human by making it amenable to learning language in contrast to all other animals”23 and the Qur’an describes language as an inherent capacity of mankind (Qur’an 55:4, 2:31).


Understanding the natural numbers also happens to be a capacity that develops naturally in human beings. Rudimentary conceptions of numerical magnitude have been demonstrated in infants at six months of age, in experiments where they distinguish between displays with different quantities of items, as well as experiments with different numbers of repeated sounds.24 Ibn Taymiyyah provides the proposition “one is half of two” as an example of fitrah knowledge,25 which seems particularly appropriate, given that at this early stage infants rely on “the ratio and not the absolute difference between two numbers, since infants succeeded in discriminating four versus eight sounds but failed at four versus six sounds”.26



If one were to take a step back and examine even broader metaphysical notions, like causality, it would become evident that these too are grounded in the human being’s natural worldview. In fact, experimental research in preschool children (ages 3 to 5) suggests the precise kind of causal structure we prefer to see in the universe – children will act with the assumption of deterministic causal relations when intervening in a scenario, accepting stochastic inferences as a last resort or when there is no obvious direct causal link.27 We are likewise predisposed to view the universe as intelligible to human beings and governed by a natural order of uniformly applicable laws. When a leading cosmologist, Paul Davies, pointed out that these metaphysical views must be accepted on faith for no empirical data nor deductive argument can substantiate them, it created a flurry of startled responses. In fact, it is just part of the inherent meaning-making process by which the human mind operates. There is no a priori reason to presume that principles of logic devised in the minds of earthly organisms with limited capacities should apply unfailingly to the universe. Nevertheless, we wholeheartedly embrace the applicability of logical  reasoning, simply because our fitrah dictates it.

What are the implications?

From the moment of birth, human beings are flooded with a tsunami of visual and auditory data. The world is bright, noisy, messy, and by any reasonable estimate – it should be unintelligible to the newborn. But the human mind is not a passive vessel which is simply filled with the accumulation of sensory data. Rather, right from the beginning, the human mind is actively applying its conceptual architecture to the surrounding world, and using this interpretative framework to filter the noise and sights so they can be parsed into meaningful packets of words, objects, people, events, occurrences, goals, ideas, values, and meanings. Humans are predisposed by their fitrah to find purpose and prosperity in the world, so they cry for guidance and care, observe their surroundings, interpret their environment with causation and deduction, seek morally upright patterns of behaviour, and yearn for an existence worthy of God’s friendship.
                       

Some of the epistemological implications reflecting on the fitrah are quite profound. There is a natural way of looking at the world that is coherent and meaningful (discussed further in this article on meaningfulness). We try to fit everything together – our logical principles, our experiences, our moral judgements, our spiritual inclinations. When something doesn’t make sense, we constantly adjust and refine our understanding as we process our surroundings. A child initially incorrectly generates the plural “sheeps” by over-application of a correct rule, before using experience and sensory data to prune such errors from the system. When the human being encounters a new occurrence or phenomenon in the external reality, it is processed according to the internal architecture of the fitrah, interpreted and then incorporated. The result is a dynamic process of continuously refining intuitions to bring them in line with our complete picture of reality. It stands to reason that we should retain our default components of the framework unless and until there is overwhelming contradictory evidence suggesting that something needs to be adjusted to recalibrate our system with reality. It doesn’t make sense to talk about proof for the fitrah, for that falsely presupposes logic and proof as entirely extrinsic to the fitrah, whereas the very concept of proof itself only arises from the fitrah; the fitrah is inescapable. 28


Questioning any individual component of this native conceptual architecture is epistemically equivalent to questioning any other part of it. If one says, “why bother with believing in God, it’s just a childhood notion we should abandon!”, the response would be that it would make no sense to dispense with the central component of one’s fitrah and retain the periphery. If the universe is a pointless particle soup, then there’s no good or bad either, and morality can go out the window too. Causality, minds, time, and all the rest of the metaphysical baggage should be dropped as well. And where’s the sense in keeping our childhood axioms of numbers, reasoning and logic, or the childish expectation of an ordered and intelligible universe (on which all of science is constructed)?29 Dispense everything of the fitrah, and one can construct no sane or intelligible understanding of anything.30 The only sensible thing to do is to retain our sensible way of making sense of the world. And we only dispense with something that doesn’t make sense.

So we have come a long way from the ‘blank slate’ to a rather sophisticated notion of human nature. Language, moral values, spiritual inclinations, metaphysical notions – all of these represent structures within the mind, organized into a very robust functioning architecture. The fitrah is thus comprised of a conceptual apparatus with ethical, spiritual, and intellectual processing functions by which the external reality is rendered meaningful, and life’s journey towards God is appropriately conceived.


References
1. ↑ Smith, Adam. The Theory of Moral Sentiments. Copyright ©2010–2015 All rights reserved. Jonathan Bennett electronic print version
2. ↑ Locke, John. An Essay Concerning Human Understanding, Book 2, Chapter 1, pt. 2
3. ↑ Teeth are not present at birth, but they grow naturally in a baby. Likewise, not everything in the fitrah is present at birth, for the Prophet Muhammad included in the fitrah matters of personal grooming and hygiene like nail cutting and removal of body hair (Sahih Bukhari). However, it all grows naturally in the uncorrupted human child.
4. ↑ Ibn Qutayba writes: و الفطرة عندنا، الإقرار بالله والمعرفة به، لا الإسلام . Ibn Qutayba al-Daynuri, Islah fi ghalat Abi Ubayd. Dar al-Gharb al-Islami, Beirut. 1983. pp.58-59. The same point is established by Ibn Abdul-Barr al-Maliki (d. 463H), al-Tamheed li-ma fi’l-Muwatta min al-Ma’ani wa’l-Asaneed, Egypt 1967. vol. 18, p.77. He states: يستحيل أن تكون الفطرة المذكورة في قول النبي صلى الله عليه وسلم كل مولود يولد على الفطرة الإسلام؛ لأن الإسلام والإيمان قول باللسان واعتقاد بالقلب وعمل بالجوارح، وهذا معدوم من الطفل، لا يجهل ذلك ذو عقل.
5. ↑ Ibn Qutayba uses the term fitrah in conjugation with intellect (Ar. ‘aql) to include in this primordial nature the essence of man’s faculty of intellectual reasoning. He writes about the fitrah: و هي الحنفية التي وقعت لأول الخلق و جرت في فطر العقول . Ibid. p. 58.
6. ↑ This encyclopedic work by Ibn Taymiyyah has been extensively studied in two recent PhD dissertations: Carl Sharif El-Tobgui’s “Reason, Revelation, and the Reconstitution of Rationality: Taqi al-Din Ibn Taymiyya’s “Dar’ ta’arud al-‘aql wa-l-naql” (McGill University, 2013, unpublished) and Yasir Kazi’s “Reconciling Reason and Revelation in the Writings of Ibn Taymiyya (d. 728/1328)” (Yale University, 2013, unpublished). Both are outstanding scholarly works with unique strengths. El-Tobgui’s work contains a very precise analysis of Ibn Taymiyyah’s terminologies and epistemological framework, while Kazi’s work has meticulously documented a tremendous quantity of Ibn Taymiyyah’s quotations on the subject of the Fitrah and their intriguing implications. A very useful exposition of Ibn Taymiyyah’s views on the Fitrah is also provided by Ovamir Anjum in Politics, Law, and Community in Islamic Thought: The Taymiyyan Moment (2012), as well as Wael Hallaq in “Ibn Taymiyya on the Existence of God,” Acta Orientalia (Copenhagen), 52 (1991), 49-69.
7. ↑ Ibn Taymiyyah, Dar’ ta’arud al-Aql wa’l-Naql. Riyadh 1991. vol. 6, p.67,p.73
8. ↑ Bloom, Just Babies, p. 48
9. ↑ J. K. Hamlin and K. Wynn. Five- and 9- Month-Old Infants Prefer Prosocial to Antisocial Others. Cognitive Development 26 (2011): 30-39. As cited in Bloom, Just Babies, p. 30
10. ↑ J.K. Hamlin, K. Wynn, P. Bloom and N. Mahajan. How Infants and Toddlers React to Antisocial Others. Proceedings of the National Academy of Sciences 108 (2011): 124-30. As cited in Bloom, Just Babies, p.97-8
11. ↑ Ibn Taymiyyah, al-Radd ‘ala al-Mantiqiyyin, p. 423. Citation and translation from Anjum, Ovamir. Politics, Law, and Community in Islamic Thought: The Taymiyyan Moment, p 224.
12. ↑ It may be argued that there are also many immoral behaviours that come naturally to children. Children can be mean, selfish, bullies, prone to fits of uncontrollable yelling and temper tantrums. This is true, but misses the point altogether. There is a child-like way of construing reality and providing a conscience of what is right and what is wrong, and this is termed the fitrah. A natural moral outlook. Then there are childish behaviours and impulsive urges, even though one may recognize them to be wrong by the fitrah if given a moment to reflect. Thus, there is this constant tension between fitrah and nafs. Behavioural patterns may contradict one’s fitrah when the human tendency to act upon greedy and aggressive impulses overrides the inherent conceptualization of reality as an arena for moral growth.”
13. ↑ D’Entremont B. A perceptual-attentional explanation of gaze following in 3- and 6-month-olds. Developmental Science, 2000, 3: 302–311.
14. ↑ Craighero, L et al. Newborns’ preference for goal-directed actions. Cognition. Volume 120, Issue 1, July 2011, Pages 26–32).
15. ↑ Barrett, J. Born Believers. p.79
16. ↑ Giménez-Dasí, M. et al. Intimations of immortality and omniscience in early childhood. 2005. European Journal of Developmental Psychology. Volume 2, Issue 3, pp.285-297.
17. ↑ Dar, vol.10, p.76
18. ↑ Barrett, Born Believers, p.116
19. ↑ Barrett, Born Believers, p.137. He also notes on p.151 that he received emails from Muslims notifying him that this thesis is standard teaching in Islam, however he dismisses this by stating that the psychological research does not suggest that “children are born to believe in orthodox Muslim, Jewish, or Christian theology”. It should be evident from the foregoing discussion in this article that this is a simple misunderstanding on Barrett’s part – the concept of the fitrah is precisely just a natural tendency towards God and good, not being born with a religious theology
20. ↑ Similar to an example cited by Chomsky in Language and Mind, p.97
21. ↑ Some of these rules have yet to be conclusively mapped out by grammarians. Noam Chomsky writes, “Hence pronominal reference depends on both deep and surface structure. A person who knows English has mastered a system of rules which make use of properties of deep and surface structure in determining pronominal reference. Again, he cannot discover these rules by introspection. In fact, these rules are still unknown, though some of their properties are clear.” Ibid. p. 97
22. ↑ Chomsky, N. Language and Mind. p.90
23. ↑ Ibn al-Qayyim. Miftah Dar al-Sa’adah. p.290. The arabic reads: و من هيّا ذهنه لقبول هذا التعليم دون سائر الحيوانات؟.”
24. ↑ Xu et al. Number sense in human infants. Developmental Science 8:1 (2005), pp 88–101.
25. ↑ Ibn Taymiyyah. Majmu’ al-Fatawa, vol.9, p221.
26. ↑ Ibid.
27. ↑ Schulz LE, Sommerville J. God does not play dice: causal determinism and preschoolers’ causal inferences. Child Dev. 2006 Mar-Apr;77(2):427-42.
28. ↑ Ibn Taymiyyah writes in Majmu’ al-Fatawa vol. 2, p.72 that what is necessitated by the fitrah “requires no proof, because it is the most firmly-rooted of epistemologies, the most established of all knowledges, and the foundation of all foundations.” (فلا يحتاج هذا إلي دليل، بل هو أرسخ المعارف و أثبت العلوم، وأصل الأصول.)
This also indicates a subtle inaccuracy in some of the phrases that some authors have used in describing Ibn Taymiyyah’s exposition of the Fitrah, suggesting that it is “an alternative” to rational proofs, whereas in fact the very idea of proof and reason only surfaces in the human mind from the fitrah. Ibn Taymiyyah advanced a devastating critique of the presumed epistemological superiority of syllogistic argumentation in his Radd ‘ala’l-Mantiqiyyin and Naqd al-Mantiq, so to think that Ibn Taymiyyah is constructing a fitrah-based syllogism and then label it circular reasoning is evidently fallacious (see for instance Hallaq p.66 and Kazi p.322).
29. ↑ As Justin Barrett writes, “That belief in gods begins in childhood and typically continues into adulthood places it in the same class as believing in gravity, the permanence of solid objects, the continuity of time, the predictability of natural laws, that causes precede effects, that animals bear young similar to themselves, that people have thoughts and wants that motivate and guide their actions, that some things are morally right or wrong, that their mothers love them, and numerous other ideas about the world… I favor the approach that regards our minds as basically trustworthy to deliver true beliefs and that our naturally arising “childish” beliefs should be regarded as true until we have good reason to suspect them as being problematic. It is not clear to me that we can do otherwise and still function as normal, sane, human beings.” Barrett, J. Born Believers. pp. 172-173.
30. ↑ Ibn Taymiyyah writes that when something is established in the fitrah, “it is embedded in one’s nature, and imprinted in one’s mind, such that one cannot withstand discarding of it, nor is it even possible to discard it from oneself.” (هذا يدل علي تمكنها في الفطرة، و ثبوتها في الجبلة، و أنها مغروزة في النفوس، فمن دفع ذلك عن نفسه لم يقاوم نفسه، و لم يمكنه دفعها عن نفسه) Ibn Taymiyyah, Dar’, vol. 6, p. 105.

KELUARGA : DARI KETAHANAN MENUJU PERADABAN

  Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...