Fitrah – The Primordial Nature of Man
by
Dr. M. Nazir Khan | Jan 1, 2015
Apakah pikiran seorang bayi itu merupakan “batu
tulis kosong” ataukah di sana terdapat konsep-konsep tertentu yang tertanam dalam
pikiran manusia? Dapatkah sifat manusia ditunjukkan pada bayi sejak lahir?
Apakah pikiran tentang Tuhan dan nilai-nilai moral tumbuh secara alami terjadi
pada manusia atau merupakan ide-fabrikasi yang diciptakan oleh budaya sebelumnya?
Mengapa ide-ide dan nilai-nilai tertentu meluas di kalangan orang-orang?
Orang-orang telah lama bertanya-tanya dan berdebat
tentang sifat manusia. Bayi-bayi memang tampak sangat mirip, namun ada sesuatu
yang harus diperhitungkan tentang variasi yang luas dalam ide-ide, nilai-nilai,
tujuan, dan gaya hidup individu dan masyarakat yang berbeda. Apakah ada perilaku-perilaku yang muncul secara alami
dari manusia dan perilaku yang lain timbul semata-mata karena pengaruh budaya
sekitarnya? Beberapa berpendapat bahwa banyak dari sifat-sifat yang baik dari
manusia muncul secara alami, termasuk sifat-sifat moral yang seperti kasih
sayang dan kepedulian terhadap orang lain.
Tokoh yang dikenal sebagai bapak ekonomi
modern, Adam Smith (d. 1790CE), berpendapat bahwa rasa simpati itu pasti sudah
melekat (inheren). Dia menulis, "Tidak peduli seberapa egois Anda berpikir
tentang seorang manusia, adalah jelas bahwa ada beberapa prinsip di alam yang memberinya suatu ketertarikan untuk kesejahteraan
orang lain" Sedangkan yang lain, seperti filsuf Inggris John Locke
(d.1704CE), berpendapat bahwa pikiran manusia pada dasarnya adalah sebuah batu
tulis kosong saat lahir dan bahwa semua pengetahuan diperoleh melalui
experience.
Adapun ulama Muslim pada abad sebelumnya justru
telah lebih dulu memberi pandangan dengan analisis yang luas, tajam dan
sistematis terkait sifat manusia ketika mereka mendefinisikan Fitrah - sifat primordial
semua manusia.
Apa
Fitrah?
Fitrah adalah kata Arab yang digunakan dalam
teologi Islam untuk merujuk pada konstitusi alami manusia, yaitu keadaan semula
murni dan murni di mana Allah menciptakan semua manusia. Keadaan alami manusia
itu meliputi kecenderungan terhadap apa yang secara moral dan spiritual murni,
tegak lurus dan suci.
Konsep Fitrah berasal dari Al-Qur'an yang
menyatakan:
"Arahkan wajah Anda ke agama yang lurus
- fitrah pilihan Allah (konstitusi) di mana ia telah membentuk manusia. Tidak
ada yang mengubah dari ciptaan Allah. Itu adalah cara hidup yang benar meskipun
kebanyakan manusia tidak menyadari hal itu. Ini adalah jalan menuju Allah, yang
tersisa berbakti kepada-Nya, mendirikan shalat, dan menjadi bukan dari
orang-orang yang menganggap mitra-Nya "(QS 30: 30-31)
Ini adalah default 'pengaturan pabrik' yang diterima
semua manusia, jika Anda sepakat. Al-Qur'an menerangkan bahwa aspek yang paling
mendasar dari fitrah adalah kecenderungan spiritual terhadap Allah,
mengungkapkan cinta seseorang akan Allah dalam doa dan rasa syukur, dan
berjuang untuk datang lebih dekat kepada Allah. Selain itu, kecenderungan moral
untuk peduli terhadap orang lain dan
melakukan yang baik juga merupakan bagian dari unsur primordial ini (spiritual
dan moral juga saling berhubungan - baca artikel ini). Inilah yang menyumbang
"kesadaran moral" yang kita biacarakan dalam kehidupan sehari-hari.
Jika tidak rusak, hati nurani moral kita akan marah ketika kita tahu bahwa kita
melakukan sesuatu yang salah. Nabi Muhammad berkata, "Kebenaran adalah
karakter yang baik, sedangkan dosa adalah sesuatu yang mempengaruhi dan
mengganggu jiwa Anda dan Anda akan membenci orang lain untuk mengungkapnya"
(Sahih Muslim). Fitrah adalah seperti memiliki kompas internal yang selalu
menunjuk ke arah perbuatan baik yang membawa kita lebih dekat kepada Allah.
Terlepas dari kenyataan bahwa manusia hidup
dengan begitu banyak ideologi yang berbeda, agama, sistem kepercayaan, dan
pandangan dunia, Islam mengajarkan bahwa kita semua dilahirkan dengan sifat
yang melekat yang sama dan bahwa “manufactured labels” diperoleh melalui
pendidikan seseorang, budaya , masyarakat dan lingkungan seseorang. “Label” ini
adalah cara manusia mengakui "merek" mereka sendiri. Nabi Muhammad
terkenal mengatakan, "Setiap anak tunggal lahir pada fitrah, dan kemudian
orang tuanya mungkin membuatnya menjadi seorang Yahudi atau Kristen atau
Majusi... dst "(Sahih
Bukhari). Fitrah berarti kecenderungan yang alami yang mengembangkan dan
membentuk cara kita melihat diri kita dan dunia - itu tidak berarti dilahirkan
dengan satu set fakta di kepala seseorang, karena Al-Qur'an menyatakan,
"Dan Tuhan membawa Anda keluar dari rahim ibu Anda tidak tahu apa-apa,
tetapi Dia diberikan Anda mendengar, melihat, dan penalaran jadi mungkin Anda
bisa menunjukkan rasa terima kasih "(Qur'an 16:78).
Bagaimana Islam berhubungan dengan fitrah
itu?
Tanpa bimbingan, fitrah bisa rusak. Sistem
bimbingan diungkapkan oleh Allah (hanya dikenal sebagai 'menyerah kepada-Nya'
atau 'Islam') adalah pemenuhan fitrah manusia. Fitrah menemukan kenyamanan
dalam Islam secara alami seperti tangan cocok dengan sarung tangan. Ahli Hadits
generasi awal, Ibn al-Quthaybah Daynuri (d.276H) menunjukkan bahwa teologi
Islam tidak mengajarkan bahwa anak-anak dilahirkan Muslim, melainkan bahwa
mereka dilahirkan dengan kecenderungan spiritual dan intelektual sederhana
terhadap Allah dan terhadap yang baik, bahwa Allah mengambil perjanjian dengan
manusia sebelum keberadaan duniawi mereka (dirujuk dalam Al Qur'an 7: 172) dan
itu adalah penegasan primordial ini, bahwa Allah yang menghasilkan
kecenderungan untuk perjalanan menuju-Nya dan terhadap yang baik yang ada di
bumi ini. Dengan demikian, setiap anak lahir dengan fitrah (konstitusi alami)
spiritual, moral dan intelektual yang dengannya mereka memahami realitas, dan
kecenderungan bawaan ini ditegaskan dan dipelihara oleh sistem bimbingan yang dikenal
sebagai Islam.
Tidak seperti pernyataan tentang dosa asal manusia
atau sifat jahat yang melekat dalam sistem teologis dan ideologis lainnya,
wacana Alquran berpendapat bahwa sifat dasar manusia secara inheren adalah baik.
Namun, alih-alih membudidayakan kecenderungan alaminya itu menuju kebaikan,
manusia sering turun ke pemuasan keinginan yang rendah termasuk keserakahan,
kebencian, iri hati, nafsu dan kekuatan. Keinginan yang lebih rendah ini dalam
teologi Islam disebut dengan NAFSU. Jiwa manusia terus pertempuran dengan
keinginan untuk menuruti nafsu ini, yang manusia sendiri tahu bahwa ini akan
merusak, berdasarkan fitrah itu.
Dalam karya kolosalnyaya tentang akal dan
wahyu berjudul Dar 'ta'arud al-Aql wa-Naql, teolog Islam terkenal Ibnu Taimiyah
menulis, "Para hamba Tuhan yang terdorong dari dalam oleh fitrah mereka
untuk mencintai Allah, meskipun di antara mereka ada yang merusak fitrah ini
... dan rasa cinta kepada Allah ini mengintensifkan menurut pengetahuan seseorang
tentang Dia dan tingkat kesehatan fitrah seseorang. Dan itu berkurang dengan
pengetahuan berkurang, dan polusi fitrah seseorang dengan keinginan sia-sia
koruptif. "
Sementara konsep disposisi manusia yang
melekat telah dibahas dalam teologi Islam selama berabad-abad, banyak
implikasinya yang sedang dielaborasi oleh penelitian kontemporer dari psikolog
anak, ilmuwan kognitif, ahli etika, antropolog dan ahli bahasa. Beberapa
rincian fitrah akan dieksplorasi secara paralel di bawah ini.
Kasih sayang, Keadilan, dan Moralitas
Sejumlah besar penelitian eksperimental dalam
psikologi anak telah menetapkan bahwa bayi dan balita menunjukkan kasih sayang,
empati, serta rasa keadilan dan keadilan. Psikolog Paul Bloom menguraikan banyak
sekali bukti dalam bukunya, Just Babies - The Origins of Good and Evil. Bloom
mencatat bahwa, "psikolog perkembangan telah lama mengamati bahwa anak
usia satu tahun akan menepuk dan membelai yang lain saat dalam kesulitan."
Terdapat juga kapasitas yang jelas untuk
membedakan moral yang baik dari yang jahat pada usia dini. Ketika anak-anak
berusia lima bulan diperlihatkan boneka berperilaku baik (seperti membantu
untuk membuka kotak atau menggulirkan bola kembali) dan boneka lain yang
menunjukkan perilaku buruk (seperti membanting kotak tertutup atau mencuri
bola), anak-anak selalu suka boneka baik.
Delapan bulan bayi berusia bahkan menunjukkan rasa keadilan disiplin -
mereka lebih suka boneka yang berarti bagi boneka buruk dibanding dari boneka yang
menyenangkan untuk boneka buruk; dan pada usia 21 bulan, balita akan lebih
memilih untuk menghargai boneka baik dengan merawatnya dan lebih memilih untuk tidak
merawat boneka yang buruk
Kejujuran dan keadilan muncul dari fitrah tersebut. Ibnu
Taimiyah (d.728H) menulis, "Jiwa secara alami dikeluarkan (majbula) untuk
mencintai keadilan dan pendukungnya, dan membenci ketidakadilan dan
pendukungnya; cinta ini, yang di fitrah, adalah apa yang dimaksudkan untuk
[keadilan] untuk menjadi baik. "Nilai-nilai moral di atas mana kita
membangun kehidupan kita berasal dari intuisi yang secara alami muncul di masa
kecil dan yang tidak dibentuk oleh tekanan dari sosial budaya.
Tuhan, Tujuan dan Spiritualitas
Semua orang bertanya-tanya tentang tujuan.
Bertanya "mengapa?" mungkin salah satu tindakan yang paling dasar
dari manusia yg dapat diukur. Sebagai individu, seorang datang untuk mewujudkan
banyak fakta tak terbantahkan tentang kondisi manusia. Saya seorang makhluk
hidup, menyadari diri sendiri dan alam semesta dimana saya menghuni; Saya
merasakan kasih, sukacita, rasa sakit, penderitaan; Saya dapat memilih
bagaimana menjalani hidup saya; Saya mungkin menghabiskan hidup saya mengejar
kehidupan sampai aku pasti mati, terkubur di bawah bumi dan dilupakan oleh
semua. Untuk apa itu semua? Apakah hidup akan sama sekali sia-sia? Beberapa
orang mengejar kesenangan dan kebahagiaan, membuat lebih banyak uang, menyenangi
sering hiburan, melihat dari satu liburan ke berikutnya sampai pensiun - tetapi
pada akhir hari, hidup mungkin merasa hampa, dangkal, kosong, dan tak berarti.
Seorang manusia dapat saja mengalihkan perhatian dirinya dari
pertanyaan-pertanyaan yang lebih dalam tentang hidup dengan mengejar kesenangan
sekilas seperti dilakukan banyak orang, atau menantang diri untuk terlibat
dalam pencarian makna yang serius.
Ternyata, pencarian makna adalah intuisi
manusia yang sangat awal. Bayi pada 3 dan 6 bulan usia akan mengikuti tatapan
mata orang dewasa untuk memvisualisasikan objek tertentu yang menartik. Bahkan,
pengujian pada bayi dua hari setelah lahir, menunjukkan bahwa bayi yang baru
lahir akan lebih memilih untuk melihat tindakan yang bertujuan - mereka lebih
suka melihat tangan mencapai ke arah sesuatu ketika suatu objek hadir dan tangan
bergerak menuju tujuan yang tepat
Tapi penelitian pada anak-anak berjalan lebih
jauh dari ini. Psikolog Justin Barrett membahas sejumlah besar penelitian
eksperimental dalam hal ini dalam bukunya Born Belivers - The Science of Children
Religious Belief. Anak-anak memiliki kecenderungan yang sangat kuat untuk
melihat benda-benda alam dan peristiwa sebagai hasil dari lembaga disengaja tak
terlihat - sesuatu disebut sebagai Hipersensitive Agency Detection Device
(hadd). Anak-anak menawarkan penjelasan teleologis terhadap fenomena lebih
memilih untuk berpikir tentang tujuan di balik hal. Jadi, bagaimana anak-anak
akhirnya percaya pada Tuhan? Ide bahwa keyakinan itu berasal dari orang tua
seseorang - hipotesis indoktrinasi - telah digantikan oleh penelitian
psikologis yang mendukung hipotesis kesiapan - anak secara alami mengembangkan
keyakinan ini karena mekanisme mental mereka memiliki sifat yang mendukung
belajar tentang Tuhan
Selain itu, anak-anak secara intuitif
menunjukkan pengertian teologis tertentu tentang Tuhan. Ketika ditanya siapa
yang akan tahu apa yang ada di dalam hadiah tersembunyi tanpa membukanya,
anak-anak berusia tiga tahun menjawab bahwa teman tidak akan tahu apa yang ada
di dalam, tapi Tuhan akan know.Ibnu Taimiyah menulis bahwa Allah dikenal
sebagai Yang Maha Melihat dan Maha Mendengar oleh fitrah seseorang
Barrett dan rekan juga menemukan bahwa
anak-anak berumur tiga tahun memiliki rasa yang kuat bahwa Allah adalah abadi
dan tidak akan pernah mati. Bahkan, menurut Barrett, penelitian psikologis
memungkinkan seseorang untuk mampu merekonstruksi "agama alamiah"
anak termasuk keyakinan berikut: keberadaan makhluk super dengan pikiran,
keinginan, perspektif, dan emosi; dan unsur-unsur alam telah sengaja dirancang
oleh makhluk super, yang memiliki pengetahuan melampaui manusia, dan mungkin
tidak terlihat dan abadi.
Bahasa dan Nomor
Bahasa adalah karunia manusia yang paling
luar biasa, dasar dari semua prestasi peradaban, dan hanya dimiiliki oleh spesies
kita. Bahasa manusia memungkinkan untuk memiliki kemampuan luar biasa untuk
menggunakan sistem terbatas sangat kecil dari simbol untuk merumuskan berbagai
makna tak terbatas, mendalam yang kompleks, sehingga kalimat yang Anda baca ini
belum pernah diungkapkan sebelumnya dalam sejarah alam semesta. Bahasa adalah
sistem sintaks, semantik, dan suara yang spektakuler dan kompleks. Tapi mungkin
aspek yang paling membingungkan dari semua adalah bagaimana bayi di bumi memperolehnya begitu mudah, terutama dalam
tidak adanya pelatihan yang difokuskan (ini dikenal sebagai 'kemiskinan
stimulus' ). Pertimbangkan kalimat " Fred appeared to Jim to like him” (Fred
menampakkan ke Jim bahwa ia menyukainya) dan kalimat " Fred appealed to
Jim to like him”(Fred mengimbau Jim menyukainya). Mengapa 'dia' mengacu Jim
dalam kalimat pertama tetapi untuk Fred di kedua, meskipun struktur permukaan
kedua kalimat adalah sama? Mengekspresikan aturan tata bahasa untuk kasus-kasus
seperti ini tidak mudah, tapi penutur asli bisa memahami kalimat tersebut seperti
intuitif, tanpa pelatihan apapun.
Ketika kita mencari dan mempelajari 7000 atau
lebih bahasa di dunia, kita menemukan bahwa ada sintaks umum atau tata bahasa
universal yang semua sistem tersebut beroperasi. Linguis terkenal Noam Chomsky
menulis, "Ada prinsip-prinsip yang sangat dalam dan membatasi yang
menentukan sifat bahasa manusia dan berakar pada karakter spesifik dari pikiran
manusia". Poin bukti adanya struktur internal dalam pikiran manusia yang
bayi gunakan untuk menentukan apa bahasa harus terdiri dari, dan sistem ini
disebut 'Language Acquisition Device' (LAD). Bahwa struktur tersebut harus ada
akan datang tidak mengejutkan kepada siswa teologi Islam. Dalam karya yang
menariknya Miftah Dar al-Sa'adah, teolog Ibn al-Qayyim (d.751H) mencatat bahwa
Allah adalah Dia "yang menyiapkan
pikiran manusia dengan membuatnya setuju untuk belajar bahasa berbeda dengan
semua hewan lain" dan Al-Qur'an menggambarkan bahasa sebagai kapasitas
yang melekat pada manusia (Qur'an 55: 4, 02:31).
Memahami bilangan juga terjadi menjadi
kapasitas yang berkembang secara alami pada manusia. Konsepsi dasar dari ukuran
bilangan telah ditunjukan pada bayi di usia enam bulan, dalam percobaan di mana
mereka membedakan antara menampilkan dengan jumlah yang berbeda dari item,
serta percobaan dengan nomor yang berbeda dari bunyi. Berulang Ibnu Taimiyah
memberikan proposisi "satu setengah dua "sebagai contoh pengetahuan
fitrah, yang tampaknya sangat tepat, mengingat bahwa pada tahap awal ini bayi
bergantung pada" rasio dan bukan perbedaan mutlak antara dua angka, karena
bayi berhasil membedakan empat berbanding delapan suara namun gagal di empat
dibandingkan enam suara ".
Kalau kita kilas balik dan memeriksa gagasan
metafisik yang lebih luas, seperti kausalitas, maka akan menjadi jelas bahwa
ini juga didasarkan pada pandangan dunia alami manusia itu. Bahkan, penelitian
eksperimental pada anak-anak prasekolah (usia 3 sampai 5) menunjukkan jenis
yang tepat dari struktur kausal di mana kita lebih suka melihat di alam semesta.
Dimana anak akan bertindak dengan asumsi hubungan sebab-akibat-deterministik
saat intervensi di skenario, menerima kesimpulan stokastik sebagai upaya terakhir
atau saat tidak ada sebab-akibat langsung yang jelas kaitannya.
Kami juga cenderung untuk melihat alam
semesta sebagai yang dimengerti manusia dan diatur oleh tatanan alam hukum yang
berlaku seragam. Ketika seorang kosmolog terkemuka, Paul Davies, menunjukkan
bahwa pandangan metafisis harus diterima pada iman tanpa data empiris atau
argumen deduktif dapat mendukung mereka, itu menciptakan sebuah kebingungan
tanggapan terkejut. Bahkan, itu hanya bagian dari yang melekat makna-membuat
proses dimana pikiran manusia beroperasi. Tidak ada alasan apriori untuk
menganggap bahwa prinsip-prinsip logika dirancang dalam pikiran organisme
duniawi dengan kapasitas terbatas harus berlaku unfailingly ke alam semesta.
Namun demikian, kami sepenuh hati merangkul penerapan penalaran logis, hanya
karena fitrah kita menentukan itu.
Apa implikasinya
Dari saat lahir, manusia dibanjiri dengan
tsunami data visual dan pendengaran. Dunia terang, berisik, berantakan, dan dengan
estimasi yang wajar - itu harus dimengerti untuk bayi yang baru lahir. Tapi
pikiran manusia bukanlah kapal pasif yang hanya diisi dengan akumulasi data
sensorik. Sebaliknya, benar dari awal, pikiran manusia secara aktif menerapkan
arsitektur konseptual untuk dunia sekitarnya, dan menggunakan kerangka
interpretatif ini untuk menyaring suara dan pemandangan sehingga mereka bisa
diurai menjadi paket-paket yang berarti kata-kata, benda, orang, peristiwa,
kejadian , tujuan, ide, nilai-nilai, dan makna. Manusia didorong oleh fitrah
mereka untuk menemukan tujuan dan kemakmuran di dunia, sehingga mereka menangis
saat butuh bimbingan dan perawatan, mengamati lingkungan mereka,
menginterpretasikan lingkungan mereka dengan hubungan sebab akibat dan deduksi,
mencari pola moral perilaku yang tegak, dan merindukan keberadaan yang
semestinya tentang persahabatan Tuhan.
Beberapa implikasi epistemologis terefleksikan
pada fitrah ternyata cukup mendalam. Ada
cara alami melihat dunia yang koheren dan bermakna (dibahas lebih lanjut dalam
artikel ini pada kebermaknaan). Kami mencoba untuk menyesuaikan segala sesuatu
bersama-sama - prinsip-prinsip kami logis, pengalaman kami, penilaian moral
kita, kecenderungan rohani kita. Ketika sesuatu tidak masuk akal, kita
terus-menerus menyesuaikan dan memperbaiki pemahaman kita seperti kita
memproses lingkungan kita. Seorang anak awalnya salah menghasilkan bentuk jamak
dari "domba" yang disebabkan oleh penerapan-berlebih dari aturan yang
benar, sebelum menggunakan pengalaman dan data sensorik untuk memangkas
kesalahan tersebut dari sistem.
Ketika manusia bertemu kejadian baru atau
fenomena dalam realitas eksternal, diproses sesuai dengan arsitektur internal
dari fitrah tersebut, ditafsirkan dan kemudian dimasukkan. Hasilnya adalah
sebuah proses dinamis yang terus menyempurnakan intuisi untuk membawa mereka
sejalan dengan gambaran yang lengkap kita tentang realitas. Hal ini cukup
beralasan bahwa kita harus mempertahankan komponen standar kerangkakerja kita
kecuali dan sampai ada bukti yang bertentangan secara luar biasa yang menunjukkan
bahwa ada sesuatu yang perlu disesuaikan
untuk mengkalibrasi ulang sistem kita dengan kenyataan. Ini tidak masuk akal
untuk berbicara tentang bukti fitrah, untuk itu adalah salah ketika mengandaikan
logika dan bukti sebagai sepenuhnya ekstrinsik untuk fitrah, sedangkan konsep
pembuktian sendiri hanya muncul dari fitrah tersebut; fitrah tidak bisa
dihindari.
Mempertanyakan komponen individual dari
arsitektur konseptual asli ini secara epistemis setara dengan mempertanyakan
bagian lain dari itu. Jika seseorang mengatakan, "mengapa repot-repot
dengan percaya pada Tuhan, itu hanya gagasan kecil kita harus
meninggalkan!", Respon akan menjadi “bahwa itu akan tidak masuk akal untuk
membuang komponen utama dari fitrah seseorang dan mempertahankan pinggirannya”.
Jika alam semesta adalah sup partikel yang sia-sia, maka tidak akan ada yang
baik atau buruk baik, dan moralitas bisa keluar jendela juga. Kausalitas,
pikiran, waktu, dan semua sisa bagasi metafisik harus turun juga. Dan di mana
arti dalam menjaga aksioma masa kecil kami tentang angka, penalaran dan logika,
atau harapan kekanak-kanakan dari alam semesta yang diatur dan dimengerti (di
mana semua ilmu dibangun)? Membuang segala sesuatu dari fitrah, maka tak
seorangpun dapat membangun pemahaman
yang waras atau dimengerti tentang sesuatu.
Satu-satunya hal yang masuk akal untuk dilakukan adalah untuk mempertahankan
cara yang masuk akal tentang “merasakan dunia”. Dan kita hanya membuang sesuatu
yang tidak masuk akal.
Jadi kita telah datang jauh dari 'batu tulis
kosong' untuk gagasan yang agak canggih dari sifat manusia. Bahasa, nilai-nilai
moral, kecenderungan spiritual, pengertian metafisik - semua ini mereprestasikan
struktur dalam pikiran, disusun dalam arsitektur yang berfungsi sangat kuat.
Fitrah yang demikian terdiri dari peralatan konseptual dengan etika, spiritual,
dan intelektual fungsi pengolahan dimana realitas eksternal diberi makna, dan
perjalanan kehidupan menuju Allah terkandung di dalamnya.
___________________________________________________
Teks aslinya
Is the mind of a baby
a blank slate or are there certain concepts ingrained in the human mind? Can
human nature be demonstrated in infants from birth? Do thoughts about God and
moral values naturally occur to a human growing up or are they fabricated ideas
invented by previous cultures? Why are certain ideas and values so widespread
among people?
People have long
wondered and debated about human nature. Babies seem so similar and yet
something must account for wide variation in the ideas, values, goals, and
lifestyles of different individuals and societies. Are there some behaviours
which arise naturally from the human being and others which arise solely due to
the influence of the surrounding culture? Some would argue that many of the
good traits of human beings arise naturally, including moral traits like
compassion and concern for others.
The man known as the
father of modern economics, Adam Smith (d. 1790CE), argued that sympathy must
be inherent. He wrote, “No matter how selfish you think man is, it’s obvious
that there are some principles in his nature that give him an interest in the
welfare of others.”1 Others, like English philosopher John Locke (d.1704CE),
argued that the human mind is essentially a blank slate at birth and that all
knowledge is acquired through experience.2
Muslim scholars
centuries earlier preceded such comments with a vast, rigorous and systematic
analysis of human nature when defining the Fitrah – the primordial nature of
all human beings.
What is the Fitrah?
Fitrah is an arabic
word used in Islamic theology to refer to the natural constitution of human
beings, i.e. the pure and pristine original state upon which God creates all
human beings. The human’s natural state encompasses an inclination towards that
which is morally and spiritually pure, upright and wholesome.3 The concept of
the Fitrah comes from the Qur’an which states:
“So turn your face
toward the true natural way of life – God’s chosen fitrah (constitution) upon
which He has formed humanity. There is no altering the primary state of God’s
creation. That is the correct way of life though most men fail to realize it.
It is the path of turning towards God, remaining dutiful to Him, establishing
prayer, and being not of those who ascribe partners to Him.” (Qur’an 30:30-31).
This is the default
‘factory setting’ with which all humans are delivered, if you will. The Qur’an
presents the most fundamental aspect of the fitrah to be the spiritual
inclination toward God, expressing one’s love of God in prayer and gratitude,
and striving to come closer to God. In addition, the moral inclination towards
caring for others and doing good is also part of this primordial state (the
spiritual and moral are also interconnected – refer to this article). This is
what accounts for our “moral conscience” that we speak about in every day life.
If it is not corrupted, our moral conscience will be upset when we know we are
doing something wrong. The Prophet Muhammad said, “Righteousness is good
character, while sin is that which agitates and disturbs your soul and you
would hate others to uncover” (Sahih Muslim). The fitrah is like having an
internal compass that always points in the direction of good works which bring
us closer to God.
Despite the fact that
human beings live with so many different ideologies, religions, belief systems,
and world-views, Islam teaches that we are all born with the same inherent
nature and that these manufactured labels are acquired through one’s
upbringing, one’s culture, one’s society and one’s environment. These labels
are human ways of recognizing their own “brand”. Prophet Muhammad famously
said, “Every single child is born upon the fitrah, and then his parents may
make him into a Jew or Christian or Magian. Similarly, animals are born
unbranded. Have you ever found an animal born branded until you brand it
yourselves?” (Sahih Bukhari). The fitrah means a tendency that naturally
develops and shapes the way we see ourselves and the world – it does not mean
being born with set a of facts in one’s head, since the Qur’an states, “And God
brought you forth from the wombs of your mothers not knowing a thing, but He
granted you hearing, seeing, and reasoning so perhaps you may show gratitude”
(Qur’an 16:78).
How
does Islam relate to the fitrah?
Without guidance, the
fitrah is corruptible. The system of guidance revealed by God (known simply as
‘surrendering to Him’ or ‘Islam’) is the fulfillment of the natural disposition
of human beings. The fitrah finds comfort in Islam as naturally as a hand fits
in a glove. The early hadith scholar, Ibn Qutayba al-Daynuri (d.276H) points
out that Islamic theology does not teach that children are born Muslim,4 but
rather that they are born with a simple spiritual and intellectual inclination
towards God and towards good,5 for God took a covenant with humanity prior to
their earthly existence (referenced in Qur’an 7:172) and it is this primordial
affirmation of God that yields the tendency to journey towards Him and towards
good in this earthly existence. Thus, every child is born with a natural
spiritual, moral and intellectual constitution by which they make sense of
reality, and this inborn tendency is affirmed and nourished by the revealed
system of guidance known as Islam.
Unlike assertions of
man’s original sin or inherent evil in other theological and ideological
systems, the Qur’anic discourse argues that the fundamental nature of human
beings is inherently good. However, rather than cultivating that natural
inclination towards good, human beings often descend into the gratification of
lower desires including greed, hatred, envy, lust and power. These lower
desires are termed the nafs in Islamic theology. The human soul constantly
battles with a desire to feed the appetite of the nafs, which the human being
knows to be destructive by virtue of the fitrah.
In his colossal work
on reason and revelation entitled Dar’ ta’arud al-Aql wa’l-Naql,6 the famous
Islamic theologian Ibn Taymiyyah writes, “The servants of God are inherently
compelled by their fitrah to love God, though amongst them are those who
corrupt this fitrah… and this love of God intensifies according to one’s knowledge
of Him and the soundness of one’s fitrah. And it diminishes with diminished
knowledge, and the pollution of one’s fitrah with corruptive vain desires.”7
While the concept of
the inherent human disposition has been discussed in Islamic theology for
centuries, many of its implications are remarkably being elaborated by
contemporary research from childhood psychologists, cognitive scientists,
ethicists, anthropologists and linguists. Some of the details of the fitrah
shall be explored in parallel below.
Compassion, Justice,
and Morality
A large volume of
experimental research in childhood psychology has established that infants and
toddlers demonstrate compassion, empathy, as well as a sense of fairness and
justice. The psychologist Paul Bloom outlines copious evidence in his book,
Just Babies – The Origins of Good and Evil. Bloom notes that, “Developmental
psychologists have long observed that one-year olds will pat and stroke others
in distress.”8
There is also a clear
capacity to discriminate moral good from evil at a strikingly early age. When
five month old children were shown puppets demonstrating good behaviour (like
helping to open a box or rolling a ball back) and other puppets demonstrating
bad behaviour (like slamming the box shut or stealing the ball), the children
invariably preferred the good puppets.9 Eight-month old infants even
demonstrate a sense of disciplinary justice – they prefer a puppet that is mean
to the bad puppet over one that is nice to the bad puppet; and at 21 months of
age, toddlers will prefer to reward the good puppet with a treat and prefer to
remove a treat from the bad puppet.10
This fairness and
justice arises from the fitrah. Ibn Taymiyyah (d.728H) writes, “Souls are
naturally disposed (majbula) to love justice and its supporters, and to hate
injustice and its supporters; this love, which is in the fitra, is what is
meant for [justice] to be good.”11 The moral values upon which we construct our
lives stem from the intuitions which naturally arise in childhood and which are
not stamped out by overriding sociocultural pressures.12
God, Purpose and
Spirituality
Everyone wonders
about purpose. Asking “why?” is perhaps one of the most quintessentially human
acts fathomable. As an individual, one comes to realize many undeniable facts
about the human condition. I am a sentient being, aware of myself and the
universe I inhabit; I feel love, joy, pain, anguish; I can choose how to live
my life; I may spend my life chasing livelihood until I inevitably die, buried beneath
the earth and forgotten by all. What is it all for? Is life altogether
pointless? Some people chase after pleasure and happiness, making more money,
relying on frequent forms of entertainment, looking from one vacation to the
next until retirement – but at the end of the day, life may feel hollow,
shallow, empty, and meaningless. A human being can distract oneself from the
deeper questions of life by pursuing the fleeting bodily pleasures as many do,
or challenge oneself to engage in a serious search for meaning.
As it turns out, the
search for meaning is a very early human intuition. Infants at 3 and 6 months
of age will follow the eye gaze of an adult to visualize the intended object of
interest.13 In fact, even testing on infants two days after birth, shows that
newborn babies will prefer to look at actions that are purposeful – they prefer
to look at a hand reaching toward something when an object is present and the
hand is traveling in the appropriate direction.14
But the research on
young children goes much further than this. The psychologist Justin Barrett
discusses a large volume of experimental studies in this regard in his book
Born Believers – The Science of Children’s Religious Belief. Children have a
very strong propensity to see natural objects and events as the result of
unseen intentional agency – something referred to as the Hypersensitive Agency
Detection Device (HADD). Children offer teleological explanations for
phenomena, preferring to think about the purpose behind things. So, how do
children end up believing in God? The idea that belief came from one’s parents
– the indoctrination hypothesis – has been supplanted by psychological research
in favour of the preparedness hypothesis – children naturally develop this
belief because their mental mechanisms have properties that favour learning
about God.15
Moreover, children
intuitively demonstrate certain theological notions about God. When asked who
would know what was inside a concealed gift without opening it, three-year old
children answered that a friend would not know what was inside, but God would
know.16 Ibn Taymiyyah writes that the God is known to be All-Seeing and
All-Hearing by one’s fitrah.17
Barrett and
colleagues also found that children as young as three-years had a strong sense
that God is immortal and would never die.18 In fact, according to Barrett,19
the psychological research allows one to reliably reconstruct a child’s
“natural religion” as including the following beliefs: existence of superhuman
beings with thoughts, wants, perspectives, and emotions; and elements of the
natural world have been purposefully designed by superhuman beings, who possess
knowledge beyond humans, and may be invisible and immortal.
Language and Numbers
Language is
humanity’s most remarkable gift, the foundation of all civilizational
achievements, and a defining property of our species. Human language allows for
the incredible ability to use a very small finite system of symbols to
formulate an infinite range of profoundly complex meanings, such that the
present sentence you are reading has never been expressed before in the history
of the universe. Languages are spectacularly complex systems of syntax,
semantics, and sounds, but perhaps the most puzzling aspect of all is how on
earth babies acquire it so easily, especially in the absence of any focused
training (this is known as the ‘poverty of stimulus’). Consider the sentences
“Fred appeared to Jim to like him” and the sentence “Fred appealed to Jim to
like him“.20 Why does ‘him’ refer to Jim in the first sentence but to Fred in
the second, even though the surface structure of both sentences is the same?
Expressing a grammatical rule for such cases is no easy matter, but native
speakers understand such sentences intuitively without any training.21
When we search and
study the 7000 or so languages in the world, we find that there is a common
syntax or universal grammar by which all such systems operate. The renowned
linguist Noam Chomsky writes, “There are very deep and restrictive principles
that determine the nature of human language and are rooted in the specific
character of the human mind“.22 The evidence points to the existence of an
internal structure within the human mind which infants use to determine what a
language should consist of, and this system is called the ‘language acquisition
device’ (LAD). That such a structure should exist would come as no surprise to
the student of Islamic theology. In his fascinating work Miftah Dar al-Sa’adah,
the theologian Ibn al-Qayyim (d.751H) notes that God is the one “who prepared
the mind of the human by making it amenable to learning language in contrast to
all other animals”23 and the Qur’an describes language as an inherent capacity
of mankind (Qur’an 55:4, 2:31).
Understanding the
natural numbers also happens to be a capacity that develops naturally in human
beings. Rudimentary conceptions of numerical magnitude have been demonstrated
in infants at six months of age, in experiments where they distinguish between
displays with different quantities of items, as well as experiments with
different numbers of repeated sounds.24 Ibn Taymiyyah provides the proposition
“one is half of two” as an example of fitrah knowledge,25 which seems
particularly appropriate, given that at this early stage infants rely on “the
ratio and not the absolute difference between two numbers, since infants
succeeded in discriminating four versus eight sounds but failed at four versus
six sounds”.26
If one were to take a
step back and examine even broader metaphysical notions, like causality, it
would become evident that these too are grounded in the human being’s natural
worldview. In fact, experimental research in preschool children (ages 3 to 5)
suggests the precise kind of causal structure we prefer to see in the universe
– children will act with the assumption of deterministic causal relations when
intervening in a scenario, accepting stochastic inferences as a last resort or
when there is no obvious direct causal link.27 We are likewise predisposed to
view the universe as intelligible to human beings and governed by a natural
order of uniformly applicable laws. When a leading cosmologist, Paul Davies,
pointed out that these metaphysical views must be accepted on faith for no
empirical data nor deductive argument can substantiate them, it created a
flurry of startled responses. In fact, it is just part of the inherent
meaning-making process by which the human mind operates. There is no a priori
reason to presume that principles of logic devised in the minds of earthly
organisms with limited capacities should apply unfailingly to the universe.
Nevertheless, we wholeheartedly embrace the applicability of logical reasoning, simply because our fitrah dictates
it.
What are the
implications?
From the moment of
birth, human beings are flooded with a tsunami of visual and auditory data. The
world is bright, noisy, messy, and by any reasonable estimate – it should be
unintelligible to the newborn. But the human mind is not a passive vessel which
is simply filled with the accumulation of sensory data. Rather, right from the
beginning, the human mind is actively applying its conceptual architecture to
the surrounding world, and using this interpretative framework to filter the
noise and sights so they can be parsed into meaningful packets of words,
objects, people, events, occurrences, goals, ideas, values, and meanings.
Humans are predisposed by their fitrah to find purpose and prosperity in the
world, so they cry for guidance and care, observe their surroundings, interpret
their environment with causation and deduction, seek morally upright patterns
of behaviour, and yearn for an existence worthy of God’s friendship.
Some of the
epistemological implications reflecting on the fitrah are quite profound. There
is a natural way of looking at the world that is coherent and meaningful
(discussed further in this article on meaningfulness). We try to fit everything
together – our logical principles, our experiences, our moral judgements, our
spiritual inclinations. When something doesn’t make sense, we constantly adjust
and refine our understanding as we process our surroundings. A child initially
incorrectly generates the plural “sheeps” by over-application of a correct
rule, before using experience and sensory data to prune such errors from the
system. When the human being encounters a new occurrence or phenomenon in the
external reality, it is processed according to the internal architecture of the
fitrah, interpreted and then incorporated. The result is a dynamic process of
continuously refining intuitions to bring them in line with our complete
picture of reality. It stands to reason that we should retain our default
components of the framework unless and until there is overwhelming
contradictory evidence suggesting that something needs to be adjusted to
recalibrate our system with reality. It doesn’t make sense to talk about proof
for the fitrah, for that falsely presupposes logic and proof as entirely
extrinsic to the fitrah, whereas the very concept of proof itself only arises
from the fitrah; the fitrah is inescapable. 28
Questioning any
individual component of this native conceptual architecture is epistemically
equivalent to questioning any other part of it. If one says, “why bother with
believing in God, it’s just a childhood notion we should abandon!”, the
response would be that it would make no sense to dispense with the central
component of one’s fitrah and retain the periphery. If the universe is a
pointless particle soup, then there’s no good or bad either, and morality can
go out the window too. Causality, minds, time, and all the rest of the
metaphysical baggage should be dropped as well. And where’s the sense in
keeping our childhood axioms of numbers, reasoning and logic, or the childish
expectation of an ordered and intelligible universe (on which all of science is
constructed)?29 Dispense everything of the fitrah, and one can construct no
sane or intelligible understanding of anything.30 The only sensible thing to do
is to retain our sensible way of making sense of the world. And we only
dispense with something that doesn’t make sense.
So we have come a
long way from the ‘blank slate’ to a rather sophisticated notion of human
nature. Language, moral values, spiritual inclinations, metaphysical notions –
all of these represent structures within the mind, organized into a very robust
functioning architecture. The fitrah is thus comprised of a conceptual
apparatus with ethical, spiritual, and intellectual processing functions by
which the external reality is rendered meaningful, and life’s journey towards
God is appropriately conceived.
References
1. ↑ Smith, Adam. The Theory of Moral Sentiments. Copyright ©2010–2015
All rights reserved. Jonathan Bennett electronic print version
2. ↑ Locke, John. An Essay Concerning Human Understanding, Book 2, Chapter 1, pt. 2
3. ↑ Teeth are not present at birth, but they grow naturally in a baby.
Likewise, not everything in the fitrah is present at birth, for the
Prophet Muhammad included in the fitrah matters of personal grooming and
hygiene like nail cutting and removal of body hair (Sahih Bukhari).
However, it all grows naturally in the uncorrupted human child.
4. ↑
Ibn Qutayba writes: و الفطرة عندنا، الإقرار بالله والمعرفة به، لا
الإسلام . Ibn Qutayba al-Daynuri, Islah fi ghalat Abi Ubayd. Dar
al-Gharb al-Islami, Beirut. 1983. pp.58-59. The same point is
established by Ibn Abdul-Barr al-Maliki (d. 463H), al-Tamheed li-ma
fi’l-Muwatta min al-Ma’ani wa’l-Asaneed, Egypt 1967. vol. 18, p.77. He
states: يستحيل أن تكون الفطرة المذكورة في قول النبي صلى الله عليه وسلم
كل مولود يولد على الفطرة الإسلام؛ لأن الإسلام والإيمان قول باللسان
واعتقاد بالقلب وعمل بالجوارح، وهذا معدوم من الطفل، لا يجهل ذلك ذو عقل.
5. ↑ Ibn Qutayba uses the term fitrah in conjugation with intellect
(Ar. ‘aql) to include in this primordial nature the essence of man’s
faculty of intellectual reasoning. He writes about the fitrah: و هي
الحنفية التي وقعت لأول الخلق و جرت في فطر العقول . Ibid. p. 58.
6. ↑
This encyclopedic work by Ibn Taymiyyah has been extensively studied in
two recent PhD dissertations: Carl Sharif El-Tobgui’s “Reason,
Revelation, and the Reconstitution of Rationality: Taqi al-Din Ibn
Taymiyya’s “Dar’ ta’arud al-‘aql wa-l-naql” (McGill University, 2013,
unpublished) and Yasir Kazi’s “Reconciling Reason and Revelation in the
Writings of Ibn Taymiyya (d. 728/1328)” (Yale University, 2013,
unpublished). Both are outstanding scholarly works with unique
strengths. El-Tobgui’s work contains a very precise analysis of Ibn
Taymiyyah’s terminologies and epistemological framework, while Kazi’s
work has meticulously documented a tremendous quantity of Ibn
Taymiyyah’s quotations on the subject of the Fitrah and their intriguing
implications. A very useful exposition of Ibn Taymiyyah’s views on the
Fitrah is also provided by Ovamir Anjum in Politics, Law, and Community
in Islamic Thought: The Taymiyyan Moment (2012), as well as Wael Hallaq
in “Ibn Taymiyya on the Existence of God,” Acta Orientalia (Copenhagen),
52 (1991), 49-69.
7. ↑ Ibn Taymiyyah, Dar’ ta’arud al-Aql wa’l-Naql. Riyadh 1991. vol. 6, p.67,p.73
8. ↑ Bloom, Just Babies, p. 48
9. ↑ J. K. Hamlin and K. Wynn. Five- and 9- Month-Old Infants Prefer
Prosocial to Antisocial Others. Cognitive Development 26 (2011): 30-39.
As cited in Bloom, Just Babies, p. 30
10. ↑ J.K. Hamlin, K. Wynn, P.
Bloom and N. Mahajan. How Infants and Toddlers React to Antisocial
Others. Proceedings of the National Academy of Sciences 108 (2011):
124-30. As cited in Bloom, Just Babies, p.97-8
11. ↑ Ibn Taymiyyah,
al-Radd ‘ala al-Mantiqiyyin, p. 423. Citation and translation from
Anjum, Ovamir. Politics, Law, and Community in Islamic Thought: The
Taymiyyan Moment, p 224.
12. ↑ It may be argued that there are also
many immoral behaviours that come naturally to children. Children can be
mean, selfish, bullies, prone to fits of uncontrollable yelling and
temper tantrums. This is true, but misses the point altogether. There is
a child-like way of construing reality and providing a conscience of
what is right and what is wrong, and this is termed the fitrah. A
natural moral outlook. Then there are childish behaviours and impulsive
urges, even though one may recognize them to be wrong by the fitrah if
given a moment to reflect. Thus, there is this constant tension between
fitrah and nafs. Behavioural patterns may contradict one’s fitrah when
the human tendency to act upon greedy and aggressive impulses overrides
the inherent conceptualization of reality as an arena for moral growth.”
13. ↑ D’Entremont B. A perceptual-attentional explanation of gaze
following in 3- and 6-month-olds. Developmental Science, 2000, 3:
302–311.
14. ↑ Craighero, L et al. Newborns’ preference for
goal-directed actions. Cognition. Volume 120, Issue 1, July 2011, Pages
26–32).
15. ↑ Barrett, J. Born Believers. p.79
16. ↑
Giménez-Dasí, M. et al. Intimations of immortality and omniscience in
early childhood. 2005. European Journal of Developmental Psychology.
Volume 2, Issue 3, pp.285-297.
17. ↑ Dar, vol.10, p.76
18. ↑ Barrett, Born Believers, p.116
19. ↑ Barrett, Born Believers, p.137. He also notes on p.151 that he
received emails from Muslims notifying him that this thesis is standard
teaching in Islam, however he dismisses this by stating that the
psychological research does not suggest that “children are born to
believe in orthodox Muslim, Jewish, or Christian theology”. It should be
evident from the foregoing discussion in this article that this is a
simple misunderstanding on Barrett’s part – the concept of the fitrah is
precisely just a natural tendency towards God and good, not being born
with a religious theology
20. ↑ Similar to an example cited by Chomsky in Language and Mind, p.97
21. ↑ Some of these rules have yet to be conclusively mapped out by
grammarians. Noam Chomsky writes, “Hence pronominal reference depends on
both deep and surface structure. A person who knows English has
mastered a system of rules which make use of properties of deep and
surface structure in determining pronominal reference. Again, he cannot
discover these rules by introspection. In fact, these rules are still
unknown, though some of their properties are clear.” Ibid. p. 97
22. ↑ Chomsky, N. Language and Mind. p.90
23. ↑ Ibn al-Qayyim. Miftah Dar al-Sa’adah. p.290. The arabic reads: و من هيّا ذهنه لقبول هذا التعليم دون سائر الحيوانات؟.”
24. ↑ Xu et al. Number sense in human infants. Developmental Science 8:1 (2005), pp 88–101.
25. ↑ Ibn Taymiyyah. Majmu’ al-Fatawa, vol.9, p221.
26. ↑ Ibid.
27. ↑ Schulz LE, Sommerville J. God does not play dice: causal
determinism and preschoolers’ causal inferences. Child Dev. 2006
Mar-Apr;77(2):427-42.
28. ↑ Ibn Taymiyyah writes in Majmu’ al-Fatawa
vol. 2, p.72 that what is necessitated by the fitrah “requires no
proof, because it is the most firmly-rooted of epistemologies, the most
established of all knowledges, and the foundation of all foundations.”
(فلا يحتاج هذا إلي دليل، بل هو أرسخ المعارف و أثبت العلوم، وأصل الأصول.)
This also indicates a subtle inaccuracy in some of the phrases that
some authors have used in describing Ibn Taymiyyah’s exposition of the
Fitrah, suggesting that it is “an alternative” to rational proofs,
whereas in fact the very idea of proof and reason only surfaces in the
human mind from the fitrah. Ibn Taymiyyah advanced a devastating
critique of the presumed epistemological superiority of syllogistic
argumentation in his Radd ‘ala’l-Mantiqiyyin and Naqd al-Mantiq, so to
think that Ibn Taymiyyah is constructing a fitrah-based syllogism and
then label it circular reasoning is evidently fallacious (see for
instance Hallaq p.66 and Kazi p.322).
29. ↑ As Justin Barrett
writes, “That belief in gods begins in childhood and typically continues
into adulthood places it in the same class as believing in gravity, the
permanence of solid objects, the continuity of time, the predictability
of natural laws, that causes precede effects, that animals bear young
similar to themselves, that people have thoughts and wants that motivate
and guide their actions, that some things are morally right or wrong,
that their mothers love them, and numerous other ideas about the world… I
favor the approach that regards our minds as basically trustworthy to
deliver true beliefs and that our naturally arising “childish” beliefs
should be regarded as true until we have good reason to suspect them as
being problematic. It is not clear to me that we can do otherwise and
still function as normal, sane, human beings.” Barrett, J. Born
Believers. pp. 172-173.
30. ↑ Ibn Taymiyyah writes that when
something is established in the fitrah, “it is embedded in one’s nature,
and imprinted in one’s mind, such that one cannot withstand discarding
of it, nor is it even possible to discard it from oneself.” (هذا يدل علي
تمكنها في الفطرة، و ثبوتها في الجبلة، و أنها مغروزة في النفوس، فمن دفع
ذلك عن نفسه لم يقاوم نفسه، و لم يمكنه دفعها عن نفسه) Ibn Taymiyyah,
Dar’, vol. 6, p. 105.