Friday, June 19, 2015

Tujuh Rahasia Menjadi Ayah Hebat


Alhamdulillah bisa menghadiri lagi pemaparan tentang Parenting. Kali ini oleh Ayah Irwan Rinaldi, pegiat parenting yang concern menyadarkan para ayah tentang peran pentingnya dalam mendidik anak. Kali ini saya hadir atas undangan dari TK ABATA, tempat anak keempat saya, Uki, bersekolah. Sekaligus launching pembangunan SDIT ABATA yang tahun ajaran 2015-2016 nanti membuka kelas perdana.

Menurut Ayah Irwan, suka atau tidak suka, penyebab masalah utama terjadi kenakalan remaja adalah kekosongan peran ayah pada pengasuhan anak saat usia kanak-kanak. Karena mereka tak memperoleh karakter KETEGASAN dari ayahnya. Kasus yang banyak terjadi saat anak gadis menyerahkan "kehormatan"-nya hanya karena rayuan gombal, sebabnya adalah saat usia jelang baligh ia tak menjumpai ayah yang memberikan teladan karakter tegas.

Kasus ketiadaan ayah di atas bisa karena ayah yang lalai untuk hadir di tengah-tengah anak. Bisa juga hadir, tapi kehadirannya tidak efektif. Padahal fitrah anak adalah ingin dekat dengan ayah. Lihat saat anak jelang kedatangan datang pulang kantor? Bukankah anak menanti dengan amat sangat?

Maka, bagi para Ayah, inilah  TUJUH RAHASIA menjadi Ayah hebat yang harus direalisasikan:

1. Komitmen
Ayah harus komitmen bahwa "Dia adalah anak saya". Maka ayah bertanggung jawab terhadap masa sekarang dan masa depannya terhadap aqliah, jasadiah, ruhiyah anak. Berapa ayah yg bertanggung jawab atas ruhiah anak sesuai perkembangan anak?

Jangan lewatkan masa emas 0-3 tahun: lewat pintu mata, telinga, hati. Beri masukan hal-hal yang baik. Bacakan Al Quran. Kenalkan 20 sahabat nabi.

Dari 700 ayah yg disurvei yg komit hanya 0-3% saja. Padahal kondisi pada usia  16-17 tergantung apa yang diperoleh anak saat 0-3 tahun!

Apa yg terjadi saat ayah lalai? Pengasuhan akan diasuh oleh komitmen yg lain. Ada banyak yg ambil alih. Mereka akan ambil idola dari yg lain yg bersumber TV, sekolah, masyarakat dan teman.

Bagaimana wujud komitmen ayah dalam pembentukan karakter?

Misalnya saat anak lihat polisi dan bilang "Polisi gagah benar ya, Yah!". Saat itulah momentum emas. Di situ bisa kenalkan Umar bin Khotob!

Syeikh Fathia Yakan mengatakan: guru terbaik saat PAUD, TK dan SD adalah guru yg tak lepas qiyamul, lalu matsurat.

Maka, buat komitmen besar dan komitmen harian secara TERTULIS. Misal :
- Setiap pulang kerja akan hadir menyapa anak dengan menggendong dan menatap wajah secara penuh dan membaca al Quran

- Saat anak jelang tidur dalam dekapan ayah dan ceritakan nabi dan sahabat

- Mendoakan dalam sholat  satu per satu

- Setiap jam tiga sore telpon ke anak


Kemudian, ceritakan komitmen itu. Lalu monitor perkembangannya agar konsisten. Terakhir, samakan komitmen itu saat di rumah dan di tempat kerja



2. KENALI DAN FAHAMI ANAK

Kapan anak merasa susah?
Siapa nama kawan anak paling dekat?
Apa motivasi terbaik anak saat drop?
Kapan saat,anak rasakan hal paling pahit saat hidupnya?
Terangkan kelemahan dan kelebihan anak?
Kapan saat anak kecewa?


Ada Ayah yang kenali anak secara umum.  Ada yang kenali anak secara khusus

Apa dampak nya?

0-7 tahun masa pengenalan kosakata, maka pinjamkan mulut kita.

7-12 tahun


3. KONSISTEN

Konsisten dalam value dan agama
Konsisten dalam suasana hati
Konsisten dalam hadir secara jiwa
Konsisten dalam menepati janji
Konsisten jaga lisan
Jadwalkan saat bertemu anak

4. MELINDUNGI DAN MENYEDIAKAN

Agar anak :
Tahu pintu keluar kalau ada, kebakaran di rumah
Tahu nomor panggilan darurat
Tahu barang yg beresiko
Tahu saat rumah bocor
Tahu bahaya,narkoba, pornografi, pergaulan bebas

Apakah yg kita, lakukan saat lihat anak perempuan kita yg pulang dibonceng cowok???


5. CINTAI IBU MEREKA

- Visi pengasuhan
- Pahami pasangan
- Komitmen pernikahan
- Pahami tahap-tahap perjalanan - perkawinan


6. MENDENGAR AKTIF


7. KEKUATAN SPIRITUAL
- Dengan belajar lebih banyak
- Ayah sebagai pemimpin spiritual anak

Ibn Qoyim al Jauziyah : salah asuh salah asih salah asah adalah akrab dengan ayah.

0_10 usia penanaman karakter.


Bagaimana kalau terlambat?

- Berbaik sangka kepada Allah
- Berbaik sangka kepada isteri
- Segera bayar hutang dengan action, bukan dengan verbal


Syarat sekolah bagi anak kita:
- Pendidikan yang patut
- Adanya pengasuhan









Thursday, June 18, 2015

PESELANCAR BAKAT YANG MELAWAN ARUS



Ini memang cerita tentang anak yang melawan arus. Juga tentang seorang ayah yang agak tega dan aneh. Mengedepankan bakat anak sampil bersekolah di sekolah akademis memang beresiko. Karena ia harus melawan arus, resiko minimalnya adalal mental yang jatuh. Resiko maksimalnya beasiswanya dicabut. Ya Si Teteh berada di Insan Cendekia Madani (ICM) Boarding School karena fasilitas beasiswa. Sangat wajar kalau ia dituntut prestasi sempurna.

Itulah yang dialami Si Teteh Fathia, anak pertama saya. Selama menjalani SMA-nya selama setahun di salah satu sekolah paling elite di negeri ini, ia memutuskan untuk mesyukuri nikmat potensi bakat dari Tuhannya. Ia memilih mengekspresikan kekuatan potensi bakatnya itu dalam beragam kegiatan. Sehingga ia mengalami apa yang diistilahkan oleh para psikolog pendidikan sebagai “keterhanyutan belajar”. Ya, ia memang begitu terhanyut  menikmati peran yang diberikan sekolah. Walau dengan pilihan itu ia harus mengorbankan capaian utama anak sekolah pada umumnya: nilai raport.

Misalnya, saat teman-temannya yang lain sibuk siapkan UAS. Ia masih bergulat dengan bulletin YES, latihan MC Wisuda dan persiapan Classmeeting. Lalu lintas email-nya  terlihat amat sibuk. Maka begitu UAS dijalani, bekal persiapannya amat minimalis.

Dari awal sayapun sangat ikhlas kalau nilai akademiknya jadi korban kesibukannya menjalani aktivitas sesuai tema bakatnya yang memang di luar akademik.  Saya lebih senang saat ia diamanahi jadi MC Wisuda ketimbang nilai matematikanya dapat 8 misalnya. Hati saya berjingkrak saat ia di utus sekolah ikut lomba presentasi di Universitas Prasetya Mulya . Juga  saat ia jadi ketua class meeting.  Sebelumnya saya amat senang saat mendengar  ia diamanahi jadi Sekretaris Tzorfas yang harus cari sponsor kegiatan ke mana-mana. Momen-momen tadi lebih menggembirakan saya ketimbang angka UAS di atas angka rata-rata kelas. Hasil Talent Mapping dan kecenderungan yang nampak memang ia kuat di aktivitas komunikasi, jurnalistik, dan berorganisasi.

Sebelum ini sebetulnya saya sudah jadi ayah yang aneh. Waktu Si Teteh lulus SMP setahun lalu saya ikhlaskan bersekolah di SMA negeri yang dekat rumah saja. SMA level kecamatan. Toh nilai UN-nya memang menjadikan ia tidak masuk SMA 1, 3 atau 5 favorit yang ia inginkan. Namun taqdir justru membawanya terbang jauh hingga ke Serpong. Berbekal karya tulisnya berupa blog dan buku membuat ICM menawarinya beasiswa. Jadilah ia salah satu penghuni surga belajar bernama ICM. Bagi si Teteh, ICM memang nyaris sempurna untuk dikatakan sebagai surga belajar. Guru, fasilitas, kegiatan semuanya amat kondusif. Kecuali ya itu, saat pembagian raport.

Mereka yang memilih menjalani passion/bakatnya memang kebanyakan memilih arus sendiri. Keluar dari arus utama.  Beberapa anak sebaya Fathia yang memilih mengembangkat bakat yang memang di luar akademik banyak yang memilih homeschooling. Merekapun bahagia menjalani perannya. Karena merdeka. Seperti hidup di habitatnya. Mereka berkembang dan tumbuh tanpa harus stres dengan beban sekolah.

Cara berbeda dipilih Si Teteh. Diprovokatori ayahnya yang aneh ini ia memilih untuk memasuki arus deras yang arahnya berlawanan. Akibatnya iapun mengalami resiko minimalnya. Yaitu saat ia jatuh mental. Seperti saat mendapat nilai hasil UAS yang berantakan. Sampai  diguyonin “mualaf” gara-gara nilai PAI yang cuma 67. Beruntung, ada mekanisme penyelamatan bernama remedial. Hasilnya, di ujung semester II kemarin ia menempati ranking 11. Persis berada di tengah-tengah. Sayapun kembali jadi aneh, saat menertawakan ranking itu. Padahal anaknya tengah menangis karena rankingnya turun 5 strip dibanding Semester I.

Suasana akhir semester jadinya seperti gado-gado. Ada gembira dan ada air mata. Karena baru tanggal 31 Mei 2015 Si Teteh bersuka cita mengalami "moment of talent" saat menjadi MC Wisuda dalam dua bahasa dan dipuji oleh Pak Tamsil Linrung. Ia juga menjurai lomba menulis essai di sekolahnya. Terakhir, menang lomba puisi saat class-meeting. Kegembiraan yang kemudian ditutup oleh air mata tersebab angka raport.

Saya akhirnya harus menetralisis dampak dari angka raport itu. Karena sebab mental yang jatuh itu membuat Si Teteh beberapa kali ia mengungkapkan keinginan untuk ber-homeschooling.  Maka, diskusi tentang bakat dan profesi masa depan kerap berlangsung. Juga contoh-contoh tentang kegagalan anak-anak berprestasi di kelas namun gagal dalam kehidupan di luar kelas. Betapa bakat-bakat terbaik yang ada di setiap individu terkubur dan tenggelam tertutupi target akademik, kurikulum, obsesi orang tua, dan cita-cita yang tidak pas dengan potensi. Saya tidak ingin "kegagalan" saya terulang di anak-anak saya.

Mempertahankan Si Teteh di ICM menurut saya justru karena suasana kondusif ICM bagi pengembangan bakat. Walaupun masih ada kendala mensiasati agenda akademik yang nilainya di raport  justru menjadi  acuan resmi pihak sekolah dan pihak lain.  Sebelum ini berubah, memang selalu akan menjadi dilema antara memilih bakat dan angka raport.

Rupanya pucuk dicinta ulam tiba. Dilema di atas sepertinya akan segera berakhir. Karena ternyata bahwa ICM segera akan berubah sesuai visinya yang baru :  MENJADI SEKOLAH TERDEPAN YANG MENGEMBANGKAN KEUNIKAN SISWA UNTUK MENGHASILKAN PEMIMPIN BERKARAKTER ISLAMI DAN TURUT BERTANGGUNG JAWAB ATAS TERWUJUDNYA MASYARAKAT MADANI.  Apalagi untuk aspek akademik, menurut Pak Great Ahmad wali kelasnya Fathia, akan memakai kurikulum Cambridge. Menurut Si Teteh, di salah pelajaran yang memakai kurikulum Cambridge ternyata lebih simple dan mudah difahami. Tentu ini menjadi kabar gembira buat saya dan Si Teteh

ICM sepertinya bergerak cepat untuk menjadi surga belajar sesungguhnya.  Setelah memiliki fasilitas yang memang sudah layak disebut surga belajar, kini di tahun keempatnya giliran visi ICM yang berubah. Visi tersebut membuat ICM sangat bersahabat dengan bakat unik setiap anak.  Dan, saya yakin visi ini bukan sekedar hiasan di brosur. Dengan SDM terbaik yang dimiliki ICM, visi ini akan benar-benar menjadi karakter ICM masa depan. Semoga.


KELUARGA : DARI KETAHANAN MENUJU PERADABAN

  Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...