by : ADRIANO RUSFI
Sudahlah... memang sudah nasib kita hidup di abad 20 dan 21 di mana Muslim menjadi ummat yang eksistensinya paling terancam dalam sejarah perjalanannya. Khilafahnya lenyap, negerinya terpecah dan terjajah, ekonominya porak poranda dan tradisi intelektualnya luluh-lantak. Di luar sana, ada srigala-srigala yang mengepung, tipu daya antar benua yeng bersekongkol, dan pemurtadan yang sistematis.
Yang tersisa adalah wajah-wajah terluka dan jiwa yang kehabisan rasa percaya diri. Kita seakan menjadi seonggok ummat yang dijauhi karunia. Tuhan seakan meninggalkan kita untuk bertarung sendirian. Lihatlah, derita itu seakan belum cukup puas untuk membiarkan sedikit harga diri yang masih tersisa. Di kiri ada media yang melakukan perang pikir mengusung kapitalisme. Di kanan ada liberalisme yang menawarkan asyik-masyuk hawa nafsu. Maka tak heran jika guru, orangtua, ulama, muballigh, mujahid dan mujtahid bersepakat meneriakkan sebuah kurikulum : LAWAN !!!
Inilah Teologi Perlawanan : sebuah aqidah untuk memberontak dari segala penindasan, penjara cemeti, belenggu dan tipu. Inilah teologi yang membangkitkan kesadaran bahwa kita adalah korban dan kita adalah pelengkap penderita. Inilah teologi yang membuka mata bahwa kita hidup di bawah tindihan sebuah batu besar kezaliman, dan kita benar-benar harus membongkarnya. Sungguh, kita adalah generasi yang berhutang sangat banyak kepada Al-Afghani, Abduh, Rasyid Ridha, Syakib Arsalan, Hasan AlBanna, Sayyid Quthb, AlMaududi, Natsir, serta para mujaddid, mujahid dan syahid lainnya. Rahmatilah mereka semua ya Allah...
Dan bagaikan sebuah obat, kita telah meminumnya dan penyakit itu telah berangsur-angsur sirna walau belum sepenuhnya sembuh. Setidaknya kesadaran itu telah tumbuh. Kita telah melawan, dan perlawanan itu telah bangkit di mana-mana. Bendera telah berkibar dan genderang telah ditabuhkan. Syi’ar telah hidup, ibadah telah marak dan syari’ah mulai tegak. Negeri-negeri telah merdeka dan puing yang terserak telah mulai disusun kembali. Bagi yang tak kufur nikmat, wajib untuk sumringah : Alhamdulillah...
Selayaknya sebuah terapi, maka ada dosis yang sudah mulai harus dikurangi, dan ada obat yang memang sudah harus diganti. Tabib lama telah menunaikan tugasnya, dan tangis kepedihan sudah saatnya untuk dihentikan. Tak sepatutnya doktrin-doktrin kaum mustadh’afin terus dikobarkan, ketika sang mustahik kini sudah mampu menjadi muzakki. Sungguh, obat akan berubah menjadi racun ketika kita masih saja menelan yang tak perlu dan meminum sesuatu yang telah menjadi overdosis. Ada saatnya kita merawat ratapan, namun kini saatnya kita harus berkata : “Janganlah merasa hina, janganlah bersedi hati. Kitalah yang tinggi jika kita beriman”
Ya, inilah TEOLOGI PEMBERADABAN. Inilah aqidah bagi orang-orang yang mensyukuri setiap tetes karunia, orang-orang yang optimis untuk tinggal landas. Inilah aqidah yang tak ingin terus-menerus menangisi masa lalu, dan optimis untuk menatap kegemilangan masa depan. Inilah aqidah dari orang-orang yang mengimani bahwa Tuhannya adalah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Yang penuh rahmat dan ampunan, Yang Maha Perkasa dan Maha Besar. Inilah aqidah yang mengimani firman Allah bahwa : “Kalian adalah ummat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia. Kalian menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar serta beriman kepada Allah...” (QS Ali Imran : 110)
Betul, masalah kita sangat banyak, karena memang begitulah watak hidup. Terkadang, satu masalah belum selesai, telah muncul lagi masalah baru. Yang lebih memilukan lagi, bahkan solusi untuk masalah lama justru melahirkan beberapa masalah baru sekaligus. Maka lihatlah, ummat ini punya masalah kemiskinan, ketidakadilan, cinta dunia, korupsi, kebodohan, kerapuhan aqidah, dekadensi moral, ditinggalkannya syari’ah, pemurtadan, dan masih banyak lagi. Miris rasanya jika harus disebutkan satu per satu.
Bukannya tak ada yang telah selesai. Banyak... sangat banyak malah. Ummat ini tak kurang-kurangnya memiliki para pemecah masalah yang militan dan brilyan. Bukankah kita telah memiliki organisasi Islam, Majelis Ulama, Perbankan Syari’ah, Ikatan Cendekiawan Muslim, Partai Islam, Serikat Dagang, Lembaga Dakwah dan sebagainya. Kita tak mungkin menutup mata akan fakta tentang maraknya dakwah dan tabligh akbar, tertutupnya aurat, penuhnya mushalla kantor dan masjid kampus, dilafalkannya salam,bahkan munculnya Perda-perda implementasi syari’ah di berbagai daerah.
Ya... banyak yang telah diperbuat, banyak masalah yang telah dipecahkan, dan banyak karya yang telah dihasilkan. Tapi seakan kita tak ke mana-mana. Riuh rendah itu hanya jalan di tempat. Kita telah lelah berlari penuh semangat, tapi tampaknya hanya berputar di lokasi yang sama. Kita seperti ummat yang berlari di atas jogging track yang melingkar. Repotnya lagi, di saat kita begitu asyik memecahkan berbagai masalah, ternyata ada pihak-pihak yang secara sengaja terus mensuplai masalah kepada kita. Tapi itulah resikonya ketika kita hanya hobby memecahkan masalah.
Rasanya sudah saatnya kita mulai berpindah dari masalah kepada tujuan. Saatnya kita mulai berlatih untuk menatap masa depan, lewat sebuah pertanyaan : “Mau ke mana kita ?”. Sebagai ummat beriman kita wajib punya arah, tujuan dan target, karena kita diwajibkan untuk berjalan di jalan yang lurus (shiraathal mustaqiim). Benar, bukankah jalan adalah sebuah rute untuk mencapai tujuan ? Dan Islam sangat banyak bicara tentang jalan, lewat berbagai istilah : shiraath, sabiil, thariiq atau syari’...
Bahkan terkadang kita diajarkan untuk tak harus memecahkan masalah, karena beberapa masalah dapat diselesaikan dengan cara diabaikan dan ditinggalkan. Persis ! Masalah dapat ditangani lewat hijrah : berpindah dan terus bergerak mencapai sebuah tujuan. Lalu, biarkanlah masalah tertinggal dan membusuk di belakang. Sebuah kebathilan, misalnya, toh akan bersifat self-destructive tanpa harus capek-capek dipecahkan. Sehingga Allah-pun berfirman : “Dan katakanlah : telah datang alhaq dan telah tersingkir kebathilan, karena sesungguhnya kebathilan itu sesuatu yang pasti tersingkir” (QS 17 : 81)
Nah, TEOLOGI PEMBERADABAN adalah sebuah ajakan untuk menatap tujuan dan masa depan. Saatnya ummat ini memiliki sebuah Masterplan dan strategic planning, memiliki goal-setting dan akhirnya fokus pada goal-getting. Terlalu menghabiskan enersi rasanya jika kita selalu menari di atas gendang yang ditabuh orang lain. Terlalu sia-sia rasanya jika kita terus menerus mengerjakan PR yang soalnya dibuat oleh para durjana. Sudah saatnya kita menentukan masa depan kita sendiri. Ya, berjuang di atas Garis Besar Haluan Ummat !!!
“Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka. Bukan (jalan) orang-orang yang Engkau murkai dan bukan (jalan) orang-orang yang sesat” (QS Alfatihah : 6-7) Aamiin...
Aqidah itu tetap, dan berlaku sepanjang jaman. Itulah tauhid. Namun ekspresi dan penekanannya sangat bervariasi sepanjang jaman, menyesuaikan dengan masalah dan kebutuhan kala itu. Itulah yang saya maksudkan dengan teologi. Maka, sesuai dengan masalah dan kebutuhannya, para mujtahid abad 19 mengusung Teologi Anti-Syirik : pemberantasan bid'ah, khurafat dan takhayyul. Sedangkan para mujtahid abad 20 mengusung Teologi Perlawanan, untuk menghadapi upaya penghancuran eksistensi ummat ini.
Ibarat menanam, abad 19 adalah abad membersihkan lahan dari hama, sedangkan abad 20 adalah abad menanam dan melawan penjarahan para bandit. Maka kini adalah saatnya untuk menuai, saatnya untuk tinggal landas. Jihad sudah saatnya untuk menemukan bentuk barunya : ijtihad. Ya, bukankah keduanya berasal dari akar kata yang sama ? Walau airmata kepedihan abad 20 itu sesekali masih menetes dan menempel di pelupuk mata, tapi sudah saatnya untuk mulai menyunggingkan senyum dan berkata : "Jangan bersedih...: laa tahzan !"
Itulah Teologi Pemberadaban... Ada perbedaan antara peradaban dan pemberadaban, antara civilization dengan civilizing. Teologi Pemberadaban adalah sebuah perjuangan untuk menjadi beradab, memberadab dan memiliki peradaban. Teologi Pemberadaban itu sepenuhnya sadar diri bahwa peradaban itu masih sangat jauh. Bahkan pada tahap awalnya ia harus berjuang menghadapi rejim teologi perlawanan yang cenderung menjadi ekstrem. Ia harus diperjuangkan dan direncanakan. Dan untuk mewujudkannya dibutuhkan sejumlah reformasi sikap dan keyakinan.
Pertama adalah baik sangka dan optimisme, bahwa kehidupan tetap seindah yang dulu dan masa depan adalah milik kebenaran dan para penegaknya. Kebatilan dan para pengusungnya memang muncul di sana-sini, namun percayalah bahwa mereka bukanlah penguasa kehidupan ini. Pelaku kebatilan memang sangat banyak, bahkan mungkin kita sendiri. Namun mari kita bedakan antara pelaku kebatilan dengan penegak kebatilan. Bahkan betapa banyaknya pelaku kebatilan adalah pecinta kebenaran yang tulus. Ya ketika di tangan kita ada api dakwah, bukankah yang tersisa tinggallah baik sangka dan optimisme ?
Kedua adalah harga diri, bahwa ummat ini adalah ummat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia. Kita bukan lagi obyek, tapi subyek. Kita bukan korban, tapi kontributor. Kita bukan sasaran, melainkan inisiator. Sebagai ummat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, kita tak berseberangan dengan manusia manapun, tapi berbuat untuk manusia manapun. Kitalah ummat pertengahan itu, yang membawa misi untuk menjadi wasit dan saksi yang jujur dan adil atas manusia, bukan menjadi pembela atau jaksa bagi siapapun
Ketiga adalah masterplan, bahwa kita harus memiliki tujuan, target dan sasaran untuk masa depan bangsa, ummat, kemanusiaan dan kehidupan. Kita harus merencanakan sebuah capaian, tentunya lengkap dengan target waktu, sumber daya, organisasi dan metodologinya. Sebagai hamba Allah dan ummat Muhammad SAW, kita telah diwajibkan untuk mengikhtiarkan dunia bagaikan akan hidup selama-lamanya. Ya, bahkan untuk capaian seratus atau seribu tahun kedepan. Sedangkan tentang kiamat, biarlah itu tetap menjadi rahasia langit.