Friday, January 16, 2015

TEOLOGI PEMBERADABAN



by : ADRIANO RUSFI


Sudahlah... memang sudah nasib kita hidup di abad 20 dan 21 di mana Muslim menjadi ummat yang eksistensinya paling terancam dalam sejarah perjalanannya. Khilafahnya lenyap, negerinya terpecah dan terjajah, ekonominya porak poranda dan tradisi intelektualnya luluh-lantak. Di luar sana, ada srigala-srigala yang mengepung, tipu daya antar benua yeng bersekongkol, dan pemurtadan yang sistematis.

Yang tersisa adalah wajah-wajah terluka dan jiwa yang kehabisan rasa percaya diri. Kita seakan menjadi seonggok ummat yang dijauhi karunia. Tuhan seakan meninggalkan kita untuk bertarung sendirian. Lihatlah, derita itu seakan belum cukup puas untuk membiarkan sedikit harga diri yang masih tersisa. Di kiri ada media yang melakukan perang pikir mengusung kapitalisme. Di kanan ada liberalisme yang menawarkan asyik-masyuk hawa nafsu. Maka tak heran jika guru, orangtua, ulama, muballigh, mujahid dan mujtahid bersepakat meneriakkan sebuah kurikulum : LAWAN !!!

Inilah Teologi Perlawanan : sebuah aqidah untuk memberontak dari segala penindasan, penjara cemeti, belenggu dan tipu. Inilah teologi yang membangkitkan kesadaran bahwa kita adalah korban dan kita adalah pelengkap penderita. Inilah teologi yang membuka mata bahwa kita hidup di bawah tindihan sebuah batu besar kezaliman, dan kita benar-benar harus membongkarnya. Sungguh, kita adalah generasi yang berhutang sangat banyak kepada Al-Afghani, Abduh, Rasyid Ridha, Syakib Arsalan, Hasan AlBanna, Sayyid Quthb, AlMaududi, Natsir, serta para mujaddid, mujahid dan syahid lainnya. Rahmatilah mereka semua ya Allah...

Dan bagaikan sebuah obat, kita telah meminumnya dan penyakit itu telah berangsur-angsur sirna walau belum sepenuhnya sembuh. Setidaknya kesadaran itu telah tumbuh. Kita telah melawan, dan perlawanan itu telah bangkit di mana-mana. Bendera telah berkibar dan genderang telah ditabuhkan. Syi’ar telah hidup, ibadah telah marak dan syari’ah mulai tegak. Negeri-negeri telah merdeka dan puing yang terserak telah mulai disusun kembali. Bagi yang tak kufur nikmat, wajib untuk sumringah : Alhamdulillah...

Selayaknya sebuah terapi, maka ada dosis yang sudah mulai harus dikurangi, dan ada obat yang memang sudah harus diganti. Tabib lama telah menunaikan tugasnya, dan tangis kepedihan sudah saatnya untuk dihentikan. Tak sepatutnya doktrin-doktrin kaum mustadh’afin terus dikobarkan, ketika sang mustahik kini sudah mampu menjadi muzakki. Sungguh, obat akan berubah menjadi racun ketika kita masih saja menelan yang tak perlu dan meminum sesuatu yang telah menjadi overdosis. Ada saatnya kita merawat ratapan, namun kini saatnya kita harus berkata : “Janganlah merasa hina, janganlah bersedi hati. Kitalah yang tinggi jika kita beriman”

Ya, inilah TEOLOGI PEMBERADABAN. Inilah aqidah bagi orang-orang yang mensyukuri setiap tetes karunia, orang-orang yang optimis untuk tinggal landas. Inilah aqidah yang tak ingin terus-menerus menangisi masa lalu, dan optimis untuk menatap kegemilangan masa depan. Inilah aqidah dari orang-orang yang mengimani bahwa Tuhannya adalah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Yang penuh rahmat dan ampunan, Yang Maha Perkasa dan Maha Besar. Inilah aqidah yang mengimani firman Allah bahwa : “Kalian adalah ummat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia. Kalian menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar serta beriman kepada Allah...” (QS Ali Imran : 110)

Betul, masalah kita sangat banyak, karena memang begitulah watak hidup. Terkadang, satu masalah belum selesai, telah muncul lagi masalah baru. Yang lebih memilukan lagi, bahkan solusi untuk masalah lama justru melahirkan beberapa masalah baru sekaligus. Maka lihatlah, ummat ini punya masalah kemiskinan, ketidakadilan, cinta dunia, korupsi, kebodohan, kerapuhan aqidah, dekadensi moral, ditinggalkannya syari’ah, pemurtadan, dan masih banyak lagi. Miris rasanya jika harus disebutkan satu per satu.

Bukannya tak ada yang telah selesai. Banyak... sangat banyak malah. Ummat ini tak kurang-kurangnya memiliki para pemecah masalah yang militan dan brilyan. Bukankah kita telah memiliki organisasi Islam, Majelis Ulama, Perbankan Syari’ah, Ikatan Cendekiawan Muslim, Partai Islam, Serikat Dagang, Lembaga Dakwah dan sebagainya. Kita tak mungkin menutup mata akan fakta tentang maraknya dakwah dan tabligh akbar, tertutupnya aurat, penuhnya mushalla kantor dan masjid kampus, dilafalkannya salam,bahkan munculnya Perda-perda implementasi syari’ah di berbagai daerah.

Ya... banyak yang telah diperbuat, banyak masalah yang telah dipecahkan, dan banyak karya yang telah dihasilkan. Tapi seakan kita tak ke mana-mana. Riuh rendah itu hanya jalan di tempat. Kita telah lelah berlari penuh semangat, tapi tampaknya hanya berputar di lokasi yang sama. Kita seperti ummat yang berlari di atas jogging track yang melingkar. Repotnya lagi, di saat kita begitu asyik memecahkan berbagai masalah, ternyata ada pihak-pihak yang secara sengaja terus mensuplai masalah kepada kita. Tapi itulah resikonya ketika kita hanya hobby memecahkan masalah.

Rasanya sudah saatnya kita mulai berpindah dari masalah kepada tujuan. Saatnya kita mulai berlatih untuk menatap masa depan, lewat sebuah pertanyaan : “Mau ke mana kita ?”. Sebagai ummat beriman kita wajib punya arah, tujuan dan target, karena kita diwajibkan untuk berjalan di jalan yang lurus (shiraathal mustaqiim). Benar, bukankah jalan adalah sebuah rute untuk mencapai tujuan ? Dan Islam sangat banyak bicara tentang jalan, lewat berbagai istilah : shiraath, sabiil, thariiq atau syari’...

Bahkan terkadang kita diajarkan untuk tak harus memecahkan masalah, karena beberapa masalah dapat diselesaikan dengan cara diabaikan dan ditinggalkan. Persis ! Masalah dapat ditangani lewat hijrah : berpindah dan terus bergerak mencapai sebuah tujuan. Lalu, biarkanlah masalah tertinggal dan membusuk di belakang. Sebuah kebathilan, misalnya, toh akan bersifat self-destructive tanpa harus capek-capek dipecahkan. Sehingga Allah-pun berfirman : “Dan katakanlah : telah datang alhaq dan telah tersingkir kebathilan, karena sesungguhnya kebathilan itu sesuatu yang pasti tersingkir” (QS 17 : 81)

Nah, TEOLOGI PEMBERADABAN adalah sebuah ajakan untuk menatap tujuan dan masa depan. Saatnya ummat ini memiliki sebuah Masterplan dan strategic planning, memiliki goal-setting dan akhirnya fokus pada goal-getting. Terlalu menghabiskan enersi rasanya jika kita selalu menari di atas gendang yang ditabuh orang lain. Terlalu sia-sia rasanya jika kita terus menerus mengerjakan PR yang soalnya dibuat oleh para durjana. Sudah saatnya kita menentukan masa depan kita sendiri. Ya, berjuang di atas Garis Besar Haluan Ummat !!!

“Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka. Bukan (jalan) orang-orang yang Engkau murkai dan bukan (jalan) orang-orang yang sesat” (QS Alfatihah : 6-7) Aamiin...


Aqidah itu tetap, dan berlaku sepanjang jaman. Itulah tauhid. Namun ekspresi dan penekanannya sangat bervariasi sepanjang jaman, menyesuaikan dengan masalah dan kebutuhan kala itu. Itulah yang saya maksudkan dengan teologi. Maka, sesuai dengan masalah dan kebutuhannya, para mujtahid abad 19 mengusung Teologi Anti-Syirik : pemberantasan bid'ah, khurafat dan takhayyul. Sedangkan para mujtahid abad 20 mengusung Teologi Perlawanan, untuk menghadapi upaya penghancuran eksistensi ummat ini.

Ibarat menanam, abad 19 adalah abad membersihkan lahan dari hama, sedangkan abad 20 adalah abad menanam dan melawan penjarahan para bandit. Maka kini adalah saatnya untuk menuai, saatnya untuk tinggal landas. Jihad sudah saatnya untuk menemukan bentuk barunya : ijtihad. Ya, bukankah keduanya berasal dari akar kata yang sama ? Walau airmata kepedihan abad 20 itu sesekali masih menetes dan menempel di pelupuk mata, tapi sudah saatnya untuk mulai menyunggingkan senyum dan berkata : "Jangan bersedih...: laa tahzan !"

Itulah Teologi Pemberadaban... Ada perbedaan antara peradaban dan pemberadaban, antara civilization dengan civilizing. Teologi Pemberadaban adalah sebuah perjuangan untuk menjadi beradab, memberadab dan memiliki peradaban. Teologi Pemberadaban itu sepenuhnya sadar diri bahwa peradaban itu masih sangat jauh. Bahkan pada tahap awalnya ia harus berjuang menghadapi rejim teologi perlawanan yang cenderung menjadi ekstrem. Ia harus diperjuangkan dan direncanakan. Dan untuk mewujudkannya dibutuhkan sejumlah reformasi sikap dan keyakinan.

Pertama adalah baik sangka dan optimisme, bahwa kehidupan tetap seindah yang dulu dan masa depan adalah milik kebenaran dan para penegaknya. Kebatilan dan para pengusungnya memang muncul di sana-sini, namun percayalah bahwa mereka bukanlah penguasa kehidupan ini. Pelaku kebatilan memang sangat banyak, bahkan mungkin kita sendiri. Namun mari kita bedakan antara pelaku kebatilan dengan penegak kebatilan. Bahkan betapa banyaknya pelaku kebatilan adalah pecinta kebenaran yang tulus. Ya ketika di tangan kita ada api dakwah, bukankah yang tersisa tinggallah baik sangka dan optimisme ?

Kedua adalah harga diri, bahwa ummat ini adalah ummat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia. Kita bukan lagi obyek, tapi subyek. Kita bukan korban, tapi kontributor. Kita bukan sasaran, melainkan inisiator. Sebagai ummat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, kita tak berseberangan dengan manusia manapun, tapi berbuat untuk manusia manapun. Kitalah ummat pertengahan itu, yang membawa misi untuk menjadi wasit dan saksi yang jujur dan adil atas manusia, bukan menjadi pembela atau jaksa bagi siapapun

Ketiga adalah masterplan, bahwa kita harus memiliki tujuan, target dan sasaran untuk masa depan bangsa, ummat, kemanusiaan dan kehidupan. Kita harus merencanakan sebuah capaian, tentunya lengkap dengan target waktu, sumber daya, organisasi dan metodologinya. Sebagai hamba Allah dan ummat Muhammad SAW, kita telah diwajibkan untuk mengikhtiarkan dunia bagaikan akan hidup selama-lamanya. Ya, bahkan untuk capaian seratus atau seribu tahun kedepan. Sedangkan tentang kiamat, biarlah itu tetap menjadi rahasia langit.

Tuesday, January 13, 2015

Long Distance Parenting




Ahad sore 4 Januari 2015. Menjelang ujung jalan tol Jakarta-Serpong. Tepatnya menjelang keluar tol BSD Pamulang, Si Teteh tiba-tiba bersuara memelas "Bi, jalannya pelan-pelan dong, please...."
"Memangnya kenapa Teh, koq suaranya jadi  aneh begitu?" Sambil pegang setir Phanter tua saya lirik dari  kaca spion atas.
"Gak pingin cepet-cepet nyampe... masih kepingin libur....tuh kan udah kelihatan gerbangnya...Abi sih  cepet cepet jalannya", masih dengan nada memelas.

Rupanya Si Teteh masih belum puas menikmati dua pekan libur semesterannya. Harus segera kembali ke asramanya di ICM Serpong. Hal berbeda justru ditunjukkan oleh Imad, anak kedua saya, yang justru ingin segera kembali ke pondoknya, sebuah boarding school di Jatisari, Cikampek. Kalau bagi Imad yang sekarang kelas VIII itu, libur sepekan sepertinya sudah cukup.

Ya, kalau ada hubungan suami isteri jarak jauh kita menyebutnya dengan istilah LDR (Long Distance Relationship).Ternyata untuk mengasuh anakpun saya mengalami hubungan jarak jauh tersebut. Wabil khusus setelah anak saya pertama dan kedua mondok di dua sekolah berasrama yang berbeda. Maka mulailah pengasuhan jarak jauh itu. Tidak salah kan kalau saya menamai Long Distance Parenting?

Biasanya setiap hari bertemu, sekarang menjadi terjadwal. Biasanya setiap hari saat tidur, makan, persiapan sekolah bareng-bareng dalam satu rumah. Sekarang harus menunggu dalam hitungan pekan. Efek langsungnya adalah kerinduan untuk bertemu anak. Selalu menunggu saat bertemu. Selalu menanti saat anak-anak berceloteh tentang sekolahnya. Tentang kawan-kawannya. Tentang belajarnya. Tentang suka-dukanya.

Memang terasanya ikatan itu kadang ketika menjauh. Ada rasa rindu membuncah. Ada juga khawatir kalau ada apa-apa di tempatnya yang baru. Mengingat jarak yang jauh sehingga kalau ada apa-apa orang tua tidak bisa langsung menangani.  Salah satu aspek pembelajaran anak pondok memang aspek kemandirian.Hanya saja kadang orang tua yang tidak siap. Merasa belum waktunya. Ada rasa kasihan. Cemas. Harap. Beraduk jadi satu. Mirip es campur.

Kondisi berjauhan itu juga memunculkan beberapa keunikan. Pertama, rumah ternyata tetap tempat terindah bagi anak-anak. Walaupun Si Teteh, anak pertama saya berkesempatan menikmati salah satu sekolah ternyaman di negeri ini, tetap saja ia menganggap rumah adalah surga. Walaupun kondisi rumah jauh lebih sederhana dibanding sekolahnya.

Keunikan lainnya, masa libur adalah masa "balas dendam". Karena dalam pandangan anak-anak saat di asrama adalah sama dengan "penjara". Karena segalanya terjadwal. Banyak aturan ini itu yang harus dipatuhi. Makanan tidak suka-suka dikonsumsi. Facebook dan sosial media adalah barang tabu di asrama. Maka saat-saat di rumah adalah saatnya tidur sepuasnya. Nge-twit sepuasnya, chatting sepuasnya. Makan sepuasnya. Main sepuasnya. Pokoknya bebas merdeka. Saya sempat khawatir dengan situasi aneh ini. Tapi begitu bertanya ke kawan-kawan yang anaknya juga mondok, ternyata sama situasinya. Bahkan anaknya para ustadz yang saya kenal juga begitu, hehe

Hikmahnya adalah, sekarang anak-anak mulai mengerti arti kemandirian. Mereka juga mulai memahami betapa keluarga adalah tempat kasih sayang yang melimpah ruah. Mereka juga mulai  merasakan bahwa keindahan itu ternyata tidak tergantung tempat dan bagusnya barang, tapi tergantung  suasana hati.

Kondisi yang berjauhan itu juga memunculkan ikatan spiritual yang lebih kuat. Di mana do'a sebagai jembatan penghubung yang menyatukan hati ternyata dirasakan lebih kuat dan terasa lebih sungguh-sungguh. Rupanya do'a memang lebih dari sebuah permohonan. Tapi ia adalah salah satu cara  dalam mendidik anak.

Salah satu contoh sukses Ayah yang mendidik anak dari jauh adalah Nabi Ibrahim as. Ia di Palestina sedang Ismail dan ibunda ada di Makkah. Sejarahpun mencatat beberapa anak keturunan beliau diamanahi jadi nabi. Sehingga dijuluki Bapak Para Nabi. Dari sudut pandang parenting,  ini adalah contoh sukses sebagai ayah.

Ternyata, capaian pendidikan anak seorang Nabi Ibrahim as sesuai dengan satu do'a beliau yang diabadikan di Al Quran. Salah satunya do'a ini yang biasa kita lantunkan:

Robbana hablana min azwaajina wa dzurriyyatinaa qurrota a'yunin 
waja'alna lil muttaqiina imaama

Tak salah kalau menurut seorang motivator dari Malang, dr Arif Alamsyah, menuturkan bahwa setelah berputar-putar membahas cara terbaik bagaimana mendidik anak, ternyata metode tercanggih dalam mendidik anak adalah do'a.

Semoga bermanfaat

Karawang, 7 Januari 2015





Wednesday, January 7, 2015

Ranking Enam





Satu semester sudah Si Teteh menempuh SMA-nya. INSAN CENDEKIA MADANI nama sekolahnya. Megah kampusnya. Nyaman suasananya. ICM yang berlokasi di BSD Serpong, Tangerang Selatan ini memang salah satu sekolah terindah di negeri ini yang pernah saya tahu.  "Ini mah bukan sekolah, tapi surga" kata Bang Erdi Nasrul, Om-nya Si Teteh yang wartawan Republika itu pada satu kesempatan berkunjung ke ICM.

Ya, bagi saya saat berkunjung ke ICM tak ubahnya rekreasi.  Karena bisa menikmati detail lingkungan sekolah yang tertata begitu apik, sejuk dan asri. Walaupun berada di Tangerang yang berhawa panas, berada di ICM terasa berbeda. Ternyata hawa sejuk yang menyergap begitu memasuki kompleks yang berada di Jalan Ciater Raya Gang Haji Amat itu berasal dari rerimbunan pohon yang terawat rapi. Praktis, dengan ditambah lengkapnya sarana yang disediakan, maka satu-satunya tugas anak anak ICM adalah belajar.

Satu Semester ini Si Teteh memasuki "dunia lain". Dari anak rumahan jadi anak boarding. Dari rumah yang sederhana ke kampus megah. Aneh juga, yang umum itu megah di rumah tapi apa adanya di pesantren. Sebagai upaya pembelajaran kemandirian. Anak saya malah kebalikannya.

Tentu beda alam beda kebiasaan. Beda teman-temannya juga tentunya. Bagi Si Teteh Fathia, Kelas X memang masa transisi. Dari kultur sekolah alam yang merdeka dan tidak memprioritaskan aspek akademik, sekarang memasuki zona adu balap yang full akademik. Iklim persainganpun segera menyergap. Kurang teliti sedikit akan fatal akibatnya. Ketinggalan kelas satu hari, susah payah mengejar ketertinggalannya.

Setelah tahap penjurusan di penghujung triwulan pertama, Si Teteh menempati kelas X-1 IPA. Mulai bergelut dengan rumus kimia, matematika dan fisika. Setelah saat SD puas bermain dan SMP puas mengeksplorasi potensi diri, fase dominasi kognitif segera dimulai.

Aneka perubahan itu tentu menyisakan tanya. Mampukah ia melewatinya dengan sukses? Maka saat pembagian rapor seperti tempo hari itu ada rasa was was. Mampukah "anak alam" ini bersaing di jalur yang berbeda?

Maka saat Pak Great Ahmad, Wali Kelas X-1 menyampaikan "Fathia ranking enam Pak", sontak saya tersenyum. Penuh haru dan gembira. Ruang kelas tempat Fathia belajar dan jadi tempat pembagian rapor yang sudah ber AC itu jadi semakin terasa sejuk saja.  Walaupun ranking itu sekarang tak lagi jadi ukuran keberhasilan belajar. Hanya jadi penanda saja, sudah di posisi mana belajarnya. Tapi tetap saja ada sisi emosional yang terlibat.

Tetapi anehnya, Si Teteh malah terlihat bersedih dengan capaian itu. "Masak sih cuma nyampe ranking enam? masuk lima besar juga nggak, hiks" Galaunya.  Ia memang anak dengan ambisi meluap. Harus menjadi the best. Sesuai namanya : Sang Pemenang.

Merespon sikap Si Teteh itu saya coba tidak merespon yang biasanya terucap, misalnya :
"Ayo Teh, Teteh pasti bisa! Tidak ada yang tidak mungkin, Allah pasti berikan jalan! Allahu Akbar! Yes!"
"Masak nggak bisa sih Teh? kan sama-sama manusia? kalau sungguh-sungguh pasti tercapai, man jadda wa jadda!"

Tapi saya berikan argumen yang lebih terukur dan rasional begini : "Bagi alumnus sekolah SMP Alam, masuk sepuluh besar di ICM itu sudah sangat bagus, it's amazing. Karena startnya kan terlambat dibanding teman-teman Teteh. Orang dulu Teteh belajar akademiknya hanya pas mau UN doang, kan? Beda dengan teman-teman Teteh yang dari SMP-nya sudah digeber akademik, kalau bisa ikut bimbel sana sini. Jadi tadinya Abi malah berfikir Teteh dapat peringkat enam belas, hehe"

"Iih..., Si Abi mah, masak ranking enam belas sih, under estimate itu namanya ke Teteh" Si Teteh manyun

"Justru kalau langsung ranking satu atau dua malah aneh. Nggak masuk akal itu namanya. Kayak sulap saja. Lagian kalau mencapai puncak terlalu mudah mah nggak asyik. Asyik itu kalau harus sampai nyungsep terus baru dapat juara, itu baru kereen. Kalau dibuat cerita pasti akan seru, hehe"

Saya sendiri selalu berpatokan pada potensi atau kekuatan yang dimiliki oleh masih-masing anak. Ketika di ICM pun acuan saya adalah "Apakah potensi Si Teteh semakin terasah atau justru malah terabaikan?". Maka ketika ia diamanahi jadi scrip writer Bulletin YES, jadi Humas OSIS, jadi Sekretaris panitia TZORFAS, jadi koordinator anak-anak penerima beasiswa, ikut ekskul Jurnaslistik, serta sempat jadi pembicara di even berskala provinsi, saya anggap Si Teteh tetap berada di jalan yang benar. Adapun capaian prestasi akademik adalah bonus. Ukuran terpentingnya adalah proses dan perjuangannya meraih capaian akademik di tengah kesibukan aneka kegiatan yang seabreg itu. Bagaimana ia mengatur waktu serta irama kegiatan. Itu yang terpenting.

Ternyata, ada positifnya menghabiskan masa SD dan SMP untuk bermain dan eksplorasi potensi diri. Dimana aspek afektif dan psikomotorik lebih dominan. Maka samudera akademik itu ia selami dengan semangat yang masih fresh.

Ya, mengikuti perjalanan anak-anak menempuh pendidikannya, seakan memutar waktu ke saat dulu saya berada di masa sekolah. Di mana ketika ada mimpi saya yang tak terjangkau. Ada keterbatasan yang menghambat. Ada kesempatan yang hilang. Ada kekeliruan langkah yang disesali. Dan kini dengan komunikasi yang tercipta, saya bisa berbagi dengan mereka. Berharap kesalahan saya dulu tak mereka ulangi. Agar capaian mereka jauh melampaui orang tuanya. Lebih hebat, lebih pintar, lebih bermanfaat

Semoga...

Karawang 8 Januari 2015


KELUARGA : DARI KETAHANAN MENUJU PERADABAN

  Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...