Tuesday, November 18, 2014

Ada Semangat Baru Menghafal Al Qur'an

sumber gambar : Internet

Sejak lama, saya memang ingin anak-anak saya bisa menghafal Al Qur’an. Salah satu anak saya, bahkan dimasukkan ke pondok khusus tahfidz Qur’an. Tetapi memang ada tuntutan moral bagi orang tua. Salah satunya, saya harus memberi contoh terlebih dahulu. Namun, perjalanan saya ternyata tidak mulus. Saya justru terseok-seok dan kehilangan hafalan beberapa surat yang pernah dihafal. Walaupun saya masih bersyukur karena kawan-kawan pengajian saya senantiasa memberi semangat. Bahkan memfasilitasi dengan membuat grup menghafal Qur'an khusus buat bapak-bapak. Namanya ODOL (one day one line) :D. Walaupun faktanya saya masih sulit juga istiqomah :(

Biasanya kalau bicara menghafal Al Qur’an, kita langsung berbicara “bagaimana”. Tentang cara, kiat atau metodologi. Tetapi di tulisan ini saya ingin berbicara lebih dari itu. Bahkan karena sayapun belum pernah mengikuti secara khusus pelatihan metode menghafal Qur’an. Kecuali pada sebuah acara mabit di masjid PDAM Karawang, bulan Oktober lalu. Namanya metode “Menghafal Qur’an Semudah Tersenyum”. Ustadz Ubaidillah yang memberi materi baru saja mengikuti pelatihan metode Kauny Quantum Memory yang diasuh Ust Boby Herwibowo selama tiga hari full dan berlokasi di Puncak Bogor. Adapun saya hanya mendapat materi tersebut selama dua jam saja. Tapi apapun namanya, tak penting.  Karena di sini saya akan berbagi inspirasi luar biasa tentang salah satu aspek dalam berinteraksi dengan Qur’an yang di situ saya selalu kesulitan melakukannya.

Baiklah, selama ini barangkali saya sudah relatif faham “mengapa kita menghafal Qur’an”. Tetapi pada kenyataannya  saya sering kali kelelahan dan capek. Padahal, dari awal Al Qur’an itu dibuat mudah untuk dihafal. Mengapa saya justru merasa susah? Sehingga menghafalpun menjadi beban,  sehingga banyak yang bertumbangan saat menghafal Qur’an  seperti saya? Kemudian ayat yang sudah dihafal pun akhirnya lupa lagi. Muncullah perasaan bersalah. Agak aneh juga, setelah berupaya beramal sholeh kenapa berakhir dengan perasaan bersalah?

Jujur saya selama ini hanya memaknai menghafal sebagai sebuah harga atau pengorbanan yang harus saya bayar untuk sebuah tujuan baik. Hingga tiba sebuah pemahaman baru yang sebenarnya ini bukan teori baru. Bahkan seharusnya disadari sejak awal karena konsep ini muncul bersamaan dengan turunnya perintah pertama “Iqro!”. Pemahaman baru? Ya, bagi saya memang sebuah pemahaman yang baru. Silakan cermati tulisan di bawah ini.

Saat itu Muhammad bin Abdullah berada di gua Hiro, ketika Jibril mewahyukan “Iqro!” maka ia menjawab “Aku tidak bisa baca”. Apakah setelah itu Jibril berhenti? Tenyata tidak, ketidakmampuan Muhammad dalam  membaca ternyata tak jadi alasan bagi Malaikat Jibril untuk berhenti menyampaikan wahyu.

Lantas, apa yang dilakukan Muhammad setelah menerima wahyu pertama tersebut? Yap, Sang Nabi pulang membawa “hafalan” lima ayat pertama Al ‘Alaq. Dan sekali lagi,  itu tidak menunggu Muhammad bisa membaca dan menulis terlebih dahulu.

Ternyata kompetensi akademik berupa kemampuan membaca dan menulis tidak jadi syarat untuk jadi nabi. Walaupun di situ ada syarat wajib bagi nabi yaitu "fathonah" atau cerdas. Bisa baca tulis ternyata tidak identik dengan cerdas. Selain fathonah, ada syarat wajib lain, yaitu shiddiq, amanah, dan tabligh.

Tentu ada maksud dibalik kondisi di atas kalau Al Qur’an bisa diwahyukan kepada yang tidak bisa baca tulisan. Di Al Qur’an sendiri dinyatakan, itu agar tidak keraguan bahwa Al Qur’an itu benar-benar wahyu. 

Nah, ketika ada yang terinspirasi dari kondisi di atas dan menarik kesimpulan bahwa “Menghafal lebih didahulukan daripada membaca tulisan” menurut saya itu logis. Karena begitulah kronologinya.  Karena memang sepertinya selama ini kita seperti “terkungkung” oleh tulisan. Juga oleh anggapan bahwa sebelum menghafal Al Qur’an maka alurnya harus mengikuti dulu proses  : Membaca Tulisan  à  menulis di lembaran  à  Membaguskan bacaan  à  menghafal. Padahal kalau mengacu ke contoh Rasulullah , maka alurnya menjadi : Menghafal   à menghafal  à menghafal .  Sesederhana itu.

Kalau membaca sejarah, para shahabat Nabi menerima wahyu secara talaqi langsung dari Rasulullah, kemudian menghafalnya. Tugas menulis di lembaran dilakukan oleh beberapa shahabat. Kelak mushaf yang terpisah-pisah itu dibukukan secara penuh di zaman Utsman bin Affan. Tulisan memang penting untuk menjaga keaslian tulisan Qur’an, untuk pengajaran dan penyebaran yang luas.  Karena Allah sendiri mengajarkan manusia dengan perantaraan pena. Tetapi ketika berbicara berinteraksi dengan Qur'an, nabi dan Shahabatnya lebih mengedepankan menghafal dan langsung melaksanakan.

Kemudian, ada aspek lain yang biasanya kita temui pada saat membaca Qur'an. Yaitu tentang ilmu Tajwid. Ketidakfahaman tentang aspek ini seringkali membuat kita terhalang dari kegiatan menghafal. Maka hafalan Al Qur'anpun menjadi ekslusif. Hanya pantas bagi orang tertentu saja. 

Padahal kalau kita telusuri, hukum mempelajari Ilmu Tajwid secara teori adalah fardhu kifayah, sedangkan hukum membaca Alquran sesuai dengan kaidah ilmu tajwid adalah fardhu 'ain. Untuk  aspek membaguskan bacaan (tahsin) agar sesuai ilmu tajwid idealnya dengan cara talaqi atau langsung belajar pada guru. Tetapi kalaupun sulit, jangan juga jadi khawatir. Karena kini bisa lebih mudah. Karena ada banyak dukungan media, seperti kaset atau audio visual lainnya. Walaupun bertemu guru langsung memang akan lebih utama dan harus diupayakan. Hanya saja, aspek ini hendaknya tidak menjadi penghalang untuk berinteraksi dengan Al Qur'an.

Sekarang, setelah memahami uraian di atas, maka ketika ada yang mengembangkan sebuah metode menghafal yang mudah dan tanpa disyaratkan bisa membaca tulisan, saya fikir juga sah-sah saja. Apalagi  kalau kemudian ternyata prosesnya menjadi lebih mudah dan menyenangkan.  Apalagi kalau ternyata menghasilkan dua hal sekaligus : hafalan dan pemahaman. Dan lebih-lebih, aktifitas menghafal ternyata bisa diterapkan ke anak balita sekalipun. Juga dengan mudah, menyenangkan dan memahami arti, tanpa harus menunggu anak bisa baca tulis.

Bahwa menghafal adalah mudah, harus kita yakini. Kalau belum juga berarti cara kita yang salah. metode Kauny Quantum Memory sudah membuktikannya. Kita tinggal mengambil pelajaran darinya.


Ini Cara Yang Saya Lakukan

Setelah mendapat pencerahan paska ikut pelatihan singkat saat mabit. Juga setelah ngintip beberapa video di Yutub tentang cara menghafal yang mudah. Maka saya coba rubah kebiasaan saya dalam menghafal Qur’an. Caranya sebagai berikut:


  • Pertama, melakukan scanning tarjamah surat. Membaca tarjamah dulu sehingga kita bisa menyerap makna dari surat yang akan dihafal. Kalau suratnya panjang, bisa dipecah menjadi bagian-bagian sesuai segmen cerita atau bahasan. Membaca tarjamah ini disamping akan menciptakan persepsi dan alur cerita di dalam otak juga akan memunculkan semacam “target” yang harus dicapai. Ini akan memunculkan motivasi agar kita mengkhatamkan satu surat atau satu penggalan surat.
  • Setelah scanning tarjamah, saya lanjutkan dengan menerjemahkan kata per kata. Kalau sudah menguasai dasar-dasar bahasa Arab, bisa lebih mudah. Bila masih awam, maka bantuan tarjamah per kata Syamil Qur’an bisa sangat membantu.
  • Dengan cara di atas, insya Allah akan menciptakan semangat dalam menyelesaikan hafalan. Saya lebih suka menyebutnya sebagai “cinta” terhadap surat yang akan dihafal. Dengan cinta ini, maka keinginan menghafal akan muncul setiap saat. Tidak sekedar di waktu-waktu khusus. Di saat sempitpun kita akan sempatkan menghafal.
  • Kemudian setelah kita punya semangat dan cinta yang menggelora, serta sudah menyapa dan kenal dengan “anggota keluarga kata” di dalam satu surat. Barulah kita menghafalkan ayat per ayat dengan cara mengulang-ulang seperti biasanya menghafal. Jumlahnya bisa 10 kali atau lebih. Faktor usia mungkin juga berpengaruh. Maka sesuaikan saja jumlahnya sampai benar-benar hafal.


Hasilnya memang menjadi berbeda dibanding cara sebelumnya yang ketika bertemu satu surat, lantas saya segera menuju ayat pertama dan langsung mengulang-ngulang hingga 20 kali untuk menghafalnya. Lalu lanjut dengan ayat berikutnya, dengan tanpa tahu makna kata dan kalimat terlebih dahulu. Hasilnya, sering saya mengalami kedodoran ketika sampai separuh surat. Dan hasilnya memang buruk. Tidak sampai khatam. Ayat yang sudah dihafal di awal suratpun kemudian lupa. Innalillah….


Penguat Hafalan

Setelah langkah pokok di atas kita lakukan, coba kuatkan hafalan ayat di atas dengan beberapa cara berikut yang saya ambil dari Metode Kauny Quantum Memory (KQM)

Pertama, menggunakan isyarat tangan atau gerakan tubuh lain sesuai makna kata. Metode KQM mengunggulkan cara ini. Gerakan ini menciptakan rangsangan gerak dan visual ke otak. Kalau ingin mengetahui efektifitas metode ini sila googling. Sudah ada video contoh gerakan tangan yang mem-visualisasi-kan kata dalam Qur'an. Bahkan sudah ada yang lengkap dengan ilustrasi film dan animasi. Dengan bantuan gerakan ini juga ternyata kita bisa menyuruh anak kita yang belum bisa baca tulis untuk melafalkan ayat Qur'an dan menghafalnya..

Kedua, mengeraskan suara saat menghafal. Hal ini akan menciptakan rangsangan suara.

Ketiga, menghafal sambil berjalan kaki. Saat berangkat dan pulang dari masjid misalnya. Daripada melihat-lihat yang tidak jelas, bukan?


Apa buktinya?

Alhamdulillah, dengan cara di atas, saya bisa memulihkan kembali semangat menghafal Qur’an. Salah satu capaian sementara, surat Al Waqi’ah dan surat Al Hadid bisa saya selesaikan dalam tiga pekan. Pekan ini saya sedang selesaikan An-Najm. Lumayanlah untuk ukuran seorang Bapak dengan lima anak dan sambil bekerja. Saya memang ingin selesaikan juz 27.


Semoga bermanfaat…

3 comments:

KELUARGA : DARI KETAHANAN MENUJU PERADABAN

  Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...