Wednesday, November 19, 2014

Mengawal Transisi



Jadwal kepulangan reguler Si Teteh ke ICM (Insan Cendekia Madani, BSD) pekan ini terpaksa molor satu hari. Ini karena Si Phanter untuk sementara tidak bisa ditunggangi. Selain karena angka kilometer sudah melewati waktu ganti oli, di bagian bawah mesin ternyata ada oli yang merembes.  Saya tahunya hari Ahad sore.  Sedangkan hari Ahad bengkel pada libur. Mobil yang sudah senior ini memang suka ada saja keluhannya. Saya sendiri tidak berani pinjam mobil tetangga. Menyewa juga sedang tidak ada anggaran. Ya sudah, terpaksa Si Teteh tidak masuk sehari. Tentu dengan minta ijin ke pihak sekolah. Via BBM saya kabarkan sekaligus mohon ijin ke Pak Great Ahmad, wali kelas Si Teteh. 

Karena ada tambahan waktu sehari semalam. Saya manfaatkan untuk berdiskusi dengan Si Teteh. Kebetulan ada sebuah buku yang sepertinya harus Fathia baca, tentang cara belajar yang efektif. Juga berbagi tips dan pengalaman menghafal Al Qur’an, lumayan buat dipraktekan di asrama.  Bercerita juga tentang situasi sekolah di kampung saya di Kuningan, tentang sekolah yang bersahaja tapi prestasinya luar biasa. Memang kalau Si Teteh atau Imad, adiknya, sedang pulang dari pondok rasanya waktu begitu berharga. Ingin berbagi banyak hal. Ingin mendengar banyak hal. Karena akan selalu ada cerita anak pondok yang menarik untuk didengarkan.

Saya juga ingin motivasi Si Teteh lebih tinggi lagi. Sayang soalnya, kesempatan belajar di ICM tidak semua anak bisa mengalami. Kalau tidak dimanfaatkan dengan maksimal, rugilah jatuhnya. Bagaimana tidak? Semua sudah disediakan. Makanan tinggal dimakan, pakaian ada laundry. Kamar tidur ber AC. Fasilitas sekolah super lengkap. Guru-gurunya ramah dan pintar. Sempurna! ICM memang  sebuah gambaran ideal tentang sekolah. Logikanya, dengan fasilitas yang ideal itu akan sangat wajar kalau lahir anak-anak yang juara. Bola sekarang di tangan anak-anak itu. Mau bersungguh-sungguh atau tidak.

Saya juga melihat masih ada proses adaptasi yang belum selesai pada Fathia. Dari Sekolah Alam ke boarding school kulturnya memang jauh berbeda. Saat di sekolah alam dulu suasananya memang dinamis dan penuh tantangan.Karena sarana yang terbatas, juga disetting lebih banyak aspek afektif dan psikomotoriknya. Aspek kognitif belum dimaksimalkan. Sekarang saat jadi anak boarding, tantangan terbesarnya justru saat semuanya serba difasilitasi. Karena kalau terlena, kenyamanan itu bisa "membunuh" secara perlahan. Betapa banyak anak yang tumbuh di tengah gelimang fasilitas dan kemudahan tetapi tidak jadi siapa-siapa. Banyak yang kelaparan padahal ada di lumbung padi.

Sesuai perkembangan psikologi anak, settingan di SMA memang dominan kognitif. Masa SMA memang masa berjibaku dengan buku. Mau tidak mau. Si Teteh pun sudah tahu sejak SMP dulu, bahwa masa SMA adalah masa bergelut dengan buku. Tidak sekedar membaca sepintas seperti saat SMP. Sekarang waktunya pendalaman, apalagi sudah ada peminatan. Apalagi buku sudah disediakan sekolah, tak perlu hunting lagi ke Gramedia.

Saya sendiri merasa yakin semangat dari sekolah alam sebelumnya bisa diterapkan di manapun. Termasuk di boarding school.  Karena bicara alam tidak berarti alam terbuka saja, bisa juga di dalam gedung. Bisa di mana saja.  Inti dari sekolah alam sendiri sebenarnya adalah human based education.  Dimana manusia sebagai subjek pembelajaran, sedangkan alam adalah media pembelajarannya. Kurikulum adalah tool, dan guru adalah fasilitatornya.  Dengannya sekolah bisa mengeksplorasi potensi anak dan melejitkannya secara maksimal.

Dari ungkapan Fathia, saya juga memahami keinginan besarnya untuk menjadi dokter. Bahkan  mimpinya adalah kuliah di Jerman. Cita-citanya juga mulia, ingin menyumbangkan ilmunya itu  untuk masyarakat. Tetapi saya sampaikan bahwa hal itu mensyaratkan kerja keras. Menguasai mapel yang akan mengantarkannya ke fakultas kedokteran adalah harga yang harus dibayar dengan kesungguhan dan penuh kesabaran. Di situlah jihadnya seorang anak muda.

Salah satu yang saya coba diskusikan kembali adalah tentang bagaimana mensikapi hasil Talent Mapping yang sudah dilakukan waktu SMP . Tentang peta kekuatan yang dimiliki dan bagaimana memanfaatkannya.  Dari hasil TM Si Teteh ternyata punya tujuh bakat dominan yaitu WOO (Winning other over), Ideation,  FuturisticCommunication,  InputCommand, dan Responsibility,  Sedangkan  empat belas potensi kekuatan yang dimiliki adalah Controlling,  Ideation,   Visioning,   Communicating,   Animating,   Brokering,  Mediating,    Representing,   Liaising,   Dispatching,   Writing,   Selling,   Influencing,  dan   Informing

Si Teteh sendiri sejauh ini sudah memahami kekuatan dirinya di atas. Sebagian besar kekuatannya bahkan sudah aktual, tidak lagi potensial. Juga sudah menikmati hasil dari menjalani aktivitas yang sesuai kekuatannya itu. Karya tulis berupa blog dan buku membuatnya jadi “someone”.

Sekarang ada pertanyaan yang sangat menantang : Bisakah kekuatan yang dimiliki di atas dimanfaatkan untuk mengungkit pencapaian prestasi akademik?  

Keyakinan saya, jawabannya adalah BISA. Terutama pada kekuatan yang relevan dengan kegiatan belajar akademik, yaitu pada communicating, ideating, writing, animating, informing. 

Dengan memanfaatkan kekuatan di atas, saya yakin proses belajar Si Teteh akan efektif.  Di sisi lain, kekuatannya itu akan semakin kuat dan terasah. Seperti otot yang akan semakin kuat ketika dipakai fitnes. Salah satu wacana yang saya lontarkan adalah bagaimana agar Si Teteh bisa memperoleh kesempatan mengajar ke adik kelas. Karena mengajar adalah cara belajar paling canggih walaupun bentuknya sederhana. Ini dalam rangka memanfaatkan kekuatan informing dan communicating-nya.  Saya melihat peluangnya ada di Klub Bidang Studi.

Untuk memanfaatkan kekuatan writing, saya pernah minta Fathia membuat tulisan dari pelajaran matematika. Cuma belum jadi juga. Sepertinya fase belajar matematikanya masih dasar. Belum ke pendalaman sehingga belum bisa memahami value dari satu tema yang dibahas. Tetapi saya yakin ini hanyalah waktu. Apalagi di pelajaran biologi dan kimia, di situ banyak sekali bahan yang bisa dijadikan tema tulisan. 

Sedangkan agar belajarnya efisien, maka metode belajar harus dikuasai. Kebetulan saya sudah lama beli buku “Buku Pintar anak Jenius”-nya Adam Khoo yang memuat bagaimana cara belajar yang efisien, dengan memanfaatkan cara kerja  otak kanan dan kiri. Buku itu sekarang sudah ada di kamar asrama Fathia.

Saya juga sampaikan cara belajar tradisional yang masih relevan, yaitu menghafal. Terutama untuk Biologi, Fisika, Kimia dan Matematika. Walaupun ini pelajaran yang mengharuskan analisis, tetapi mau tidak mau harus hafal konsepnya. Tak beda dengan saat menghafal Al Qur’an. Harus hafal hingga ke huruf tidak hanya kata dan kalimat.  Saya sempatkan juga berbagi sedikit pengalaman menghafal Qur’an yang efisien oleh-oleh dari ikut pelatihan "menghafal Qur'an semudah tersenyum".   Tak lupa saya bekali dengan sebuah mushaf Syamil Qur’an yang berisi Al Qur’an plus tarjamah per kata. 

Pada kesempatan kali ini saya juga ceritakan suasana sekolah saya dulu di Kuningan yang bersahaja. Bila dibandingkan ICM, fasilitasnya amatlah jauh. Tapi, dengan sarana yang tidak selengkap ICM, mereka mampu lahirkan nilai UN terbesar se-Indonesia. Itu karena kultur belajar yang bagus. Salah satunya adalah budaya mengajar kakak kelas ke adik kelas.

Dialog saya dengan Si Teteh yang berpindah-pindah tempat, tidak sistematis dan seringnya di tengah canda tawa itu berakhir di depan asrama putri ICM, tepat  pukul lima Selasa pagi ba’da shubuh. Sebelum saya balik lagi ke Karawang.  Setelah sebelumnya, tepat pukul tiga pagi saya pacu Si Phanter yang sudah kembali segar itu menembus pagi jalan Tol Jakarta-Cikampek yang masih gelap.

Seiring waktu semoga Fathia bisa memahami pesan di atas. Untuk itulah saya menuliskan kembali di sini, agar Si Teteh bisa membaca kembali dan mengingat-ingat dialog dengan abinya itu. Semoga segera bisa melewati masa transisinya. Agar bisa segera "on" belajar lingkungan yang serba teratur dan serba difasilitasi itu.

Maafkan abi ya Teh, kalau kemudian merasa ada pressure yang berlebihan. Yakinlah apa yang sedang kita jalani adalah bagian hidup terindah yang akan kita kenang bersama kelak…

Karawang, 19 Nopember 2014.




Tuesday, November 18, 2014

Ada Semangat Baru Menghafal Al Qur'an

sumber gambar : Internet

Sejak lama, saya memang ingin anak-anak saya bisa menghafal Al Qur’an. Salah satu anak saya, bahkan dimasukkan ke pondok khusus tahfidz Qur’an. Tetapi memang ada tuntutan moral bagi orang tua. Salah satunya, saya harus memberi contoh terlebih dahulu. Namun, perjalanan saya ternyata tidak mulus. Saya justru terseok-seok dan kehilangan hafalan beberapa surat yang pernah dihafal. Walaupun saya masih bersyukur karena kawan-kawan pengajian saya senantiasa memberi semangat. Bahkan memfasilitasi dengan membuat grup menghafal Qur'an khusus buat bapak-bapak. Namanya ODOL (one day one line) :D. Walaupun faktanya saya masih sulit juga istiqomah :(

Biasanya kalau bicara menghafal Al Qur’an, kita langsung berbicara “bagaimana”. Tentang cara, kiat atau metodologi. Tetapi di tulisan ini saya ingin berbicara lebih dari itu. Bahkan karena sayapun belum pernah mengikuti secara khusus pelatihan metode menghafal Qur’an. Kecuali pada sebuah acara mabit di masjid PDAM Karawang, bulan Oktober lalu. Namanya metode “Menghafal Qur’an Semudah Tersenyum”. Ustadz Ubaidillah yang memberi materi baru saja mengikuti pelatihan metode Kauny Quantum Memory yang diasuh Ust Boby Herwibowo selama tiga hari full dan berlokasi di Puncak Bogor. Adapun saya hanya mendapat materi tersebut selama dua jam saja. Tapi apapun namanya, tak penting.  Karena di sini saya akan berbagi inspirasi luar biasa tentang salah satu aspek dalam berinteraksi dengan Qur’an yang di situ saya selalu kesulitan melakukannya.

Baiklah, selama ini barangkali saya sudah relatif faham “mengapa kita menghafal Qur’an”. Tetapi pada kenyataannya  saya sering kali kelelahan dan capek. Padahal, dari awal Al Qur’an itu dibuat mudah untuk dihafal. Mengapa saya justru merasa susah? Sehingga menghafalpun menjadi beban,  sehingga banyak yang bertumbangan saat menghafal Qur’an  seperti saya? Kemudian ayat yang sudah dihafal pun akhirnya lupa lagi. Muncullah perasaan bersalah. Agak aneh juga, setelah berupaya beramal sholeh kenapa berakhir dengan perasaan bersalah?

Jujur saya selama ini hanya memaknai menghafal sebagai sebuah harga atau pengorbanan yang harus saya bayar untuk sebuah tujuan baik. Hingga tiba sebuah pemahaman baru yang sebenarnya ini bukan teori baru. Bahkan seharusnya disadari sejak awal karena konsep ini muncul bersamaan dengan turunnya perintah pertama “Iqro!”. Pemahaman baru? Ya, bagi saya memang sebuah pemahaman yang baru. Silakan cermati tulisan di bawah ini.

Saat itu Muhammad bin Abdullah berada di gua Hiro, ketika Jibril mewahyukan “Iqro!” maka ia menjawab “Aku tidak bisa baca”. Apakah setelah itu Jibril berhenti? Tenyata tidak, ketidakmampuan Muhammad dalam  membaca ternyata tak jadi alasan bagi Malaikat Jibril untuk berhenti menyampaikan wahyu.

Lantas, apa yang dilakukan Muhammad setelah menerima wahyu pertama tersebut? Yap, Sang Nabi pulang membawa “hafalan” lima ayat pertama Al ‘Alaq. Dan sekali lagi,  itu tidak menunggu Muhammad bisa membaca dan menulis terlebih dahulu.

Ternyata kompetensi akademik berupa kemampuan membaca dan menulis tidak jadi syarat untuk jadi nabi. Walaupun di situ ada syarat wajib bagi nabi yaitu "fathonah" atau cerdas. Bisa baca tulis ternyata tidak identik dengan cerdas. Selain fathonah, ada syarat wajib lain, yaitu shiddiq, amanah, dan tabligh.

Tentu ada maksud dibalik kondisi di atas kalau Al Qur’an bisa diwahyukan kepada yang tidak bisa baca tulisan. Di Al Qur’an sendiri dinyatakan, itu agar tidak keraguan bahwa Al Qur’an itu benar-benar wahyu. 

Nah, ketika ada yang terinspirasi dari kondisi di atas dan menarik kesimpulan bahwa “Menghafal lebih didahulukan daripada membaca tulisan” menurut saya itu logis. Karena begitulah kronologinya.  Karena memang sepertinya selama ini kita seperti “terkungkung” oleh tulisan. Juga oleh anggapan bahwa sebelum menghafal Al Qur’an maka alurnya harus mengikuti dulu proses  : Membaca Tulisan  à  menulis di lembaran  à  Membaguskan bacaan  à  menghafal. Padahal kalau mengacu ke contoh Rasulullah , maka alurnya menjadi : Menghafal   à menghafal  à menghafal .  Sesederhana itu.

Kalau membaca sejarah, para shahabat Nabi menerima wahyu secara talaqi langsung dari Rasulullah, kemudian menghafalnya. Tugas menulis di lembaran dilakukan oleh beberapa shahabat. Kelak mushaf yang terpisah-pisah itu dibukukan secara penuh di zaman Utsman bin Affan. Tulisan memang penting untuk menjaga keaslian tulisan Qur’an, untuk pengajaran dan penyebaran yang luas.  Karena Allah sendiri mengajarkan manusia dengan perantaraan pena. Tetapi ketika berbicara berinteraksi dengan Qur'an, nabi dan Shahabatnya lebih mengedepankan menghafal dan langsung melaksanakan.

Kemudian, ada aspek lain yang biasanya kita temui pada saat membaca Qur'an. Yaitu tentang ilmu Tajwid. Ketidakfahaman tentang aspek ini seringkali membuat kita terhalang dari kegiatan menghafal. Maka hafalan Al Qur'anpun menjadi ekslusif. Hanya pantas bagi orang tertentu saja. 

Padahal kalau kita telusuri, hukum mempelajari Ilmu Tajwid secara teori adalah fardhu kifayah, sedangkan hukum membaca Alquran sesuai dengan kaidah ilmu tajwid adalah fardhu 'ain. Untuk  aspek membaguskan bacaan (tahsin) agar sesuai ilmu tajwid idealnya dengan cara talaqi atau langsung belajar pada guru. Tetapi kalaupun sulit, jangan juga jadi khawatir. Karena kini bisa lebih mudah. Karena ada banyak dukungan media, seperti kaset atau audio visual lainnya. Walaupun bertemu guru langsung memang akan lebih utama dan harus diupayakan. Hanya saja, aspek ini hendaknya tidak menjadi penghalang untuk berinteraksi dengan Al Qur'an.

Sekarang, setelah memahami uraian di atas, maka ketika ada yang mengembangkan sebuah metode menghafal yang mudah dan tanpa disyaratkan bisa membaca tulisan, saya fikir juga sah-sah saja. Apalagi  kalau kemudian ternyata prosesnya menjadi lebih mudah dan menyenangkan.  Apalagi kalau ternyata menghasilkan dua hal sekaligus : hafalan dan pemahaman. Dan lebih-lebih, aktifitas menghafal ternyata bisa diterapkan ke anak balita sekalipun. Juga dengan mudah, menyenangkan dan memahami arti, tanpa harus menunggu anak bisa baca tulis.

Bahwa menghafal adalah mudah, harus kita yakini. Kalau belum juga berarti cara kita yang salah. metode Kauny Quantum Memory sudah membuktikannya. Kita tinggal mengambil pelajaran darinya.


Ini Cara Yang Saya Lakukan

Setelah mendapat pencerahan paska ikut pelatihan singkat saat mabit. Juga setelah ngintip beberapa video di Yutub tentang cara menghafal yang mudah. Maka saya coba rubah kebiasaan saya dalam menghafal Qur’an. Caranya sebagai berikut:


  • Pertama, melakukan scanning tarjamah surat. Membaca tarjamah dulu sehingga kita bisa menyerap makna dari surat yang akan dihafal. Kalau suratnya panjang, bisa dipecah menjadi bagian-bagian sesuai segmen cerita atau bahasan. Membaca tarjamah ini disamping akan menciptakan persepsi dan alur cerita di dalam otak juga akan memunculkan semacam “target” yang harus dicapai. Ini akan memunculkan motivasi agar kita mengkhatamkan satu surat atau satu penggalan surat.
  • Setelah scanning tarjamah, saya lanjutkan dengan menerjemahkan kata per kata. Kalau sudah menguasai dasar-dasar bahasa Arab, bisa lebih mudah. Bila masih awam, maka bantuan tarjamah per kata Syamil Qur’an bisa sangat membantu.
  • Dengan cara di atas, insya Allah akan menciptakan semangat dalam menyelesaikan hafalan. Saya lebih suka menyebutnya sebagai “cinta” terhadap surat yang akan dihafal. Dengan cinta ini, maka keinginan menghafal akan muncul setiap saat. Tidak sekedar di waktu-waktu khusus. Di saat sempitpun kita akan sempatkan menghafal.
  • Kemudian setelah kita punya semangat dan cinta yang menggelora, serta sudah menyapa dan kenal dengan “anggota keluarga kata” di dalam satu surat. Barulah kita menghafalkan ayat per ayat dengan cara mengulang-ulang seperti biasanya menghafal. Jumlahnya bisa 10 kali atau lebih. Faktor usia mungkin juga berpengaruh. Maka sesuaikan saja jumlahnya sampai benar-benar hafal.


Hasilnya memang menjadi berbeda dibanding cara sebelumnya yang ketika bertemu satu surat, lantas saya segera menuju ayat pertama dan langsung mengulang-ngulang hingga 20 kali untuk menghafalnya. Lalu lanjut dengan ayat berikutnya, dengan tanpa tahu makna kata dan kalimat terlebih dahulu. Hasilnya, sering saya mengalami kedodoran ketika sampai separuh surat. Dan hasilnya memang buruk. Tidak sampai khatam. Ayat yang sudah dihafal di awal suratpun kemudian lupa. Innalillah….


Penguat Hafalan

Setelah langkah pokok di atas kita lakukan, coba kuatkan hafalan ayat di atas dengan beberapa cara berikut yang saya ambil dari Metode Kauny Quantum Memory (KQM)

Pertama, menggunakan isyarat tangan atau gerakan tubuh lain sesuai makna kata. Metode KQM mengunggulkan cara ini. Gerakan ini menciptakan rangsangan gerak dan visual ke otak. Kalau ingin mengetahui efektifitas metode ini sila googling. Sudah ada video contoh gerakan tangan yang mem-visualisasi-kan kata dalam Qur'an. Bahkan sudah ada yang lengkap dengan ilustrasi film dan animasi. Dengan bantuan gerakan ini juga ternyata kita bisa menyuruh anak kita yang belum bisa baca tulis untuk melafalkan ayat Qur'an dan menghafalnya..

Kedua, mengeraskan suara saat menghafal. Hal ini akan menciptakan rangsangan suara.

Ketiga, menghafal sambil berjalan kaki. Saat berangkat dan pulang dari masjid misalnya. Daripada melihat-lihat yang tidak jelas, bukan?


Apa buktinya?

Alhamdulillah, dengan cara di atas, saya bisa memulihkan kembali semangat menghafal Qur’an. Salah satu capaian sementara, surat Al Waqi’ah dan surat Al Hadid bisa saya selesaikan dalam tiga pekan. Pekan ini saya sedang selesaikan An-Najm. Lumayanlah untuk ukuran seorang Bapak dengan lima anak dan sambil bekerja. Saya memang ingin selesaikan juz 27.


Semoga bermanfaat…

KELUARGA : DARI KETAHANAN MENUJU PERADABAN

  Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...