Apa hadiah teramat indah dari anak yang pernah Anda terima?
Jawabannya pasti beragam. Memang relatif. Tergantung persepsi yang menerima.
Bagi saya hadiah teramat indah itu salah satunya adalah….
*********
Anak kedua kami menerima saja ketika ditawari untuk mondok di
pesantren tahfidz paska kelulusan SD-nya, satu tahun lalu. Rupanya itu bukan
tiba-tiba. Karena di Buku Memory kelulusan SD-nya tercantum kalau cita-citanya
adalah jadi penghafal Al Qur’an. Entah dari mana datangnya. Saya menduga karena
ada pesan khusus dari Uminya. Sekarang ia
sudah menginjak tahun kedua di SMP Qur’an Al Hafidh, Jatisari, Karawang. Singkat benar waktu terasa.
Untuk tahun pertama, Imad sudah bisa menghafal 4 juz, alhamdulillah. Tetapi entah karena apa, kami tidak sempat
menguji hafalannya. Waktu itu dengan sudah melampaui hafalan abi-uminya, sudah
bersyukur sekali. Kamipun tidak mentarget agar Imad hafal 30 juz. Targetnya
kualitatif saja, maksimal. Soalnya kami melihat ia sangat mudah teralihkan
konsentrasinya. Terutama kalau berhadapan dengan aktivitas olah raga. Sesuatu
yang menuntut focus dan rutin adalah “mengerikan” bagi anak otak kanan dan
kinestetik. Juga di sekolahnya itu tidak
ansich menghafal Qur’an. Kurikulum dinas juga diterapkan sebagaimana SMP pada
umumnya. Otomatis waktu menghafal-nya harus berbagi dengan waktu belajar
pelajaran umum. Ekskul olah raganya juga beragam. Pemahaman tentang karakter
anak sesuai dominasi otak kanan atau kiri, memang sangat membantu memahami dan
memaklumi setiap anak.
Sebagaimana kakaknya yang lebih dulu menjadi “seseorang”
lewat aktivitas menulisnya. Imad bisa jadi seseorang dengan hafalannya. Polanya
memang seperti itu. Masa SMP dikondisikan untuk ekplorasi diri dengan mengikuti
banyak kegiatan fisik, dan menekuni satu bidang yang diminati. Insya Allah tiga
tahun cukup untuk mencapai hasil optimal. Sementara aspek akademik-kognitif
sepertinya tidak perlu digeber maksimal, kecuali bagi anak yang memang
berpotensi juara olimpiade sains. Karena toh saat SMA kelak pelajaran akademik
itu akan diulangi lagi. Teori perkembangan psikologi anak juga seiya sekata.
Masa SMP cukup 50-60% saja aspek kognitifnya. Capaian di SMP dengan target
hafalan sekian juz, tetap menggeluti beladiri dan beberapa cabang olah raga
kesukaannya, tidak merasa tertekan, hobi tersalurkan, wawasan akademik cukup
atau di atas minimal, saya kira sudah cukup. Orang tua lega, anak pun bahagia.
Karenanya, pada saat libur lebaran Idul Fitri beberapa waktu
lalu, saya coba untuk mengujinya. Tepatnya sih penasaran ingin mendengar saja.
Bagaimana rasanya ayat-ayat itu keluar dari mulut anak sendiri tanpa memandang
mushaf. Memang sempat menangis terharu saat menyaksikan video anak usia lima
tahun yang bisa hafal 30 juz. Tapi itu kan bukan anak sendiri.
Maka pada kesempatan selepas magrib, saya dudukkan Imad di
kursi tamu. “Coba Imad baca Juz 1 ya, Al Baqoroh. Abi yang nyimak…” Kata saya.
Dan Imad pun bersiap membacakan kitab suci nan mulia itu tanpa memegang mushaf.
Dan…. ketika memulainya… dan ketika halaman demi halaman ia
lewati….. masya Allah betapa nyes hati
ini. Betapa bahagia rasanya ketika ayat-ayat Qur’an itu mengalun beriringan dari
bibir Imad. Bacaannya sudah tartil. Tajwidnya juga bagus. Saya ikuti terus
sambil membuka mushaf. Menelaah kecocokan antara bacaan dan tulisan. Sesekali
lupa. Wajar. Tak mengurangi keasyikan menyimak alunan suara anak sendiri. Benar
sekali, saya sedang menikmati hadiah teramat indah yang diberikan seorang anak
pada orang tuanya.
Menyaksikan penampilan Imad yang tengah berupaya keras
mengulang hafalan, sungguh satu keindahan yang tak kalah dengan kilau sebuah
mahkota dari emas. Rasanya ingin benar memanjakan Imad dengan segala fasilitas
yang membuat ia bisa khusyuk menghafal Qur’an. Agar semakin banyak ayat yang
masuk dan mengendap di memori otaknya.
Terima kasih, anakku.
Atas hadiah teramat indah itu...
No comments:
Post a Comment