sumber : internet |
Satu hal paling “menakutkan” bagi orang tua ketika berbicara
tentang mengasuh anak adalah saat bertemu kata “teladan”. Mungkin seperti bertemu
pocong di gelap malam Jum’at Kliwon (padahal saya sendiri juga belum pernah
ketemu Si Pocy). Soalnya, ini memang tuntutan. Jadi menakutkan, karena sadar
betapa diri masih masih belepotan kualitas keshalihannya. Jadinya, merasa tak
pantas jadi orang tua sering mendera. Apatah lagi ketika harus memberi
keteladanan. Maka, keteladanan pun menjadi utopia. Bagi yang ditaqdirkan amanah berbilang banyak seperti saya, tentu menjadi makin horor.
Lalu bagaimana seharusnya menyikapi kata keramat itu?
Untuk hal-hal yang sifatnya abstrak, seperti keshalihan
pribadi, akhlak, kebiasaan sehari-hari, saya pikir biarlah berjalan secara
natural. Ya mau bagaimana lagi, terlanjur diamanahi anak. Banyak pula. Memangnya
mau dikembalikan? Bagaimana mengembalikannya? Lagipula ada sisi lain yang
membuat rasa “memiliki” terhadap anak begitu tinggi. Bahkan untuk “dipinjam”
oleh Saudara sendiri rasanya tidak rela. Akhirnya memang para ortu harus
banyak-banyak introspeksi. Juga sering-sering istighfar. Perbaiki diri. Belajar
lagi.
Untuk hal lain terkait skill, saya mencoba menerapkannya secara
sederhana. Yakni, dengan melakukan apa yang anak-anak lakukan. Jadi kalau ingin
anak cepat belajar menulis, seperti Si Teteh, maka saya harus belajar juga menulis.
Kalau ingin Imad (anak kedua kami) optimal anak menghafal Qur’an, saya pun
harus ikut menghafal Al Qur’an. Kalau adiknya (Dhiya dan Uki) ingin maksimal bermain lego, sayapun harus ikut main
lego. Ketika Si Dhiya ingin mahir melukis, mau tak mau saya harus berlatih melukis
lagi.
Ketika mendampingi Si Teteh belajar menulisnya, saya
mendahuluinya menulis. Berlomba adu banyak menulis. Adu cepat paling dulu
menerbitkan buku. Saya memang menang, karena duluan bikin buku, walaupun keroyokan.
Tapi kemudian dibalas Si Teteh dengan cara yang sadis; menerbitkan buku full
tulisan sendiri. Pake pengantarnya tak kalah sangar. Dari Pemred Majalah UMMI,
hingga Pembantu rektor UIN Syarif Hidayatullah. Dimuat di Majalah ANNIDA pula. Dalam perlombaan ini saya akhirnya
mengaku kalah. Tapi, ini kalah yang menang. Kalah tapi bahagia.
Kalau ingin Imad (anak kedua kami) maksimal hafalan
Qur’annya, saya harus mau “dipaksa” mengais kembali sisa-sia hafalan yang dulu pernah
melekat dan kemudian hilang. Saya coba ikut kawan saya yang sudah bapak-bapak yang
membuat grup ODOL (One Day One Line) atau satu hari satu baris. Ini cara
menghafal bagi para ortu yang mulai sepuh. Walaupun ternyata tidak gampang juga,
terutama aspek konsistensi. Akhirnya baru sebatas mengulang juz 30 dulu. Menambah hafalan baru? ini sebuah keberuntungan. Walau bukan mustahil.
Sekarang saya sedang coba sedikit praktekkan metode Kauny Quantum Memory-nya
ust Boby Herwibowo. Ini saya dapat dari kawan yang pernah ikut pelatihan. Plus
hasil ngintip di Youtube.
Saya juga jadi sibuk searching lagam bacaan yang enak ditelinga.
Orang otak kanan memang begitu. Mendahulukan irama ketimbang syair. Youtube
kembali jadi mitra strategis. Ketemulah
lagam Nahawand yang indah iramanya. Walaupun lagam yang biasa saya baca juga
sudah enak sebenarnya. Cuma terlalu bernuansa lokal dan personal. Biar variasi
juga. Ada juga bacaan dari Ziyad Patel. Iramanya juga enak didengar. Imad dan
teman-temannya di pondok lebih sering menggunakan irama Ziyad Patel ini. Sayapun pelajari irama Ziyad Patel ini.
Kalaupun kesulitan melakukan hal yang sama, paling tidak saya
harus menampakkan antusiasme untuk dongkrak motivasi anak. Saat Imad menekuni
bela diri, misalnya. Saya yang jauh dari bisa ini, coba memfasilitasi sebisa
mungkin. Sabisa-bisa kudu bisa, “Allahumma paksakeun” kata orang Sunda mah.
Sebelumnya waktu ikut Karate, Imad sebenarnya sudah bisa sampai coklat untuk
kategori anak-anak. Sekarang ia beralih ke Tae Kwon Do. Ya sudah, karena memang
passionnya di situ. Ekspresi dukungan tetap wajib ditampakkan. Hingga menemaninya
saat bertanding. Menyoraki biar semangat. Menampakkan kebanggaan bahwa saya
sudah punya pendekar bela diri. Dan memang saya bangga dengan Imad. Tak lupa
mengabadikan momen-momen penting lewat tulisan dan kamera hape, dan berbagi
dengan sanak kadang.
Karawang, 10 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment