Thursday, October 30, 2014

Perunggu Indah Di Awal Hijriah




Imad (merah) siap-siap beradu


Awal tahun 1436 Hijriah kemarin kami mendapati moment istimewa. Tak kalah istimewa dengan moment di GSG Salman saat mendampingi Si Teteh, hari Jum’at sebelumnya. Kali ini golden moment itu sebuah kebersamaan saat menyaksikan Imad, anak kedua kami, bertarung Tae Kwon Do di GOR Adiarsa Karawang.

Hari itu Imad berseragam Tae Kwon Do sabuk kuning strip hijau. Kelas Kadet under 43 kg. Pada turnamen Karawang Open yang diikuti klub Tae Kwon Do se Jawa itu. Imad bernaung di klub Perkasa Tae-Kwon-Do Club (PTC) Ada juga peserta dari Sulawesi dan Lampung. Imad dan kawan-kawan akan menjajal keberanian dan skil bela diri asal Korea itu.

Dhiya, Uki dan Nafisa ikut menyaksikan. Jadi supporter dari balkon. Saya biarkan mereka saksikan kakak laki-lakinya itu beradu. Membanting tulang dalam pengertian sebenarnya, karena senjata utamanya adalah tendangan kaki. Tentu akan berbenturan. Seperti dibanting-banting. Akhirnya kaki Imad memang bengkak. Pada pertandingan pertama yang tidak sempat kami saksikan, Imad ternyata menang. Sehingga berlanjut ke tanding kedua.

Saat adu tendang

Pada pertadingan kedua ini, awalnya berlangsung seru. Saya sangat menikmati gerakan-gerakan Imad yang lincah. Sepertinya kaki masih terbawa gaya karate. Di tengah pertandingan, saya lihat ada jeda. Imad mengalami sesak nafas, sehingga harus dibantu obat semprot. Imad memang punya asma. Tapi ini tak menyurutkan Imad untuk tetap aktif di beberapa kegiatan olah raga. Walapun beberapa kali asma-nya kumat saat kondisi badan terlalu capek.

Pertandingan masih berlanjut. Sayangnya, terjadi insiden ketika skor 2-4. Imad memang masih tertinggal. Saat adu kejar skor itu, bagian bawahnya terkena tendangan. Imad terhuyung dan kemudian terkapar di lantai. Lantas ditandu ke pinggir lapangan guna penanganan lebih lanjut. Wasit akhirnya memutuskan Imad tidak bisa melanjutkan pertandingan. Terang saja kami khawatir. Apalagi Sang Bunda. Amat tidak tega lihat kejadian itu. SAya agak lega karena kata petugas,  “Nggak apa-apa. Biasa Pak”. Setelah dianggap pulih, walau masih meringis Imad kembali ke balkon bergabung bersama rombongan.


Imad terkapar

ditandu ke pinfgir lapangan

Melihat Imad dengan peluh di sekujur tubuh, sambil meringis kesakitan, dan berair mata menjadikan kami terharu sangat. Perjuangannya terlihat berat. Kalau hari sebelumnya saya dan Sang Bunda menyertai Si Teteh di Gedung Serba Guna Salman ITB Bandung dengan kemasan acara yang bernuansa intelektual dan religious. Dalam acara yang dikemas secara rapi, bersih dan penuh kemeriahan. Kali ini giliran menyertai Imad yang berpeluh, banting tulang dan air mata. Di ruangan yang riuh rendah penuh teriakan dan suara tendangan yang mengenai body protector. Permainan khas laki-laki, memang. Walaupun atlet putri juga cukup banyak.

Selain di lapangan, perjuangan mereka juga saat menunggu giliran. Pertandingannya cuma 15 menit. Tapi menunggunya bisa seharian. Bahkan ada yang mendapat giliran bertarung malam hari. Ini karena harus mengatur 500-an peserta dalam kelas berbeda dengan fasilitas tiga lapangan.

Saya juga harus acungkan jempol buat Ustad Deni yang mendampingi anak-anak selama  keikutsertaan di turnamen ini. Beliau rela tiga hari full tidak pulang ke pondok. Memang benar, yang berperan membentuk anak-anak kita tak hanya orang tua. Ada lingkungan dan teman-teman mereka. Di pondok, para guru praktis menggantikan peran pengasuhan orang tua.. Mereka layak disampaikan salam takzim. Semoga Allah memberi balasan berlipat. Aamiin

Horeee... dapat perunggu!

Minggu malam, kami dapat kabar dari Ust Deni. Imad dapat medali perunggu. Secara keseluruhan SMPQ Al Hafidh memperoleh dua perak dan enam perunggu. Medali perak pertama diraih oleh siswi puteri. Alhamdulillah, bagi Imad ini medali pertama sejak menekuni bela diri sejak Sekolah Dasar. Tentu kejutan dan hadiah yang menyenangkan.

Ust. Deni (kiri-baju merah) bersama para jagoan dari SMPQ Al Hafidh
Saya berharap, momen bertarung disaksikan orang banyak menjadi pendidikan mental dan kedewasaan. Karena seorang laki-laki kelak akan diberi amanah memimpin keluarga. Mereka akan bertarung di tengah lapangan kehidupan yang sesungguhnya. Berdiri di depan melawan anasir yang bisa merusak keutuhan keluarga. Karenanya harus bisa mengendalikan diri. Menjaga emosi. Mengatur strategi. Mencari peluang sesempit apapun. Hingga meraih prestasi kehidupan.

Imad, anakku… juga kawan-kawan Imad lainnya, semoga medali yang diraih itu jadi pemicu prestasi di kehidupan yang lebih luas. Tak meraih medalipun tak mengapa. Keberanian untuk tampil sudah merupakan pelatihan tersendiri. Kelak kalian akan mengerti apa manfaat dari kegiatan seperti ini...

Karawang, 2 Muharam 1436H






Sunday, October 26, 2014

Menikmati SALMAN ITB

Suasana di dalam masjid Salman ITB

Ternyata jadi juga bisa menikmati suasana Masjid Salman sampai puas. Itu karena saya bareng Nyonya Permaisuri menemani Si Teteh Fathia yang jadi pembicara di acara Talk Show "Sampurasun Jabar 2014" yang digelar Fornusa (Forum Rohis Nusantara) Jabar. Karena acara mengambil di Gedung Serba Guna Salman yang berdampingan dengan masjid, saya jadi leluasa. Kebetulan tiba di sana sebelum waktunya shalat Jum'at, sehingga bisa menikmati khutbah di salah satu masjid legendaris ini. Pilihan panitia Talkshow yang mengundang anak-anak SMA ke Salman memang cerdas. Karena pasti akan mengangkat moral anak-anak Rohis ketika mengasosiasikan dirinya dengan masjid Salman ITB. Pengalaman hadir di situ saja sudah memberi kesan khusus.

Ke Salman ITB ini untuk kali kedua. Namun baru kali ini bisa puas menikmati suasananya. Setahun lalu memang pernah jum’atan di sini saat pulang dari acara kantor bersama rombongan. Hanya saja karena datangnya mepet, akhirnya hanya kebagian tempat di dekat Perpustakaan Anak. Di bagian emperan belakang Gedung Serba Guna. Saya juga tidak sempat memasuki ruang utama masjid karena buru-buru harus pulang. Padahal ingin benar menelusuri detail masjid yang katanya luar biasa itu. Jadinya merasakan suasana Salman waktu itu adalah suasana emperan Gedung Serba Guna-nya.  Tapi siapa sangka kalau Gedung Serba Guna itu  ternyata jadi tempat bersejarah buat anak pertama saya, setahun kemudian.


Ya, bagi saya Salman ITB memang legendaris selain Masjid Istiqlal Jakarta, masjid Baiturahman di Aceh, atau Masjid Kudus di Demak. Salman adalah masjid kampus pertama Indonesia. Dibangun tahun 1964 di era Bung Karno. Arsiteknya adalah Achmad Noe'man. Bung Karno sendiri yang memberi nama Salman. Salah satu keunikannya adalah tanpa kubah dan tanpa tiang di ruang utamanya. 

Hari Jum'at itu untuk pertama kalinya saya bisa duduk bersimpuh di teras Masjid Salman. Walaupun hanya kebagian teras bagian luar sebelah tangga sisi selatan. Pada saat sholat sunnah ba’diyah Jum'at saya berusaha shalat di ruang utama. Sangat ingin menikmati lantai kayunya. Itu salah satu yang saya dengar tentang masjid ini. Memang benar, lantai kayunya unik. Tersusun dari lempengan-lempengan kayu kecil ukuran 25 x 5cm. Selain lantainya, dinding dan langit-langit juga dibuat dominan kayu. Kecuali dinding depan yang dominan tembok. Sedangkan atapnya dibuat  mirip sebuah buku yang terbuka kalau dilihat dari atas. Hal unik lagi, di sana saya juga tidak melihat kaligrafi yang biasanya menghiasi sekeliling dinding. Bahkan lafadz “Allah” dan “Muhammad” juga tidak terlihat. Podiumnya berbahan kayu dibuat minimalis tanpa ukiran dan ornamen. Dari keseluruhan ruangan di dalam, sedikit tempelan itu hanya berupa layar digital penunjuk waktu yang ditempel di dinding sebelah utara, serta beberapa speaker yang tampak. 

Menyaksikan lalu lalang anak muda mahasiswa dan mahasiswi ITB di Komplek Masjid Salman  itu saya jadi ingat kawan sekelas saat SMA yang kuliah di sini. Ada Kang Lukman, Kang Udin, Kang Iwan Juliano, juga Kang Adang. Mereka beruntung bisa menikmati dinamika salah satu kampus terbaik di tanah air ini. Karena di situ saya melihat perpaduan ideal antara kepintaran dan keshalihan. Arsitektur masjid Salman menambahkan satu hal lagi, keindahan. Sempurna sudah. Salman ITB adalah saripati kebaikan  Indonesia yang berkumpul jadi satu. Saya jadi ingat guyonan waktu dulu saat bujangan. Katanya para akhwat kadang mengilustrasikan gambaran ikhwan ideal itu dengan tiga I : Ikhwan, Insinyur, dan ITB.  

Itulah Salman. Masjid kampus pertama Indonesia yang legendaris. Ia hadir bersamaan dengan bangkitnya kesadaran baru gerakan Islam modern. Di sana ada divisi penerbitan, yang beberapa buku terbitannya saya baca saat ketika SMA. Membawa pencerahan luar biasa, bahwa Islam itu tak sekedar ibadah ritual. Ia adalah ruh bagi bangkitnya peradaban dunia yang rahmatan lil 'alamiin.  

Tokoh-tokoh Salman waktu itu sangat berpengaruh. Kuliah tauhidnya Ust Imadudin Abdulrahim (Bang Imad) sangat terkenal. Cara berdakwahnya progresif tapi mudah dicerna. Walaupun saya tidak pernah bertemu beliau langsung, hanya melihat lewat layar kaca, tapi inspirasinya itu membuat saya menamai anak kedua saya dengan Abdullah Imaduddin.  


Karawang, 25 Oktober 2014

Saturday, October 25, 2014

PANGGUNG SALMAN DI PENGHUJUNG TAHUN



Poster Acara


Pergantian tahun baru Hijriah tahun ini amat istimewa. Saya menjumpai dua golden moment yang tak boleh terlewatkan. Sebisanya dan bagaimanapun caranya saya harus bisa menghadiri. Sabisa-bisa kudu bisa, “Allahumma paksakeun” kata urang Sunda mah. Golden moment adalah saat-saat kebersamaan orang tua dan anak yang special. Dengannya akan terbangun ikatan emosional yang erat. Salah satu momen itu adalah saat anak unjuk prestasi.

Hari Jumat, 24 Oktober 2014 bertepatan dengan penghujung tahun 1435H. Saya bareng Nyonya Permaisuri berada di Bandung. Kami menghadiri tampilnya “Si Teteh” Fathia di acara SAMPURASUN JABAR 2014. Sebuah acara Talkshow yang digelar oleh Forum Rohis Nusantara (FORNUSA) bertema “Comeback to Masjid, Guys”.  Si Teteh diminta jadi pembicara bareng dr Harnandhito Yudithia dan Meyda Sefira.

Kenapa Si Teteh yang diundang? lagi-lagi karena buku Breaking The Limit. Panitia memang mencari pembicara yang  mewakili peserta, remaja seusianya. Aktif di Rohis tapi yang punya "sesuatu". Mungkin, menulis buku saat masih SMP termasuk kategori "sesuatu" itu. Oleh Pak Agung Sulanjana, kawan saya yang kepala SMPIT Al Irsyad Karawang, Si Teteh dikenalkan ke Panitia. Panitiapun setuju. Setelah Teh Dela yang mewakili panitia menjalin kontak via WA (WhatsApp) dengan saya, dan dilanjut permohonan/dispensasi ke SMA Insan Cendekia Madani (ICM), tak lama kemudian, nama dan fotonya sudah terpampang di brosur acara dan tersebar melalui media sosial.

Peserta SAMPURASUN JABAR memenuhi GSG Salman ITB
Ini memang momen yang spesial. Karena lingkup acaranya se-Jawa Barat. Juga karena pembicara lainnya bukan orang sembarangan. Satunya Meyda Sefira, bintang film Ketika Cinta Bertasbih (KCB) yang sudah kesohor itu. Dari sisi kualitas personal, para bintang KCB itu tidak main-main. Ia bukan sekedar artis, tapi ia artis yang berkualitas dari sisi kepribadian keislamannya. Ia hasil audisi yang ketat. Lihat saja Kholidi Asadil Alam dan Oki Setiana Dewi, rekan mainnya di KCB. Sangat kuat karakter Islamnya. Sedangkan Pembicara satunya seorang dokter muda, dr Harnanditho Yudithia. Kang Dito, tentu punya hal istimewa sehingga diundang ke acara ini. Sepintas saja, tentu pengalamannya jauh lebih matang dibanding Fathia yang masih seorang anak SMA.

Sebenarnya Fathia sendiri pantasnya sebagai peserta mewakili sekolahnya.  Apalagi ia masih kelas X, sedangkan pesertanya adalah  perwakilan Rohis yang pasti sudah kelas XI atau XII. Jadinya  kalau dibandingkan dengan Kang Dito jadi tidak aple to aple, tapi aple to banana :D. Tetapi tentu ada alasan panitia  menampilkan pembicara yang merepresentasikan peserta.

Kakak-kakaknya Fathia serius menyimak Para Pembicara 
Sayapun jadi teringat ucapan Kang Cipto saat memberikan motivasi pada acara Training Studi Islam (TRANSIT) di SMP Al Irsyad Karawang, Ramadhan lalu. Ia sempat berujar, “Adik-adik pelajar kita yang aktivis rohis dan punya potensi memang sudah saatnya diberi panggung. Agar bisa dikenal masyarakat”. Kalau kemudian Fathia yang mendapat kesempatan, berarti ini sebuah amanah. Ia membawa misi dakwah yang tidak ringan.

Mendampingi Si Teteh yang harus berbicara di hadapan 200-an peserta yang hampir semuanya kakak kelas, ternyata membuat Sang Bunda jadi ikutan nervous. Si Teteh sendiri sempat sakit perut. Ini gejala stress yang wajar saat  menghadapi sesuatu yang menegangkan. Kadar asam lambungnya meningkat. Pemicunya adalah jumlah peserta yang memenuhi Gedung Serba Guna Salman. “Koq tambah banyak begini??” Si Teteh memelas. Ini memang ajang uji nyali sungguhan. Di usia yang sama, saya sendiri masih belepotan kalau bicara di depan beberapa orang saja. Apalagi ini di depan orang banyak memenuhi gedung. 

Bu Prilla dan Fathia, seusai acara
Bersyukur, karena ia didampingi oleh guru PAI-nya, Bu Prilla. Ibu muda lulusan Syari'ah LIPIA Jakarta ini memang menyediakan waktunya seharian penuh mendampingi Fathia. Si Teteh jadi punya suporter selain abi uminya. Mereka berangkat pukul 07.00 dari Serpong, tiba di Salman pukul 11 siang. Karena selesainya sekitar jam 4 sore, kemungkinan sampai kembali di Serpong menjelang tengah malam karena berbarengan dengan puncak lalu lintas para pegawai yang pulang kerja. Selain didampingi seorang guru, untuk mendukung kesertaan Fathia di acara itu, pihak ICM memfasilitasi dengan mobil antar jemput. Sebuah Inova putih berlogo ICM, lengkap dengan driver. Luar biasa memang ICM, support terhadap siswanya sedemikian besar.

Pada saat acara, karena sesuatu hal, Meyda Sefira tidak jadi tampil. Panitia menggantinya dengan memutar video rekaman wawancara melalui layar proyektor. Praktis, tinggal Fathia sama Sang Dokter yang duduk di depan, dipandu moderator yang hebat : Kang Rochenry, yang sebentar lagi akan lulus dari Penerbangan ITB. Duuhhh, penerbangan ITB euy!  

Pada awal kesempatan berbicara,  Si Teteh sempat kehilangan kosakata. Berbicara tentang kerohisan memang masih belum banyak pengalaman di situ. "Gariing" katanya. Ia diundang karena sebagai penulis, tapi harus berbicara bukan tentang menulis atau tentang isi buku, memang agak keluar dari zona Si Teteh. Beruntung, pengalamannya aktif di Remaja Masjid KARIMA dekat rumah saat masih SMP ternyata menjadi bekal untuk bisa berbagi dan memberikan motivasi agar para remaja mencintai masjid. Iapun apa adanya menyampaikan realitas anak remaja yang datang ke masjid itu seperti apa. Menurutnya kemungkinanannya itu ada dua : karena kemauan atau karena ada yang "ditaksir". Dan ruanganpun menjadi riuh.

Kang "Ocen" Rochenry, Si Teteh dan Kang Dito
Fathia mulai “on” saat menyinggung bahasan “virus merah jambu”. Tema tentang pacaran ini memang cukup ia "kuasai". Say no to Pacaran memang jadi prinsipnya. Sehingga ketika menjelaskan kesannya jadi cadas dan sangat ideologis. Tanpa kompromi. Persis dengan apa yang pernah ia tulis melalui kultwit-nya di akunt Twitter @fathia_TS. Gayanya memang berbeda dengan Kang Dhito yang menjelaskannya dengan mengolah kata dan menyusun kalimat penjelasan secara memutar dan meliuk-liuk. Seperti penari balet, plus sentuhan humor. Sehingga walaupun ujungnya sama, tapi rasanya tentu berbeda. Pengalaman hidup dan jam terbang memang ikut menentukan. Saya yakin Fathia menyerap banyak pelajaran dari situ.

Saat closing statement,  Fathia memberi saran agar anak muda memahami potensi diri masing-masing yang unik dan memanfaatkannya untuk dakwah. "Bagi yang senang basket, manfaatkanlah untuk dakwah. Bagi yang suka menulis, manfaatkan itu untuk dakwah" tuturnya.

Hingga selesai acara, alhamdulillah talkshow berlangsung lancar dan seru. Doorprise pun banyak mengalir ke tangan peserta. Panitia memang ciamik. Seusai acara itu, sambil foto-foto saya bisikkan ke Si Teteh : “Selamat ya Teh, ini capaian terbaik seorang anak SMA kelas X di forum besar seperti ini. It’s amazing. Excelent!”


Back to ICM, Serpong
Seusai acara, dan pamitan ke panitia, pukul 16.30 kamipun pulang ke tempat masing-masing. Berpisah. Kami ke Karawang, Fathia dan Bu Prilla ke Serpong. Baru kali ini Fathia pulang tidak diantar Abinya. Untuk sementara ia memang "milik" ICM.

Ya, di akhir tahun 1435 Hijriah ini, Si Teteh, saya dan Sang Bunda merajut kebersamaan yang istimewa. Di tempat yang istimewa. Pada acara yang istimewa. Bertemu orang-orang istimewa.  


Karawang, 25 Oktober 2014


# Oiya, untuk golden moment kedua, insya Allah akan saya posting pada tulisan berikutnya. Sila menanti... :D




.                                                                                                                                                                 .


Adv.

Follow @DitjenPajakRI untuk update info perpajakan terkini



























Monday, October 20, 2014

HADIAH TERAMAT INDAH





Apa hadiah teramat indah dari anak yang pernah Anda terima? Jawabannya pasti beragam. Memang relatif. Tergantung persepsi yang menerima. Bagi saya hadiah teramat indah itu salah satunya adalah….

*********

Anak kedua kami   menerima saja ketika ditawari untuk mondok di pesantren tahfidz paska kelulusan SD-nya, satu tahun lalu. Rupanya itu bukan tiba-tiba. Karena di Buku Memory kelulusan SD-nya tercantum kalau cita-citanya adalah jadi penghafal Al Qur’an. Entah dari mana datangnya. Saya menduga karena ada pesan khusus dari Uminya.  Sekarang ia sudah menginjak tahun kedua di SMP Qur’an Al Hafidh, Jatisari,  Karawang.  Singkat benar waktu terasa.

Untuk tahun pertama, Imad sudah bisa menghafal 4 juz, alhamdulillah.  Tetapi entah karena apa, kami tidak sempat menguji hafalannya. Waktu itu dengan sudah melampaui hafalan abi-uminya, sudah bersyukur sekali. Kamipun tidak mentarget agar Imad hafal 30 juz. Targetnya kualitatif saja, maksimal. Soalnya kami melihat ia sangat mudah teralihkan konsentrasinya. Terutama kalau berhadapan dengan aktivitas olah raga. Sesuatu yang menuntut focus dan rutin adalah “mengerikan” bagi anak otak kanan dan kinestetik.  Juga di sekolahnya itu tidak ansich menghafal Qur’an. Kurikulum dinas juga diterapkan sebagaimana SMP pada umumnya. Otomatis waktu menghafal-nya harus berbagi dengan waktu belajar pelajaran umum. Ekskul olah raganya juga beragam. Pemahaman tentang karakter anak sesuai dominasi otak kanan atau kiri, memang sangat membantu memahami dan memaklumi setiap anak.

Sebagaimana kakaknya yang lebih dulu menjadi “seseorang” lewat aktivitas menulisnya. Imad bisa jadi seseorang dengan hafalannya. Polanya memang seperti itu. Masa SMP dikondisikan untuk ekplorasi diri dengan mengikuti banyak kegiatan fisik, dan menekuni satu bidang yang diminati. Insya Allah tiga tahun cukup untuk mencapai hasil optimal. Sementara aspek akademik-kognitif sepertinya tidak perlu digeber maksimal, kecuali bagi anak yang memang berpotensi juara olimpiade sains. Karena toh saat SMA kelak pelajaran akademik itu akan diulangi lagi. Teori perkembangan psikologi anak juga seiya sekata. Masa SMP cukup 50-60% saja aspek kognitifnya. Capaian di SMP dengan target hafalan sekian juz, tetap menggeluti beladiri dan beberapa cabang olah raga kesukaannya, tidak merasa tertekan, hobi tersalurkan, wawasan akademik cukup atau di atas minimal, saya kira sudah cukup. Orang tua lega, anak pun bahagia.

Karenanya, pada saat libur lebaran Idul Fitri beberapa waktu lalu, saya coba untuk mengujinya. Tepatnya sih penasaran ingin mendengar saja. Bagaimana rasanya ayat-ayat itu keluar dari mulut anak sendiri tanpa memandang mushaf. Memang sempat menangis terharu saat menyaksikan video anak usia lima tahun yang bisa hafal 30 juz. Tapi itu kan bukan anak sendiri.

Maka pada kesempatan selepas magrib, saya dudukkan Imad di kursi tamu. “Coba Imad baca Juz 1 ya, Al Baqoroh. Abi yang nyimak…” Kata saya. Dan Imad pun bersiap membacakan kitab suci nan mulia itu tanpa memegang mushaf.

Dan…. ketika memulainya… dan ketika halaman demi halaman ia lewati….. masya Allah  betapa nyes hati ini. Betapa bahagia rasanya ketika ayat-ayat Qur’an itu mengalun beriringan dari bibir Imad. Bacaannya sudah tartil. Tajwidnya juga bagus. Saya ikuti terus sambil membuka mushaf. Menelaah kecocokan antara bacaan dan tulisan. Sesekali lupa. Wajar. Tak mengurangi keasyikan menyimak alunan suara anak sendiri. Benar sekali, saya sedang menikmati hadiah teramat indah yang diberikan seorang anak pada orang tuanya.
Menyaksikan penampilan Imad yang tengah berupaya keras mengulang hafalan, sungguh satu keindahan yang tak kalah dengan kilau sebuah mahkota dari emas. Rasanya ingin benar memanjakan Imad dengan segala fasilitas yang membuat ia bisa khusyuk menghafal Qur’an. Agar semakin banyak ayat yang masuk dan mengendap di memori otaknya.

Terima kasih,  anakku. Atas hadiah teramat indah itu...


Friday, October 10, 2014

APLIKASI SEDERHANA TENTANG KETELADANAN


sumber : internet



Satu hal paling “menakutkan” bagi orang tua ketika berbicara tentang mengasuh anak adalah saat bertemu kata “teladan”. Mungkin seperti bertemu pocong di gelap malam Jum’at Kliwon (padahal saya sendiri juga belum pernah ketemu Si Pocy). Soalnya, ini memang tuntutan. Jadi menakutkan, karena sadar betapa diri masih masih belepotan kualitas keshalihannya. Jadinya, merasa tak pantas jadi orang tua sering mendera. Apatah lagi ketika harus memberi keteladanan. Maka, keteladanan pun menjadi utopia. Bagi yang ditaqdirkan amanah berbilang banyak seperti saya, tentu menjadi makin horor.

Lalu bagaimana seharusnya menyikapi kata keramat itu?

Untuk hal-hal yang sifatnya abstrak, seperti keshalihan pribadi, akhlak, kebiasaan sehari-hari, saya pikir biarlah berjalan secara natural. Ya mau bagaimana lagi, terlanjur diamanahi anak. Banyak pula. Memangnya mau dikembalikan? Bagaimana mengembalikannya? Lagipula ada sisi lain yang membuat rasa “memiliki” terhadap anak begitu tinggi. Bahkan untuk “dipinjam” oleh Saudara sendiri rasanya tidak rela. Akhirnya memang para ortu harus banyak-banyak introspeksi. Juga sering-sering istighfar. Perbaiki diri. Belajar lagi.

Untuk hal lain terkait skill, saya mencoba menerapkannya secara sederhana. Yakni, dengan melakukan apa yang anak-anak lakukan. Jadi kalau ingin anak cepat belajar menulis, seperti Si Teteh, maka saya harus belajar juga menulis. Kalau ingin Imad (anak kedua kami) optimal anak menghafal Qur’an, saya pun harus ikut menghafal Al Qur’an. Kalau adiknya (Dhiya dan Uki) ingin  maksimal bermain lego, sayapun harus ikut main lego. Ketika Si Dhiya ingin mahir melukis, mau tak mau saya harus berlatih melukis lagi.

Ketika mendampingi Si Teteh belajar menulisnya, saya mendahuluinya menulis. Berlomba adu banyak menulis. Adu cepat paling dulu menerbitkan buku. Saya memang menang, karena duluan bikin buku, walaupun keroyokan. Tapi kemudian dibalas Si Teteh dengan cara yang sadis; menerbitkan buku full tulisan sendiri. Pake pengantarnya tak kalah sangar. Dari Pemred Majalah UMMI, hingga Pembantu rektor UIN Syarif Hidayatullah. Dimuat di Majalah ANNIDA  pula. Dalam perlombaan ini saya akhirnya mengaku kalah. Tapi, ini kalah yang menang. Kalah tapi bahagia.

Kalau ingin Imad (anak kedua kami) maksimal hafalan Qur’annya, saya harus mau “dipaksa” mengais kembali sisa-sia hafalan yang dulu pernah melekat dan kemudian hilang. Saya coba ikut kawan saya yang sudah bapak-bapak yang membuat grup ODOL (One Day One Line) atau satu hari satu baris. Ini cara menghafal bagi para ortu yang mulai sepuh. Walaupun ternyata tidak gampang juga, terutama aspek konsistensi. Akhirnya baru sebatas mengulang juz 30 dulu.  Menambah hafalan baru?  ini sebuah keberuntungan. Walau bukan mustahil. Sekarang saya sedang coba sedikit praktekkan metode Kauny Quantum Memory-nya ust Boby Herwibowo. Ini saya dapat dari kawan yang pernah ikut pelatihan. Plus hasil ngintip di Youtube.

Saya juga jadi sibuk searching lagam bacaan yang enak ditelinga. Orang otak kanan memang begitu. Mendahulukan irama ketimbang syair. Youtube kembali jadi mitra strategis.  Ketemulah lagam Nahawand yang indah iramanya. Walaupun lagam yang biasa saya baca juga sudah enak sebenarnya. Cuma terlalu bernuansa lokal dan personal. Biar variasi juga. Ada juga bacaan dari Ziyad Patel. Iramanya juga enak didengar. Imad dan teman-temannya di pondok lebih sering menggunakan irama Ziyad Patel ini.  Sayapun pelajari irama Ziyad Patel ini.

Kalaupun kesulitan melakukan hal yang sama, paling tidak saya harus menampakkan antusiasme untuk dongkrak motivasi anak. Saat Imad menekuni bela diri, misalnya. Saya yang jauh dari bisa ini, coba memfasilitasi sebisa mungkin. Sabisa-bisa kudu bisa, “Allahumma paksakeun” kata orang Sunda mah. Sebelumnya waktu ikut Karate, Imad sebenarnya sudah bisa sampai coklat untuk kategori anak-anak. Sekarang ia beralih ke Tae Kwon Do. Ya sudah, karena memang passionnya di situ. Ekspresi dukungan tetap wajib ditampakkan. Hingga menemaninya saat bertanding. Menyoraki biar semangat. Menampakkan kebanggaan bahwa saya sudah punya pendekar bela diri. Dan memang saya bangga dengan Imad. Tak lupa mengabadikan momen-momen penting lewat tulisan dan kamera hape, dan berbagi dengan sanak kadang.

Ya, itulah harga dari mendampingi anak belajar. Orang tuapun jadinya tidak boleh “kurang ajar”. 


Karawang, 10 Oktober 2014

KELUARGA : DARI KETAHANAN MENUJU PERADABAN

  Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...