Friday, July 4, 2014

Anak Boarding Dengan Misi Khusus





Rabu pagi 02 Juli 2014  kemarin, saat jarum jam tepat di posisi 09.30, di ujung gang Haji Amat,  Jl Ciater Raya, Serpong, Tangerang Selatan, mata saya kembali berpapasan dengan deretan huruf  besar terbuat dari bahan logam yang memantulkan kesan megah. Di situ juga logo cantik ikut terpasang. Logo yang dibuat serius dan mengandung filosofi. Paduan logo dan tulisan “INSAN CENDEKIA MADANI” adalah yang pertama kali menyapa sebelum memasuki pintu gerbang komplek sekolah yang megah ini. Sebuah boarding school dengan fasilitas lengkap yang berlokasi  tak jauh dari kampus STAN tempat saya dulu kuliah. Ini kali keempat mengunjungi ICM, setelah sebelumnya proses pendaftaran, test dan daftar ulang.

Hari pertama berseragam ICM

Hari Rabu kemarin itu Fathia resmi memulai statusnya sebagai siswi SMA. Memulai MOS selama empat hari. Secara simbolis  orang tua juga sudah menyerahkan pengasuhan kepada pihak sekolah. ICM memang bagi kami adalah boarding school impian. Impian di sini bukan karena diimpikan dari awal, tapi ini karena memang seperti mimpi. Bahkan sampai saat saya menulis inipun masih seperti sedang bermimpi. Karena sebelumnya tidak pernah berfikir untuk menyekolahkannya  di sini. Tahu nama saja karena ada yang menawarkan beasiswa. 

Allah memang Maha Kuasa atas hamba-Nya. Apapun bisa terjadi. Bahkan bagi saya,  seperti berlebihan Allah memberi anugerah ini. Kadang saya merasa agak takut juga. Khawatir tidak bisa bersyukur. Karena datangnya benar benar min haisu laa yahtasib! Dari jalan yang tidak disangka. Hanya dari wasilah sebuah buku BREAKING THE LIMIT dan kumpulan tulisan di blog, tiket masuk ke surga belajar bernama Insan Cendekia Madani diperoleh Fathia secara cuma-cuma.  Cuma-cumanya juga beneran, bukan pencitraan, bukan sekedar marketing gimmick. Apalagi PHP. Fathia memang menerima fasilitas beasiswa full dari Tali Foundation.

Maka, beberapa hari terakhir kemarin, Fathia-pun sibuk persiapan masuk sekolah barunya itu. Menjahitkan baju seragam hingga berburu jersey negara peserta Piala Dunia 2014. Saya jadi teringat dengan suasana yang tidak beda dengan adiknya yang sudah duluan ber-boarding ria di sekolah pondok Tahfidh di Jatisari, ujung timur Karawang. Rasanya, ia seperti “kualat” termakan candaannya pada sang adik. Suka menggoda anak boarding sih. Jadinya masuk boarding betulan, he he. Padahal SMAN yang ditarget sebenarnya bisa diraih dengan nilai UN yang tempo hari diraih. Namun, Allah membelokannya jauh ke barat, hingga melewati ibukota, kemudian hinggap di ICM, Serpong. Kalau dihitung  ICM ini adalah sekolah ke-8 yang disinggahi Fathia. Efek abinya yang nomaden, jadinya sekolah anak-anak ikut nomaden juga.

Menyekolahkan anak memang selalu jadi isu krusial sejak diamanahi jadi orang tua. Kadang emosional juga. Terutama saat menentukan sekolah pilihan dan faktor biaya. Apalagi diamanahi dalam jumlah banyak, lima. Tentu memerlukan pemikiran yang tidak sederhana. Di samping mengawal proses pendidikannya. Termasuk memilih sekolah,  juga mengelola anggarannya. Memang berbeda dengan orang tua saya yang relatif tidak menemukan problem yang terlalu kompleks  ketika menyekolahkan saya dan lima saudara saya. Kecuali persoalan biaya saat menyekolahkan dan menguliahkan empat adik saya.

Sekarang semuanya menjadi berbeda ketika kita memahami lebih dalam tema pendidikan dan mencermati dinamikanya. Maka tiba-tiba ada banyak masalah terpampang di depan mata. Ternyata masalahnya tak sekedar biaya sekolah. Kita para orang tua juga harus mengkritisi mutu sekolah dan lingkungan pergaulan. Sekolah kini tidak lagi tempat suci yang steril dari masalah. Bahkan diantaranya jadi sumber masalah. Banyak orang tua yang kehilangan anaknya justru di sekolah atau karena pergaulan saat sekolah. Baik kehilangan moralitas, kehormatan, bahkan nyawa.

Barangkali itulah sebab  menjamurnya sekolah alternatif non-negeri yang dikelola masyarakat yang kemudian lebih dilirik. Bahkan  diantaranya jadi favorit siswa dan ortu. Walaupun sebenarnya sejak jaman dahulu, masyarakat sebenarnya sudah terbiasa mengelola pendidikan sendiri, pesantren misalnya. Masalahnya, karena melibatkan masyarakat berlakulah hukum pasar : penawaran dan permintaan. Sekolah Terpadu, Boarding School, Labschool, Internat, Unggulan  terbukti semakin banyak mengiringi nama sekolah. Walaupun berbiaya relative tinggi. Karena program pendidikannya yang dibiayai sendiri. Ini memang buah dari produk birokrasi pendidikan sendiri yang belum bisa menjamin kualitas pendidikan. Juga tidak menjamin keselamatan anak-anak didiknya. Sehingga, walapun berbiaya mahal. Walau biaya selangit. Para ortu tetap berburu sekolah-sekolah itu. Itulah sepertinya alasan terbesar yang terungkap dari para orang tua yang menyekolahkan anaknya di ICM. Mereka para orang tua dari kalangan menengah atas yang tidak lagi berhitung biaya.

Fathia mungkin bagian dari anak-anak yang beruntung yang bisa menjalani pendidikan dengan bahagia ketika berada di sekolah yang menyelenggarakan pendidikan terbaik. Di SMP Alam ia bisa berbahagia menjalani proses hingga terbangun karakternya dan menghasilkan produk yang bisa diterima masyarakat.  Karyanya berupa buku dan tulisan  itu pula yang kemudian menjadi tiket untuk  masuk ke SMA tanpa harus mengeluarkan biaya. Tanpa harus saling jegal dengan teman-temannya.  Sekarang ia memulai perjalanan baru. Berangkat dari keluarga kebanyakan level perumnas, ia kini menjadi siswa di sekolah megah dengan fasilitas amat lengkap. Berbaur bersama anak-anak yang tumbuh dalam kelimpahan materi.

Sebagai kompensasi dari fasilitas beasiswa yang didapat, ia mendapat misi khusus dari pihak sekolah: menjadi contoh bagi teman-temannya. Ia mendapat mandat untuk menjalankan fungsi ing madyo mangun karso. Sebuah misi yang cukup menantang memang. Karena ia harus mampu menjadi model dan motor penggerak bagi teman-temannya sendiri. Bagi Fathia, jelas ini sebuah pembelajaran tersendiri. Mungkin ini yang dimaksud dengan learning by chalange. Tetapi saya yakin, walaupun ada misi seperti itu,  ia akan tetap jadi dirinya.  Karena ia sudah mengenal siapa dirinya. Sudah tahu di mana letak kekuatannya.  

Untuk kesekian kalinya saya mendapati efek positif dari pendidikan yang memerdekakan. Dimana prosesnya saling bersinergi antara sekolah dan orang tua. Ketika kita sudah bisa mengenal potensi anak, kemudian menjalankan proses pendidikan dengan memerhatikan potensi unggulnya itu. Banyak keajaiban kecil nan menakjubkan dari pencapaian-pencapaiannya selama proses belajarnya itu. Menjadikan proses mendampingi belajar anak-anak  menjadi pengalaman hidup yang sangat mengesankan.

Namun, semua itu tetap ada pengorbanannya, dengan Fathia jadi anak boarding, kami jadi “kehilangan” dua anak setelah Imad, adiknya, masuk pondok setahun lalu. Jadinya yang tersisa adalah tiga prajurit kecil.  Saya seperti kembali ke suasana saat memulai jadi urang Karawang tahun 2006 dulu. Mungkin ada hikmahnya, sebagai ortu kami sekarang lebih focus mendampingi Dhiya, Uki dan Naf. Semoga Allah memudahkan langkah kami dan para ortu yang sedang menjalankan amanah pengasuhan pada putra putrinya…Aamiin.

KELUARGA : DARI KETAHANAN MENUJU PERADABAN

  Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...