Bulan
Maret lalu 2014, salah seorang teman twitter Fathia, Jusman Dalle atau @JusDalle (saya lebih akrab menyebutnya dengan Kang Jusman. Padahal ia asli dari Makassar, he he) mengirimkan
pesan di twitter. Menawari Fathia untuk coba ikut test ke Insan Cendekia Mandiri (ICM). Sebuah sekolah
berasrama di kawasan Bumi Serpong Damai, Tangerang. Ada peluang
beasiswa. Bahkan bisa 100%.
Sebenarnya setiap informasi beasiswa selalu menarik bagi yang sedang menempuh pendidikan. Apalagi bagi orang tua. Terutama karena faktor biaya pendidikan yang semakin mahal. Masalahnya, saat itu Fathia masih phobi dengan istilah boarding atau asrama. Baginya asrama adalah “penjara”. Mungkin sudah kadung menikmati suasana di sekolah alam yang penuh kemerdekaan. Jadinya, saat mendengar kata asrama, hatinya langsung merinding. Padahal adiknya, Imad, bersekolah di boarding school. Maka, setelah berdiskusi agak panjang. Keputusan akhir kami serahkan sepenuhnya pada Fathia sebagai pihak yang akan menjalani. Pikir kami, biarlah beasiswa diberikan kepada mereka yang memang kurang mampu secara finansial. Fathia sendiri sudah bulat untuk mentarget SMA negeri di Karawang. Akhirnya Fathia membalas tawaran ini dengan kata “tidak” secara halus. Sambil mengucapkan terima kasih atas info tersebut. Kang Jusman pun menghargai keputusan itu. Wacana boarding-pun sementara selesai. Fathia kembali fokus ke target lulus UN dengan mengincar SMAN 1,3 atau 5 Karawang.
Waktu itu kami
juga tidak mencoba cari tahu tentang ICM
ini seperti apa sekolahnya. Dalam persepsi kami ICM itu adalah MAN Insan
Cendekia, sekolah Islam unggulan yang dikelola Kementerian Agama dengan seabreg
prestasi olimpiade sains itu. Putera kawan saya yang juara di Ponpes Husnul Khotimah Kuningan ada yang
diterima di MAN Incen. Sekolah ini memang kumpulan anak-anak pintar.
Pantas jadi idaman para siswa dan orang tua.
Rupanya, penolakan Fathia itu ternyata
sempat jadi perbincangan di sekolah. Bu Hasri, guru pembimbingnya sepertinya
agak menyayangkan. Katanya sekolah yang ditawarkan itu sekolah bagus dan dambaan
para siswa. Banyak yang ingin ke sana. Temannya Fathia bahkan ada yang mau menggantikan, he he. Masalahnya ini penawaran, bukan pendaftaran terbuka. Tetapi saya rasa, sekolah yang dimaksud Bu
Hasri juga adalah MAN Insan Cendekia itu, bukan ICM. Mungkin karena sama-sama ada
kata “Insan Cendekia”-nya. Sehingga
begitu mendengar kata itu langsung
tertuju ke MAN Insan Cendekia.
Bulan April 2014,
Kang Jusman kembali kirim Direct Message ke Fathia. Katanya ada gelombang
ketiga pendaftaran ke ICM. Kembali menawarkan peluang beasiswa itu. Karena ada
info buku Fathia akan terbit, ia sarankan kalau sudah terbit, sekalian dibawa
bukunya saat pendaftaran. Sebagai bahan pertimbangan buat dapat beasiswa.
Saya jadi berfikir : “Serius sekali yang menawarkan beasiswa? Kalau menolak lagi sepertinya tidak etis ya. Ada seseorang bermaksud baik koq ditolak? Sombong amat! Bisa-bisa saya jatuh ke kufur nikmat”. Akhirnya setelah musyawarah keluarga yang cukup alot, akhirnya kami putuskan untuk menindaklanjuti tawaran itu.
Saya jadi berfikir : “Serius sekali yang menawarkan beasiswa? Kalau menolak lagi sepertinya tidak etis ya. Ada seseorang bermaksud baik koq ditolak? Sombong amat! Bisa-bisa saya jatuh ke kufur nikmat”. Akhirnya setelah musyawarah keluarga yang cukup alot, akhirnya kami putuskan untuk menindaklanjuti tawaran itu.
Hanya saja,
Fathia memang masih galau
dengan kata “asrama” itu. Maka untuk mengatasinya, kami sarankan untuk konsultasi juga dengan pihak guru. Barangkali ada pandangan yang berbeda. Sebagai ortu, kami tidak
mau terkesan memaksakan kehendak. Ini momen-momen yang kritis memang. Harus
menjaga jangan sampai membuat kesalahan yang berbuah penyesalan anak di
kemudian hari. Alhamdulillah ada Pak Gigih selaku Direktur sekolah Alam
Karawang yang memberi pendapat positif dan konstruktif tentang sekolah
berasrama.
Sambil
mengkondisikan Fathia, saya coba cari info tentang ICM di internet. Dan…. subhanallah, ternyata WOW sekali sekolah ini! Sarana
yang disediakan benar-benar luxurious.
Serba lengkap. Masjidnya amat megah. Semua sarana di situ kualitas nomor satu! Betapa beruntungnya anak-anak yang bersekolah di situ. Saya seperti melihat sebuah sekolah di Eropa sana. Sekolah yang akan membuat siapapun betah belajar. Hal ini jadi berkebalikan dengan saat Fathia masuk ke Sekolah Alam tiga tahun lalu yang masih dalam keadaan darurat. Belajarnya di saung darurat. Hampir semua sarana memang masih serba darurat. Lapangannya darurat, kantor darurat. sampai mushola pun masih darurat. Walau sekarang sudah jauh lebih baik. Meski tidak luas, Sekolah Alam Karawang sekarang sudah jadi sekolah-taman yang asyik.
Kalau melihat biaya yang harus ditebus ortu untuk menyekolahkan putra-putri tercintanya di ICM memang fantastis. Yang jelas saat ini saya tidak mampu menebusnya. Pikiran sayapun memang sempat bergolak “Ini sekolah apa biayanya segede gitu? Orang tua se-kaya apa yang menyekolahkan anaknya di sini. Kalau masuk fakultas kedokteran ya wajar lah. Lha ini cuma masuk SMP dan SMA, koq bisa selangit biayanya?” batin saya. Kini giliran saya yang galau. Jadi khawatir dengan suasana dan sarana yang serba WOW itu. Bagaimana jadinya anak saya tumbuh dalam suasana seperti itu? Jangan-jangan malah kontra-produktif karena terlalu nyaman.
Kalau melihat biaya yang harus ditebus ortu untuk menyekolahkan putra-putri tercintanya di ICM memang fantastis. Yang jelas saat ini saya tidak mampu menebusnya. Pikiran sayapun memang sempat bergolak “Ini sekolah apa biayanya segede gitu? Orang tua se-kaya apa yang menyekolahkan anaknya di sini. Kalau masuk fakultas kedokteran ya wajar lah. Lha ini cuma masuk SMP dan SMA, koq bisa selangit biayanya?” batin saya. Kini giliran saya yang galau. Jadi khawatir dengan suasana dan sarana yang serba WOW itu. Bagaimana jadinya anak saya tumbuh dalam suasana seperti itu? Jangan-jangan malah kontra-produktif karena terlalu nyaman.
Selain sarana yang serba lengkap dan wah, ada satu hal lagi yang menggelitik lagi di ICM ini. Kenapa sekolah
ini justru mencari sendiri siswa
yang akan menerima beasiswa? Bukan membuka pendaftaran secara terbuka sehingga yang lolos dari jalur
beasiswa adalah anak-anak yang tersaring melalui seleksi ketat? Saya yakin pendaftar akan membludak. Jadinya, selain
galau saya jadi penasaran juga.
Rasa penasaran
campur galau dan ditambah kekhawatiran kufur
nikmat itu membuat saya semakin merasa perlu menindaklanjuti tawaran
Kang Jusman. Sepertinya ini sikap yang pantas. Tidak bernafsu, juga tidak
naif. Sambil memasrahkan segalanya pada Allah. Posisi Fathia dan kami selaku
orang tua adalah nothing to lose. Jadi diterima alhamdulillah. Nggak jadi juga ya
Alhamdulillah. Sekarang, kami
harus persiapkan hal teknisnya. Bagaimanapun harus memberi respek positif kepada insitusi
sekolah yang sudah berbaik hati menawarkan beasiswa ini. Prosedur harus
diikuti.
Saat itu buku Fathia belum terbit. Masih proses cetak di Jogjakarta. Akhirnya saya coba melobi pihak penerbit, agar dikirimkan lima buah buku contoh. Alhamdulillah bisa. Lima buku edisi contoh pun dikirim dari percetakan di Jogjakarta. Majalah Annida yang mengulas buku ini juga sudah disiapkan. Plus segepok print-print-an tulisan Fathia yang tidak dibukukan.
Dengan memohon taufik dari Allah, semoga yang akan dijumpai nanti adalah terbaik buat Fathia, dengan mengucap bismillah, kami sekeluarga berangkat ke Serpong. Tanggal 21 Mei 2014 tepatnya.
Berangkat jam 9 pagi, tibalah kami di ICM jam 11 siang. Kang Jusman yang janjian sebelumnya, juga Alhamdulillah bisa ketemu. Kang Jusman ini ternyata orang hebat. Dari tulisannya di blog terbaca kualitas wawasan dan kepiawaiannya menulis. Tulisannya juga bertebaran di media nasional. Selain itu Kang Jusman adalah co-writer buku Pak Tamsil Linrung yang judulnya Politik Untuk Kemanusiaan. Pak Tamsil sendiri adalah anggota DPR asal PKS, sekaligus Pembina Yayasan Edukasi Sejahtera yang menaungi ICM. Ia juga seorang tokoh nasional dari Makasar yang sempat jadi calon Walikota Makassar..
Saat itu buku Fathia belum terbit. Masih proses cetak di Jogjakarta. Akhirnya saya coba melobi pihak penerbit, agar dikirimkan lima buah buku contoh. Alhamdulillah bisa. Lima buku edisi contoh pun dikirim dari percetakan di Jogjakarta. Majalah Annida yang mengulas buku ini juga sudah disiapkan. Plus segepok print-print-an tulisan Fathia yang tidak dibukukan.
Dengan memohon taufik dari Allah, semoga yang akan dijumpai nanti adalah terbaik buat Fathia, dengan mengucap bismillah, kami sekeluarga berangkat ke Serpong. Tanggal 21 Mei 2014 tepatnya.
Berangkat jam 9 pagi, tibalah kami di ICM jam 11 siang. Kang Jusman yang janjian sebelumnya, juga Alhamdulillah bisa ketemu. Kang Jusman ini ternyata orang hebat. Dari tulisannya di blog terbaca kualitas wawasan dan kepiawaiannya menulis. Tulisannya juga bertebaran di media nasional. Selain itu Kang Jusman adalah co-writer buku Pak Tamsil Linrung yang judulnya Politik Untuk Kemanusiaan. Pak Tamsil sendiri adalah anggota DPR asal PKS, sekaligus Pembina Yayasan Edukasi Sejahtera yang menaungi ICM. Ia juga seorang tokoh nasional dari Makasar yang sempat jadi calon Walikota Makassar..
Saya akhirnya hanya berkesimpulan sementara, penyebab Kang Jusman "ngotot" merekomendasikan Fathia untuk ikut daftar beasiswa mungkin karena jiwa seorang penulis dan jurnalis. Chemistry sesama penulis mungkin langsung nyambung. Belakangan saya tahu juga, yang diundang ke ICM dari jalur beasiswa itu mereka yang memang berprestasi. Ada diantaranya anak yang hafidz Qur’an. Kabarnya Pak Tamsil sendiri yang blusukan mencarinya. Wajar kalau kemudian banyak yang datang dari Makassar. So, kasusnya Fathia ini memang rada aneh. Di samping bukan berasal dari tanah kelahiran Pak Tamsil, tiket beasiswa untuk Fathia “hanya” tulisan-tulisannya di blog dan sebuah buku. Mungkin di mata pihak Yayasan, fenomena menulis produktif, apalagi sampai menerbitkan buku saat masih SMP adalah sesuatu yang patut diapresiasi tinggi. Tetapi yang membuat saya lebih bahagia adalah karena Fathia masuk ke sana tanpa perlu didahului dengan persaingan yang saling mengalahkan sebagaimana umumnya masuk sekolah.
Hari itu, Fathia
mendaftar sebagaimana melalui jalur normal. Mengisi formulir biodata. Termasuk data orang tua.
Termasuk juga penghasilan orang tua, ehm..ehm....
Fathia dan Uminya kemudian diajak jalan-jalan keliling kompleks sekolah. Sedangkan saya ngobrol banyak hal
dengan Kang Jusman dan Pak Eli sebagai Manager Program Beasiswa. Obrolan yang
hangat dan konstruktif.
Dari ngobrol
dengan Kang Jusman juga saya
jadi sedikit tahu, kenapa ada sekolah dengan biaya selangit. Ternyata ini murni
tentang hukum pasar. Ada permintaan dan penawaran. Realitasnya memang banyak yang
menitipkan putra-putrinya di ICM. Itu berarti permintaan ortu terhadap
boarding school model ICM memang tinggi.
Memang ada banyak
pertimbangan para ortu the have
itu memasukkan anak ke boarding school. Diantaranya : tidak
perlu mengalami macet saat perjalanan pulang pergi sekolah, lingkungan aman dari kejahatan, suasana
religious-nya dapat, guru-gurunya yang kompeten, penyayang dan penuh perhatian. Akhirnya anak dapat
focus belajardan membangun karakter.
Masalah biaya memang relatif. Di sekitar ICM ternyata toh banyak yang mau dan mampu. Banyak kawasan perumahan elit seperti Bintaro Jaya, Bumi Serpong Damai, atau Alam Sutera. Dalam perspektif pasar, siapa yang disalahkan kalau ada pertemuan dua pihak yang saling membutuhkan seperti itu? Toh, ini kan swasta dengan swasta. Sebagai pembanding, tak jauh dari ICM ada sekolah berasrama yang dikelola seorang ustadz terkenal. Bahkan deposit untuk booking sekolah setingkat SMP, harus sudah dimulai sejak kelas lima SD. Karena saking banyaknya yang antri. Padahal, biayanya juga 11-12 dengan ICM.
Masalah biaya memang relatif. Di sekitar ICM ternyata toh banyak yang mau dan mampu. Banyak kawasan perumahan elit seperti Bintaro Jaya, Bumi Serpong Damai, atau Alam Sutera. Dalam perspektif pasar, siapa yang disalahkan kalau ada pertemuan dua pihak yang saling membutuhkan seperti itu? Toh, ini kan swasta dengan swasta. Sebagai pembanding, tak jauh dari ICM ada sekolah berasrama yang dikelola seorang ustadz terkenal. Bahkan deposit untuk booking sekolah setingkat SMP, harus sudah dimulai sejak kelas lima SD. Karena saking banyaknya yang antri. Padahal, biayanya juga 11-12 dengan ICM.
Sepertinya fenomena dunia pendidikan ini tak jauh beda dengan
fenomena di dunia komunikasi. Dua kebutuhan pokok manusia. Bila di dunia
komunikasi, smartphone yang sebelumnnya jadi
symbol kemewahan komunikasi kini sudah jadi mainan sehari-hari
masyarakat kebanyakan. Tidak mewah lagi. Di dunia pendidikan, hal serupa mulai
terjadi. Tetangga saya yang ekonominya biasa-biasa saja, saat memasukkan
anaknya ke SD, sekarang menjadikan SD Islam Terpadu yang berbiaya cukup tinggi
jadi incaran. Mereka rela mengeluarkan
biaya cukup besar, yang penting anaknya dapat sekolah yang baik. Ketika
fasilitas pendidikan dari pemerintah dirasa tidak memuaskan, maka saat ada
penawaran yang lebih menjanjikan dari pihak swasta tentu akan diburu. Walau
harus berkorban lebih.
Tanggal 31 Mei 2014.
Fathia kembali ke ICM untuk menjalani
serangkaian test. Ada wawancara, akademik, psikotest dan kesehatan. Mulai pagi
hingga sore. Cukup melelahkan juga. Saya juga diwawancarai sebagai orang tua.
Ditanya banyak hal tentang Fathia, dan saya ceritakan apa adanya. Dari dialog
singkat itu, saya bisa menyimpulkan kalau guru-guru di ICM memang istimewa.
Sangat ramah dan religious. Tentu cerdas dan kompeten.
Tanggal 7 Juni 2014 adalah hari pengumuman. Di web ICM di-upload pengumuman hasil test tesebut. Alhamdulillah Fathia lulus. Hanya saja tidak ada keterangan khusus untuk yang masuk dari jalur beasiswa. Setelah konfirmasi lewat telephone barulah saya bisa lega. Karena semua persyaratan untuk mendapat beasiswa sudah terpenuhi. Pihak Yayasan pun sudah menyatakan "YA" untuk Fathia.
Sungguh ini hadiah terindah di ultah saya yang ke-41. Setidaknya Fathia sudah menjadi dirinya. Ia sudah bisa mencari jalan hidupnya sendiri. Dengan karya berupa tulisan dan buku pertamanya itu, ia sudah mendapat banyak pencapaian . Bisa menemukan potensi diri dan berkarya, dari royalty buku itu sedikit banyak sudah punya penghasilan sendiri, juga mendapat beasiswa untuk pendidikannya. Jelas ini pencapaian yang lebih bagus dari abinya yang mendapat fasilitas sekolah gratis saat kuliah di STAN. Bedanya, saya harus saling mengalahkan dulu dengan sesama pendaftar yang bejibun itu. Oiya, STAN dan ICM ternyata bertetangga juga. Hanya dipisahkan oleh jalan Tol Jakarta - Serpong.
Sungguh ini hadiah terindah di ultah saya yang ke-41. Setidaknya Fathia sudah menjadi dirinya. Ia sudah bisa mencari jalan hidupnya sendiri. Dengan karya berupa tulisan dan buku pertamanya itu, ia sudah mendapat banyak pencapaian . Bisa menemukan potensi diri dan berkarya, dari royalty buku itu sedikit banyak sudah punya penghasilan sendiri, juga mendapat beasiswa untuk pendidikannya. Jelas ini pencapaian yang lebih bagus dari abinya yang mendapat fasilitas sekolah gratis saat kuliah di STAN. Bedanya, saya harus saling mengalahkan dulu dengan sesama pendaftar yang bejibun itu. Oiya, STAN dan ICM ternyata bertetangga juga. Hanya dipisahkan oleh jalan Tol Jakarta - Serpong.
Sekarang bola di tangan Fathia. Setelah ia bisa
berkarya di tengah keterbatasan sarana, kini ia ditantang untuk membuktikan
kalau sebagai “anak alam”(Sebutan saya untuk siswa Sekolah Alam) ia
sudah siap dengan kondisi apapun. Baik dalam keterbatasan maupun dalam
kelapangan. Baik belajar di saung sawah ataupun belajar di gedung megah.
Belajar bisa di mana saja. Semua tidak jadi masalah. Saya juga yakin, kalau ICM ini sekolah yang baik.
Sekolah yang menyenangkan dan akan melejitkan keunggulan semua siswanya. Optimisme
saya, kalau saat sulit bisa berkarya, maka di saat lapang mestinya bisa lebih produktif
berkarya. Semoga.
Terakhir saya
ingin sharing, bagaimana ICM itu dalam gambar. Sesuatu yang membayangkanpun
rasanya tidak pernah. Silakan kalau Anda mau membayangkan, he he… siapa tahu
kejadian.
Wow.... sekolahny bener2 ga trbayang pak boz. Muanteb bener...
ReplyDeletesampai sekarang pun masih kayak mimpi :D
Deleteada dokumentasi untuk suasana kamar asramanya pak?
ReplyDeleteSubhanallah... boleh minta info, Bapak.. apakah program beasiswa tersebut sampai sekarang masih ada? Saya sedang mencari sekolah untuk anak saya, yang kebetulan sama dengan Fathia.. penulis cilik. Sangat jarang sekolah yang mengapresiasi karya tulis anak.. lebih banyak penghargaan untuk Matematika, Sains dan Olahraga.
ReplyDeleteSyukron
Imaz
Kebijakan setiap tahun sepertinya berubah, Bu Imaz. Fathia pun tdk mengajukan diri tapi ditawari. Tapi coba langsung kontak ke ICM utk info lebih detail.
DeleteAssalamualaikum maaf mengganggu mohon bantu broadcast semoga bermanfaat..
ReplyDeleteBismillahirrahmaanirrahim
SMP & SMA Alexandria Islamic School Goes to Nusantara.
Pelaksanaan seleksi program beasiswa bagi siswa berprestasi In syaa Allah akan dilaksanakan pada
Hari / Tanggal :
1. Bekasi (Jabodetabek)
Hari/Tanggal : Sabtu, 25 Februari 2017
Waktu : 09.00 - 11.00 wib
Tempat : SMP & SMA Alexandria Islamic School (Jln. Raya Pengasinan No. 50 Rawalumbu,Bekasi Timur , Kota Bekasi).
Untuk informasi bisa menghubungi Ms. Fenny HP/WA : 0895 12308552 / 085882174147
Terima kasih byk atas partisipasi semuanya.
Wassalaamu 'alaikum Wr. Wb.
Note : Kegiatan Seleksi Beasiswa Tidak Dipungut Biaya, Dan Gratis Biaya Pendidikan(Uang Gedung dan SPP) Jika dinyatakan LOLOS FULL BEASISWA.