Sunday, June 22, 2014

Makna Dibalik Kelulusan


sumber : internet



Sabtu, 14 Juni 2014.

Hari Sabtu ini memang agak tegang. Tetapi istimewa. Hari ini adalah hari kelulusan SMP.  Sekalian mendapatkan hasil angka UN-nya berapa. Pengumumannya siang hari, ba’da dzuhur. Namun sekitar pukul 10 sudah dapat bocoran via social media….. dan Fathia dinyatakan LULUS! Alhamdulillah. Lebih berbahagia lagi karena ternyata anak-anak SAKA  (Sekolah Alam Karawang) angkatan tahun ini LULUS SEMUA! Termasuk anak-anak yang special need.  Ini yang membuat Fathia menangis tak tertahankan. Kamipun ikut terharu. Karena sedikit banyak tahu cerita tentang teman-teman Fathia yang istimewa itu.  Memang kondisi ini membuat agak cemas.  Bagaimana anak-anak istimewa itu mengejar standar kelulusan yang berpatokan pada anak-anak yang normal. Saya juga tidak membayangkan bagaimana kecemasan orang tua mereka.  Bersyukur, ternyata kecemasan itu tidak terbukti. 

Siangnya, setelah Fathia kembali dari sekolah saya mendapat amplop putih berlogo SAKA. Isinya angka UN. Alhamdulillah angka yang menggembirakan : 28,95.  Walaupun sejak awal saya sendiri tidak mentarget secara streng Fathia harus dapat angka berapa. Saya bahkan menulis khusus tentang ini. Bahwa UN bukan segalanya. Sayapun sudah memberikan “toleransi” kalau kemudian nilai UN-nya hanya mengantarkan Fathia ke SMA kecamatan. Bukan SMA Favorit di kota Karawang. Karena sekolah favorit juga bukan segalanya. Justru capaian kompetensi riil dan kemandirian belajar itu yang harus lebih dilihat.  Lebih melihat aspek kemandirian, percaya diri, disiplin, hormat ke orang tua. Empati kepada sesama, mampu bekerja dalam teamwork, mampu memecahkan masalah, mampu memimpin, wawasan yang luas, kritis dan analitis. Dibanding memakai angka-angka raport dan hasil test akademik. Nah, ketika nilai UN Fathia juga bagus (nomor dua terbesar setelah Miftah), saya jadi bertambah surprise.

SAKA memang sejak awal memilih untuk berbeda. Seperti tidak terpaku terhadap penggunaan angka sebagai tolok ukur penilaian pendidikan. Karena angka UN dan raport  memang sudah jadi berhala pendidikan kita. Manusia dipaksa diukur dengan angka. Tak lebih dari sepotong kayu yang bisa diukur penggaris.

Walaupun begitu, tetap saja angka UN punya makna special. Hanya maknanya berbeda dengan dahulu saya memandang. Kenapa? Karena  anak-anak SAKA itu sebenarnya selama ini agak berkelit dari panduan kurikulum. Kesesuaian dengan kurikulum lebih ke performance administrasi.  Karena faktanya, selama dua tahun pertama mereka di SMP itu praktis bebas merdeka.  Mereka lebih suka camping ke gunung dan live in. Anak-anak Alam itu lebih banyak bermainnya daripada berkutat dengan angka dan teori sesuai panduan. Mereka  lebih suka outbond, outing class, atau backpacker. Lebih suka menjelajah alam daripada berkutat dengan teori.  Barulah saat kelas IX mereka tampil agak mirip anak-anak SMP lainnya. Mereka mengerjakan soal-soal ujian dan try out. Berburu soal di internet dan toko buku. Tapi tetap saja, anak-anak alam itu masih sempat camping dan jalan-jalan keluar kota juga. Tetapi toh mereka tetap lulus juga.  Melihat fakta ini, barangkali lebih tepat disebut sebagai “pencapaian target kurikulum dengan cara yang berbeda”.

 Sejak awalpun saya menduga akan berlangsung seperti itu. SAKA memakai tafsir “jalan lain” dalam proses pembelajarannya.  Karena kalau hanya untuk lulus UN ternyata cukuplah ikut bimbel. Bahkan ada Lembaga Bimbel yang berani menjamin lulus bagi pesertanya. Anak-anak homeschooling juga belajar untuk ujian ya hanya waktu mau ujian kesetaraan. Selebihnya mereka belajar sesuai minat.  Lalu buat apa waktu-waktu yang terbentang tiga tahun di sekolah kalau hanya untuk mengejar lulus UN, kalau ternyata dengan ikut bimbel saja sudah cukup?  Sebuah fakta yang patut direnungkan. 

Maka kelulusan anak-anak SAKA itu seolah membawa pesan. Jangan ragu untuk berbeda, kalau itu diyakini berangkat dari keyakinan. Mereka memang tidak ikut mainstream. Ketika siswa di sekolah lain belajar di gedung mereka lesehan di lantai saung. Kadang lebih memilih melingkar dibawah pohon. Seperti mentoring anak-anak remaja masjid.  Ketika kerap muncul istilah guru killer karena begitu superior-nya guru dihadapan murid, di SAKA posisi murid dan guru terlihat egaliter.  Selebihnya mereka merayakan kemerdekaan belajarnya. Suka cita mengeksplore siapa dirinya. Sehingga menemukan siapa dirinya. Dimana mereka bisa maksimal menunjukkan eksistensi. Di bidang apa mereka paling enjoy menjalani. Karena setiap individu adalah limited edition. Tidak ada yang sama. 

Dengan demikian sekolah hanya memfasilitasi tumbuh kembang talenta anak-anak SAKA itu. Salah satunya dengan mengadakan Talent Mapping (TM). Test ini lebih komprehensif dibanding test IQ. Karena bisa memetakan potensi unggul setiap anak.  Walaupun sayang, TM dilakukan di tengah jalan. Untungnya anak saya Fathia sudah lebih dulu  menekuni bidang yang menurut hasil TM memang menjadi keunggulannya : Jurnalistik, komunikasi, Juru Kampanye, Sales.  Fathia sudah lebih dulu menekuni dunia literasi,  yaitu menulis di blog, magang sebagai jurnalis dan menerbitkan buku. TM praktis hanya  mengkonfirmasikan bahwa upaya Fathia memang sudah on the right track. Belakangan juga terbukti kalau karya Fathia di dunia literasi  justru lebih menentukan kelanjutan pendidikannya paska SMP. Fathia sudah positif diterima di Insan Cendekia Madani, boarding school impian dengan beasiswa full karena karya literasinya itu, bukan dari nilai UN. Bahkan kepastiannya sudah diperoleh sebelum hasil UN diumumkan. 

Selain Fathia, anak-anak SAKA yang sudah di posisi SMA impiannya diantaranya adalah Lukman yang seniman dan hafalan Qur’an-nya banyak itu sudah standby di Ponpes Husnul Khotimah, Kuningan. Saya yakin Ustadz Uus, ayahandanya bangga benar dengan prestasi Lukman. Ustadz Uus memang ingin anaknya jadi da’i.  Andhika yang mantan Ketua OSAKA juga kabarnya sudah mengambil satu kursi di Al-Ilham boarding school di Bandung. Adapun Puput sudah duluan boyongan ke Tasikmalaya.  Kalau Miftah dan Naufal, sepertinya masih harus muter-muter dulu memilih sekolah yang disukai. Nilai UN-nya memang apa adanya dan tanpa intervensi. Sepertinya akan sulit masuk ke SMAN negeri favorit. Kalau Laras yang hoby fotografi sudah memilih SMK. Yang saya belum tahu kabar Bagoes, anak istimewa yang tiap hari pulang-pergi Cibitung Karawang itu. Sepertinya belum ada SMA yang ramah menerima anak istimewa seperti  Bagoes. 

Terakhir, the last but not least,  selamat buat guru-guru SAKA, yang berhasil mengawal anak-anak pelangi itu menuju satu pencapaian yang menakjubkan. Saya jadi teringat nama-nama guru SM SAKA. Ada Bu Aisyah Purnamawati, Brother Ridwan, Bu Raihanah, Bu Oyoy, Bu Puroh, Kang Deni Darmayana, Bu Wangsih, Pak Azis, Pak Imam, Pak Ari, Bu Ema, Pak Jay, Pak Shena, Pak Jalal, Bu Tini. Juga Sang Guru sekaligus mentor Fathia, Bu Hasri Ainun. Tak berlebihan kalau saya mengatakan bahwa : SAKA memang JUARA, tapi guru-gurunya LUAR BIASA! 

Semoga Allah memberkahi kita semua… Amiiin…

Monday, June 9, 2014

Dari Saung Sawah ke Gedung Megah

Efek positif dari menulis ternyata tidak berhenti ketika Si Penulis memperoleh income dari tulisannya itu. Salah satunya dialami Fathia, anak saya, yang baru saja meluncurkan bukur pertamanya. Sesuatu yang tak terduga dijumpai Fathia karena tulisan-tulisannya di blog dan bukunya itu . Sebuah kejutan yang sama sekali tidak terbayangkan sebelumnya. Bahkan bagi saya selaku ortu, ini keajaiban! Apakah itu?  Takdir Allah ternyata mempertemukan Fathia dengan sekolah impian para siswa. Sekolah yang menyediakan sarana sangat lengkap dan memadai. Suasana yang kondusif. Religius. Surga belajar. Dan itu diperolehnya dengan fasilitas beasiswa 100%. Tiketnya? ya buku perdananya itu.  Bagaimana ceritanya?

Bulan Maret lalu 2014, salah seorang teman twitter Fathia, Jusman Dalle atau @JusDalle (saya lebih akrab menyebutnya dengan Kang Jusman. Padahal ia asli dari Makassar, he he) mengirimkan pesan di twitter. Menawari Fathia untuk coba ikut test ke Insan Cendekia Mandiri (ICM). Sebuah sekolah berasrama di kawasan Bumi Serpong Damai, Tangerang. Ada peluang beasiswa. Bahkan bisa 100%.

Sebenarnya setiap informasi beasiswa selalu menarik bagi yang sedang menempuh pendidikan. Apalagi bagi orang tua. Terutama karena faktor biaya pendidikan yang semakin mahal. Masalahnya, saat itu Fathia masih phobi dengan istilah boarding atau asrama. Baginya asrama adalah “penjara”. Mungkin sudah kadung menikmati suasana di sekolah alam yang penuh kemerdekaan. Jadinya, saat mendengar kata asrama, hatinya langsung merinding. Padahal adiknya, Imad, bersekolah di boarding school. Maka, setelah berdiskusi agak panjang. Keputusan akhir kami serahkan sepenuhnya pada Fathia sebagai pihak yang akan menjalani.  Pikir kami, biarlah beasiswa diberikan kepada mereka yang memang kurang mampu secara finansial. Fathia sendiri sudah bulat untuk mentarget SMA negeri di Karawang.  Akhirnya Fathia membalas tawaran ini dengan kata “tidak” secara halus. Sambil mengucapkan terima kasih atas info tersebut. Kang Jusman pun menghargai keputusan itu. Wacana boarding-pun sementara selesai. Fathia kembali fokus ke target lulus UN dengan mengincar SMAN 1,3 atau 5 Karawang.  

Waktu itu kami juga  tidak mencoba cari tahu tentang ICM ini seperti apa sekolahnya. Dalam persepsi kami ICM itu adalah MAN Insan Cendekia, sekolah Islam unggulan yang dikelola Kementerian Agama dengan seabreg prestasi olimpiade sains itu. Putera kawan saya yang juara di Ponpes Husnul Khotimah Kuningan ada yang diterima di MAN Incen. Sekolah ini memang kumpulan anak-anak pintar. Pantas jadi idaman para siswa dan orang tua.

Rupanya, penolakan Fathia itu ternyata sempat jadi perbincangan di sekolah. Bu Hasri, guru pembimbingnya sepertinya agak menyayangkan. Katanya sekolah yang ditawarkan itu sekolah bagus dan dambaan para siswa. Banyak yang ingin ke sana. Temannya Fathia bahkan ada yang mau menggantikan, he he. Masalahnya ini penawaran, bukan pendaftaran terbuka. Tetapi saya rasa, sekolah yang dimaksud Bu Hasri juga adalah MAN Insan Cendekia itu, bukan ICM.   Mungkin karena sama-sama ada kata Insan Cendekia-nya. Sehingga begitu mendengar kata itu langsung tertuju ke MAN Insan Cendekia.

Bulan April 2014, Kang Jusman kembali kirim Direct Message ke Fathia. Katanya ada gelombang ketiga pendaftaran ke ICM. Kembali menawarkan peluang beasiswa itu. Karena ada info buku Fathia akan terbit, ia sarankan kalau sudah terbit, sekalian dibawa bukunya saat pendaftaran. Sebagai bahan pertimbangan buat dapat beasiswa.   

Saya jadi berfikir : “Serius sekali yang menawarkan beasiswa? Kalau menolak lagi sepertinya tidak etis ya. Ada seseorang bermaksud baik koq ditolak? Sombong amat! Bisa-bisa saya jatuh ke kufur nikmat”. Akhirnya setelah musyawarah keluarga yang cukup alot, akhirnya kami putuskan untuk menindaklanjuti tawaran itu. 

Hanya saja, Fathia memang masih galau dengan kata “asrama” itu. Maka untuk mengatasinya, kami sarankan untuk konsultasi juga dengan pihak guru.  Barangkali ada pandangan yang berbeda.  Sebagai ortu, kami tidak mau terkesan memaksakan kehendak. Ini momen-momen yang kritis memang. Harus menjaga jangan sampai membuat kesalahan yang berbuah penyesalan anak di kemudian hari. Alhamdulillah ada Pak Gigih selaku Direktur sekolah Alam Karawang yang memberi pendapat positif dan konstruktif tentang sekolah berasrama. 

Sambil mengkondisikan Fathia, saya coba cari info tentang ICM di internet. Dan…. subhanallah, ternyata  WOW sekali sekolah ini! Sarana yang disediakan benar-benar luxurious.  Serba lengkap. Masjidnya amat megah. Semua sarana di situ kualitas nomor satu! Betapa beruntungnya anak-anak yang bersekolah di situ. Saya seperti melihat sebuah sekolah di Eropa sana. Sekolah yang akan membuat siapapun betah belajar. Hal ini jadi berkebalikan dengan saat Fathia masuk ke Sekolah Alam tiga tahun lalu yang masih dalam keadaan darurat. Belajarnya di saung darurat. Hampir semua sarana memang masih serba darurat.  Lapangannya darurat, kantor darurat. sampai mushola pun masih darurat.  Walau sekarang sudah jauh lebih baik. Meski tidak luas, Sekolah Alam Karawang sekarang sudah jadi sekolah-taman yang asyik.

Kalau melihat biaya yang harus ditebus ortu untuk menyekolahkan putra-putri tercintanya di ICM memang  fantastis. Yang jelas saat ini saya tidak mampu menebusnya.  Pikiran sayapun memang sempat bergolak  “Ini sekolah apa biayanya segede gitu? Orang tua se-kaya apa yang menyekolahkan anaknya di sini. Kalau masuk fakultas kedokteran ya wajar lah. Lha ini cuma masuk SMP dan SMA, koq  bisa selangit biayanya?” batin saya. Kini giliran saya yang galau. Jadi khawatir dengan suasana dan sarana yang serba WOW itu. Bagaimana jadinya anak saya tumbuh dalam suasana seperti itu? Jangan-jangan malah kontra-produktif karena terlalu nyaman.

Selain sarana yang serba lengkap dan wah, ada satu hal lagi yang menggelitik lagi di ICM ini. Kenapa sekolah ini  justru mencari sendiri siswa yang akan menerima beasiswa? Bukan membuka pendaftaran  secara terbuka sehingga yang lolos dari jalur beasiswa adalah anak-anak yang tersaring melalui seleksi ketat? Saya yakin pendaftar akan membludak.  Jadinya, selain galau saya jadi penasaran juga.

Rasa penasaran campur galau dan ditambah kekhawatiran kufur nikmat itu membuat saya semakin merasa perlu menindaklanjuti tawaran Kang Jusman.  Sepertinya ini sikap yang pantas. Tidak bernafsu, juga tidak naif.  Sambil memasrahkan segalanya pada Allah. Posisi Fathia dan kami selaku orang tua adalah nothing to lose.  Jadi diterima alhamdulillah. Nggak jadi juga ya Alhamdulillah. Sekarang, kami harus persiapkan hal teknisnya. Bagaimanapun harus memberi respek positif kepada insitusi sekolah yang sudah berbaik hati menawarkan beasiswa ini. Prosedur harus diikuti.

Saat itu buku Fathia belum terbit. Masih proses cetak di Jogjakarta. Akhirnya saya coba melobi pihak penerbit, agar dikirimkan lima buah buku contoh. Alhamdulillah bisa. Lima buku edisi contoh pun dikirim dari percetakan di Jogjakarta. Majalah Annida yang mengulas buku ini juga sudah disiapkan. Plus segepok print-print-an tulisan Fathia yang tidak dibukukan. 

Dengan memohon taufik dari Allah, semoga yang akan dijumpai nanti adalah terbaik buat Fathia, dengan mengucap bismillah, kami sekeluarga berangkat ke Serpong. Tanggal 21 Mei 2014 tepatnya. 

Berangkat  jam 9 pagi, tibalah kami di ICM jam 11 siang.  Kang Jusman yang janjian sebelumnya, juga Alhamdulillah bisa ketemu. Kang Jusman ini ternyata orang hebat. Dari tulisannya di blog terbaca kualitas wawasan dan kepiawaiannya menulis. Tulisannya juga bertebaran di media nasional. Selain itu Kang Jusman adalah co-writer buku Pak Tamsil Linrung yang judulnya Politik Untuk Kemanusiaan. Pak Tamsil sendiri adalah anggota DPR asal PKS, sekaligus Pembina Yayasan Edukasi Sejahtera yang menaungi ICM. Ia juga seorang tokoh nasional dari Makasar yang sempat jadi calon Walikota Makassar..

Saya akhirnya hanya berkesimpulan sementara, penyebab Kang Jusman "ngotot" merekomendasikan Fathia untuk ikut daftar beasiswa mungkin karena jiwa seorang penulis dan jurnalis. Chemistry sesama penulis mungkin langsung nyambung. Belakangan saya tahu juga, yang diundang ke ICM dari jalur beasiswa itu mereka yang  memang berprestasi. Ada diantaranya anak yang hafidz Qur’an. Kabarnya Pak Tamsil sendiri yang blusukan mencarinya.  Wajar kalau kemudian banyak yang datang dari Makassar. So, kasusnya Fathia ini memang rada aneh. Di samping bukan berasal dari  tanah kelahiran Pak Tamsil,  tiket beasiswa untuk Fathia “hanya tulisan-tulisannya di blog dan sebuah buku. Mungkin di mata pihak Yayasan,  fenomena menulis produktif, apalagi sampai menerbitkan buku saat masih SMP adalah sesuatu yang patut diapresiasi tinggi.  Tetapi yang membuat saya lebih  bahagia adalah karena Fathia masuk ke sana tanpa perlu didahului dengan persaingan yang saling mengalahkan sebagaimana umumnya masuk sekolah.

Hari itu, Fathia mendaftar sebagaimana melalui jalur normal. Mengisi formulir biodata. Termasuk data orang tua. Termasuk juga penghasilan orang tua, ehm..ehm....   Fathia dan Uminya kemudian diajak jalan-jalan keliling kompleks sekolah. Sedangkan saya ngobrol banyak hal dengan Kang Jusman dan Pak Eli sebagai Manager Program Beasiswa. Obrolan yang hangat dan konstruktif. 

Dari ngobrol dengan Kang Jusman juga saya jadi sedikit tahu, kenapa ada sekolah dengan biaya selangit. Ternyata ini murni tentang hukum pasar. Ada permintaan dan penawaran. Realitasnya memang banyak yang menitipkan putra-putrinya di ICM. Itu berarti permintaan ortu terhadap boarding school model ICM memang tinggi. 

Memang ada banyak pertimbangan para ortu the have itu memasukkan anak ke boarding school. Diantaranya : tidak perlu mengalami macet saat perjalanan pulang pergi sekolah, lingkungan aman dari kejahatan, suasana religious-nya dapat, guru-gurunya yang kompeten, penyayang dan penuh perhatian. Akhirnya anak dapat focus belajardan membangun karakter

Masalah biaya memang relatif. Di sekitar ICM ternyata toh banyak yang mau dan mampu. Banyak kawasan perumahan elit seperti Bintaro Jaya, Bumi Serpong Damai, atau Alam Sutera. Dalam perspektif pasar, siapa yang disalahkan kalau ada pertemuan dua pihak yang saling membutuhkan seperti itu? Toh, ini kan swasta dengan swasta. Sebagai pembanding, tak jauh dari ICM ada sekolah berasrama yang dikelola seorang ustadz terkenal. Bahkan deposit untuk booking sekolah setingkat SMP, harus sudah dimulai sejak kelas lima SD. Karena saking banyaknya yang antri. Padahal, biayanya juga 11-12 dengan ICM.

Sepertinya fenomena dunia pendidikan ini tak jauh beda dengan fenomena di dunia komunikasi. Dua kebutuhan pokok manusia. Bila di dunia komunikasi, smartphone yang sebelumnnya jadi  symbol kemewahan komunikasi kini sudah jadi mainan sehari-hari masyarakat kebanyakan. Tidak mewah lagi. Di dunia pendidikan, hal serupa mulai terjadi. Tetangga saya yang ekonominya biasa-biasa saja, saat memasukkan anaknya ke SD, sekarang menjadikan SD Islam Terpadu yang berbiaya cukup tinggi jadi incaran.  Mereka rela mengeluarkan biaya cukup besar, yang penting anaknya dapat sekolah yang baik. Ketika fasilitas pendidikan dari pemerintah dirasa tidak memuaskan, maka saat ada penawaran yang lebih menjanjikan dari pihak swasta tentu akan diburu. Walau harus berkorban lebih.

Tanggal 31 Mei 2014. Fathia kembali ke ICM  untuk menjalani serangkaian test. Ada wawancara, akademik, psikotest dan kesehatan. Mulai pagi hingga sore. Cukup melelahkan juga. Saya juga diwawancarai sebagai orang tua. Ditanya banyak hal tentang Fathia, dan saya ceritakan apa adanya. Dari dialog singkat itu, saya bisa menyimpulkan kalau guru-guru di ICM memang istimewa. Sangat ramah dan religious. Tentu cerdas dan kompeten. 

Tanggal 7 Juni 2014 adalah hari pengumuman.  Di web ICM di-upload pengumuman hasil test tesebut. Alhamdulillah Fathia lulus. Hanya saja tidak ada keterangan khusus untuk yang masuk dari jalur beasiswa. Setelah konfirmasi lewat telephone barulah saya bisa lega. Karena semua persyaratan untuk mendapat beasiswa sudah terpenuhi. Pihak Yayasan pun sudah menyatakan "YA" untuk Fathia.

Sungguh ini hadiah terindah di ultah saya yang ke-41. Setidaknya Fathia sudah menjadi dirinya. Ia sudah bisa mencari jalan hidupnya sendiri.  Dengan karya berupa tulisan dan buku pertamanya itu, ia sudah mendapat banyak pencapaian . Bisa menemukan potensi diri dan berkarya, dari royalty buku itu sedikit banyak sudah punya penghasilan sendiri, juga mendapat beasiswa untuk pendidikannya. Jelas ini pencapaian yang lebih bagus dari abinya yang mendapat fasilitas sekolah gratis saat kuliah di STAN. Bedanya, saya harus saling mengalahkan dulu dengan sesama pendaftar yang bejibun itu. Oiya, STAN dan ICM ternyata bertetangga juga. Hanya dipisahkan oleh jalan Tol Jakarta - Serpong.

Sekarang  bola di tangan Fathia. Setelah ia bisa berkarya di tengah keterbatasan sarana, kini ia ditantang untuk membuktikan kalau sebagai “anak alam”(Sebutan saya untuk siswa Sekolah Alam) ia sudah siap dengan kondisi apapun. Baik dalam keterbatasan maupun dalam kelapangan. Baik belajar di saung sawah ataupun belajar di gedung megah. Belajar bisa di mana saja. Semua tidak jadi masalah. Saya juga yakin, kalau ICM ini sekolah yang baik. Sekolah yang menyenangkan dan akan melejitkan keunggulan semua siswanya. Optimisme saya, kalau saat sulit bisa berkarya, maka di saat lapang mestinya bisa lebih produktif berkarya. Semoga. 

Terakhir saya ingin sharing, bagaimana ICM itu dalam gambar. Sesuatu yang membayangkanpun rasanya tidak pernah. Silakan kalau Anda mau membayangkan, he he… siapa tahu kejadian.




















KELUARGA : DARI KETAHANAN MENUJU PERADABAN

  Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...