Thursday, January 23, 2014

Saat-Saat Terindah Seorang Ayah







Oleh :   Solihudin


Apa indahnya jadi ayah?
Bukankah jadi ayah itu susah?
Karena beban yang semakin hari semakin bertambah?
Apalagi anak –anak semakin besar dan pada mulai sekolah
Kepala seakan mau terbelah
Karena biaya ke sekolah yang berkejaran dengan biaya di rumah
Tidak seperti baru menikah
Yang semuanya serba indah
 Seakan surga pindah ke dalam rumah

Ketahuilah!
Sungguh, menjadi ayah adalah anugerah terindah
Walau kadang diiringi rasa marah
Karena anak-anak yang suka berulah
Kadang emosi meledak saat hari-hari yang terasa lelah
Namun keindahannya tak hilang musnah
Karena itulah yang membuat hidup terasa bermakna nan penuh berkah

Keindahan jadi ayah itu justru melimpah ruah bagai air bah
Bahkan sejak kali pertama menyaksikan si buah hati yang masih merah
Sewaktu lahir ke dunia paska persalinan yang amat lelah
Saat seluruh tubuh mungil itu berlumur  cairan warna abu-abu seperti getah
Saat deg-degan menatap jari jemari, “lengkap ternyata.... Alhamdulillah”
Saat melihat hidungnya “hmmm sama dengan Abinya....subhanallah”
Sungguh hati terasa bungah
Matapun tak terasa basah
Saat lihat mata yang masih terpejam pasrah
Dan... meledaklah kegembiraan yang terasa mewah
Saat mendengar tangis pertama yang serak-serak basah
Sempurna sudah

Kemudian menatap permaisuri yang lelah payah
Yang  kehabisan tenaga  nyaris meregang nyawa nan membuatnya amat lemah
Saat itu tak ada seculilpun keinginan untuk membuatnya marah
Kasih sayang itupun tambah melimpah

Dan ...hari-hari berikutnya hanyalah keindahan demi keindahan

Saat memandikan Si Kecil  adalah saat   mengesankan
Sensasinya sungguh tak terlukiskan
Sentuhan-sentuhan nan menjadi rangsangan
Para Bapak jangan sampai ketinggalan
Karena itu akan membangun ikatan
Emotional bonding,  para pakar mengatakan

Karena tangisan dan rengekan
adalah alunan irama terindah dari Tuhan
Itu keajaiban penciptaan
Hanya dari setetes air yang menjijikan
menjadi maklhuk indah tak terperikan


Keindahan-keindahan lainnya tak terhitungkan
Walaupun tak bisa dibilangkan
Tapi sebagian saya coba ceritakan

Saat main hujan-hujanan adalah sensasi tak terlupakan
Saat  mereka berteriak kegirangan
Karena tertimpa tetes-tetes air yang berjatuhan
Alam seakan menyatu dengan sekujur badan
AKArena bermain hujan tak perlu dikhawatirkan
Mereka memang patut mendapatkan pelajaran
Dari alam mereka belajar kehidupan

Atau saat melihat Dhiya sedang keranjingan
Mainan lego yang jadi kesukaan
Karena saat saya kecil itu hanya di angan-angan
Karena keterbatasan anggaran
Kini anaku yang terpuaskan
Membuat aneka bentuk kreasi berbagai ukuran
Berinovasi membangun kecerdasan

Lainnya, Saat Si Uki merengek minta diantarkan
Buat beli mainan di warung seberang jalan
Ternyata ia minta dibelikan layangan
Saat main layangan adalah saat mengesankan
Bagaimana binar matanya memandang layangan
Yang terbang di langit dengan kendali di tangan

Ada lagi yang membuat anak-anak senang tak karuan
Saat saya mengajak satu-satu pergi berduaan
Entah beli mainan
atau sekedar jalan-jalan
sepertinya mereka butuh diistimewakan

Kalau Imad, anak kedua saya lain cerita
Kebahagiaan itu saya dapatkan saat ia bercerita dengan bangga
Kalau hafalannya sudah melampaui juz kedua
Sedang menghafal juz ke tiga
Memang ia mondok, beda dengan kakaknya
Di sebuah Pondok Tahfidz di ujung kota sana

Hal terbaik adalah saat capaian anak melebihi ortu-nya
Semisal, ketika tulisan Si Teteh sudah melebihi tulisan abinya
Baik jumlah maupun mutunya
Bahkan lebih dulu jadi buku, sepertinya
Juga hafalan Imad yang sudah melampaui hafalan abi uminya

Tetapi, ada yang paling suprise! Mengejutkan!
Yaitu ketika Si Teteh  menolak pacaran!
Melalui Twitter ia umumkan
Ke teman-teman ke handai tolan
Saya sungguh penasaran
Apakah itu bukan rekaan
atau sekedar pencitraan?
Soalnya, di fesbuk dan twitter suka banyak yang begituan
Suka narsis hanya untuk dapat banyak follower dan teman

Maka saya test dalam sebuah kesempatan
Saat berduaan jalan-jalan
Sambil pegang setir saya katakan
Kalau nanti ada pemuda seganteng Afgan
Sholeh dan hafal Qur’an
Punya hobi fotografi dan jalan-jalan
Juga aktif menulis dan  kuliah di kedokteran
Aktivis kampus dan perperilaku sopan
Terus ngajak kenalan
Lama-lama ngajak pacaran
Apakah  Si teteh akan berubah fikiran?

Jawabannya sungguh buat saya terperangah
Ia pun  bilang “Akan suruh dia ke rumah
Langsung ke Abi saja kalau punya niat mau menikah
Soalnya Teteh gak mau menjilat ludah
Soal pacaran mah soal mudah
Masalahnya itu kan salah
Kalau sudah siap nikah mah  langsung saja ta’aruf dan khitbah
Sekarang mah mau  fokus sekolah
Tentang nikah mah  terserah
Abi dan umi lebih yang tahu mana yang terbaik dan lebih berkah”

Subhanallah...
Alhamdulillah...

Dan masih banyak lagi yang bisa diceritakan
Saking banyaknya sering kita abaikan
tuk rekam saat-saat yang menakjubkan
jadinya banyak yang terlupakan
mudah-mudahan untaian di atas jadi sedikit peringatan
agar banyak membuat tulisan
agar momen-momen indah tak terlewatkan
karena faktor "U" yang jadikan kita makin pendek ingatan


Karawang, 18 Desember 2013





















Tuesday, January 21, 2014

Gadget Bisa Jadi Mitra Orang Tua, Mungkinkah?





"Teeeeeh, waktunya sholat. Berhenti dulu fesbukannya!"

"Teeeeeeh, sudahi dulu hape-nya! Itu kamar berantakan, segera bereskan atuh!"

"A'aaaaaaaaa, waktunya sholat maghrib, segera ke masjid ya! Jangan  nge-game terus atuuh!"

Itulah beberapa penggal dialog antara arang tua dan anak yang bersinggungan dengan teknologi kiwari. Sebagai orang tua zaman Android begini, gadget seperti hp, tablet, internet dan komputer telah menjadi Pekerjaan Rumah tersendiri yang tidak sedikit membuat stress. Karena ketertarikan anak-anak terhadap alat tersebut demikian besar. Bahkan bisa mengalahkan perhatian pada orang-tua. Lebih jauh bahkan suka dikaitkan dengan akibat jangka panjang dari penggunaan gadget terhadap karakter anak-anaknya.
Khawatir anak-anak menjadi asosial atau autis sosial, misalnya. Tidak peduli dengan lingkungan, hingga tidak peduli teman dan saudara. Lama-lama, anak -anak seperti terampas dari keluarga.

Korbannya memang sudah mulai muncul. Permainan tradisional sudah tidak dikenal anak-anak Android ini. Permainan fisik yang melibatkan banyak orang tidak diminati. Asing dengan main layangan, kelereng, petak umpet, egrang dan lain-lain. Mereka lebih akrab dengan PS1-3, WE, FM, PB, yang sekarang lebih "menggila" karena bisa main dengan temannya di belahan dunia lain secara online.

Kawan anak-anak Android juga unik. Mereka bisa saling akrab padahal tidak saling lihat. Belum pernah bertemu tapi bisa saling curhat dan berbagi. Anehnya dengan tetangga sebelah tidak kenal. Lalu kehidupan seperti apa yang sedang mereka jalani? Sungguh sebagai orang tua menjumpai hal ini membuat pusing tujuh keliling.

Menyikapi fenomena di atas, para orang tua pun berbeda. Ada yang permisif, yang membolehkan tanpa filter. " Sudah zamannya", katanya. Ada juga yang protektif, jadinya serba dibatasi. Ini tidak boleh, itu dilarang. Si Anak dijauhkan sama sekali dari gadget. Yang terakhir ini memang aman, namun si anak jadi kuper. Kurang pergaulan. Seperti Katak dalam tempurung.

Lalu seperti apa seharusnya?

Di sini saya tidak akan menulis tentang teori. Hanya ingin berbagi pengalaman saja, barangkali bisa diperbaiki di hari mendatang.

Agar gadget dan Internet jadi partner mendidik anak, pertama memang orang tua harus terlebih dahulu memahami trend perilaku anak-anak sekarang. Kalau tidak, bisa dianggap manusia jadul. Apalagi kecepatan anak mempelajari fitur yang ada di gadget begitu cepat. Kita belum tahu apa-apa, anak-anak mah sudah lincah memainkannya.

Kedua, pelajari apa itu Facebook, Twitter, game online dan hal lainnya yang diakrabi anak. Karena saya pernah mendengar ada anak yang sudah jauh sekali interaksinya dengan Internet tapi orang tua tidak tahu yang sedang terjadi. Banyak kasus orang tua akhirnya merasa kecolongan.

Ketiga, cari peluang untuk memanfaatkan teknologi itu untuk hal positif. Ini yang coba saya bagi di tulisan ini. Salah satu caranya adalah dengan menjadikannya tempat untuk melejitkan potensi baik. Contohnya adalah skill menulis.

Di internet ada yang namanya Blog. Sebuah ruang maya yang di sana kita bisa menyimpan tulisan kita dan memungkinkan untuk bisa dibaca semua orang di seluruh dunia. Alhamdulillah salah satu anak saya sudah pandai menulis dengan menggunakan cara ini. Sekarang ia bahkan lebih hebat dari ayahnya. Dengan menulis tema-tema yang positif di Blog, lama kelamaan kemudian menjadi dikenal sebagai penulis remaja yang positif, dan kritis.

Kemudian, untuk mengkondisikan spiritual yang bagus, ternyata gadget bisa kita manfaatkan. Dengan mendaftarkan anak ke program fenomenal bernama ODOJ (One Day One Juz) dan menggunakan aplikasi WhatApps di Hape, alhamdulillah Si Teteh bisa istiqomah tilawah satu juz setiap hari.

Sampai suatu hari ...

"Teeeh... Kamarnya berantakan sekali. Segera bereskan atuuuuuh, jangan pegang gadget terus!"

"Ih..Umi! Teteh kan lagi ODOJ, belum khatam. Kan nggak asyik kalau harus dilelang..."

Sang Bunda pun hanya bisa garo-garo teu ateul.... :D



Thursday, January 9, 2014

Salah Ente Bawa-Bawa Agama!




Menyimak polemik “do’a berbayar” yang berujung  polemik dan hujatan yang melimpah ruah. Karena dianggap komersialisasi ibadah. Maka Ahmad Ghozali-pun terkena getah. Namanya terjerembab saat umrah di Makkah.

Padahal kalau mau dilihat lebih jernih, itu hanya cara agar orang tergerak hatinya untuk bersedekah. Dirangsang semangatnya dengan didoakan di depan Kakbah. Tentu agar do’a mustajab dihadapan Sang Pemilik Makkah. Tapi karena “action” yang diminta mengandung rupiah. Terkesan jadi komersialisasi ibadah.

Padahal kalau mau sedikit selidik. Sedekah yang masuk, penyalurannya ke para mustahik. Bukan ke kantong pribadi, yang kadung dipersepsikan jadi delik.

Tapi saya melihatnya koq jadi seperti gejala yang lumrah. Mungkin sepertinya itulah tabiatnya kalau orang sudah bawa-bawa agama atau nyatakan diri sebagai pendakwah. Harus siap kena fitnah. Sepertinya gak boleh berbuat salah. Entahlah.

Mungkin ini memang sifat dunia yang lentur. Timbangan benar dan salah bisa saja menjadi kabur. Hukuman sosialpun bisa ngawur.  Kadang seperti ada yang ngatur.

Padahal yang bawa-bawa nama agama bukan tanpa sadar. Karena itu hasil dari belajar. Agar nilai-nilai agama tak sekedar jadi bahan ajar. Tetapi masuk ke alam sadar dan bawah sadar. Juga agar ajaran agama tak sekedar jadi ujar-ujar dan ular-ular. Agar keadilan tak sekedar utopia. Tapi bisa menyapa si kaya dan yang papa.

Ketika agama ingin masuk ke tataran realita. Maka ia berhadapan dengan sesuatu yang nyata. Alam yang bisa diraba. Maka nilai harus bisa ditangkap mata. Didengar telinga. Diraba oleh rasa. Maka agamapun jadi asasnya. Agar arah dan gerak langkah jelas panduannya. Visi dan misi ada cantolannya. Agar kalau menyimpang jelas ukurannya.

Tapi manusia memang tabiatnya begitu. Salah sedikit saja kalau bawa agama langsung dihujani batu. Dihukum tanpa diadili dulu. Maka, nasib para penyerunya sangatlah pilu.

Ada 'Aa yang langsung redup hanya karena polygami. Padahal itu sah secara syar’i. Tak ada yg didzolimi. Semua akur sebagai suami istri.

Ada Ustadz Sedekah yang langsung dikeroyok. Padahal hanya masalah legalitas usaha belum yang belum cocok

Ada Sang Perencana Keuangan di atas yang jadi namanya tiba-tiba ancur. Hanya karena salah redaksianal brosur . Yang kadung tersebar luas jadi omongan yang cenderung ngawur.

Ada juga pemimpin partai Islam divonis karena berteman makelar, san beristri gadis belia. Maka dituduhlah korupsi uang negara. Dituduhlah pencucian uang padanya. Maka 1000 persen hakim berpihak pada jaksa. 1000 persen pembelaan pengacara tiada guna.

Sebelumnya ada aleg partai Islam yang kena giliran. Gara-gara gambar tak senonoh di layar tabletnya yang tersorot kamera saat sidang Senayan. Maka beritanya gegap gempita tak tertahankan. Tsunami beritanya mampu hentikan karir jadi anggota dewan.

Ada aleg partai Islam di Sumatera kedapatan di panti pijat resmi. Diberitakan digerebek saat berbuat mesum. Padahal sehari-harinya ia amat shaleh. Bersahaja dan gampang menangis. Iapun harus rela mundur jadi jadi anggota dewan.

Semua tewas karakternya. Sebelum terbunuh jasadnya. Hanya karena kesalahan manusiawi belaka. Semua karena  bawa-bawa agama.

Tetapi, mungkin itulah hikmahnya. Kalau bawa-bawa agama, standar maksiat menjadi beda. Harus  lebih hati-hati dan waspada.  Halalpun bisa jadi salah karenanya. Kekurangpantasan mungkin itu alasannya. Apalagi haram, jangan ditanya. Langsung kena karma.

Mungkin itulah harganya kalau bawa-bawa agama. Salah kecil dilihat besar kayak raksasa. Salah manusiawi dibilang subversi.

Tapi memang risalah itu diaktual.  Karena terlalu lama idealisme langit hanya jadi khayal. Maka kalau para dainya mundur gara-gara hukuman sosial. Kapan nilai-nilai mulia itu jadi faktual?

Sebagaimana cita-cita. Ia harus melalui uji coba. Jatuh bangun adalah hal biasa. Karena itulah harganya.
Anak kecil belajar jalanpun harus jatuh bangun dulu agar ia bisa tegak berdiri. Apalagi ini cita-cita besar tuk tegakkan nilai Ilahi. Ujiannya tentu lebih hebat lagi. Harganya jauh lebih mahal lagi.

Karena  tegakkan  agama harus dicoba. Jatuh bangun adalah harga. Tak bisa berharap tegak agama, hanya dengan berpangku tangan saja.

Pembawa panji Tuhan memang tak andalkan keajaiban.  Seperti tongkat Musa membelah lautan. Karena mukjijat mutlak hak Tuhan.

Zaman sekarang zamannya akal dan teknologi. Semua proses kebangkitan Islam harus dilalui secara manusiawi.  Keringat ia syaratkan. Air mata nan tak terhindarkan. Bahkan darahpun kadang harus bercucuran.

Wajar kalau nilai Ilahi harus juga jalani trial and error.  Maka saat itulah harus siap fitnah dan teror. Dari mereka yang berhati kotor. Atau dari mereka yang tidak mau agama jadi terkesan kotor.  



KELUARGA : DARI KETAHANAN MENUJU PERADABAN

  Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...