Beberapa waktu belakangan ini, layar kaca dan judul berita media, baik
cetak online banyak sekali, bahkan sesak dengan berita politik. Tahun 2013 dan
2014 memang tahun politik. Karena jelang pemilu 2014. Saya yang dekat dengan
kawan-kawan yang aktif PKS mau tak mau akan tersedot perhatian tatkala ada berita tentang
PKS ini. Apalagi ketika ada kasus nan mengoda dan fenomenal. Tentu kadar
perhatian saya akan berlipat seperti kue lapis kesukaan saya.
Pemicunya adalah ditangkapnya Ustadz Luthfi Hasan Ishak (saya tidak pakai "LHI" ya, karena saya hormati beliau sebagai seorang ustadz. Nama "LHI" sudah jadi merk yang jelek menurut saya) tanpa proses pemeriksaan, saat masih berlangsung rapat, langsung
di rumahnya, kantor DPP PKS. Alasan sudah ada dua bukti hukum, cukup bagi KPK
untuk menggelandang ke jeruji tahanan. Bukan jeruji penjara ya. Ini baru
tahanan. Statusnya baru tersangka. Belum divonis bersalah.
Sejak itu nama PKS dan Ustadz Lutfi menjadi hingar bingar berita. Gemuruh
dan bising di telinga. Apalagi ditambah bumbu wanita-wanita cantik dan mobil
mewah. Jadikan berita politik menerobos masuk infotainment.
Di sini saya tidak akan bicara substansi hukum. Toh sudah masuk ke tahap
sidang. Artinya berkas sudah lengkap. Sudah memasuki tahap penuntutan. Kita
tinggal tunggu saja apa vonis hakim. Saya lebih tergoda membahas sesuatu yang
lebih seksi. Lebih seksi dibanding wanita-wanita yang gantian dipanggil KPK sebagai saksi. Tapi, ini tentang kiprah para pendekar parlemen. Para politisi senayan yang
sedang ada di panggung politik itu.
Sebagaimana menonton film laga, kita tentu akan merasa terhibur dengan
adegan kepahlawanan para petarung. Walaupun fiksi tetap saja, aksi mereka
menarik ditonton. Semakin canggih mereka bertempur, semakin terpaku mata kita.
Terhipnotis. Memang itu hanya akan jadi hiburan saja. Karena niatnya hanya untuk
menghilangkan penat di otak.
Tapi kalau di gelanggang politik, aksi heroisme itu bukan hiburan. Tapi memang
seharusnya begitu. Pertaruhannya adalah nasib rakyat banyak. Hajat hidup kita
semua. Maka lihatlah bagaimana jagoan kita di senayan. Sudahkah mereka
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyatnya?
Bagaimana manuver mereka saat berdebat. Saat adu argumen dengan lawan
politik. Saat beradu strategi menggolkan pendapatnya, atau lobying mencari kawan
koalisi, di situlah perjuangan para politisi. Memang ada yang aneh kalau para poiltis senayan hanya diam, pasif dan tidak
ada omongannya sama sekali. Hanya jadi penggembira. Tak ada ide orisinil
keluar dari mulutnya. Sayang sekali pemilu dengan anggaran begitu besar hanya
hasilkan putri malu.
Padahal arti kata parlemen sendiri berasal dari bahasa Prancis yang
berarti ‘berbicara’. Kerjanya memang
ngomong. Maka mereka disebut penyambung lidah rakyat di gedung dewan. Maka
kalaupun kemudian kalah voting, namun perjuangan merekalah yang harus
diapresiasi. Harus dilihat. Karena di situlah esensi keberadaan para politisi.
Saat di DPR atau DPRD, kerja mereka utama adalah membuat legislasi. Nah, lihatlah bagaimana mereka berfikir dan menggolkan aturan yang pro rakyat. Saat
menyusun anggaran, lihatlah mereka, mana yang serius susun anggaran yang menyejahterakan
rakyat. Saat mengawasi eksekutif, lihatlah mana yang vokal mengkritisi
pemerintah. Dan mana yang hanya jadi tukang stempel penguasa.
Kalau dulu ada para panglima perang yang gagah berani, menghunus pedang. Menerjang
barisan lawan. Diantaranya ada yang tewas di gelanggang. Kita sebut mereka pahlawan.
Kini ada para ksatria di parlemen yang menggantikan posisi mereka. Merekalah yang berani berkata “tidak!” di hadapan penguasa. Mereka yang berani nahi munkar dengan segala resikonya. Jangan dikira bicara vokal di parlemen tanpa resiko. lihatlah contoh Misbakhun. Sebelumnya ada Antasari Azhar, pendekar antikorupsi yang gagah berani itu kini meringkuk di penjara. Munir malah sudah lebih dulu menghadap Sang Kuasa. Karenanya berhadapan
dengan kekuasaan adalah jihad terbesar.
Saat penguasa dipandang tidak lagi berpihak pada rakyat. Saat kepentingan diri dan kelompok lebih mengemuka. Saat pemimpin hanya peduli dengan citra, untuk jaga agar kekuasaannya awet di genggaman. Saat itulah kepahlawanan para politisi diuji. Karena kekuasaan tanpa kontrol hanya akan berubah jadi tirani masa kini, hanya akan jadi firaun-firaun di zaman Android.
Karenanya saya harus berbangga ada legislator macam Fachri Hamzah, Andi Rahmat, Makhfudz Siddiq.
Soal dianggap tidak santun, saya kira itu relatif. Santunnya anak pantai Flores beda dengan santunnya putri keraton Solo atau santunnya masyarakat Batak. Indonesia yang beragam budaya memang memberikan lahan subur bagi tumbuhnya aneka kebiasaan yang unik. Jadi tidak bisa serta merta dibenturkan dengan etika dan kesantunan. Terpenting adalah bicara fakta dan keberpihakan kepada rakyat yang diwakilinya.
Saat penguasa dipandang tidak lagi berpihak pada rakyat. Saat kepentingan diri dan kelompok lebih mengemuka. Saat pemimpin hanya peduli dengan citra, untuk jaga agar kekuasaannya awet di genggaman. Saat itulah kepahlawanan para politisi diuji. Karena kekuasaan tanpa kontrol hanya akan berubah jadi tirani masa kini, hanya akan jadi firaun-firaun di zaman Android.
Karenanya saya harus berbangga ada legislator macam Fachri Hamzah, Andi Rahmat, Makhfudz Siddiq.
Soal dianggap tidak santun, saya kira itu relatif. Santunnya anak pantai Flores beda dengan santunnya putri keraton Solo atau santunnya masyarakat Batak. Indonesia yang beragam budaya memang memberikan lahan subur bagi tumbuhnya aneka kebiasaan yang unik. Jadi tidak bisa serta merta dibenturkan dengan etika dan kesantunan. Terpenting adalah bicara fakta dan keberpihakan kepada rakyat yang diwakilinya.
No comments:
Post a Comment