Sebuah cangkir
keramik cantik duduk manis meja kerja. Bertuliskan nama dan tanggal lahir. Muasalnya dari Paguyuban Pegawai KPP Pratama Cikarang Utara. Hal yang sederhana seperti ini memang membuat siapapun akan merasa dihargai. Merasa
dianggap. Sebuah upaya sederhana yang memang Rasulullah sendiri menganjurkannya : tahaaddu...
tahaabbu! Saling memberi hadiahlah, niscaya
kalian saling mencintai.
Saya jadi ingin
sedikit menulis tentang keramik ini, sehingga
ia menjadi benda indah dan layak jadi hadiah. Yang bikin sumringah hati yang resah, karena
ultah sudah memasuki usia yang bikin gelisah. Empat puluh tahun memang usia yang
bikin gundah. Walaupun kata orang, hidup itu dimulai usia 40 tahun. Saya merasa seperti sedang di pertengahan
perjalanan. Masih punya masa depan, tapi sudah punya masa lalu yang cukup. Merasa belum melakukan
apa-apa. Terlalu banyak waktu terbuang percuma dengan mengerjakan hal-hal
remeh. Mestinya saya
sudah seperti keramik itu. Sudah bisa jadi hadiah indah buat
kemanusiaan. Buat agama. Buat keluarga. Buat kantor tempat bekerja.
Hanya saja untuk menjadi sebuah cangkir keramik, memang harus melalui proses pahit dan panjang di tungku pemanasan suhu tinggi. Artinya, untuk bisa jadi bernilai itu, saya mestinya mengalami dulu pahit getir kehidupan. Pengalaman jatuh, dan bangun. Saya justru merasa tidak melewati tungku api itu. Allah telah memudahkan hidup saya. Hanya mengalami masa prihatin waktu sekolah hingga SMA. Setelah itu Allah mudahkan dengan rizki yang menyertai perjalanan hidup. Kuliah tidak bayar, lulus langsung bekerja. Nikah dimudahkan. Anakpun diberi banyak: lima! Lalu apalagi nikmat Allah yang bisa saya dustakan?
Hanya saja untuk menjadi sebuah cangkir keramik, memang harus melalui proses pahit dan panjang di tungku pemanasan suhu tinggi. Artinya, untuk bisa jadi bernilai itu, saya mestinya mengalami dulu pahit getir kehidupan. Pengalaman jatuh, dan bangun. Saya justru merasa tidak melewati tungku api itu. Allah telah memudahkan hidup saya. Hanya mengalami masa prihatin waktu sekolah hingga SMA. Setelah itu Allah mudahkan dengan rizki yang menyertai perjalanan hidup. Kuliah tidak bayar, lulus langsung bekerja. Nikah dimudahkan. Anakpun diberi banyak: lima! Lalu apalagi nikmat Allah yang bisa saya dustakan?
Hidup saya
mungkin tidak seperti keramik. Karena tidak melalui proses tungku panas itu. Kalau
baru punya rumah dan mobil setelah sepuluh tahun menikah itu menurut saya
bukan sebuah penderitaan. Tapi seni menyiasati yang ada. Tapi Maha Bijak Allah
yang telah menyediakan ruang yang tidak hanya
berupa sabar. Tapi ada juga berbentuk syukur. Mungkin di situlah saya harus mematutkan diri, jadi 'abdan syakuura.
Kembali ke
keramik. Untuk sampai di meja kerja saya dan dipakai wadah meminum air. Keramik itu memerlukan
gagasan awal. Itulah hasil kerja mereka, insan kreatif yang punya daya cipta (makacih buat teman2 paguyuban). Mereka bukan
konsumen yang hanya menikmati dengan membeli. Apalagi saya yang hanya menerima
hadiah. Walau ikut iuran bulanan juga :) Tapi, tetap saja given. Keramik juga memerlukan sentuhan keindahan (makacih Om Ojan :) ). Adanya orang kreatif dan
artistik adalah perpanjangan “tangan “
Allah yang Maha Pencipta dan Maha Indah.
Proses dari tanah liat yang tak berharga dan diinjak manusia, hewan dan jadi sarang cacing kemudian menjadi
keramik nan indah juga melibatkan teknologi yang tepat. Ini juga mengandung pesan, bahwa
ada aturan main di alam ini, kalau ingin menjadi sesuatu. Alam diciptakan
dengan hukummya. Maka siapapun yang menguasai hukum alam itu, ia akan jadi
penguasa dan mampu mengelolanya. Menjadi khalifah. Bahkan tak cukup di bumi. Di
surah Ar Rahman (55) ayat 33, Allah juga menantang jin
dan manusia untuk menembus angkasa, syaratnya punya kemampuan. Ilmu adalah kemampuan itu,
bersama sumber daya lain yang sudah Allah sediakan.
Yuk kita berkaca
pada keramik.
Cikarang, 26 Juni 2013
Cikarang, 26 Juni 2013
No comments:
Post a Comment