Salah satu seni
menikmati hidup adalah saat menghadapi makanan. Kita memang merespon makanan
yang terhidang di meja makan dengan beragam bentuk. Ada yang selektif sekali dengan selera. Ada juga
yang terpaksa selektif karena punya diabetes atau tekanan darah tinggi. BIsa juga karena faktor trauma. Jadi banyak
pantangannya. Ada yang nggak mau sayur. Ayam juga nggak mau. Ini itu nggak mau. Akhirnya yang dipusingkan
adalah bagian logistik. Ibu-ibu jadi kebagian pusing pilih menu kalau bertemu yang
banyak pantangannya.
Nah, saya mah
termasuk beruntung. Itu karena masa lalu di pedesaan memang dibiasakan makan
sayur. Anda tahu sendiri kan, kalau rasa sayur itu datar. Kadang tidak ada
rasanya. Yang membedakan rasa itu sebenarnya bumbunya. Sepahit apapun sayur,
kalau bumbunya enak, dia akan enak. Coba saja, daun Pepaya dan buah Pare,
kurang pahit apa? Toh tetap bisa dimakan. Ya, karena bumbunya itu. Seperti
kopi, kalau gulanya pas, kombinasi pahit dan manisnya, sungguh menghanyutkan.
Seperti dibawa arus sungai yang bening dan tenang. Menghanyutkan perasaan dan
suasana. Cieee...
Dulu memang saya
yang termasuk harus nrimo dengan keadaan ekonomi keluarga. Sehingga menu
makanan di meja makan ya itu-itu saja. Nah, saat Allah bukakan pintu rizki-Nya. Alhamdulillah,
sedikit banyak selera kuliner menjadi terangkat. Saya jadi mengenal
jenis-jenis makanan baru yang rata-rata mengundang selera. Memanjakan lidah.
Walaupun harus ekstra waspada, karena isi kantong bisa jebol. Seperti APBN yang
bisa mengalami bleeding.
Kalau dulu,
namanya makanan itu semi gratis, apa-apa tinggal ngambil di kebon dan kolam,
masak di dapur, dan tersedialah makanan ala bersahaja itu. Kalau sekarang mulai harus
ada ritual jalan-jalannya. Walaupun ini kadang-kang saja. Tetapi selama rentang
perjalanan waktu mulai 2006 hingga 2013 ini, referensi kuliner menjadi
bertambah dan semakin lengkap. Kalau di Karawang, hamir semua rumah makan
pernah singgahi. Menu-menu yang terdengar asing saya coba. Dan saya memang suka
mencoba-coba. Di saat sebagian lain, yang dominan otak kiri masih cenderung
konservatif. Jauh-jauh ke rumah makan pesannya nasi gorang dan bakso. Paling
canggih, ya mie ayam.
Nah, saat-saat itulah
saya bersyukur karena Allah memberikan saya kesempatan menikmati aneka kuliner tanpa
terlalu khawatir darah naik. Saya masih kuat dua puluh tusuk sate klambing. Sepiring
penuh kepiting rebus dan sepiring jeroan sapi.
Di saat kawan-kawan
seusia mengambil jarak yang cukup jauh dengan makanan model begitu. Alasannya
sih juga rasional. Sebuah tindakan preventif yang bagus. Karena resikonya memang
bisa fatal. Mulai stroke, darah tinggi, hingga asam urat bisa kambuh.
Maka, kalau ada
kesempatan makan bareng, saya dan seorang kawan saya yang juga nggak pantangan
suka kebagian tim “sapu bersih”. Sambil bersenang-senang
karena bisa meledek yang punya koleterol tinggi, he he
Bagi saya makanan
yang ada di restoran itu, asal halal, rasanya antara enak dan ueennaaaaaak....! Inilah
salah satu kenikmatan hidup yang bisa saya rasakan hingga sekarang.
Mudah-mudahan Allah masih beri kesempatan saya menikmati keindahan dunia ini
lebih lama lagi. Agar bisa bersyukur lebih banyak lagi..amiiin.
No comments:
Post a Comment