Wednesday, June 26, 2013

Cangkir Keramik



Sebuah cangkir keramik cantik duduk manis meja kerja. Bertuliskan nama dan tanggal lahir. Muasalnya dari Paguyuban Pegawai KPP Pratama Cikarang Utara. Hal yang sederhana seperti ini memang membuat siapapun akan merasa dihargai. Merasa dianggap. Sebuah upaya sederhana yang memang  Rasulullah sendiri menganjurkannya : tahaaddu... tahaabbu! Saling memberi hadiahlah, niscaya kalian saling mencintai.

Saya jadi ingin sedikit menulis tentang  keramik ini, sehingga ia menjadi benda indah dan layak jadi hadiah. Yang bikin sumringah hati yang resah, karena ultah sudah memasuki usia yang bikin gelisah. Empat puluh tahun memang usia yang bikin gundah. Walaupun kata orang, hidup itu dimulai usia 40 tahun. Saya merasa seperti sedang di pertengahan perjalanan. Masih punya masa depan, tapi sudah punya  masa  lalu yang cukup. Merasa belum melakukan apa-apa. Terlalu banyak waktu terbuang percuma dengan mengerjakan hal-hal remeh. Mestinya saya sudah seperti keramik itu. Sudah bisa jadi hadiah indah buat kemanusiaan. Buat agama. Buat keluarga. Buat kantor tempat bekerja. 

Hanya saja untuk menjadi sebuah cangkir keramik, memang harus melalui proses pahit dan panjang di tungku pemanasan suhu tinggi. Artinya, untuk bisa jadi bernilai itu, saya mestinya mengalami dulu pahit getir kehidupan. Pengalaman jatuh, dan bangun. Saya justru merasa tidak melewati tungku api itu. Allah  telah memudahkan hidup saya. Hanya mengalami masa prihatin waktu sekolah hingga SMA. Setelah itu Allah mudahkan dengan rizki yang menyertai perjalanan hidup. Kuliah tidak bayar, lulus langsung bekerja. Nikah dimudahkan. Anakpun diberi banyak: lima!  Lalu apalagi nikmat Allah yang bisa saya dustakan?

Hidup saya mungkin tidak seperti keramik. Karena tidak melalui proses tungku panas itu. Kalau baru punya rumah dan mobil setelah sepuluh tahun menikah itu menurut saya bukan sebuah penderitaan. Tapi seni menyiasati yang ada. Tapi Maha Bijak Allah yang telah menyediakan ruang  yang tidak hanya berupa sabar. Tapi ada juga berbentuk syukur. Mungkin di situlah saya harus mematutkan diri, jadi 'abdan syakuura.

Kembali ke keramik. Untuk sampai di meja kerja saya dan dipakai  wadah meminum air. Keramik itu memerlukan gagasan awal. Itulah hasil kerja mereka, insan kreatif yang punya daya cipta (makacih buat teman2 paguyuban). Mereka bukan konsumen yang hanya menikmati dengan membeli. Apalagi saya yang hanya menerima hadiah. Walau ikut iuran bulanan juga :)  Tapi, tetap saja given. Keramik juga memerlukan  sentuhan keindahan (makacih Om Ojan :) ). Adanya orang kreatif dan artistik adalah  perpanjangan “tangan “ Allah yang Maha Pencipta dan Maha Indah. 

Proses dari tanah liat yang tak berharga dan diinjak manusia, hewan dan jadi sarang cacing kemudian menjadi keramik nan indah juga melibatkan teknologi yang tepat. Ini juga mengandung pesan, bahwa ada aturan main di alam ini, kalau ingin menjadi sesuatu. Alam diciptakan dengan hukummya. Maka siapapun yang menguasai hukum alam itu, ia akan jadi penguasa dan mampu mengelolanya. Menjadi khalifah. Bahkan tak cukup di bumi. Di surah Ar Rahman (55) ayat 33,  Allah juga menantang jin dan manusia untuk menembus angkasa, syaratnya punya kemampuan. Ilmu adalah kemampuan itu, bersama sumber daya lain yang sudah Allah sediakan.

Yuk kita berkaca pada keramik.

Cikarang, 26 Juni 2013

Monday, June 24, 2013

Antara Kemeriahan, Do'a dan Air Mata




Hari Sabtu kemarin,22 Juni 2013. Imad, anak kedua saya lulus SD. Satu fase pendidikan formal sudah dilalui. Bagi yang menghadiri acara kemarin itu, pasti sepakat dengan saya : penyelenggaraanya amat megahnya. Meriah. Tempatnya di Rumah Makan paling top se Karawang : Indo Alam Sari. Untuk acara setingkat SD, acara kemarin itu menurut saya memang istimewa.   Acara ini kembali jadi ajang pembuktian para gurunya. Sebagai event organizer, guru-guru SDIT Harapan Ummah memang sudah berpengalaman dari tahun ke tahun. Dua tahun sebelumnya, penyelenggaraan dilangsungkan di Gedung Aula Husni Hamid. Komplek Pemda Karawang. Beberapa sekolah swasta seperti Al Irsyad memang kadang memakai gedung di luar sekolah untuk penyelenggaraan acara akhir tahun. Saya tidak tahu apakah sekolah negeri ada yang menyelenggarakan acaranya digedung-gedung itu atau hanya di sekolahnya saja.

Saya kebetulan datang sendirian. Nyonya menghadiri acara kenaikan kelas Fathia dan Dhiya, kakak dan adiknya Imad. Fathia an Dhiya, kebetulan bersekolah di SAKA, Sekolah Alam Karawang. Lokasinya lebih dekat ke rumah. Saya memang tidak ingin melewatkan momentum Imad ini. Karena seorang ayah adalah pemimpin dan pendidik utama di rumah.  Rasanya yang lebih berkepentingan hadir. Walaupun lebih bagus kalau bareng Nyonya.

Kalau berkaca ke waktu saya SD dulu, sebuah SD Negeri di pedesaan di lereng gunung Ciremai, kelulusan itu biasanya sederhana saja. Waktu itu hanya diisi sambutan kepala sekolah. Pentas  seni belum dimunculkan sebagai bentuk penyaluran bakat dan kreativitas  anak-anak. Akhirnya memang jadi garing. Lulus, ya lulus saja. Baru bertemu pentas seni saat kelulusan yaitu saat SMP. Untungnya, waktu itu fokus di belajar, sehingga lulus dari SD bisa bersaing menembus SMP2 Kuningan. Salah satu sekolah favorit.

Di SD Harapan Ummah, momen kelulusan seperti dibuat agar tak terlupakan. Siswa yang lulus, diberi julukan  wisudawan. Mereka berseragam khusus batik hijau. Piala-piala berhamburan menghampiri siswa-siswi yang berprestasi. Atraksi seni diiringi lagu-lagu penghargaan terhadap guru dan semangat untuk menang. Lagu “We Are The Champion”  berkali-kali meluncur dari soundsystem berkekuatan besar.

Walaupun ada  tanya, kenapa masih ada juara 1-3 pada setiap kelasnya? Saya sih inginnya bukan atas dasar hasil ujian tertulis dan tidak ada istilah “siswa terbaik”. Karena semua siswa adalah ciptaan terbaik dari Sang Khaliq. Sebenarnya bisa memakai pendekatan kecerdasan majemuk. Bahwa setiap anak adalah juara. Sehingga setiap anak diberi sertifikat penghargaan sebagai juara dalam keunggulan masing-masing.

Acara kemarin itu menjadi lama. Hingga melewati jam 1 siang. Karena semua anak kelas 1 sampai 6 sepertinya semua harus tampil di panggung. Membawakan pentas seni yang kebanyakan dilakukan secara rame-rame.  Memang pintar sekali guru-gurunya dalam memanfaatkan momen sebagai sarana pembelajaan. Saya yakin saat pentas itu kepercayaan diri anak meningkat. Walaupun hanya menari-nari sederhana. Momen tampil di panggung dalam kebersamaan memang punya efek lain. Memberikan pengalaman yang akan sangat berkesan.

Kemarin itu Imad tidak tampil seperti tahun-tampil sebelumnya. Biasanya atraksi karate yang pake acara memecahkan batu-bata atau genteng. Kemarin Imad hanya tampil dalam drama Malin Kundang. Sebagai temannya si Malin saat melaut.  Kemudian di tengah laut diserang bajak laut hingga jadi korban. Yang selamat  tinggal Si Malin  sendiri. Sudah, setelah itu Imad tidak tampil lagi. Walau begitu, persiapannya perlu berhari-hari.

Bagi saya, panitia dan para guru memang menjadi bintang acara itu. Kepompakan dan kreativitas tim bisa dilihat dari semua sisi. Itu karena SDM-nya memang ideal. Salah satunya, di situ ada Pak Dika Pratama, Ketua FLP Karawang. Guru-guru lainnya adalah para aktivis dakwah yang sudah terbiasa membimbing ummat.

Mereka masih muda-muda. Lebih muda usianya dari saya. Semangatnya tentu meluap-luap. Usia muda ditambah semangat dan kreativitas plus kasih sayang adalah sosok ideal seorang guru. Karena itu, saat saya ditanya anak pertama saya, kenapa menyekolahkan d iswasta yang relatif mahal. Jawaban saya adalah karena gurunya adalah guru yang penyayang. Titik. Maka saat menitipkan anak-anak selama di sekolah itu saya merasa tak ada kekhawatiran sedikitpun. Justru saat liburlah saya suka khawatir. Karena saat libur panjang, Imad pernah “hilang”. Ternyata sedang asyik main game online.

Sekolah juga penuh tanggung jawab. Saat Imad mengalami kecelakaan saat main futsal di sekolah. Sehingga jari salah satu jari kaki kirinya terkilir dan terjadi dislokasi sendi. Biaya ke tukang urut ditanggung sekolah. “Memang itu tanggung jawab kami Pak, kalau kecelakaannya terjadi di sekolah”, Kata Pak Atar, kepala Sekolah.


Kenapa ada air mata?

Imad kecil adalah Imad yang punya masalah dengan kesehatannya. Dulu, ia punya asma yang kambuhan. Rentan debu. Rentan makanan pemanis buatan. Apalagi ada pengawetnya. Makanya, kami sebagai ortu harus ekstra mengawasi makanannya. Waktu di Jember dulu, sebelum usia masuk sekolah,  setiap bulan Imad mesti kambuh asmanya. Berobatnya harus ke rumah sakit. Karena harus ditangani dokter spesialis. Dokter umum sudah tidak mempan.

Menurut dokter, satu-satunya yang bisa melawan asma adalah kondisi fisik Imad harus fit.  Maka saya usahakan Imad senang olah raga. Apapun saya silakan Imad untuk ikut olahraga. Maka saat ingin ikut karate, saya persilakan, alhamdulillah hingga sabuk coklat. Main bolanya saya biarkan sampai jadi hobi. Sekarang, Imad bahkan sudah bisa meluncur di papan skateboard. Renangnya juga lebih bagus dari saya. Saya mah belum bisa ngambang di kolam tiga meter.

Untuk akademik memang saya tidak begitu memaksakan. Saat sepuluh menit baca buku saat malam hari, Imad serangkali sudah terpejam matanya. Sepertinya efek capek aktifitas fisik. Belajarnyapun harus ditongkrongi. Perjuangan mengantarkan Imad hingga lulus SD, memang lebih unik di banding Si Teteh, kakaknya. Tapi menurut saya, itu lebih karena penghargaan terhadapak ademik di budaya sekolah kita masih dominan.  SDIT Harum untungnya sudah mulai memberikan penghargaan kepada semua kompetensi. Dengan menyediakan fasilitas pembelajaran yang membuat bakat-bakat siswa tersalurkan dengan baik.

Imad kini semakin sholeh. Sangat penurut kalau diminta bantuan Abi Uminya. Tidak mengalami kenakalan yang tidak perlu dan over dosis. Shalat berjamaahnya semakin rajin. Sosialisasinya juga bagus. Setiap malam Jumat, selalu ikut Yasinan di Masjid kompleks. Katanya, “karena ada makan-makannya” he he

Memori mendampinya Imad yang kaya warna itulah yang membuat air mata berkali-kalii mengucur saat prosesi wisuda. Saya seperti orang yang cengeng banget kemarin itu. Apalagi saat melihat Imad yang juga menangis di panggung.  Imad memang sensitif perasaannya. Ditambah, saat orang tua yang lain beberapa terlihat juga yang mberebes air matanya. Tapi, koq kebanyakan ibu-ibu ya yang menangis?  Tapi, biarlah air mata ini mengalir sesukanya. Saya ingin melewatinya dengan segala perasaan.

Saya juga ada perasaan bersalah karena telah memaksa Imad untuk ikut test di Husnul Khotimah, Ponpes favorit di Kuningan. Padahal budaya akademik di sana saya perkirakan kurang cocok untuk Imad. Akibatnya, Imad punya pengalaman tidak lulus seleksi yang mungkin akan dikenang sebagai  pengalaman buruk. Mudah-mudahan Imad tidak menyalahkan Abi dan Uminya. Itu hanya karena Abi Umi ingin memberikan yang terbaik. Walau kadang terbaik menurut orang tua, belum tentu baik bagi anak.

Sekarang Imad sedang bersiap memasuki sekolah barunya, di pondok Tahfidz, SMP Qur’an Al HasanatBoarding School di Cikampek. Saya memang tidak melilih tempat yang terlalu jauhdari rumah. Masih ada kekhawatiran kalau asmanya kambuh. Agar saya bisa segera meluncur ke Cikampek kalau ada apa-apa.

Kenapa saya memilihkan pondok tahfidz? Saya ingin Imad fokus ke menghafal Qur’an. Fokus di situ. Menghabiskan masa SMP dengan mengejar hafalan 30 juz Al Quran . Harapannya, kelak Imadlah yang bimbing Abi, Umi serta Sadauara-Saudara Imad dengan Al Qur’an yang sudah tersimpan di kepala. Mengingatkan kalau salah,  memberi contoh terbaik bagaimana jadi ahlul Qur’an. Semoga Allah mudahkanmu, Anakku. Doakan kelimpahan rizki dari Allah untk kita dan mereka yang sedang menuntut ilmu.

Sekali lagi, saya sampaikan apresiasi yang sungguh tinggi kepada segenap guru-guru dan management SDIT Harapan Ummah Karawang. Sungguh, pengalaman Imad dan teman-temannya akan menjadi fondasi bagi pembentukan kepribadiannya kelak.


Karawang, 24 Juni 2013

NB
Saat pulang, saya dikabari kalau Fathia dapat penghargaan sekolah karena 100 tulisannya di blog. Sedangkan Dhiya nilai raportnya bagus-bagus. ALhamdulillah...

Tuesday, June 11, 2013

Satu atau Banyak Sama Saja



Punya anak satu  atau banyak ternyata sama saja rasanya. Terutama dalam hal menyayangi. Punya anak lima tidak berarti cinta kita terbagi lima. Tidak sama sekali. Justru cinta kita menjadi lima secara utuh. Hati kita memang tidak seperti kotak yang kaku dan rigid dmana volumenya tidak bisa bertambah. Hati kita lebih seperti balon yang mampu memuat udara ynag ditiupkan. Hati kita akan mampu menampung berapapun isinya. Berapapun yang harus disayangi dan dicintai. Tidak heran karena Sang Utusan, Nabi Mulia Muhammad SAW terasa cintanya ke seluruh ummat, karena memang cintanya Beliau tak terbatas.

Wujud cinta tak terbatas itu, adalah tatkala seseorang mampu menyediakan dirinya untuk yang dicintai. Menyediakan waktu, perhatian, dan pengorbanan. Walau kita memang akan terbentur dengan materi. Walau kita memang hanya punya waktu yg terbatas, materi yang terbatas, tangan cuma dua, kaku hanya dua, mulut cuma satu, telinga hanya sepasang.

Inilah seninya menyayangi. Itulah luar biasanya Allah. Disamping rasa sayang yang bagaikan balon itu, Allah juga ciptakan rasa rindu. Inilah sisi lain dari cinta. Mencintai seseorang kadang akan terasa kalau hidup berjauhan. Ada keinginan kuat ingin bersama. Ada ledakan perasaan yang membana di seisi relung hati. Bahwa kita merasa kehilangan.

Tapi ya di situlah seninya. Kadang jarak tak memisahkan. Justru menyatukan. Maka jangan heran kalau ada yang bertahan dalam LDR (Long Distance Relationship). Maka jangan kaget kalau ada yang puluhan tahun tak bertemu, tapi rasa sayang itu tak hilang. Bahkan menggelegak saat bertemu lagi.

Tapi dimana ada energi tak tersalur. Biasanya di situ ada bencana. Begitupun energi cinta.  Untuk itulah Khalifah Umar sampai harus bertanya kepada putrinya, Hafshah : Wahai putriku, berapa lamakah seorang perempuan tahan berpisah dengan suaminya?.  Ini agar rasa sayang ada labuhannya. Di samping urusan biologis yang fitri juga menyertai. Klop antara rasa sayang dan kebutuhan biologis. Menyatu dalam ritual cinta yang indah itu.

Pun saat anak harus pergi mondok. Sekedar berwisata atau backpacking misalnya. Ternyata terasa benar ada bagian jiwa yang hilang itu. Benar-benar terasa. Membuncah. Seperti tak rela berjauhan.Ya ternyata punya anak satu atau lima sama sayangnya. Hanya waktu memang jadi terbagi. Perhatian terpecah. Maka perlu managemen cinta. Salah satunya saya harus menyediakan waktu khusus untuk masing-masing penghini rumah untuk berdua. Ngobrol atau jalan berdua. Menunjukan bahwa saya mencintai mereka. Saya ada untuk mereka.

Walau ada kadang marah dan bertengkar. Tapi itu justru menjadi variasi yang indah. Bumbu penyedap yang semakin membuat cinta terasa lezat. Kehidupan berkeluarga menjadi bak surga. Oh itukah  yang dimaksud rumahku surgaku? karena di situ ada cinta? Itulah cinta yang konon alam semesta tercipta karena cinta? Di mana sifat Allah yang pertama disebut adalam Kitab Suci adalah Ar Rahman  Rahiim?

Monday, June 10, 2013

Ksatria Perlemen Yang Gagah Berani



Beberapa waktu belakangan ini, layar kaca dan judul berita media, baik cetak online banyak sekali, bahkan sesak dengan berita politik. Tahun 2013 dan 2014 memang tahun politik. Karena jelang pemilu 2014. Saya yang dekat dengan kawan-kawan yang aktif PKS mau tak mau akan tersedot perhatian tatkala ada berita tentang PKS ini. Apalagi ketika ada kasus nan mengoda dan fenomenal. Tentu kadar perhatian saya akan berlipat seperti kue lapis kesukaan saya.

Pemicunya adalah ditangkapnya Ustadz Luthfi Hasan Ishak (saya tidak pakai "LHI" ya, karena saya hormati beliau sebagai seorang ustadz.  Nama "LHI" sudah jadi merk yang jelek menurut saya) tanpa proses pemeriksaan, saat masih berlangsung rapat, langsung di rumahnya, kantor DPP PKS. Alasan sudah ada dua bukti hukum, cukup bagi KPK untuk menggelandang ke jeruji tahanan. Bukan jeruji penjara ya. Ini baru tahanan. Statusnya baru tersangka. Belum divonis bersalah.

Sejak itu nama PKS dan Ustadz Lutfi menjadi hingar bingar berita. Gemuruh dan bising di telinga. Apalagi ditambah bumbu wanita-wanita cantik dan mobil mewah. Jadikan berita politik menerobos masuk infotainment.

Di sini saya tidak akan bicara substansi hukum. Toh sudah masuk ke tahap sidang. Artinya berkas sudah lengkap. Sudah memasuki tahap penuntutan. Kita tinggal tunggu saja apa vonis hakim. Saya lebih tergoda membahas sesuatu yang lebih seksi. Lebih seksi dibanding wanita-wanita yang gantian dipanggil KPK sebagai saksi. Tapi, ini tentang kiprah para pendekar parlemen. Para politisi senayan yang sedang ada di panggung politik itu.

Sebagaimana menonton film laga, kita tentu akan merasa terhibur dengan adegan kepahlawanan para petarung. Walaupun fiksi tetap saja, aksi mereka menarik ditonton. Semakin canggih mereka bertempur, semakin terpaku mata kita. Terhipnotis. Memang itu hanya akan jadi hiburan saja. Karena niatnya hanya untuk menghilangkan penat di otak.

Tapi kalau di gelanggang politik, aksi heroisme itu bukan hiburan. Tapi memang seharusnya begitu. Pertaruhannya adalah nasib rakyat banyak. Hajat hidup kita semua. Maka lihatlah bagaimana jagoan kita di senayan. Sudahkah mereka memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyatnya?

Bagaimana manuver mereka saat berdebat. Saat adu argumen dengan lawan politik. Saat beradu strategi menggolkan pendapatnya, atau lobying mencari kawan koalisi, di situlah perjuangan para politisi. Memang ada yang aneh kalau para poiltis senayan hanya diam, pasif dan tidak ada omongannya sama sekali. Hanya jadi penggembira. Tak ada ide orisinil keluar dari mulutnya. Sayang sekali pemilu dengan anggaran begitu besar hanya hasilkan putri malu. 

Padahal arti kata parlemen sendiri berasal dari bahasa Prancis yang berarti ‘berbicara’. Kerjanya memang ngomong. Maka mereka disebut penyambung lidah rakyat di gedung dewan. Maka kalaupun kemudian kalah voting, namun perjuangan merekalah yang harus diapresiasi. Harus dilihat. Karena di situlah esensi keberadaan para politisi.

Saat di DPR atau DPRD, kerja mereka utama adalah membuat legislasi. Nah, lihatlah bagaimana mereka berfikir dan menggolkan aturan yang pro rakyat. Saat menyusun anggaran, lihatlah mereka, mana yang serius susun anggaran yang menyejahterakan rakyat. Saat mengawasi eksekutif, lihatlah mana yang vokal mengkritisi pemerintah. Dan mana yang hanya jadi tukang stempel penguasa.


Kalau dulu ada para panglima perang yang gagah berani, menghunus pedang. Menerjang barisan lawan. Diantaranya ada yang tewas di gelanggang. Kita sebut mereka pahlawan. Kini ada para ksatria di parlemen yang menggantikan posisi mereka. Merekalah yang berani berkata “tidak!” di hadapan penguasa. Mereka yang berani nahi munkar dengan segala resikonya. Jangan dikira bicara vokal di parlemen tanpa resiko. lihatlah contoh Misbakhun. Sebelumnya ada Antasari Azhar,  pendekar antikorupsi yang gagah berani itu kini meringkuk di penjara. Munir malah sudah lebih dulu menghadap Sang Kuasa. Karenanya berhadapan dengan kekuasaan adalah jihad terbesar.

Saat penguasa dipandang tidak lagi berpihak pada rakyat. Saat kepentingan diri dan kelompok lebih mengemuka. Saat pemimpin hanya peduli dengan citra, untuk jaga agar kekuasaannya awet di genggaman. Saat itulah kepahlawanan para politisi diuji. Karena kekuasaan tanpa kontrol hanya akan berubah jadi tirani masa kini, hanya akan jadi firaun-firaun di zaman Android. 

Karenanya saya harus berbangga ada legislator macam Fachri Hamzah, Andi Rahmat, Makhfudz Siddiq.
Soal dianggap tidak santun, saya kira itu relatif. Santunnya anak pantai Flores beda dengan santunnya putri keraton Solo atau santunnya masyarakat Batak.   Indonesia yang beragam budaya memang memberikan lahan subur bagi tumbuhnya aneka kebiasaan yang unik. Jadi tidak bisa serta merta dibenturkan dengan etika dan kesantunan. Terpenting adalah bicara fakta dan keberpihakan kepada rakyat yang diwakilinya.

Sunday, June 9, 2013

Antara ENAK Dan UEENNAAAAAK!




Salah satu seni menikmati hidup adalah saat menghadapi makanan. Kita memang merespon makanan yang terhidang di meja makan dengan beragam bentuk. Ada yang selektif sekali dengan selera. Ada juga yang terpaksa selektif karena punya diabetes atau tekanan darah tinggi. BIsa juga karena faktor trauma. Jadi banyak pantangannya. Ada yang nggak mau sayur. Ayam juga nggak mau.  Ini itu nggak mau. Akhirnya yang dipusingkan adalah bagian logistik. Ibu-ibu jadi kebagian pusing pilih menu kalau bertemu yang banyak pantangannya.

Nah, saya mah termasuk beruntung. Itu karena masa lalu di pedesaan memang dibiasakan makan sayur. Anda tahu sendiri kan, kalau rasa sayur itu datar. Kadang tidak ada rasanya. Yang membedakan rasa itu sebenarnya bumbunya. Sepahit apapun sayur, kalau bumbunya enak, dia akan enak. Coba saja, daun Pepaya dan buah Pare, kurang pahit apa? Toh tetap bisa dimakan. Ya, karena bumbunya itu. Seperti kopi, kalau gulanya pas, kombinasi pahit dan manisnya, sungguh menghanyutkan. Seperti dibawa arus sungai yang bening dan tenang. Menghanyutkan perasaan dan suasana. Cieee...

Dulu memang saya yang termasuk harus nrimo dengan keadaan ekonomi keluarga. Sehingga menu makanan di meja makan ya itu-itu saja. Nah, saat Allah bukakan pintu rizki-Nya. Alhamdulillah, sedikit banyak selera kuliner menjadi terangkat. Saya jadi mengenal jenis-jenis makanan baru yang rata-rata mengundang selera. Memanjakan lidah. Walaupun harus ekstra waspada, karena isi kantong bisa jebol. Seperti APBN yang bisa mengalami bleeding.

Kalau dulu, namanya makanan itu semi gratis, apa-apa tinggal ngambil di kebon dan kolam, masak di dapur, dan tersedialah makanan ala bersahaja itu. Kalau sekarang mulai harus ada ritual jalan-jalannya. Walaupun ini kadang-kang saja. Tetapi selama rentang perjalanan waktu mulai 2006 hingga 2013 ini, referensi kuliner menjadi bertambah dan semakin lengkap. Kalau di Karawang, hamir semua rumah makan pernah singgahi. Menu-menu yang terdengar asing saya coba. Dan saya memang suka mencoba-coba. Di saat sebagian lain, yang dominan otak kiri masih cenderung konservatif. Jauh-jauh ke rumah makan pesannya nasi gorang dan bakso. Paling canggih, ya mie ayam.

Nah, saat-saat itulah saya bersyukur karena Allah memberikan saya kesempatan menikmati aneka kuliner tanpa terlalu khawatir darah naik. Saya masih kuat dua puluh tusuk sate klambing. Sepiring penuh kepiting rebus dan sepiring jeroan sapi.

Di saat kawan-kawan seusia mengambil jarak yang cukup jauh dengan makanan model begitu. Alasannya sih juga rasional. Sebuah tindakan preventif yang bagus. Karena resikonya memang bisa fatal. Mulai stroke, darah tinggi, hingga asam urat bisa kambuh.

Maka, kalau ada kesempatan makan bareng, saya dan seorang kawan saya yang juga nggak pantangan suka kebagian tim “sapu bersih”.  Sambil bersenang-senang karena bisa meledek yang punya koleterol tinggi, he he

Bagi saya makanan yang ada di restoran itu, asal halal, rasanya antara enak dan ueennaaaaaak....! Inilah salah satu kenikmatan hidup yang bisa saya rasakan hingga sekarang. Mudah-mudahan Allah masih beri kesempatan saya menikmati keindahan dunia ini lebih lama lagi. Agar bisa bersyukur lebih banyak lagi..amiiin.

KELUARGA : DARI KETAHANAN MENUJU PERADABAN

  Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...