Oleh : Ust. Uri Mashuri
“Barang siapa bangun pagi hatinya tentram, tubuhnya sehat, tersedia makanan untuk dimakan di hari itu, seakan-akan dunia dan isinya tergenggam ditangannya “(H.R. Imam Turmudzi)
Keinginan dan Kebutuhan
Dulu sewaktu masih jadi mahasiswa di ibu kota,
penulis membeli obat batuk yang bebas
dijual di toko terdekat milik Encim yang
rada-rada judes. Harga Rp22,50 Penulis
sodorkan uang pecahan Rp 25,00 diiringi ucapan: “kembaliannya buat amplop dan
permen Ci”.
“Jangan membeli sesuatu yang tidak engkau
butuhkan, ada kembaliannya kok” jawab Encim dengan nada seperti seorang guru
yang menegur muridnya yang salah, bukan gaya seorang tukang dagang seperti pada
umumnya.
Butuh dan ingin merupakan dua kata yang tidak
semua orang dapat membedakan. Kebanyakan menganggap semua yang kita inginkan
adalah yang kita butuhkan. Padahal,
bedanya sangat jauh. Kebutuhan adalah sesuatu yang sangat diperlukan, sedangkan
keinginan belum tentu kita butuhkan, hanya sesuatu yang kita berhasrat untuk
memilikinya.
Kalau kita sedikit jujur pada diri, kita akan
menyadari bahwa kebutuhan kita tidaklah banyak, sangat sedikit, dan Insya Allah
semua kita akan mudah memperolehnya dengan adil dan merata. Seperti hutan
belantara dengan tetumbuhan beraneka ragam jenis serta ukurannya, semua rata
terbagi lantaran mereka hanya mengambil yang mereka butuhkan bukan yang mereka
inginkan. Kalau kita makan sesuai dengan
nutrisi yang kita butuhkan, dipastikan tubuh kita akan sehat,, tapi bila kita
makan dengan asupan yang kita inginkan
bukan yang kita butuhkan sudah dapat
dipastikan tubuh kita akan mengalami ketidakseimbangan yang akan menimbulkan
gangguan kesehatan.
Pemenuhan kebutuhan biasanya diiringi kepuasan
hati serta kita dapat mengapresiasinya dalam waktu yang cukup lama. Sedangkan
pemenuhan yang kita inginkan biasanya
tingkat kepuasannya sangat rendah dan mudah tercampak begitu kita memperolehnya.
Mengejar keinginan membuat kita mesti
terus berlari sebab setiap kita dapat meraihnya muncul lagi keinginan baru yang
mesti kita kejar. Seperti mengejar bayang-bayang layaknya. Keinginan manusia biasanya lebih banyak dari
tarikan nafasnya, lebih panjang dari usianya, dan lebih berat dari bobot badannya. Itulah
keinginan yang identik dengan hawa nafsu. Tepatlah apa yang dikatakan oleh Al
Mutanabi:
“ Orang yang kaya adalah orang yang sedikit
keinginannya, orang yang miskin adalah
mereka yang terlalu banyak keinginannya. “
Realita Yang Kita Hadapi
Bekerja keras memenuhi kebutuhan maupun keinginan
merupakan sebuah keniscayaan di zaman
seperti ini. Berbagai cara orang melakukan agar terpenuhi apa yang
mereka harapkan. Suami-istri, semua keluar rumah untuk memenuhi hasrat
tersebut. Karier, materi, dan citra diri mereka kejar tanpa menjaga
keseimbangan dan keharmonisan hidup.
Sukses materi dan sukses karier itulah kiblatnya.
“Aku tak punya kehidupan. Tenagaku habis –capek sekali! “
Aku prustasi dan
loyo, tak bersemangat!“
“Aku merasa tak diperlukan –di tempat kerja, tidak, oleh
anak-anakku yang mulai remaja dan dewasa pun tidak, tak juga oleh tetangga dan
masyarakat sekitarku; bahkan, tak juga
oleh pasangan hidupku –kecuali untuk membayar berbagai tagihan dan cicilan!“
“Penghasilanku tak pernah cukup. Rasanya aku tidak pernah
bergerak maju!”
“Aku merasa hampa. Hidupku tidak bermakna; ada sesuatu
yang hilang!”
“Aku merasa diburu terus, semuanya serba mendesak!”
“Dengan pasangan hidup yang tak bisa memahamiku, dan
anak-anak yang tidak mendengar dan menaatiku, rumah tidak lebih baik daripada
tempat kerjaku!”
Dan seterusnya, dan seterusnya. Itulah sebahagian
keluhan yang penulis ambil dari buku terbaru Stephen R, Covey , The 8th
HABIT.
Keluhan-keluhan itu mewakili keluhan kita. Karena
itu, keluhan-keluhan itu merupakan derita kita yang larut dalam pengejaran
keinginan yang tanpa batas. Itulah ciri kehidupan modern yang ditandai
dengan individualisme, persaingan
yang tajam, serta peningkatan kebutuhan yang senantiasa mendesak. Sebuah
kehidupan yang penuh tekanan, penuh ketegangan, serta kegersangan yang jauh
dari fitrah kemanusiaan. Tak tergambar dalam kehidupan seperti itu nuansa
keseimbangan, kedamaian, ketentraman, serta keharmonisan yang merupakan dambaan
setiap insan yang memiliki hati nurani.
Tuntunan Agama nan Fitrah
Islam diturunkan oleh Allah untuk manusia sebagai
pedoman hidup yang dapat menggapai kesejahteraan baik lahir maupun batin. Islam datang dengan prinsip hidup yang sederhana,
seimbang dan praktis. Sederhana, karena ajarannya tidak berbelit-belit dan
mudah dicerna oleh siapa pun. Baik oleh
mereka yang berpendidikan tinggi maupun oleh mereka yang tingkat pendidikannya
rendah. Seimbang tidak berat sebelah antara dunia dan akhirat, rohani dan
jasmani, hak dan kewajiban, doa dan ikhtiar, serta ilmu dan iman . Dilarang
kita mengejar dunia semata dengan melupakan akhirat. Juga diharamkan kita
mengejar akhirat dengan meninggalkan dunia. Praktis, semua perintah Allah dan
larangan-Nya mudah dilaksanakan. Siapa
pun bisa menjadi muslim yang baik dan patuh. Bahkan, kalau direnungkan lebih
dalam, semua larangan bukanlah
pengekangan, tetapi pembebasan manusia dari akibat buruk yang ditimbulkan.
Sementara itu, perintah-Nya merupakan sarana pendidikan untuk menyempurnakan
karakter manusia yang sering menjadi pelupa.
“ Ketahuilah wahai Ali, bahwa Ilmu pengetahuan
adalah modalku, akal adalah dasar agamaku, cinta kasih adalah pahamku,
dzikir -ingat kepada Allah– adalah
sahabatku, keprihatinan adalah temanku, kesabaran adalah busanaku, ilmu adalah
senjataku, jihad –kerja keras– adalah perangaiku, dan shalat adalah penawar
hatiku .”
Itulah nasihat Nabi pada menantunya Ali bin Abi
Thalib. Begitulah ajaran Islam dalam menghadapi kehidupan di dunia dan di akhirat.
Ada di Hati Kita
Manusia bekerja keras mengejar apa yang dia
inginkan. Kadang melupakan norma sebagai
aturan main dalam kehidupan. Semua dia abaikan. Yang nampak cuma satu, yaitu
target keinginannya. Mereka bergerak seperti robot yang tak bertimbang rasa dan tak hirau lagi yang halal dan haram. Rasa
malu, rasa bersalah, serta rasa berdosa tidak ada lagi dalam kamus hidupnya.
Padahal, ketiga hal itu merupakan ciri manusia yang bermartabat. Mereka
menginginkan kebahagiaan, tetapi yang diperoleh adalah kenestapaan, yaitu
kehampaan serta ketidak-bermaknaan hidup yang dijalani. Arang habis besi
binasa. Itulah gaya hidup yang membuat
kita kelelahan menjalaninya.
Dunia dan isinya itulah target akhir yang diburu
manusia. Sebuah ambisi yang mustahil dapat tergapai karena keterbatasan daya
dan usia. Nabi tercinta memahami ambisi manusia itu dengan susunan kalimat yang tepat dan penuh
makna. Beliau hantarkan ummatnya menggapai dambaan hati, yaitu kebahagian dengan cara yang sederhana. Diajarkan
bagaimana menyusun bahagia harian dengan mengondisikan pikiran yang damai,
badan yang sehat, serta kecukupan makanan setiap hari sebagai kunci
bahagia. Tentunya menjadi sebuah
keniscayaan bila hidup setiap hari
dijalani dalam kebahagiaan. Seluruh rangkaian umur kita akan terbingkai
bahagia. Bila itu terjadi ternyata bahagia sudah ada dalam genggaman.
Wallahu ‘alam
No comments:
Post a Comment