Oleh : Ust. Uri Mashuri
Ada dua hal yang senantiasa dicari oleh
manusia, kata Nabi, yang pertama adalah sehat dan yang kedua adalah
ketenteraman batin. Berbagai upaya, daya, dan juga dana dikerahkan oleh manusia
untuk dapat menggapai keduanya. Jika salah satunya hilang pada diri manusia,
manusia itu akan mengalami gangguan yang sungguh tidak menyenangkan.
Sampai-sampai ada sebahagian orang menyatakan
bahwa bila kehilangan harta maupun jabatan sebenarnya tidak kehilangan apa-apa
bila sehat dan tentram batin masih ia miliki. Akan tetapi, bila ia
kehilangan kesehatan, setengah yang ia miliki telah lenyap,
sedangkan bila ia kehilangan ketenteraman batin, lenyaplah yang ia miliki
seluruhnya. Betapa pentingnya sehat dan tentram bagi bagi manusia.
Syariat Islam diturunkan oleh Allah dengan
tujuan utama untuk memelihara agama itu sendiri, akal, jiwa, jasmani, harta,
serta keturunan. Setidaknya, ada tiga hal yang berkaitan dengan kesehatan,
yaitu akal, jiwa, serta jasmani. Pantaslah agama Islam banyak memberi tuntunan
dalam memelihara kesehatan.
S e h a t
Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia tahun l983
menggariskan bahwa yang dimaksud dengan kesehetan adalah “Ketahanan jasmaniah,
rohaniah, dan sosial yang dimiliki manusia sebagai karunia Allah yang wajib
disyukuri dengan mengamalkan ( tuntunan-Nya ) dan memelihara serta
mengembangkannya”.
Tergambar sudah betapa luas cakupan kesehatan,
bahkan kini kata sehat pun banyak dinisbatkan
bukan hanya pada manusia, tetapi juga
pada bidang-bidang lain seperti kita sering mendengar dalam percakapan
sehari-hari, “perusahaannya sehat”, “bank yang sehat”, “organisasinya sehat”,
“manajemen yang sehat” dst. Bahkan WHO menetapkan bahwa yang dikatakan sehat adalah sehat
jasmani, sehat mental, dan sehat sosial. Tidak semata fisik atau jasmani.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sehat
diartikan dengan keadaan baik segenap badan serta bagian-bagiannya (bebas dari
sakit). Rupanya KBBI mengkhususkan sehat
dalam artian fisik semata.
Konon,
orang Jepang menyebutkan kriteria
sehat jasmani dengan ungkapan yang
sederhana, bila tidur nyenyak, makan terasa enak, dan buang air besar lancar
dan normal itulah sehat. Tentunya untuk
menggapai tiga kriteria itu tidaklah
mudah. Kita dituntut mengatur pola hidup yang baik, pola makan yang seimbang,
terpenuhi kebutuhan tubuh, serta
kenyamanan hati untuk dapat istirahat dengan sempurna.
A f i a t
Dalam percakapan sehari-hari sering kita
menyebut kata sehat dan afiat dijadikan seperti satu kata. Padahal, sehat dan
afiat punya konotasi dan arti yang
berbeda. Dua kata itu memiliki pengertian
masing-masing dan sangat berbeda.
Afiat dalam KBBI diartikan sehat dan kuat.
Tentunya pengertian menurut bahasa berbeda dengan pengertian berdasarkan tinjauan para ulama. Ulama membedakan antara sehat dan
afiat. Sehat dititikberatkan pada sehat
jasmani semata dengan pengertian berfungsinya semua organ tubuh dengan baik
dan bebas dari penyakit. Sedang afiat
lebih menitik beratkan pada kesehatan
mental dan sosial dengan mengikuti
tuntunan dari Yang Maha Kuasa.
Bisa saja seorang yang sehat jasmaninya
seperti seorang pelacur, pencuri, koruptor, penipu, pembohong, pengkhianat
dikatakan sehat, tetapi tidak bisa dia dikatakan afiat. Afiat mensyaratkan
menjalani kehidupan dengan mengindahkan norma-norma yang berlaku, baik norma agama,
norma sosial, maupun norma negara.
Ulama juga menyebutkan ciri-ciri afiat yang
menempel pada potensi manusia. Mereka menyebutkan bahwa manuisa yang sehat rohani adalah mereka yang mampu
membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk, manusia yang sehat jiwa adalah mereka yang mampu membedakan mana yang
benar dan mana yang salah, dan manusia yang sehat sosial adalah mereka yang
memiliki keterampilan bergaul di tengah masyarakat. Ia tidak canggung bergaul
dengan siapa pun. Ia mampu berkomunikasi dengan baik dan menyenangkan.
Dari ciri-ciri sehat dan afiat tersebut,
tentunya jadi bahan renungan kita,
betapa sehat dan afiat merupakan mahkota yang tidak kita sadari. Baru kita sadari setelah mahkota itu lenyap dari diri
kita. Banyak kita saksikan di sekeliling kita, bahkan mungkin kita sendiri
termasuk yang sakit bila dalam hidup kita tidak lagi bisa memilah dan memilih
mana yang baik dan mana yang buruk. Agama sudah bukan lagi menjadi rujukan
dalam berperilaku. Salah dan benar tidak ada lagi garis pemisah. Yang ada
adalah bagaimana memuaskan hasrat dan ambisi. Bermasyarakat bukan lagi
mengembangkan masyarakat yang marhamah, tapi masyarakat yang senantiasa
menggunakan kalkulasi untung rugi. Takada lagi kesetiaan sosial, kejujuran,
serta ketulusan.
Masyarakat Yang Sakit
Dalam
sebuah seminar yang dilaksanakan
tanggal 23 Februari 2005 di
Jakarta yang bertajuk “Menembus Batas Nalar“ terungkap bahwa kondisi masyarakat
Indonesia kini tengah berproses menjauhi nalar dan menjauhi moral. Kita cukup
khawatir dan tentunya sangat prihatin dengan sinyalemen ini sebab bagaimana
jadinya sebuah bangsa bila terjerumus
dalam kondisi yang seperti itu.
Fatwa para seniman yang berkumpul di Taman Ismail
Marzuki Jakarta menyatakan bahwa yang sukses di negara ini adalah mereka yang pandai menipu, biasa menggertak, pandai
ngomong, buaya darat, serta memiliki
keterampilan untuk menunduk diiringi
dengan menanduk bila telah berhasil.
Bila yang demikian sudah tidak terlalu sulit kita temukan di tengah-tengah
masyarakat. Rasanya tepat sekali ramalan Nabi bila manusia telah menjauhi
agama. Nabi tercinta bersabda: “Akan datang satu jaman kepada manusia yang mereka
kejar hanyalah isi perut, kemuliaan mereka hanyalah barang-barang mewah, arah
hidupnya adalah wanita, dan agamanya
adalah uang.”
Apa jadinya bila kita hidup di tengah-tengah
masyarakat dengan kondisi seperti itu. Mudah-mudahan Allah senantiasa membimbing kita agar senantiasa berjalan di jalur yang
diridai-Nya.
Tawazun
Salah satu keistimewaan ajaran Islam adalah
ajaran Tawazun -keseimbangan. Kita yakin seyakin-yakinnya semua yang
berjalan dengan baik dan teratur adalah
yang bertumpu pada keseimbangan. Islam mengajarkan keseimbangan antara
dunia dan akhirat, jasmani dan rohani, iman dan ilmu, doa dan ikhtiar. Itulah
salah satu resep untuk menggapai tujuan
beragama Islam, yaitu bahagia baik di dunia maupun di akhirat. Salah besar
seorang mukmin yang mengejar dunia, tapi meninggalkan akhirat. Juga sebaliknya,
mengejar akhirat, tapi meninggalkan dunia.
“Carilah dunia seolah-olah engkau mau hidup
selama-lamanya, carilah untuk akhiratmu seolah-olah engkau mau meninggalkan dunia esok hari.“ Sebuah pesan yang sarat makna dan puitis dalam bahasa aslinya, sebagai arahan
yang mesti dipegang teguh oleh setiap muslim yang menjadikan keridaan Allah sebagai tujuan hidup-Nya.
Agama Hindu mengajarkan bahwa hidup adalah Samsara,
agama Budha menyatakan hidup adalah Dukha, agama Kristen menyatakan hidup adalah dosa,
sedang Islam menyatakan hidup adalah ujian untuk menguji manusia, siapa di
antara mereka yang paling baik amalnya.
Kita semua tengah menghadapi ujian apa pun
kondisi dan situasi kita serta siapa pun. Kita semuanya diuji oleh Yang Maha
Kuasa, hasilnya … nanti di yaumil jaza.
Kuningan,
September 2005
No comments:
Post a Comment