Monday, May 6, 2013
Refleksi HARDIKNAS 2013
Anak saya bertanya : "Kenapa anak SD sekecil itu belajar rumus segi-tiga? memang manfaatnya apa?" lalu terjadilah diskusi yang lebih hangat. Saya jadi berfikir "iya juga sih, manfaatnya apa anak-anak kita ngadekluk tiap hari pelajari hal yang tidak banyak terpakai itu kelak?"
Anak-anak kita belajar banyak sekali teori dan konsep. SD tak sekedar calistung (baca tulis hitung), sudah banyak juga teori yang diberikan. SMP? SMA? Jangan ditanya. Apakah semua bermanfaat? Apakah semuanya berkontribusi positif bagi lahir pribadi-pribadi unggul bangsa ini? Ini pertanyaan harus dijawab. Kalau kita ingin memastikan bahwa berangkatnya anak-anak kita ke sekolah pulang bawa oleh-oleh yang positif. Berupa wawasan dan pengalaman belajar yg membentuk karakter unggul.
Apakah kita bisa memastikan anak-anak kita mendapatkannya? Ataukah justru sebaliknya? Anak-anak kita pulang hanya membawa memori kalau hari itu sudah disampaikan tentang cara menghitung luas bujur sangkar. Tanpa tahu untuk apa itu dipelajari? atau tentang persamaan aljabar, tanpa tahu manfaatnya apa? kecuali utk bisa kerjakan soal?
Saya dulu belajar matematika sampai keriting dan blenger, tapi amat sedikit yang diaplikasikan. Apakah ini wajar-wajar saja?
Ada yang menjawab kalau belajar matematika adalah untuk berfikir konsisten, sistematis dan terukur. Tapi otak kanan saya lebih dominan, sulit untuk berfikir sistematis, terstruktur. Cara berfikir saya imaginatif dan zig-zag. Tapi walau begitu saya bisa juga mengerjakan soal matematik kalau disuruh mengerjakan. Tapi hanya itu saja manfaatnya : hanya untuk jawab soal!
Saya juga belajar kimia sampai pusing lihat rumus kimia karbon. Tapi apa itu berguna bagi saya dalam menjalani hidup? Lagi-lagi ternyata hanya untuk menjawab soal.
Ketika semuanya saya pelajari saya memang jadi manusia berwawasan. Ditanya apa saja tidak tulalit. Asyik buat dialog. Asyik buat jawab pertanyaan anak-anak. Seperti jadi kamus berjalan. Apakah ini yg disebut kepintaran? apakah ini tujuan kita sekolah? Menjadi manusia serba tahu tapi hanya sekilas, sepintsa dan hanya di permukaan?
Apalagi sekolah saya di SD, SMP dan SMA negeri. Akademiknya dominan. Saya membaca dan saya mengerjakan soal. Memang ranking saya lumayan bagus saat SD dan SMP. Di SMA saya tidak begitu menonjol, walapun sekolah saya kebetulan favorit. Banyak saingannya, sih, he he
Mungkin karena cukup belajar saya lolos STAN. Walaupun saya lebih mengangap itu karena do’a orang tua yang terkabul. Karena faktor keberuntungannya terlalu besar. Yang diterima sedikit yang ikut seleksi banyak sekali.
Aneh juga pikir saya, SMA-nya jurusan A1 (ilmu-ilmu fisik), tapi kuliahnya Akuntansi. Maka pelajaran Kimia, Fisika, Biologi saya sama sekali tak terpakai. Ada perasaan saya korban sistem pendidikan yang salah. Walaupun tetap ada rasa syukur. Saya bisa kuliah gratis. Ikatan dinas. Masih kulian sudah CPNS. Masih kuliah sudah dapat gaji. Tidak lagi susahkan orang tua. Jadi kebanggaan keluarga. Naik harkat dan martabat orang tua di mata tetangga dan saudara.
Idealisme saya memang saya tinggalkan. Inginnya kuliah di IPB dan jadi insinyur pertanian. UMPTN lulus tapi tak diambil. Lebih menurut saran orang tua dan karena faktor biaya. Kalau saya pilih IPB, adik-adik saya yang lima tak jelas biaya dari mana. Saya mengalah mengharap berkah ridlo orang tua. Mungkin ini jalan hidup. Sayapun akhirnya bisa menikmati.
Anak saya yang kelas 6 SD jungkir balik memahami pelajaran yang amat kental akademiknya. Padahal ia kelihatan tidak sukanya. Lebih suka main bola. Bagaimana belajar kalau sudah tidak suka begitu? Belajar hanya jadi beban anak dan orang tua. Apa memang harus dipaksa? Akhirnya saya cuma bisa besarkan hati dan minta bersabar. Sambil mendampingi kerjakan soal.
Anak saya yang pertama sempat bertanya: "Kenapa Abi sekolahkan kami di sekolah swasta? kan mahal?" saya jawab : “Abi "membeli" lingkungan dan teman buat kalian”. Ya, Saya hanya ingin anak-anak berada di lingkungan yang baik. Tidak ada bullying. Guru-guru yang sabar dan penyayang. Sekolah dengan nuansa ibadah. Sekolah yang ajarkan agama yang cukup. Mengenalkan kitab suci. Mengajarkan doa dan sholat. Selain bermain dan rekreasi. Saya tidak mau anak-anak jadi korban lingkungan yang tidak baik. Misalnya guru yang merokok atau tak berhijab. Karena mereka masih cari jatidiri. Mencari figur panutan. Itulah alasan saya memilih sekolah untuk anak-anak saya. Bukan agar dapat ranking atau nilai raport bagus. Saya hanya ingin lingkungan yang baik.
Karena itulah kenapa saya pilih Sekolah Alam yg baru berdiri dan masih darurat sarananya untuk anak pertama saya. Karena saya tidak ingin ia “terpenjara”. Karena di Sekolah Alam, guru mau mendengar ortu. Menghargai anak. Saya bisa berdiskusi dengan tuntas bahas anak-anak. Tidak terima jadi. Saya lebih ingin anak saya bebas berekpresi tanpa takut salah. Biar keluar mutiaranya. Dan itu ada di Sekolah Alam.
Lalu, sejauh ini apa hasil dari prinsip saya di atas? Untuk anak saya yang SMP, ia memang tidak juara olimpiade sains tingkat kabupaten, propinsi, apalagi nasional dan internasional. Karena memang tidak ikut kontes. Mana bisa menang? He he. Ups.. jadi guyon. Tetapi anak saya sudah bisa buat target pribadi dalam menulis. Dan sejauh ini ia bisa buktikan. Di blognya sudah puluhan tulisan ia buat. Isinya kritis dan analisis. Tulisan serius yang belum tentu mahasiswapun bisa menulis sebanyak itu. Dan ia menulis setiap hari.
Untuk anak saya yang SMP, memang saya tidak memerlukan guru lulusan S2. Tapi lebih memilih guru yang mau sabar mendampingi anak-anak berekspresi. Memberi motivasi. Beruntungnya, kawan-kawan saya yang aktivis dakwah yang menjadi guru dan pengelola sekolahnya memenuhi kwalifikasi itu. Jadi saya percayakan anak-anak saya mereka didik.
Bukan saya ekslusif, tapi nyatanya memang begitu. Sekolah2 Islam Terpadu, Boarding School, dan Sekolah Alam banyak diburu orang tua. Diantaranya banyak yang menolak karena kelebihan pendaftar. Padahal orang tuan murid kebanyakan bukan aktivis dakwah. Mereka orang tua seperti saya yang cari aman buat anak-anak.
Sebagai orang tua bagaimana menyikapi dunia pendidikan Indonesia? Agar anak2 tak jadi "korban". Korban? Sebegitu seramkah?
Pertama, sikap dasar ortu adalah penanggungjawab-utama pendidikan anak. Di hadapan Tuhan, orang tualah yang akan ditanya. Karena anak adalah amanah.
Kedua, memposisikan sekolah sebagai MITRA. Bukan atas hubungan jual beli jasa pendidikan. Karena mitra maka posisi orang tua dan sekolah menjadi sejajar. Karena itu pastikan sekolah untuk anak kita menyediakan ruang dialog yang leluasa dengan orang tua. Sekolah tak boleh menutup pintu dialog dgn ortu. Ada beberapa sekolah yang begitu ketatnya menutup akses ortu thd anaknya. Terutama yang pake asrama. ortu jadinya hanya TAHU-TAHU.
Tapi utk kasus tertentu bisa difahami. Itu saat ortu merasa tidak mampu didik sendiri anaknya. Biasanya krn waktu yg habis utk karir. Dengan dana memadai maka dipilihlah sekolah-sekolah yang sudah terbukti lahirkan SDM berkualitas. Sejauh ini banyak yg memandang ini salah satu solusi. Ada juga yang ingin anaknya fokus utk target tertentu. Misal utk menghafal Al Quran. Beberapa pondok tahfidz menyediakan layanan ini. Anak saya yang kedua saya terapkan cara ini. Insya Allah tahun ini masuk ke pondok Tahfidz di Karawang. Tentu dengan beberapa pertimbangan. Diantaranya, tempatnya cocok utk anak dgn kinestetik yg menonjol. Ia senang olah raga aja sj. Di pondoknya nnti banyak sarana olah raga
Artinya target spesifik tidak harus hilangkan karakter uniknya. Lalu bagaimana dgn akademiknya? Insya ALlah difasilitasi oleh pondok. Tapi, saya sudah bilang ke anak saya untuk fokus ke Tahfidz. Kalau bisa hingga 30 juz. Tidak mengapa yang lain tidak bagus. Itu nanti saat SMA saja. Saya memang harus realistis. Anak-anak bukan superhero. Bukan superkid yang bisa semuanya maksimal.
Kita memang harus bijak untuk membantu lejitkan potensi anak, tapi tidak mungkin anak-anak ditarget jenius di semua kompetensi. Apalagi dalam dalam satu waktu yg bersamaan. Menurut saya itu dzalim karena jahil. Penyakit ortu dan sekolah kita menurut saya ada di sini. Tuntutan ke anak-anak tidak realistis. Harus bagus di semua pelajaran dan semua bidang.
Kesalahan orang tua dan sekolah juga ada saat merampas hak bermain anak . Anak TK dipaksa calistung. Anak SD dijejali teori yg sangat kognitif.
Karena sudah tahu situasi di sekolah-sekolah itu. Anak saya keempat tidak saya masukan ke TK. Saya biarkan ia bebas bermain sesuai keinginan.Saya biarkan ia bermain-tidak-terstruktur. Agar imaginasinya berkembang bebas. Karena saya lihat di TK, selain sudah diajari calistung kepagian. Juga terlalu banyak disuruh-suruh. Secara tak sadar ini membuat anak tidak mandiri. Semua yang dilakukan atas dasar instruksi. Menurut saya ini adalah racun bagi kreativitas. Saat sejak usia dini terlalu banyak disuruh-suruh dan diseragamkan. Tidak diarahkn jadi diri sendiri.
Bersyukur saat anak prtama saya sudah faham. Kalau SD saat BERMAIN, SMP saat cari JATIDIRI, SMA saatnya bergelut dengan buku.
Lalu bagaimana dengan UN. Ahhh...sudah terlalu banyak kritik berhamburan. Toh tak didengar juga. UN sudah kalah di MA toh masih juga berlangsung. UN tidak jelek, hanya saat dijadikan untuk tentukan kelulusan, itu yg aneh. Saya juga heran logika apa yang dipake para profesor pendidikan yang ngotot UN untuk tentukan kelulusan. Negara/mendikbud kenapa merampas hak guru? Kenapa jadi seakan lebih tahu dari guru dan sekolah? Negara seakan tak percaya kepada perangkatnya sendiri yg sudah dibiayainya dari APBN sendiri. Saat UN, guru seolah-olah tiada. Adanya sama dengan tiada.
Lebih bagus saat EBTANAS dulu. Nilai NEM hanya untuk mapping dan untuk syarat ke jenjang pendidikan selanjutnya. Itupun relatif. Maka saya heran ada nilai (mendekati) sempurna begitu banyaknya. Dulu nilai 3 tak menjadi soal. Baik anak, guru maupun ortu legowo. Hasil Ebtanas jadi bahan intropeksi. Bukan jadi palu godam yang zalim.Ssekali lagi, UN tak salah, yg salah adalah peruntukannya. . Maka dalam hal ini UN, saya tidak sependapat dengan Pak Jusuf Kalla. Walau saya kagumi beliau dalam hal leadership
Ketidakjujuran UN sudah jadi rahasia umum di mana-mana. Memang tak bisa dibuktikan. Kolusi atau kesepakatan curang seringkali sulit dibuktikan. Seperti buang angin saja. Ada tapi tak bisa dilihat. Cuma ada bau. Kenapa ada 20 jenis soal tiap mata pelajaran dalam satu kelas? itu pengakuan tak langsung kalau UN pada sebelumnya berlangsung kecurangan. Gampang sekali nebaknya, bukan?
Bagi saya kejujuran adalah harga mati. Walau harus "kalah" dalam persaingan melawan kecurangan. Maka saya katakan pada anak saya yang SMP : "Nak, siap-siap bersekolah di SMA yang tidak favorit ya karena nilai UN kamu besar kemungkinan pasti kalah dengan yang lain".
Kenapa saya katakan itu sejak sekarang. Agar ia tidak ikut arus kecurangan. Juga tidak ikut arus menjadikan sekolah favorit sebagai obsesi. Saya katakan kalau usia SMA saatnya unjuk potensi. Harus sudah bisa perjuangkan idealisme. Dan itu tak bergantung sekolah. Justru kalau bisa jadilah pahlawan bagi kawan-kawan segenerasi. Jadilah leader bagi kawan-kawanmu. Jadilah inspirasi teman-temanmu. Dan itu saya yakin bisa diwujudkan oleh anak-anak kita. Bangsa ini sudah miskin dengan jiwa pahlawan generasi mudanya.
Maka harus ada yg mau memulai. Apakah saya terlalu bernafsu, aneh dan tidak realistis. Masak anak-anak disuruh jadi pahlawan? mungkin saya aneh ya, he he...dan memang aneh koq :). Tapi saya yakin, anak-anak kita (bukan hanya saya) bisa jadi pahlawanan-pahlawan itu. Pahlawan bagi generasinya. Bukankah Rasulullah itu berangkat dari kaumnya dan pertama kali diutus untuk kaumnya. Baru untuk dunia. Muhammad tidak datang dari langit, tapi muncul dari tengah-tengah kaumnya "rasulun-min anfusihim..." begitu Al Quran menyatakan. Jadi jangan under-estimate dengan anak-anak kita. Muhammad Al Fatih sudah buktikan.
Kembali ke Pendidikan Indonesia. Lalu bagaimana dengan Kurikulum? saya pandang harus ada. Itu sebagai pedoman dan acuan sekolah dan guru. Karena kebanyakan SDM sekolah-sekolah kita hanya operator pendidikan. Bukan pemikir pendidikan. Tapi bagi yang mampu membuat kurikulum sendiri seperti Gontor, Hidayatullah, Sekolah Alam ya harus diberi ruang yang lapang. Mendiknas harusnya merasa terbantu. Bukan disikapi sebagai pesaing. Negara harus mampu membaca potensi terbaik anak-anak bangsanya. Kemudian memberi jalan bagi keberhasilannya.
Kemudian adanya fasilitasi yang timpang ke sekolah negeri dan swasta menunjukan negara belum adil terhadap pihak pendidikan swasta. Lihatlah berapa gaji guru honor di sekolah swasta di luar kota besar. Kalau tdk terpaksa atau krn panggilan jiwa, mana ada yg mau. Ada sih contohnya, salah satunya mereka yang ikut program Indonesia Mengajar yg digagas Anies Baswedan. Itu memang panggilan jiwa. Artinya semangat mendidik tetap ada. Tapi sejauh mana ini bisa merubah pendidikan secara nasional.
Ada juga yang merintis pendidikan alternatif. Sekolah Komunitas macam Qoryah Toyiibah rintisa Ahmad Bahrudin di Salatiga. Ada juga Sekolah Terminal. Ada juga sekolah untuk anak pedalamannya Butet Manurung. Mereka adalah pahlawan pendidikan zaman kini.
Jadi, untuk kualitas anak Indonesia, mulailah dari kepedulian kita. Pelajarilah dunia pendidikan walau kita bukan guru. Memahami psikologi pertumbuhan anak, juga tentang kecerdasan dan gaya belajar. Lalu lebih dekatlah dengan anak-anak kita. Buka mata, hati dan telinga. Mulai dari diri sendiri, kemudian terapkan ke keluarga. Lalu saling berbagi inspirasi dengan kawan nyata dan maya. Itu mungkn sedikit langkah konkret.
Mungkin ada yang menyikapi segala persirtiwa sebagai jalan hidup yang diberi Tuhan. Benar, semua ada hikmahnya. Tapi kapasitas dan porsi manusia adalah mengambil pelajaran dari perjalanan hidup itu. Kalau semuanya disikapi sebagai air yang mengalir begitu saja. Lalu di mana letak effort? upaya dan dorongan untuk lebih baik lagi?
Mengkritisi masa lalu bukan berarti tidak bersyukur. Justru mengambil hikmah dari perjalanan hidup kita adalah bentuk syukkur itu sendiri. Jangan sampai generasi penerus mengalami hal yang sama. Harus lebih baik dibanding generasi kita. Bukankah itu ciri orang beriman?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
KELUARGA : DARI KETAHANAN MENUJU PERADABAN
Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...
-
Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...
-
Sejak akhir Maret 2020 di lingkungan RT sudah berlangsung kegiatan jimpitan. Menabung beras dan uang untuk membantu keluarga terdampak Covid...
-
"𝑀𝑜𝑚𝑒𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑖𝑛𝑑𝑎ℎ 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝 𝑚𝑎𝑛𝑢𝑠𝑖𝑎 𝑎𝑑𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑏𝑒𝑟𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑘𝑒 𝑛𝑒𝑔𝑒𝑟𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑖...
No comments:
Post a Comment