Oleh : Ust. Uri Mashuri
“Tidakah aku memerintahkan engkau, kecuali untuk menyembah Allah dengan cara yang ikhlas” (Q.S 97:5)
Kemerdekaan
Dalam beragama, kita disyaratkan untuk ikhlas.
Tanpa ikhlas, semua amal baik berubah menjadi sia-sia. Ikhlas adalah cerminan
kejernihan hati dan kesucian jiwa. Jauh dari pemaksaan, jauh dari tekanan, dan
jauh pula dari ingin terpuji di pandangan manusia. Dorongannya hanya satu,
yaitu mencari keridaan Illahi.
Keikhlasan adalah hasil pilihan manusia akibat
kemerdekaan yang ada pada dirinya . Manusia tidak berbuat ikhlas tanpa
kemerdekaan.
Kemerdekaan yang dimiliki manusia tidaklah
mutlak, ia terbatas. Batas itulah yang disebut sunatullah –hukum yang
ditetapkan Allah untuk semua Ciptaan-Nya. Hukum itulah yang dipakai Allah untuk
mengatur ciptaan-Nya.
Takdir atau Sunatullah.
Dalam Al Qur’an sunatullah dijelaskan dengan
ciri-ciri sebagai berikut:
1
Exact (pasti) “……Dia telah menciptakan segala sesuatu. Dan
dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya (Q.S. 25 Al Furqan
ayat 2).
2
“………..dan
sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan-ketentuan bagi tiap sesuatu.”
3
Immitable (tetap tidak berubah) “ Kami yang menetapkan demikian
––sebagai suatu ketetapan terhadap Rasul-Rasul Kami yang Kami utus sebelum
kamu. Dan tidak akan kamu dapatkan perubahan bagi kami itu (Q.S. Al Israa
ayat 77)
4
Obyektif
(sebenarnya ), yaitu –pada
hari kami gulung langit, sebagai menggulung lembaran-lembaran kertas
sebagaimana telah Kami mulai penciptaan pertama, begitulah kami akan
mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti kami tepati. Sesungguhnya kamilah
yang akan melaksanakannya. (Q.S. Al Anbiya 104).
Di
situlah keterbatasan manusia, ia berhadapan dengan Sunatullah yang kokoh, kuat,
tetap, dan tidak berubah. Manusia dapat melaksanakan kemerdekaannya manakala
masih dalam lingkungan atau sejalan dengan Sunatullah, bila terbentur, di
situlah ia mencapai batas.
Sunatullah
dapat juga dikatakan takdir Allah untuk ciptaan-ciptaan-Nya. Sesuai dengan
firman-Nya:
“………..yang menciptakan dan mencukupkan, dan yang
menentukan ukurannya (qaddara) dan memberi pimpinan” (Q.S. Al A’la
ayat 2-3)
“……….Menciptakan segala sesuatu, dan dibuat pula
ukurannya (takdirnya) (Q.S Al Furqan ayat 2A
“………..dari barang apakah ia diciptakan? Dari setetes
sperma. Maka Allah menciptakannya dan menentukan ukuran qadar yang
sepadan baginya. (Q.S Abasa 18-19).
Manusia wajib berikhtiar
Dalam membicarakan takdir sering pula kita
bertemu dengan istilah qadlo dan qadar. Menurut ahli bahasa Al
Qur’an., Ragib al Ashafani, qadar
adalah ukuran, sedang qadlo adalah ketentuan dan keputusan atau
realisasi dari ukuran itu. Qadlo menentukan bahwa sesuatu akan terjadi,
sedangkan qadar menciptakan segala sesutu menurut ukuran tertentu.
Di sinilah kita
berhadapan dengan takdir, mau tidak mau kita harus menerimanya. Menerima takdir
bukan berarti manusia harus pasif, dan menjalani hidup sesuai dengan program
yang telah ditentukan seperti robot, yang akibatnya menjalani hidup dengan
apatis, malas, fatalis, karena anggapan semuanya telah ditentukan. Coba kita
renungkan ayat Al Qur’an di bawah ini:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib
suatu bangsa, sebelum mereka sendiri mengubahnya. (Q.S Ar-Rad ayat 11).
Ayat tersebut jelas menyuruh manusia untuk
berusaha mengubah nasib sehingga Muhamad Iqbal pernah menyebutkan: “Bila
engkau berusaha, engkau menentukan nasib, tapi apabila engkau malas, maka nasib
telah ditentukan”.
Para ulama berpendapat bahwa takdir ada dua
sisi. Sisi pertama adalah taqdir yang tidak bisa diubah, sedangkan sisi yang
lainnya adalah takdir yang bisa diubah.
Taqdir yang tidak bisa diubah dapat
dicontohkan, seperti kelahiran, kematian, jenis kelamin, ayah dan ibu kita,
warna kulit, golongan darah, dsb. Sedang taqdir yang dapat diubah, antara lain
jenis pekerjaan, kemiskinan, kebodohan, kezaliman, kebaikan, keburukan dsb.
Dalam Al Qur’an sendiri tertera: Kalau
engkau menghendaki silahkan beriman, kalau engkau menghendaki dapat juga
menjadi kafir (Q.S Kahfi ayat 29).
Kuningan 20 November 1994
No comments:
Post a Comment