Tuesday, May 28, 2013

TULISAN KE-100 DAN KEAJAIBAN KECIL




“Bi, nulis apa dooonk........? lagi nggak ada ide niiih..!” Kata Fathia, suatu malam. Kira-kira pukul sembilan.

“Kalau nggak ada ide, coba nulisnya tentang "menulis" saja, simple kan?” Saya jawab saja begitu. Praktis dan gampang ditindaklanjuti.

“ya udah...” Jawabnya.

Dan kira-kira satu jam kemudian, sebuah postingan tayang di blognya, www.fathiya.blogdetik.com.


Awalnya hanya kumpulan tulisan di komputer. Kemudian karena terprovokasi dengan tulisan saya yang dimuat di blogdetik, Fathia, anak pertama saya, mulai ingin juga nge-blog.   Hal yang memotivasi, salah satunya karena tulisan yang masuk headline, apalagi masuk blog pilihan di kanal news.detik.com akan dibaca ribuan pengunjung. Ini dapat dilihat di statistik blog.   Inilah sepertinya yang jadi sebab ada rasa iri. Tapi ini iri yang positif.

Kemudian iapun mulai menulis di blogdetik. Hanya saja, karena masih kelas 8 SMP, tulisannya mula-mula masih abege banget.   Penuh kosa kata alay. Bahkan ada postingan yang berisi kamus bahasa alay yang kriwil-kriwil dan bikin kriting itu. Selain itu mungkin terbawa arus penulis a-be-ge yang tergabung dalam KKPK (Kecil-Kecil PunyaKarya), iapun memilih  untuk menulis beberapa tulisan fiksi. Sepertinya coba  membuat novel. Belakangan, rupanya Fathia lebih sreg menulis opini. Sama seperti abinya. Novelnya jadi berhenti begitu saja. Kasihan juga para tokoh di novelnya. Jadi patung semua, he he


Ledakan “kembang api” itupun terjadilah!

Ini berawal dari sebuah tulisan bertema  politik. Awalnya ia ragu mengangkat tema ini. Karena menyebut nama sebuah parpol. Di jejaring internet, nama parpol  ini memang merajai. Ya dicaci, sekaligus juga dipuji. Fathia khawatir kalau mendapat komentar-komentar yang bernada bullying. Tapi saya coba beri optimisme. Kalau yang ditulis itu sebuah kebenaran, ya tulis saja.

Kemudian iseng saya kontak admin situs PKSPiyungan via email. Barangkali bisa dimuat di sana. Rupanya, tulisan bertema politik oleh seorang a-be-ge adalah sebuah  keunikan. Dan meledaklah tulisan itu.  Saya telusuri di internet, ternyata banyak website yang me-reply. Komentar juga banyak sekali, baik di Piyungan maupun yang di blogdetik-nya Fathia. Untuk beberapa lama, merajai Top Posting, Terbanyak Disukai dan Terbanyak Dikomentari di halaman muka blogdetik. Kalau di facebook dan twitter tak terhitung yang nge-shrare dan retweet. Efeknyapun ke mana-mana. Salah satunya follower twitter bertambah 500an hanya dalam dua hari. Padahal saya berbulan bulan  punya akun twitter, sampai sekarang baru punya 30-an follower. Untuk beberapa saat, iapun jadi celebrity di dunia maya. Seperti nyala kembang api di angkasa maya.

Lalu saya coba provokasi lebih lanjut. Karena ini moment bagus.  Sayang kalau dilewatkan. Harus bisa dipakai buat mengungkit lagi potensinya hingga maksimal. Maka saya tantang untuk menulis setiap hari : #OneDayOneArticle.  Adapun argumen yang saya sampaikan : kalau orang dewasa menulis  setiap hari sudah ada dan tidak istimewa. Saya mencatat nama Wijaya Kusuma, Jamil Azzaini, Ahmad Arqom. Tapi semuanya kan sudah bapak-bapak. Pak Jamil Azzaini malah dengan bangga  menyebut dirinya kakek. Nah, yang a-be-ge menulis setiap hari saya belum menemukan. Tentu sebuah pencapaian manakala itu bisa diwujudkan.

Tidak  dinyana, Fathia menyanggupinya. Dan hari-hari berikutnya sayapun menyaksikan pemandangan unik itu setiap harinya. Sebelum tidur, Fathia sudah standby di depan netbook Toshiba-nya. Ngadekluk menulis sebuah artikel. Kalau ngantuknya tak tertahankan, ia tertidur dengan netbook masih menyala. Biasanya saya off-kan dulu dan simpan  tulisannya di draft pada dashboard blogdetik. Pagi setelah subuh, ia meneruskan tulisannya hingga selesai.

Bagi saya, tantangan ini kadang diperlukan. Apalagi ini tantangan yang kemudian disepakati. Maka ini menjadi target pribadi Fathia. Bukan lagi target saya. Maka energinya ada di dalam diri sendiri. Tidak tergantung orang lain.

Kalau sedang blank tema tulisan, biasanya ia ngajak saya diskusi. Kadang saya usulkan sebuah tema, lalu dibahas bareng-bareng. Kalau manjanya sedang kumat, ia minta dibuatkan mind-mapping di buku catatan. Setelah saya buatkan, ia segera mengetik dengan  kecepatan yang memang sudah di atas rata-rata itu berdasarkan  alur di mind-mapping itu. Tak lama kemudian, sebuah  artikel sudah tayang di blogdetik.

Selain kecepatan menulis yang semakin cepat. Gaya  penulisan juga semakin dewasa. Padahal saya hanya menyampaikan dua rumus saja : Upayakan sesuai EYD, dan kalimatnya ringkas-ringkas saja. Kenapa EYD? karena tulisan itu untuk dibaca semua orang, bukan kalangan a-be-ge saja. Apalagi diri sendiri. Kemudian harus ringkas kalimatnya, agar yang baca tidak cepat lelah. Maka tulisanpun menjadi atraktif.

Per tanggal 17 Mei 2013, berarti sudah dua bulan Fathia menulis setiap hari. Bila digabungkan dengan tulisan terdahulunya, maka tulisan yang diposting tanggal 20 Mei 2013 di www.fathia.blogdetik.com, adalah tulisan ke-100. Dan saya punya janji kalau sudah mencapai angka seratus saya akan buatkan alamat web dengan domain sendiri alias tidak gratisan lagi. Dan, official blog dengan alamat www.fathiasyafiqah.com pun sekarang sudah tayang di internet.

Ya, angka seratus mungkin hal biasa bagi penulis besar. Tapi bagi saya, itu sebuah pencapaian penting seorang anak yang masih es-em-pe. Sosok yang masih hijau di mata para orangtua yang seringkali dinilai dgn under-estimate. Maka, saya menyebutnya sebagai “keajaiban kecil”.


Karawang, 27 Mei 2013

Wednesday, May 8, 2013

Berfikir Kreatif dan Produktif

Sebagai individu siapapun, kita dituntut berfikir kreatif dan produktif. Ini karena kebutuhan asasi. Setiap manusia  butuh ini.  Ingat,hidup selalu berhadapan dengan masalah sehingga diperlukan adanya ide-ide kreatif untuk mengatasi dan memecahkan masalah. Catat, persaingan tidak pernah berhenti sehingga harus selalu kreatif dalam menghasilkan ide-ide untuk membuat atau memperbaiki produk agar tetap unggul.

Apalagi yang mendeklarasikan sebagai seorang da'i, agent of change, pahlawan zamannya, pendobrak mitos, pelopor, pejuang dal lainsebagainya. Maka kreativitas menjadi wajib adanya. Karena dalam persaingan dengan ahlul bathil ia berhadapan dengan lawan yang berjuang sunggung-sungguh (berjihad) di jalan mereka. kenapa kita juga tidak berjihad di jalan kebenaran?

Lihatlah bagaimana kreativitas mereka dalam menjerat generasi muda muslim sehingga banyak yang terseret arus jahiliyah secara tak sadar. Melaului seni jahily mereka titipkan pesan apa saja yang sesuai misi bathil mereka. Mulai pacaran hingga menyembah setan. Mulai

Baik, kita mulai dari definisi berfikir kreatif ya. Menurut J.C. Coleman dan C.L. Hammen (1974), berpikir kreatif merupakan cara berpikir yang menghasilkan sesuatu yang baru —dalam konsep, pengertian, penemuan, karya seni. Sedangkan D.W. Mckinnon (1962) menyatakan, selain menghasilkan sesuatu yang baru, seseorang baru bisa dikatakan berpikir secara kreatif apabila memenuhi dua persyaratan:

Pertama, sesuatu yang dihasilkannya harus dapat memecahkan persoalan secara realistis. Misalnya, untuk mengatasi kemacetan di ibu kota, bisa saja seorang walikota mempunyai gagasan untuk membangun jalan raya di bawah tanah. Memang, itu baru, tapi untuk ukuran Indonesia membuat jalan raya di bawah tanah tidak realistis. Dalam kasus ini sang walikota belum dikatakan kreatif. 

Kedua, hasil pemikirannya harus merupakan upaya mempertahankan suatu pengertian atau pengetahuan yang murni. Dengan kata lain, pemikirannya harus murni berasal dari pengetahuan atau pengertiannya sendiri, bukan jiplakan atau tiruan. Misalnya, seorang perancang busana mampu menciptakan yang unik memesona. Perancang itu dapat disebut kreatif asalkan rancangan itu memang benar-benar ide dan karyanya, bukan mencuri gagasan orang lain. Sumber : http://www.blog-berbagi.com/2012/05/berpikir-kreatif-pecahkan-masalah-blog.html

Berfikir Produktif
Kata kedua adalah berfikir produktif, tidak sekedar berfikir tapi ia memiliki indikasi
berpikir produktif yang menurut Marzano (dalam Kamdi, 2002) sebagai berikut :

(1) self-regulated thinking and learning, yakni kompetensi mengetahui apa yang sedang dipikirkannya, tindakan yang terencana, mengetahui sumber-sumber yang penting, sensitive terhadap umpan balik, dan evaluatif terhadap keefektifan tindakan;

(2) critical thinking and learning, yang dicirikan oleh tindakan yang ceermat, jelas, terbuka, bisa mengendalikan diri, sensitive terhadap tingkat pengetahuan

Monday, May 6, 2013

Refleksi HARDIKNAS 2013


Anak saya bertanya : "Kenapa anak SD sekecil itu belajar rumus segi-tiga? memang manfaatnya apa?" lalu terjadilah diskusi yang lebih hangat.  Saya jadi berfikir "iya juga sih, manfaatnya apa anak-anak kita ngadekluk tiap hari pelajari hal yang tidak banyak terpakai itu kelak?"

Anak-anak kita belajar banyak sekali teori dan konsep. SD tak sekedar calistung (baca tulis hitung), sudah banyak juga teori yang diberikan. SMP? SMA? Jangan ditanya. Apakah semua bermanfaat? Apakah semuanya berkontribusi positif bagi lahir pribadi-pribadi unggul bangsa ini? Ini pertanyaan harus dijawab. Kalau kita ingin memastikan bahwa berangkatnya anak-anak kita ke sekolah pulang bawa oleh-oleh yang positif. Berupa wawasan dan pengalaman belajar yg membentuk karakter unggul.

Apakah kita bisa memastikan anak-anak kita mendapatkannya?  Ataukah justru sebaliknya? Anak-anak  kita pulang hanya membawa memori kalau hari itu sudah disampaikan tentang cara menghitung luas bujur sangkar. Tanpa tahu untuk apa itu dipelajari? atau tentang persamaan aljabar, tanpa tahu manfaatnya apa? kecuali utk bisa kerjakan soal?

Saya dulu belajar matematika sampai keriting dan blenger, tapi amat sedikit yang diaplikasikan. Apakah ini wajar-wajar saja? 

Ada yang menjawab kalau belajar matematika adalah untuk berfikir konsisten, sistematis dan terukur.  Tapi otak kanan saya lebih dominan, sulit untuk berfikir sistematis, terstruktur. Cara berfikir saya imaginatif dan zig-zag. Tapi walau begitu  saya bisa juga mengerjakan soal matematik kalau disuruh mengerjakan. Tapi hanya itu saja manfaatnya : hanya untuk jawab soal!

Saya juga belajar kimia sampai pusing lihat rumus kimia karbon. Tapi apa itu berguna bagi saya dalam menjalani hidup? Lagi-lagi ternyata  hanya untuk menjawab soal.

Ketika semuanya saya pelajari saya memang jadi manusia berwawasan. Ditanya apa saja tidak tulalit. Asyik buat dialog.  Asyik buat jawab pertanyaan anak-anak. Seperti jadi kamus berjalan. Apakah ini yg disebut kepintaran? apakah ini tujuan kita sekolah? Menjadi manusia serba tahu tapi hanya sekilas, sepintsa dan hanya di permukaan?

Apalagi sekolah saya di SD, SMP dan SMA negeri. Akademiknya dominan. Saya membaca dan saya mengerjakan soal. Memang ranking saya lumayan bagus saat SD dan SMP. Di SMA saya tidak begitu menonjol, walapun sekolah saya kebetulan favorit. Banyak saingannya, sih, he he

Mungkin  karena cukup belajar  saya lolos STAN. Walaupun saya lebih mengangap itu karena do’a orang tua yang terkabul. Karena faktor keberuntungannya terlalu besar. Yang diterima sedikit yang ikut seleksi banyak sekali.

Aneh juga pikir saya,  SMA-nya jurusan A1 (ilmu-ilmu fisik), tapi kuliahnya Akuntansi. Maka pelajaran Kimia, Fisika, Biologi saya sama sekali tak terpakai.  Ada perasaan saya korban sistem pendidikan yang salah. Walaupun tetap ada rasa syukur. Saya bisa kuliah gratis. Ikatan dinas. Masih kulian sudah CPNS. Masih kuliah sudah dapat gaji. Tidak lagi susahkan orang tua.  Jadi kebanggaan keluarga. Naik harkat dan martabat orang tua di mata tetangga dan saudara.

Idealisme saya memang saya tinggalkan. Inginnya kuliah di IPB dan jadi insinyur pertanian. UMPTN lulus tapi tak diambil. Lebih menurut saran orang tua dan karena faktor biaya. Kalau saya pilih IPB, adik-adik saya yang lima tak jelas biaya dari mana. Saya mengalah mengharap berkah ridlo orang tua. Mungkin ini jalan hidup. Sayapun akhirnya bisa menikmati.


Anak saya yang kelas 6 SD jungkir balik memahami pelajaran yang amat kental akademiknya. Padahal ia kelihatan tidak sukanya. Lebih suka main bola. Bagaimana belajar kalau sudah tidak suka begitu? Belajar hanya jadi beban anak dan orang tua. Apa memang harus dipaksa? Akhirnya saya cuma bisa besarkan hati dan minta bersabar. Sambil mendampingi kerjakan soal.

Anak saya yang pertama sempat bertanya: "Kenapa Abi sekolahkan kami di sekolah swasta? kan mahal?" saya jawab : “Abi "membeli" lingkungan dan teman buat kalian”. Ya, Saya hanya ingin anak-anak berada di lingkungan yang baik. Tidak ada bullying. Guru-guru yang sabar dan penyayang. Sekolah dengan nuansa ibadah. Sekolah yang ajarkan agama yang cukup. Mengenalkan kitab suci. Mengajarkan doa dan sholat. Selain bermain dan rekreasi.  Saya tidak mau anak-anak  jadi korban lingkungan yang tidak baik. Misalnya guru yang merokok atau  tak berhijab. Karena mereka masih cari jatidiri. Mencari figur panutan. Itulah alasan saya memilih sekolah untuk anak-anak saya. Bukan agar dapat ranking atau nilai raport bagus. Saya hanya ingin lingkungan yang baik.

Karena itulah kenapa saya pilih Sekolah Alam yg baru berdiri dan masih darurat sarananya untuk anak pertama saya. Karena saya tidak ingin ia “terpenjara”. Karena di Sekolah Alam, guru mau mendengar ortu. Menghargai anak. Saya bisa berdiskusi dengan tuntas bahas anak-anak. Tidak terima jadi. Saya lebih ingin anak saya bebas berekpresi tanpa takut salah. Biar keluar mutiaranya. Dan itu ada di Sekolah Alam.

Lalu, sejauh ini apa hasil dari prinsip saya di atas? Untuk anak saya yang SMP, ia memang tidak juara olimpiade sains tingkat kabupaten, propinsi, apalagi nasional dan internasional. Karena memang tidak ikut kontes. Mana bisa menang? He he. Ups.. jadi guyon. Tetapi anak saya sudah bisa buat target pribadi dalam menulis.    Dan sejauh ini ia bisa buktikan. Di blognya sudah puluhan tulisan ia buat. Isinya kritis dan analisis. Tulisan serius yang belum tentu mahasiswapun bisa menulis sebanyak itu. Dan ia menulis setiap hari. 

Untuk anak saya yang SMP, memang saya tidak memerlukan guru lulusan S2. Tapi lebih memilih guru yang mau sabar mendampingi anak-anak berekspresi. Memberi motivasi. Beruntungnya, kawan-kawan saya yang aktivis dakwah  yang menjadi guru dan pengelola sekolahnya memenuhi kwalifikasi itu. Jadi saya percayakan anak-anak saya mereka didik.

Bukan saya ekslusif, tapi nyatanya memang begitu. Sekolah2 Islam Terpadu, Boarding School, dan Sekolah Alam banyak diburu orang tua.  Diantaranya banyak yang menolak karena kelebihan pendaftar. Padahal orang tuan murid kebanyakan bukan aktivis dakwah. Mereka orang tua seperti saya yang cari aman buat anak-anak.

Sebagai orang tua bagaimana menyikapi dunia pendidikan Indonesia? Agar anak2 tak jadi "korban". Korban? Sebegitu seramkah?

Pertama, sikap dasar ortu adalah penanggungjawab-utama pendidikan anak. Di hadapan Tuhan, orang tualah  yang akan ditanya. Karena anak adalah amanah.

Kedua, memposisikan sekolah sebagai MITRA. Bukan atas hubungan jual beli jasa pendidikan. Karena mitra maka posisi orang tua dan sekolah menjadi sejajar. Karena itu pastikan sekolah untuk anak kita menyediakan ruang dialog yang leluasa dengan orang tua. Sekolah tak boleh menutup pintu dialog dgn ortu.  Ada beberapa sekolah yang begitu ketatnya menutup akses ortu thd anaknya. Terutama yang pake asrama. ortu jadinya hanya TAHU-TAHU.

Tapi utk kasus tertentu bisa difahami. Itu saat ortu merasa tidak mampu didik sendiri anaknya. Biasanya krn waktu yg habis utk karir. Dengan dana memadai maka dipilihlah sekolah-sekolah yang sudah terbukti lahirkan SDM berkualitas. Sejauh ini banyak yg memandang ini salah satu solusi. Ada juga yang ingin anaknya fokus utk target tertentu. Misal utk menghafal Al Quran. Beberapa pondok tahfidz menyediakan layanan ini. Anak saya yang kedua saya terapkan cara ini. Insya Allah tahun ini masuk ke pondok Tahfidz di Karawang. Tentu dengan beberapa pertimbangan. Diantaranya, tempatnya cocok utk anak dgn kinestetik yg menonjol. Ia senang olah raga aja sj. Di pondoknya nnti banyak sarana olah raga

Artinya target spesifik tidak harus hilangkan karakter uniknya. Lalu bagaimana dgn akademiknya? Insya ALlah difasilitasi oleh pondok.  Tapi, saya sudah bilang ke anak saya untuk fokus ke Tahfidz. Kalau bisa hingga 30 juz. Tidak mengapa yang lain tidak bagus. Itu nanti saat SMA saja.  Saya memang harus realistis. Anak-anak bukan superhero. Bukan superkid yang bisa semuanya maksimal.

Kita memang harus bijak untuk membantu lejitkan potensi anak, tapi tidak mungkin anak-anak  ditarget jenius di semua kompetensi. Apalagi dalam dalam satu waktu yg bersamaan. Menurut saya itu dzalim karena jahil. Penyakit ortu dan sekolah kita menurut saya ada di sini. Tuntutan ke anak-anak tidak realistis. Harus bagus di semua pelajaran dan semua bidang.

Kesalahan orang tua  dan sekolah juga ada saat merampas hak bermain anak . Anak TK dipaksa calistung. Anak SD dijejali teori yg sangat kognitif.

Karena sudah tahu situasi di sekolah-sekolah itu. Anak saya keempat tidak saya masukan ke TK. Saya biarkan ia bebas bermain sesuai keinginan.Saya biarkan ia bermain-tidak-terstruktur. Agar imaginasinya berkembang bebas. Karena saya lihat di TK, selain sudah diajari calistung kepagian. Juga terlalu banyak disuruh-suruh. Secara tak sadar ini membuat anak tidak mandiri. Semua yang dilakukan atas dasar instruksi. Menurut saya ini adalah racun bagi kreativitas. Saat sejak usia dini terlalu banyak disuruh-suruh dan diseragamkan. Tidak diarahkn jadi diri sendiri.

Bersyukur saat anak prtama saya sudah faham. Kalau SD saat BERMAIN, SMP saat cari JATIDIRI, SMA saatnya bergelut dengan buku.

Lalu bagaimana dengan UN. Ahhh...sudah terlalu banyak kritik berhamburan. Toh tak didengar juga. UN sudah kalah di MA toh masih juga berlangsung. UN tidak jelek, hanya saat dijadikan untuk tentukan kelulusan, itu yg aneh. Saya juga heran logika apa yang dipake para profesor pendidikan yang ngotot UN untuk tentukan kelulusan. Negara/mendikbud kenapa merampas hak guru? Kenapa jadi seakan lebih tahu dari guru dan sekolah? Negara seakan tak percaya kepada perangkatnya sendiri yg sudah dibiayainya dari APBN sendiri. Saat UN, guru seolah-olah tiada. Adanya sama dengan tiada.

Lebih bagus saat EBTANAS dulu. Nilai NEM hanya untuk mapping dan untuk syarat ke jenjang pendidikan selanjutnya. Itupun relatif. Maka saya heran ada nilai (mendekati) sempurna begitu banyaknya. Dulu nilai 3 tak menjadi soal. Baik anak, guru maupun ortu legowo. Hasil Ebtanas jadi bahan intropeksi. Bukan jadi palu godam yang zalim.Ssekali lagi, UN tak salah, yg salah adalah peruntukannya. . Maka dalam hal ini UN, saya tidak sependapat dengan Pak Jusuf Kalla. Walau saya kagumi beliau dalam hal leadership

Ketidakjujuran UN sudah jadi rahasia umum di mana-mana. Memang tak bisa dibuktikan. Kolusi atau kesepakatan curang seringkali sulit dibuktikan. Seperti buang angin saja. Ada tapi tak bisa dilihat. Cuma ada bau. Kenapa ada 20 jenis soal tiap mata pelajaran dalam satu kelas? itu pengakuan tak langsung kalau UN pada sebelumnya berlangsung kecurangan. Gampang sekali nebaknya, bukan?
Bagi saya kejujuran adalah harga mati. Walau harus "kalah" dalam persaingan melawan kecurangan. Maka saya katakan pada anak saya yang SMP :  "Nak, siap-siap bersekolah di SMA yang tidak favorit ya karena nilai UN kamu besar kemungkinan pasti kalah dengan yang lain".

Kenapa saya katakan itu sejak sekarang. Agar ia tidak ikut arus kecurangan. Juga tidak ikut arus menjadikan sekolah favorit sebagai obsesi. Saya katakan kalau usia SMA saatnya unjuk potensi. Harus sudah bisa perjuangkan idealisme. Dan itu tak bergantung sekolah. Justru kalau bisa jadilah pahlawan bagi kawan-kawan  segenerasi. Jadilah leader bagi kawan-kawanmu. Jadilah inspirasi teman-temanmu. Dan itu saya yakin bisa diwujudkan oleh anak-anak kita. Bangsa ini sudah miskin dengan jiwa pahlawan generasi mudanya.

Maka harus ada yg mau memulai. Apakah saya terlalu bernafsu, aneh dan tidak realistis. Masak anak-anak disuruh jadi pahlawan? mungkin saya aneh ya, he he...dan memang aneh koq :). Tapi saya yakin, anak-anak kita (bukan hanya saya) bisa jadi pahlawanan-pahlawan itu. Pahlawan bagi generasinya. Bukankah Rasulullah itu berangkat dari  kaumnya dan pertama kali diutus untuk kaumnya. Baru untuk dunia. Muhammad tidak datang dari langit, tapi muncul dari tengah-tengah  kaumnya  "rasulun-min anfusihim..." begitu Al Quran menyatakan. Jadi jangan under-estimate dengan anak-anak kita. Muhammad Al Fatih sudah buktikan.

Kembali ke Pendidikan Indonesia. Lalu bagaimana dengan Kurikulum? saya pandang harus ada. Itu sebagai pedoman dan acuan sekolah dan guru. Karena kebanyakan SDM sekolah-sekolah  kita hanya operator pendidikan. Bukan pemikir pendidikan. Tapi bagi yang mampu membuat kurikulum sendiri seperti Gontor, Hidayatullah, Sekolah Alam ya harus diberi ruang yang lapang. Mendiknas harusnya merasa terbantu. Bukan disikapi sebagai pesaing. Negara harus mampu membaca potensi terbaik anak-anak  bangsanya. Kemudian memberi jalan bagi keberhasilannya.

Kemudian adanya fasilitasi yang timpang ke sekolah negeri dan swasta menunjukan  negara belum adil terhadap pihak pendidikan swasta. Lihatlah berapa gaji guru honor di  sekolah swasta di luar kota besar. Kalau tdk terpaksa atau krn panggilan jiwa, mana ada yg mau. Ada sih contohnya, salah satunya mereka yang ikut program Indonesia Mengajar yg digagas Anies Baswedan. Itu memang panggilan jiwa. Artinya semangat mendidik tetap ada. Tapi sejauh mana ini bisa merubah pendidikan secara nasional.

Ada juga yang merintis pendidikan alternatif. Sekolah Komunitas macam Qoryah Toyiibah rintisa Ahmad Bahrudin di Salatiga. Ada juga Sekolah Terminal. Ada juga sekolah untuk anak pedalamannya Butet Manurung. Mereka adalah pahlawan pendidikan zaman kini.

Jadi, untuk kualitas anak Indonesia, mulailah dari kepedulian kita. Pelajarilah dunia pendidikan  walau kita bukan guru. Memahami psikologi pertumbuhan anak, juga tentang kecerdasan dan gaya belajar. Lalu lebih dekatlah dengan anak-anak kita. Buka mata, hati dan telinga.  Mulai dari diri sendiri, kemudian terapkan ke keluarga. Lalu  saling berbagi inspirasi dengan kawan nyata dan maya. Itu mungkn sedikit langkah konkret.

Mungkin ada yang menyikapi segala persirtiwa sebagai jalan hidup yang diberi Tuhan. Benar, semua ada hikmahnya. Tapi kapasitas dan porsi manusia adalah mengambil pelajaran dari perjalanan hidup itu. Kalau semuanya disikapi sebagai air yang mengalir begitu saja. Lalu di mana letak effort? upaya dan dorongan untuk lebih baik lagi?

Mengkritisi masa lalu bukan berarti tidak bersyukur. Justru mengambil hikmah dari perjalanan hidup kita adalah bentuk syukkur itu sendiri. Jangan sampai generasi penerus mengalami hal yang sama. Harus lebih baik dibanding generasi kita. Bukankah itu ciri orang beriman?

Sunday, May 5, 2013

Ternyata Sudah Dalam Genggaman



Oleh : Ust. Uri Mashuri


“Barang siapa bangun pagi hatinya tentram, tubuhnya sehat, tersedia makanan untuk dimakan di hari itu, seakan-akan   dunia dan isinya tergenggam ditangannya “
                                                       (H.R. Imam Turmudzi)



Keinginan dan Kebutuhan

Dulu sewaktu masih jadi mahasiswa di ibu kota, penulis membeli obat batuk  yang bebas dijual di  toko terdekat milik Encim yang rada-rada judes. Harga Rp22,50  Penulis sodorkan uang pecahan Rp 25,00 diiringi ucapan: “kembaliannya buat amplop dan permen Ci”.

“Jangan membeli sesuatu yang tidak engkau butuhkan, ada kembaliannya kok” jawab Encim dengan nada seperti seorang guru yang menegur muridnya yang salah, bukan gaya seorang tukang dagang seperti pada umumnya.

Butuh dan ingin merupakan dua kata yang tidak semua orang dapat membedakan. Kebanyakan menganggap semua yang kita inginkan adalah  yang kita butuhkan. Padahal, bedanya sangat jauh. Kebutuhan adalah sesuatu yang sangat diperlukan, sedangkan keinginan belum tentu kita butuhkan, hanya sesuatu yang kita berhasrat untuk memilikinya.

Kalau kita sedikit jujur pada diri, kita akan menyadari bahwa kebutuhan kita tidaklah banyak, sangat sedikit, dan Insya Allah semua kita akan mudah memperolehnya dengan adil dan merata. Seperti hutan belantara dengan tetumbuhan beraneka ragam jenis serta ukurannya, semua rata terbagi lantaran mereka hanya mengambil yang mereka butuhkan bukan yang mereka inginkan. Kalau kita makan  sesuai dengan nutrisi yang kita butuhkan, dipastikan tubuh kita akan sehat,, tapi bila kita makan  dengan asupan yang kita inginkan bukan yang kita butuhkan sudah  dapat dipastikan tubuh kita akan mengalami ketidakseimbangan yang akan menimbulkan gangguan kesehatan.

Pemenuhan kebutuhan biasanya diiringi kepuasan hati serta kita dapat mengapresiasinya dalam waktu yang cukup lama. Sedangkan pemenuhan yang kita inginkan  biasanya tingkat kepuasannya sangat rendah dan mudah tercampak begitu kita memperolehnya. Mengejar keinginan membuat kita  mesti terus berlari sebab setiap kita dapat meraihnya muncul lagi keinginan baru yang mesti kita kejar. Seperti mengejar bayang-bayang layaknya.  Keinginan manusia biasanya lebih banyak dari tarikan nafasnya, lebih panjang dari usianya, dan  lebih berat dari bobot badannya. Itulah keinginan yang identik dengan hawa nafsu. Tepatlah apa yang dikatakan oleh Al Mutanabi:
Orang yang kaya adalah orang yang sedikit keinginannya, orang yang  miskin adalah mereka yang terlalu banyak keinginannya. “


Realita Yang Kita Hadapi

Bekerja keras memenuhi kebutuhan maupun keinginan merupakan sebuah keniscayaan di zaman  seperti ini. Berbagai cara orang melakukan agar terpenuhi apa yang mereka harapkan. Suami-istri, semua keluar rumah untuk memenuhi hasrat tersebut. Karier, materi, dan citra diri mereka kejar tanpa menjaga keseimbangan dan  keharmonisan hidup. Sukses materi dan sukses karier itulah kiblatnya.

“Aku tak punya kehidupan. Tenagaku habis –capek   sekali! “
Aku prustasi dan  loyo, tak bersemangat!“
“Aku merasa tak diperlukan –di tempat kerja, tidak, oleh anak-anakku yang mulai remaja dan dewasa pun tidak, tak juga oleh tetangga dan masyarakat sekitarku; bahkan,  tak juga oleh pasangan hidupku –kecuali untuk membayar berbagai tagihan dan cicilan!“
“Penghasilanku tak pernah cukup. Rasanya aku tidak pernah bergerak maju!”
“Aku merasa hampa. Hidupku tidak bermakna; ada sesuatu yang hilang!”
“Aku merasa diburu terus, semuanya serba mendesak!”
“Dengan pasangan hidup yang tak bisa memahamiku, dan anak-anak yang tidak mendengar dan menaatiku, rumah tidak lebih baik daripada tempat kerjaku!”

Dan seterusnya, dan seterusnya. Itulah sebahagian keluhan yang penulis ambil dari buku terbaru Stephen R, Covey , The 8th HABIT.

Keluhan-keluhan itu mewakili keluhan kita. Karena itu, keluhan-keluhan itu merupakan derita kita yang larut dalam pengejaran keinginan yang tanpa batas. Itulah ciri kehidupan modern yang ditandai dengan  individualisme, persaingan yang tajam, serta peningkatan kebutuhan yang senantiasa mendesak. Sebuah kehidupan yang penuh tekanan, penuh ketegangan, serta kegersangan yang jauh dari fitrah kemanusiaan. Tak tergambar dalam kehidupan seperti itu nuansa keseimbangan, kedamaian, ketentraman, serta keharmonisan yang merupakan dambaan setiap insan yang memiliki hati nurani.


Tuntunan Agama nan Fitrah

Islam diturunkan oleh Allah untuk manusia sebagai pedoman hidup yang dapat menggapai kesejahteraan baik lahir maupun batin. Islam datang dengan prinsip hidup yang sederhana, seimbang dan praktis. Sederhana, karena ajarannya tidak berbelit-belit dan mudah dicerna  oleh siapa pun. Baik oleh mereka yang berpendidikan tinggi maupun oleh mereka yang tingkat pendidikannya rendah. Seimbang tidak berat sebelah antara dunia dan akhirat, rohani dan jasmani, hak dan kewajiban, doa dan ikhtiar, serta ilmu dan iman . Dilarang kita mengejar dunia semata dengan melupakan akhirat. Juga diharamkan kita mengejar akhirat dengan meninggalkan dunia. Praktis, semua perintah Allah dan larangan-Nya  mudah dilaksanakan. Siapa pun bisa menjadi muslim yang baik dan patuh. Bahkan, kalau direnungkan lebih dalam, semua larangan  bukanlah pengekangan, tetapi pembebasan manusia dari akibat buruk yang ditimbulkan. Sementara itu, perintah-Nya merupakan sarana pendidikan untuk menyempurnakan karakter manusia yang sering menjadi pelupa.

“ Ketahuilah wahai Ali, bahwa Ilmu pengetahuan adalah modalku, akal adalah dasar agamaku, cinta kasih adalah pahamku, dzikir  -ingat kepada Allah– adalah sahabatku, keprihatinan adalah temanku, kesabaran adalah busanaku, ilmu adalah senjataku, jihad –kerja keras– adalah perangaiku, dan shalat adalah penawar hatiku .”  

Itulah nasihat Nabi pada menantunya Ali bin Abi Thalib. Begitulah ajaran Islam dalam menghadapi kehidupan  di dunia dan di akhirat.


Ada di Hati Kita

Manusia bekerja keras mengejar apa yang dia inginkan.  Kadang melupakan norma sebagai aturan main dalam kehidupan. Semua dia abaikan. Yang nampak cuma satu, yaitu target keinginannya. Mereka bergerak seperti robot  yang tak bertimbang rasa dan  tak hirau lagi yang halal dan haram. Rasa malu, rasa bersalah, serta rasa berdosa tidak ada lagi dalam kamus hidupnya. Padahal, ketiga hal itu merupakan ciri manusia yang bermartabat. Mereka menginginkan kebahagiaan, tetapi yang diperoleh adalah kenestapaan, yaitu kehampaan serta ketidak-bermaknaan hidup yang dijalani. Arang habis besi binasa. Itulah gaya hidup yang membuat  kita kelelahan  menjalaninya.

Dunia dan isinya itulah target akhir yang diburu manusia. Sebuah ambisi yang mustahil dapat tergapai karena keterbatasan daya dan usia. Nabi tercinta memahami ambisi manusia itu  dengan susunan kalimat yang tepat dan penuh makna. Beliau hantarkan ummatnya menggapai dambaan hati, yaitu kebahagian  dengan cara yang sederhana. Diajarkan bagaimana menyusun bahagia harian dengan mengondisikan pikiran yang damai, badan yang sehat, serta kecukupan makanan setiap hari sebagai kunci bahagia.  Tentunya menjadi sebuah keniscayaan  bila hidup setiap hari dijalani dalam kebahagiaan. Seluruh rangkaian umur kita akan terbingkai bahagia. Bila itu terjadi ternyata bahagia sudah ada dalam genggaman.


                                                                      Wallahu ‘alam

Kesehatan Sosial



Oleh : Ust Uri Mashuri
        
Perumpamaan kaum mukmin dalam hal jalinan kasih sayang, kecintaan, dan kesetiakawanan sama seperti satu tubuh yang bila salah satu anggotanya mengeluh karena sakit maka seluruh anggota yang lainnya menunjukan simpatinya dengan berjaga semalaman dan menanggung panas karena demam. (H.R Bukhori dan Muslim).
        
Banyak umat Islam yang keliru memahami persoalan ibadah. Kita mengira bahwa ibadah hanya dipahami dengan batasan yang sempit, yaitu ritual semata. Dengan kata lain, hanya ibadah mahdhoh. Orang disebut shaleh bila kelihatan “khusuk dalam shalatnya, sering pergi haji atau umrah, berpakaian serba putih, serta tasbih terlihat berputar di antara jari-jarinya”, sementara di sekelilingnya tak sedikit saudara sesamanya yang bergizi buruk, tak mampu membayar SPP anaknya, atau membiarkan anggota lainnya menderita sakit lantaran takada uang untuk berobat.
Kesetiakawanan dan cinta kasih banyak dicontohkan Nabi dan para sahabat. Perhatian yang penuh serta kepedulian kepada kaum dhuafa membuat agama Islam disebut Liberating Force kekuatan pembebas dari kedhuafaan. Dibangkitkan oleh Islam semangat kebersamaan yang penuh kasih sayang maka dibangunlah jembatan rasa dan hati yang menghubungkan satu dengan yang lain dengan pondasi keikhlasan. Semangat inilah yang pada awal perkembangan Islam menjadi kunci penentu kemajuan peradaban manusia.

Masyarakat Marhamah
Tentunya, jadi dambaan kita semua tinggal di lingkungan yang nyaman dan menyenangkan. Warga Kuningan menggambarkannya dengan motto ASRI (aman, sehat, rindang, indah). Empat kata yang apabila terwujud akan menjadikan Kuningan sebagai tempat tinggal yang sangat ideal. Islam dengan konsep dasar keseimbangan dan integral menjadikan manusia bukan hanya menjadi seonggok daging dan tulang tapi juga mahluk yang memiliki dimensi rohani sehingga dalam perjalanan hidupnya tidak berhenti pada persoalan materi dan ekonomi semata, tapi juga mementingkan nilai-nilai luhur yang immaterial. Jadilah dia memiliki nilai mahluk yang memiliki nilai perikemanusiaan dan menjadikan kehidupan sosialnya menjadi kehidupan yang penuh keadilan. 

Asas keadilan yang diyakini dan diupayakan perwujudannya bertumpu pada tiga prinsip:
9         Kebebasan jiwa yang mutlak
10     Persamaan kemanusiaan yang sempurna
11     Jaminan sosial yang kuat

Kebebasan Jiwa yang Mutlak  

Tauhid –mengesakan Allah– merupakan doktrin pembebas dari belenggu yang membelit manusia. Penyerahan yang mutlak kepada zat Yang Mahakuat dan Mahabijaksana menjadikan manusia terbebas dari kekhawatiran dan ketakutan dalam menjalani kehidupan. Keyakinannya tentang Allah Maha Pengatur, Maha Pemelihara, serta Maha Pembagi rezeki, membuat tiap diri muslim merasa tenteram dalam menjalani kehidupan. Ia senantiasa merasa ada yang menjaga, mengatur serta memelihara kehidupanya dengan penuh kesadaran dilandasi jiwa yang bebas tanpa keterpaksaan. Ia jalani hidup sesuai dengan kehendak Penciptanya.
Muslim akan merasa tenteram manghadapi kenyataan yang tidak bisa ia ubah, tapi ia pun memiliki keberanian akibat kebebasan jiwa yang mutlak untuk mengubah apa yang dapat ia ubah.


Persamaan kamanusiaan yang sempurna

Islam menjelaskan kepada kita tentang asal usul kejadian manusia dari jenis yang satu, sumbernya satu, harkat dan martabat kemanusiaannya sama tidak ada perbedaan. Yang membedakannya hanya amal shaleh dan taqwanya. Dengan jiwa bebas dan bersih kita menerima kebenaran ini. Hati kita damai menerima kebenaran ini karena sesuai dengan fitrah. Kita tidak akan merasa kecil bila berhadapan dengan mereka yang lebih dari kita dan kita pun tidak akan merasa besar bila berhadapan dengan mereka yang tidak seberuntung kita. Benang merah dari persamaan membuat kita satu dengan yang lain merasa bersaudara, sederajat, dan semartabat karena sama-sama menjadi hamba Allah yang saling menyadari. Kebutuhan hidup kita tidak bisa dipenuhi sendiri, mesti memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhinya. Inilah dorongan untuk saling menolong antarsesama. Gemerlap harta, gemerincing perhiasan, dan onggokan pangkat takakan menyilaukan mata untuk menghalangi dalam melihat hakikat kesamaan kamanusiaan. Itulah kesamaan yang sempurna.


Jaminan Sosial yang Kuat

Islam mengajarkan kebebasan dalam bentuknya yang sempurna dan persamaan kemanusiaan dengan artian yang paling dalam. Kebebasan dan persamaan yang dimiliki manusia tidak dibiarkan begitu saja sehingga diekspresikan dengan penuh keliaran. Islam mengajarkan norma baik dan buruk, mulia terpuji, dan hina nestapa. Digariskan pula kaidah-kaidah yang penuh kebajikan sehingga kehidupan bermasyarakat menjadi kehidupan yang penuh rahmat. Itulah jaminan sosial yang kuat.
Diri pribadi harus mampu menjamin dirinya sendiri agar tidak mengikuti hawa nafsu sehingga terhindar dari kehancuran. Keluarga sebagai lembaga yang utama harus mampu menciptakan suasana yang membuat seluruh anggota keluarga merasa nyaman di dalamnya.


Masyarakat yang dikehendaki agama adalah masyarakat yang marhamah yang di dalamnya terbina suasana kebersamaan, persatuan, persaudaraan, serta siap untuk menolong satu dengan yang lain dalam menghadapi barbagai kesulitan.


Muamalah

Ibadah mahdhoh, orang menyebutnya sebagai hubungan vertikal menusia dengan sang Khalik. Itulah yang disebut dengan hablum minallah, sedangkan muamalah disebut sebagai hubungan horizontal antara manusia dengan sesamanya. Itulah yang disebut hablum minannas.
Manusia digambarkan oleh Al Quran sebagai mahluk yang seimbang antara hablum minallah dengan hablum minannas. Kehinaan, kejatuhan, serta kehancuran adalah akibat rusaknya hubungan tersebut.
Perbandingan antara ibadah dan muamalah dalam Al Quran, kata seorang ulama, kurang lebih satu berbanding seratus. Praktik muamalah lebih banyak dan lebih sering disebut dalam Al Quran. Tentunya, praktik tersebut sebagai implementasi insan yang menjadikan  Al Quran sebagai pedoman hidup.
Kiranya sudah selayaknya di samping ibadah mahdhoh yang kita lakukan, kita tingkatkan pula muamalah yang hakikatnya merupakan bentuk pengabdian kepada Allah. Itulah ibadah di tengah masyarakat yang dinamakan keshalehan sosial yang menjadi kewajiban kita sebagai seorang muslim.


Wallahu a’lam
Kuningan, Juni 2005

Mutiara Peringatan Maulid Nabi



Oleh : Ust Uri Mashuri


Rabiul Awwal

Nabi lahir, Nabi hijrah, dan juga Nabi wafat jatuh pada bulan yang sama, tanggal yang  sama, bahkan hari yang sama, yaitu 12 Rabiul Awwal, hari Senin. Tentunya, tahunnya yang berbeda. Begitu istimewa bulan Rabiul Awwal bagi umat Muslimim. Hampir sepanjang bulan  itu dimanfaatkan untuk memperingati kelahiran Nabi  yang sangat dirinduinya. Berbagai ekpresi kecintaan dituangkan dalam berbagai kegiatan, mulai dari membaca shalawat,  syair-syair pujian terhadap Nabi, ceramah, shadaqah, pesta kesenian  Islami, dan berbagai seremonial lainnya. Semuanya dilakukan  dengan semangat kecintaan pada Nabi junjunan. Nyaris tak ada yang memperingati wafat beliau.

Peristiwa hijrah pun tak diperingati di bulan Rabiul Awwal. Kaum Muslimin mengambilnya di bulan Muharram, awal bulan perhitungan tahun Hijriyah setelah khalifah Umar bin Khathab menetakan perhitungan tahun untuk umat Islam bertitik tolak dari peristiwa hijrah  Nabi.

Latar Belakang Peringatan Maulid Nabi

Di  zaman Nabi tidak ada peringatan maulid. Tidak mungkin Nabi memperingati ulang tahunnya. Di jaman Khulafaur Rasyidin juga takada peringatan  maulid. Di jaman Tabiin pun  maulid Nabi takdiperingati orang. Menurut catatan sejarah, peringatan  maulid baru diadakan  di jaman Shalahudin Al Ayubi, seorang  Sultan Mesir  yang hidup antara tahun 1137 –1193 Masehi. Seorang Sultan  yang  dikenal   sebagai panglima perang yang gagah berani, tapi sangat bijak dan murah hati. Seorang budayawan yang ahli dan luas ilmu agamanya.  

Beliau sangat prihatin atas kesadaran agama di kalangan rakyatnya. Semangat jihad lemah sedang wilayah kaum  muslimin banyak  yang dikuasai kaum salib. Beliau minta masukan dari para pembantunya, kiranya ikhtiar apa yang dapat membangkitkan semangat keagamaan di kalangan ummat Islam. Salah satu gagasan yang disampaikan pada beliau adalah  peringatan maulid dengan sasaran utama :

1         Membangkitkan kerinduan pada Nabi dengan cara menggali tarikh Nabi,  serta menyebarluskanya dalam bentuk yang disukai masyarakat, yaitu dalam bentuk puisi.
2         Memurnikan kembali ajaran Islam yang sudah terkontaminasi adat istiadat  serta keyakinan setempat berupa tahayul, khurafat, serta bid’ah.
3         Membina generasi muda agar mencintai agama dalam kehidupan  sehari-hari.

Rupanya target itu tercapai, ternyata dengan peringatan  maulid semangat  keagamaan umat Islam berkobar. Terbukti pendudukan oleh kaum Salib bisa dibebaskan.

Bagi kita sekarang, tentunya, peringatan  maulid lebih bermanfaat bila tujuan serta caranya merujuk pada niat awal yang dipancangkan oleh Sultan Shalahudin Al Ayubi, bukan semata-mata Seremonial. Kita tidak menafikan manfaat seremonial, hanya kita ingin lebih membawa manfaat bagi umat agar dana, tenaga, serta pikiran  lebih berdaya guna dan berhasil guna.

Kunci  Sukses Nabi

Ada  sekelompok orang yang mengharamkan peringatan maulid Nabi. Bid’ah hukumnya, kata mereka,  di zaman Nabi tidak ada peringatan  maulid.

Bagi kita,  peringatan maulid bukan merupakan ritual. Tentunya, boleh-boleh saja asal  bermanfaat dan tidak mubazir. Kita hanya mengambil momentum untuk kegiatan dakwah dan kegiatan sosial keagamaan. Bila banyak membawa manfaat tidak ada salahnya kita laksanakan; bila banyak mubazirnya, tentunya lebih baik kita tinggalkan.

Dalam peringatan maulid, kita dapat mengungkap tarikh kehidupan Nabi yang penuh  suri tauladan, kesederhanaan, kebijakan, kesabaran, keberanian, kesantunan, dan semua karakter yang baik diungkap untuk mendapatkan gambaran yang tepat mengenai sosok Nabi agar generasi muda tidak mengidolakan sosok yang takpantas jadi idola.

Nabi adalah seorang yang umi. Seorang yang tidak bisa tulis-baca. Beliau cerdas atas bimbingan dari Allah. Namun, tuduhan akan dilontarkan oleh  nonmuslim bila Nabi bisa tulis baca. Mereka akan mengira Nabi menjiplak ajaran-ajaran mereka dari naskah-naskah kuno yang mereka miliki. 

Michael H.Hart menempatkan Nabi kita di urutan teratas dari daftar seratus tokoh dunia yang berpengaruh. Alasannya, Beliau memiliki pengaruh pribadi yang lebih besar di banding tokoh lain.

Karakter yang dimiliki Nabi adalah karakter yang sempurna. Hal ini diakui oleh Allah sebagai seorang yang memiliki akhlak yang mulia. Karakter inilah yang memesona umatnya sehingga tertarik untuk mengikuti ajarannya dan selanjutnya berjuang untuk menyebarluaskannya. Para ulama menyebutkan kunci sukses Nabi  karena  sikapnya, antara lain

1         Jiwanya yang suci dan murni, jauh dari arogan, iri dengki, dan serakah.
2         Tidak senang hidup berfoya-foya, sederhana dalam segala hal
3         Perilakunya sopan dan santun, menghadapi siapa pun beliau menjaga keramahan dan tidak membedakan siapa pun yang dihadapi.
4         Tidak pendendam/pemaaf termasuk kepada musuhnya dan kepada orang-orang yang telah mendhaliminya.
5         Beliau tidak pernah melupakan jasa orang lain, tapi  beliau suka melupakan jasa kepada orang lain 
Dengan karakter seperti itu Nabi melaksanakan misinya sebagai rahmatan lil a’lamiin, dengan sasaran pokok :
6         Memberantas berbagai kemusyrikan yang membelenggu jiwa manusia, dan menggantinya dengan ketauhidan yang penuh dengan pencerahan.
7         Melenyapkan  kesempitan pandangan dengan mengajarkan persamaan, persaudaraan, kebebasan, serta toleransi yang luas dalam  bermasyarakat.
8         Menghilangkan  keangkuhan rasial, beliau mengajarkan turunan mana pun dan siapa pun  dari etnis mana pun sama di sisi Allah, yang membedakannya adalah prestasi diri yaitu ketakwaan.
9         Melindungi kemerdekaan beragama, terkenal prinsip dalam Islam yaitu tidak ada paksaan dalam agama serta toleransi yang luas dengan prinsip bagimu agamamu dan bagiku agamaku.
10     Menegakkan keadilan, dan
11     Mengangkat derajat kaum wanita

Itulah essensi peringatan maulid Nabi yang dapat menjadi bahan  bagi kita agar jangan sampai peringatan maulid menjadi  mulutan  semata.


                                                                 Wallahu a’ lam  
                                                                Kuningan, April 2006

KELUARGA : DARI KETAHANAN MENUJU PERADABAN

  Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...