Oleh : Ust. Drs. Uri Mashuri
“Orang yang hijrah itu adalah mereka yang meninggalkan
apa-apa yang dilarang oleh Allah” Al-Hadist.
Kenyataan yang kita
hadapi
Rasanya
deraan musibah yang menimpa negri ini tak kunjung usai hampir setiap hari kita
dijejali berita-berita yang menyesakkan dada kita, baik bencana alam atau
bencana-bencana kemanusiaan Karena ulah manusia: longsor, banjir, banjir
bandang, kecelakaan lalu lintas, kekerasan demo yang beringas, bentrok tawuran,
pelanggaran hukum, keputusan hakim yang aneh, semua itu memunculkan pertanyaan
ada apa dengan negeri tercinta ini.
Perhiasan Negeri
Jauh
dilubuk hati kita, setelah negeri ini merdeka lebih dari 60 tahun, ada impian
negeri ini menjadi negeri ayem tengtrem
loh jinawi. Rakyat menikmati kehidupan yang layak, subur, makmur, tentram
lahir bathin.
Nabi
menggambarkan sebuah negeri bisa seindah taman bila didalamnya ada 5 perhiasan
:
· Berperannya para ulama dan cendekiawan, dengan
ilmunya mereka membimbing dan mengarahkan rakyat disertai keteladanan untuk
membangun manusia yang berkarakter agar mampu membangun dirinya, keluarganya
dan masyarakatnya.
· Adilnya para penguasa yang ditandai dengan
kecintaan yang tulus dari para pemegang amanat, mereka akan melaksanakan
tanggung jawabnya dengan senantiasa menggariskan kebijaksanaan yang tepat
bekerja dengan baik dan benar.
· Para pelaku bisnis yang jujur, yaitu para pengusaha
atau pedagang yang senantiasa menjunjung tinggi kejujuran dan kebaikan, jauh
dari kecurangan, kedhaliman serta manipulasi. Mereka menjaga keharmonisan
hubungan dengan para karyawan.
· Disiplin para karyawan. Ada jutaan diantara kita yang menjadi buruh
atau karyawan yang mengabdikan dirinya baik ilmu, tenaga, dan keterampilannya
pada perusahaan pada tempat dia bekerja. Ketidakdisiplinan karyawan akan
membuat berantakan semua perencanaan, pemborosan serta risiko yang mesti
ditanggung serta kerugian-kerugian yang tidak dapat dihitung dengan ukuran
materi.
· Sikap yang penuh pengabdian - ibadah – dari
anggota masyarakat, dengan suasana marhamah jauh dari serakah, sombong dan iri
dengki.
Bila itu terwujud tergapailah apa yang
disebut Baldatun thoyibatun wa robbun ghofur.
Langkah
kongkrit
Gamabaran
negeri seperti diatas merupakan impian yang mesti kita wujudkan, kenyataan yang
kita hadapi adalah para cendekiawan yang sombong, yang minteri, dan menjadi pelacur-pelacur intelektual yang cuma mengejar
materi dengan berbagai cara. Penguasa yang jauh dari rasa adil karena politik
yang dianut mereka bukan politik yang berpihak pada mensejahterakan rakyat.
Tapi memegang prinsip bagaimana memperkaya diri dan keluarga. Para
wakil rakyat tidak lagi memperjuangkan nasib para pemilihnya tapi berjuang
untuk menambah penghasilan untuk dinikmati dirinya dan keluarganya.
Pantaslah kalau Kahlil Gibran pernah menyatakan :
“Yang merusak negara bukanlah mereka yang suka menanam, bukan mereka
yang suka menenun, bukan pula mereka yang suka menjala yang merusak negara
adalah mereka yang menjadikan politik sebagai mata pencaharian.”
Pedagang atau pengusaha yang terlihat dimata
mereka hanya keuntungan semata, mereka bersemboyan jujur membawa hancur, agama
tidak perlu dibawa dalam urusan perdagangan, kita bisa membayangkan akan
seperti apa jadinya bila mana pelaku bisnis jauh dari moral dan etika.
Disiplin
di negeri ini merupakan cerita kemewahan, karena disiplin merupakan barang
langka di negeri yang terkorup didunia ini, pegawai negeri yang santai,
peraturan yang tidak ditegakkan, undang-undang yang tidak dipatuhi, sikap
karyawan dan karyawati yang ingin dilayani bukan melayani masyarakat sangat
memperburuk krisis yang kita alami.
Masyarakat
yang diharapkan marhamah-yang penuh kasih sayang yang kita jumpai adalah
masyarakat yang jauh sari santun mudah marah, kadang-kadang beringas. Kalau
melanggar norma tak lagi merasa malu bersalah apalagi takut semua dianggap
lumrah.
Kita
harus berubah, kita harus memperbaiki perilaku, jiwa dan rohani kita harus kita
tata kembali agar yang muncul karakter yang mulia.
Ibadah shalat bukan hanya jungkal-jungkel tapi harus mampu
mencegah dari perbuatan keji dan mungkar,
shaum bukan hanya menahan
lapar tapi membekas di jiwa agar nafsu dibawah kontrol akal dan iman, hati-hati
setiap langkah yang diambil sebagai ekspresi dari ketakwaan kita.
Zakat diharapkan bukan demonstrative
menyerahkan harta pada yang berhak menerima tapi menjadi sikap dan watak peduli
serta solidaritas sosial sebagai kebangkitan kesadaran hidup bermasyarakat.
Adapun ibadah
haji diharapkan mampu membawa perubahan radikal dalam diri, sehingga terwujud
manusia robbani yaitu manusia yang
senantiasa melandasi hidup dengan petunjuk Allah.
Qurban di idil adha yang baru
kita lewati diharapkan kita mampu menyembelih sifat hewani yang melekat di diri
kita sehingga mampu mengubah keakuan
menjadi kekitaan. Langkah-langkah itu hanya bisa kita tempuh dengan kemauan
dan kesadaran yang tinggi.
Hijrah
Hati
Kita
yakin bahwa fitrah manusia asalnya baik dan menyukai kebaikan, termasuk
masyarakat kita yang tengah carut-marut seperti yang sekarang ini. Hanya dengan
kesadaran dan kemauan yang keras kita bisa keluar dari kondisi yang sangat
memprihatinkan ini. Perubahan kearah yang baik atau lebih baik ini dalam bahasa
agama di sebut hijrah. Merujuk pada
perjalanan kehidupan Nabi yang berpindah dari negeri mekkah yang penuh
kemusyrik menuju Yatsrib atau maddinah sebagai negeri harapan yang penuh cahaya
peradaban.
“
Tak adalagi hijrah (fisik) setelah tahun
ini” itu sabda Nabi untuk memperluas cakrawala umat islam, hijrah bukan
hijrah fisik, tapi yang utama adalah hijrah hati tertanam kecintaan dalam hati pada kebenaran, kebaikan, dan keindahan,
tertanam pula ketidaksenagan pada kefasikan
dan kemaksiatan itulah hijrah hakiki yang mesti kita tempuh.
Sikap dan perilaku itulah yang dipakai khalifah
kedua Umar bin khatab dengan pernyataannya : “Hijrah itu pembeda antara yang hak dengan yang bathil”. Itu pula
yang dijadikan alasan hijrah merupakan titik awal perhitungan tahun dalam
Islam.
Memang masyarakat Indonesia mesti berhijrah
apalagi sinyalemen yang ditulis Wempi Pangkahila (Kompas 5 April 2004) menulis
10 tanda kerusakan moral bangsa kita :
-
Mudah melakukan
kecurangan.
-
Menganggap diri paling
benar dan hebat.
-
Bertindak tidak
rasional.
-
Emosional dan mudah
menggunakan kekerasan.
-
Cenderung bertindak
seenaknya.
-
Cenderung hidup
berkelompok dan berwawasan sempit.
-
Berpenderian tidak
konsisten.
-
Mengalami konflik
identitas.
-
Munafik.
-
Ingin mendapatkan hasil
tanpa kerja keras atau menempuh jalan pintas.
Merasakan itu semua kita berkesimpulan hijrah
merupakan suatu keniscayaan.
Wallahu a’lam, Kuningan, Januari 2006.
No comments:
Post a Comment