Wednesday, March 27, 2013
Seni Bermimpi
Ada yang lucu, mungkin. Aneh? Mungkin juga. Sebuah seni? Barangkali, dan ini yang lebih mendekati. Tapi memang adanya begitu. Kali ini saya bicara mimpi. Tapi bukan mimpi dalam tidur. Tapi bicara tentang obsesi yang sempat singgah. Di dalam hati yang menggebu-gebu. Lalu dimana lucu, aneh dan seninya? Itu karena yang mewujudkannya justru orang lain. Walapun memang mereka yang orang-orang yang dekat dengan saya. Bahkan berinteraksi langsung.
Dulu saya suka elektronika. Suka utak-atik radio, tape-recorder, dan tevisi. Segala yang ada instrumen elektronik pasti pernah dibongkar. Sudah banyak korbannya juga, he he. Sampai ada obsesi jadi insinyur elektro. Ekskul yang paling dinikmati adalah saat di SMP kelas 3 : Elektronika. Sebaliknya ekskul yang paling saya benci adalah saat kelas satu : Tata Buku. Nah, yang kemudian kuliah elektro dan bekerja di perusahaan elektronik PANASONIC adalah adik saya yang kedua.
Dulu saya senang dengan profesi guru. Walau hanya ngajar Iqro anak-anak SD saat SMP dan jadi tentor di eskul fisika buat adik kelas saat SMA. Juga pernah ngajar TPA saat kuliah (walau hanya kuat setahun saja) di masjid kampus. Tapi yangg berprofesi guru di kemudian hari adalah adik saya, yang jadi kepala SD di Sekolah Alam Amani, Karawang.
Dulu, saya suka sekali mainan bongkar pasang. Lego. Ini mainan terbagus dan paling saya suka. Tapi saya tidak bisa menikmati lebih banyak karena jumlah keping legonya hanya sedikit. Sekarang yang mengulangi dan menikmati banyak mainan lego adalah anak saya, Dhiya. Ratusan bentuk lego ia buat dan didokumentasikan pake kamera ponsel.
Dulu, saat SMP saya senang belajar agama di pondok dekat rumah. Jadi santri kalong. Sempat terbersit ingin sekolah di Aliyah saat sudah terlanjur masuk SMA. Belakangan, yang benar-benar masuk Aliyah hingga jadi ustadz beneran adalah adik saya yang keempat. Ia mondok di Ponpes Husnul Khotimah, Kuningan hingga kuliah di LIPIA dan bergelar Lc.
Dulu, saat kuliah, saya terobsesi dengan zakat. Ingin mengabdi di bidang yang masih asing itu. Saat itu Dompet Dhuafa masih merintis. Nah, kali ini yang jadi kader zakat adalah dua kawan dekat saya: Mas Ismed dan Kang Dedi . Walau merintis lembaga zakatnya bareng saya. Di dua kota yang berbeda : Jember dan karawang.
Dulu, saya sempat punya cita-cita jadi insinyur pertanian. Ikut UMPTN ke IPB. Lulus tapi tak diambil karena kendala biaya. Akhirnya memilih STAN yang gratis. Sekarang yang jadi kuliah di IPB adalah keponakan saya, Kiki. Ia mengambil jurusan kehutanan.
Dulu, saya ingin sekali bisa olah raga bela diri. Karena terobsesi dengan para pendekar silat di cerita Dongeng Enteng Mang Jaya. Di SMA sempat menikmati diajari pencak silat walau yang dasar-dasar saja. Saat kuliah juga sempat ikut Tifan Pok Han. Walau baru ikut senamnya doank. Saat di Probolinggo sempat ikut Tae Kwon Do. Juga hanya sebentar. Semuanya tidak ada yang jadi. Nah, yang bisa telaten justru anak saya kedua, Imad. Di Karatenya ia sudah sabuk coklat. Beberapa kali tampil di pentas sambil memeragakan aksi memecahkan batu-bata dan genteng. Beberapa kali ikut tanding Karate antara Klub.
Setahun-terakhir ini saya sedang sangat ingin bisa menulis. Ingin menulis buku sendiri. Hingga memotivasi yang lain untuk menulis. Tapi realitanya, yang jauh lebih dikenal sebagai penulis justru anak saya yang masih SMP, Fathia. Ia sudah bisa menulis rutin di blognya. Salah satu tulisannya bahkan sempat “meledak” dan dibaca puluhan ribu pembaca di seluruh dunia (maya).
Uniknya, profesi yang ditekuni sekarang dan juga saya ajarkan di kelas justru yang dulu sempat saya benci dan tak pernah terbersit jadi cita-cita: Tata Buku (Akuntansi) dan Perpajakan. Ini buah kuliah STAN sehingga saya jadi pegawai pajak. Sebuah profesi yang mulia. Walau sepertinya belum ada anak-anak kita yang saat ditanya cita-cita, kemudian menjawab : jadi pegawai pajak!
Semuanya kemudian menjadi jadi sesuatu yang saya renungkan dan simpulkan sebagai takdir yang harus dinikmati. Dan diambil pelajaran : Pelajaran pertama : teruskan menjaga mimpi, obsesi dan cita-cita. Kalaupun bukan kita yang mewujudkan maka siapa tahu orang-orang dekat dengan kita yang mewujudkannya. Pelajaran kedua : nikmatilah apa yang Allah takdirkan pada kita. Karena Allah punya rencana tersendiri.
Terakhir, saya juga pernah terobsesi dengan para penghafal Qur’an. Terutama setelah baca buku tentang Husein Thabathabai yang hafal Qur’an di usia belia. Hingga 30 juz lengkap dengan tarjamahnya. Juga anak-anak di Gaza yang diwisuda sebagai para Hufadz di tengah kecamuk perang lawan Zionis. Sempat berupaya menghafal juz 28 hingga 30 yang hasilnya tidak jelas. Terlalu banyak hilangnya. Nah, untuk yang ini, insya Allah Imad, anak saya yang kedua akan mewujudkannya bersama para ustadz dan uztadzah di SMPIT Al Hasanat el Tahfidz , Jatisari, Cikampek. Imadpun sudah mencanangkan cita-cita menjadi seorang Hafidz. Insya Allah...Aamiiin.
Selamat bermimpi :)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
KELUARGA : DARI KETAHANAN MENUJU PERADABAN
Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...
-
Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...
-
Sejak akhir Maret 2020 di lingkungan RT sudah berlangsung kegiatan jimpitan. Menabung beras dan uang untuk membantu keluarga terdampak Covid...
-
"𝑀𝑜𝑚𝑒𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑖𝑛𝑑𝑎ℎ 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝 𝑚𝑎𝑛𝑢𝑠𝑖𝑎 𝑎𝑑𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑏𝑒𝑟𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑘𝑒 𝑛𝑒𝑔𝑒𝑟𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑖...
No comments:
Post a Comment