Suatu malam yang dingin, sekitar pukul 21.00, diiringi gerimis yang mengundang, seorang Bapak tampak tergopoh-gopoh memasuki sebuah gerai minimarket A**amart. Setelah sebelumnya mengunci motor dan melepas jaket, ia segera mengambil keranjang belanjaan, lantas keliling mencari barang yang akan dibeli.
Sambil melihat daftar belanjaan di secarik kertas, ia mengambil minyak goreng ukuran 2 liter, detergen *tt*ck 800 gram, shampo C*e*r, sabun mandi, sikat gigi, odol, susu kotak 800 gram, beberapa bungkus indomie, teh celup, kopi bubuk, juga cotton bud tak ketinggalan. Praktis kebutuhan satu bulan keluarga si Bapak bisa didapat dari satu tempat malam itu juga dan tak perlu keliling ke tempat lain.
Di dalam ruangan yang cukup luas dan penerangan yang maksimal, layaknya siang hari, empat buah AC tak henti menyemburkan hawa dingin. Membuat ruangan semakin sejuk. Iringan lagu dari band Ungu yang sedang ngetop membuat suasana semakin memanjakan. Selain kenyamanan itu, tak ada aksi tawar menawar. Karena harga sudah dibuat pas dan tercantum di semua barang. Terakhir, jumlah yang harus dibayar dibuatkan struk dengan hitungan yang akurat. Penjaga kasir yang berseragam dan terlatih serta tampil "menarik", menjadi daya tarik lain sebuah minimarket. Singkatnya minimarket benar2 menjaga prinsip "pembeli adalah raja".
Harga bersaing, simple, nyaman dan mudah dijangkau serta "manusiawi" memang menjadikan minimarket sebagai "warung killer"atau pembunuh warung tradisonal. Bahkan seorang Bapak pun sanggup menjalankan peran yang biasanya di-handle ibu-ibu: belanja ke pasar.
Bagaimana tidak, warung dan pasar tradisional yang tak jauh dari situ tampil semrawut, harga tidak jelas, kadang harus pake tawar menawar dulu, kotor, nggak ada AC, penjaga yang seadanya. Tidak efisien memang. Pantas saja konsumen pada eksodus ke minimarket. Mau disuruh dengan cara apapun konsumen pasti memilih yang lebih nyaman dan manusiawi.
Minimarket memang sebuah fenomena bisnis di era New Wave Marketing. Ia mewakili inovasi bisnis yang sangat kapitalistik yang dalam beberapa hal memang berseberangan dengan semangat keberpihakan kepada pedagang tradisional skala kecil seperti pedagang di kios-kios pasar atau warung kelontong yang tersebar di mana-mana. Singkat kata, minimarket terkesan tidak memihak ekonomi kerakyatan.
Keadaan di atas memang tidak berdiri sendiri. Masalah itu juga ada pada pedagang tradisional sendiri. Kalau tampilan dan cara melayani pembeli masih sebagaimana biasanya, hampir bisa dipastikan konsumen akan tetap eksodus ke minimarket dan supermarket. Kecuali memang konsumen yang sudah ideloginya berpihak pada ekonomi rakyat atau bagi mereka yang mau jualan lagi. Bagi yang terakhir ini yang penting harga miring. Masalah tempat becek dan berbaupun nggak akan dihiraukan. Maka jangan heran kalau melihat pasar Rengas Dengklok yang semrawut, bau dan kotor itu ternyata tetap bertahan hingga kini.
Halaqah minimarket dan Halaqah Pasar Pagi
Tarbiyah tak ubahnya pasar. Halaqah adalah warungnya. Ia memang diciptakan untuk menyediakan pelepas dahaga para mutaroby. Tempat mencari solusi kebutuhan pengembangan diri. Tetapi ternyata tak cukup dengan fungsi. Penerimaan tarbiyah oleh para mutaroby ternyata dipengaruhi faktor lain. Ibarat warung, kini tak sekedar menjajakan barang, tapi ia harus melayani konsumen. Itulah yang jadikan sebuah warung jadi langganan konsumennya.
Halaqoh memang bisa senyaman minimarket di atas. Itulah saat mendatangi halaqoh
dengan layanan prima dari sang Muroby. Dimana Sang Muroby benar-benar mampu memposisikan sebagai teman,
pemimpin, guru, syaikh dan seorang bapak. Sang muroby tak hanya menyampaikan materi "panah".
Ia juga partner main bola, konsultan karir, sumber informasi terkini, mak
comblang cari jodoh dan konsultan keluarga. Bisa jadi imam qiyamullail, juga
kreditur dan jaring pengaman sosial kalau lagi kena musibah.
Tapi, kini halaqoh ada yang mulai jadi kios sayur di pasar pagi. Tidak nyaman lagi didatangi, karena tempatnya sumpek. Sang penjaga warungnya sering pergi. Lapak dibuka tapi penjaga tidak ada. Kalaupun ada, tampil apa adanya. Tak jadikan pembeli sebagai raja. Barang dagangan juga tidak komplit, plit. Tidak sedikit pembeli kecewa karena kebutuhannya tidak tersedia. Pembeli mulai banyak yang beralih ke toko sebelahnya. Kini Sang Penjaga Warung banyak yang bengong ditinggal pembelinya.
Halaqah menjadi kering. Karena Sang Muroby tidak lagi fokus. Terlalu banyak yang difikirkan. Berkelindan dengan beban hidup yang pemenuhannya menyita waktu, tenaga dan fikiran. Padahal waktu, tenaga dan fikiran adalah modal dalam mempelajari ilmu. Sedangkan ilmu adalah modal utama seorang Muroby. Akibatnya, saat pertemuan, kering dari ilmu. Konsentrasi Muroby tinggal sepersekiannya. Pikiran tidak seratus persen hadir. Belum lagi faktor keterlambatan yang suka jadi masalah klasik.
Tapi, kini halaqoh ada yang mulai jadi kios sayur di pasar pagi. Tidak nyaman lagi didatangi, karena tempatnya sumpek. Sang penjaga warungnya sering pergi. Lapak dibuka tapi penjaga tidak ada. Kalaupun ada, tampil apa adanya. Tak jadikan pembeli sebagai raja. Barang dagangan juga tidak komplit, plit. Tidak sedikit pembeli kecewa karena kebutuhannya tidak tersedia. Pembeli mulai banyak yang beralih ke toko sebelahnya. Kini Sang Penjaga Warung banyak yang bengong ditinggal pembelinya.
Halaqah menjadi kering. Karena Sang Muroby tidak lagi fokus. Terlalu banyak yang difikirkan. Berkelindan dengan beban hidup yang pemenuhannya menyita waktu, tenaga dan fikiran. Padahal waktu, tenaga dan fikiran adalah modal dalam mempelajari ilmu. Sedangkan ilmu adalah modal utama seorang Muroby. Akibatnya, saat pertemuan, kering dari ilmu. Konsentrasi Muroby tinggal sepersekiannya. Pikiran tidak seratus persen hadir. Belum lagi faktor keterlambatan yang suka jadi masalah klasik.
Kalau tak ingin halaqah seperti kios
pasar pagik itu memang
harus ada upaya ekstra dari Sang Muroby untuk
mengembalikannya jadi seperti minimarket. Kata kuncinya cuma satu : komitmen. Inilah
yang akan menghasilkan semangat dan cinta. Juga optimisme. Di
samping memang
diperlukan juga para mutaroby yang setia. Mereka yang tetap
datang ke warung walau kotor, semrawut dan bau. Mereka akan tetap bersabar walaupun halaqahnya masih kering kerontang. Itu mereka jadikan amal sholeh. Mereka
datang ke halaqah bukan untuk menerima sesuatu. Tapi justru memberi. Menebar
optimisme. Mereka inilah penopang
utama bagi bangkitnya tarbiyah yang kokoh, dinamis dan produktif itu. Dalam keadaan sekarang,
kader tarbiyah seperti ini adalah pahlawannya.
once upon a time...
Seorang ibu yang nggak kuat dengan pasar pagi yang semrawut, dengan tergopoh-gopoh sambil mengomel, membawa daftar belanja satu bulan ke sebuah gerai yang gemerlap. Nyaman sepertinya. Dinding depan terbuat dari kaca yang lebar. Di dalamnya AC menyebar kesejukan ke seluruh ruangan. Penjaganya juga ramah-ramah.
Namun saat masuk ke sana, alangkah kecewanya ia, karena di sana yang ada hanya brosur. Tak ada satupun barang yang bisa dibawa pulang. Di semua brosur itu tertera logo "khalifah". Tokonya bernama Harmoni Tradisi Islami. Sang ibu pun akhirnya sadar dan kembali ke pasar pagi. Walau harus sedikit bersabar.
once upon a time...
Seorang ibu yang nggak kuat dengan pasar pagi yang semrawut, dengan tergopoh-gopoh sambil mengomel, membawa daftar belanja satu bulan ke sebuah gerai yang gemerlap. Nyaman sepertinya. Dinding depan terbuat dari kaca yang lebar. Di dalamnya AC menyebar kesejukan ke seluruh ruangan. Penjaganya juga ramah-ramah.
Namun saat masuk ke sana, alangkah kecewanya ia, karena di sana yang ada hanya brosur. Tak ada satupun barang yang bisa dibawa pulang. Di semua brosur itu tertera logo "khalifah". Tokonya bernama Harmoni Tradisi Islami. Sang ibu pun akhirnya sadar dan kembali ke pasar pagi. Walau harus sedikit bersabar.
No comments:
Post a Comment