Akhir tahun 2012
lalu saya dan kawan-kawan “seperjuangan” dikejutkan dengan beberapa berita
kematian. Walaupun ia adalah keniscayaan, namun kedatangannya yang sering tak terduga, tetap saja meninggalkan
duka dan rasa kehilangan yang mendalam.
Kematian pertama
adalah perginya seorang isteri dari kawan saya, tanggal 7 Desember 2012 lalu. Seorang
ibu yang energik, istri dari Kang Samsuri. Bu Darkina yang meraih syahadah
(insya Allah) paska melahirkan anak ke lima. Hingga sepekan setelahnya tiba-tiba
suasana hati diliputi mendung. Turut berduka untuk Kang Samsuri yang kehilangan
separuh jiwanya. Ia memang benar-benar kehilangan. Itu saya lihat dari selera
humornya yang biasanya membuat kita terpingkal-pingkal, hilang seketika ditelan duka.
Dakwah kembali
kehilangan kader terbaiknya. Ustad Jajat, guru saya bahkan punya kesedihan tersendiri, karenapun Ibunda
beliaupun meninggalnya saat melahirkan. Sayapun pernah diberi kesan khusus saat
akan berkunjung ke Kuningan, “Akhi, beruntunglah Antum yang masih punya orang
tua lengkap yang masih bisa dikunjungi”.
Yang kedua, adalah DR Arif Hartojo, meninggal 29
Desember 2012 lalu. Setelah mengisi halaqah. Isteriya, Bu Azizah, adalah sahabat istri saya, waktu SMP dan SMA.
Kakak Bu Azizah, H Yasin adalah ustadz dan muroby saya waktu di Probolinggo. Mas
Arief Hartojo dan Azizah menikahnya sebelum saya menikah. Selisih tiga bulanan.
Saat walimahnya saya turut menghadiri. Turut bantu-bantu bagikan “berkat”. Sempat
menyalami Akh Arif. Waktu itu ia masih agak kelimis.
Saya terakhir melihat
DR Arif saat diwawancarai TV One . Sekitar dua tahun lalu. Waktu itu sedang heboh
mie Indonesia yang dipermasalahkan di luar negeri (Taiwan dan Hongkong) karena diklaim
mengandung pengawet yang membahayakan.
Ia memang pakar teknologi pangan. Saat itu saya sedang di RS Dewi Sri menunggui
istri yang masih perawatan paska operasi usus buntu. Istri dikirimi Bu Azizah
pesan via SMS , kalau sang suami akan tampil di TVOne. Saat tampil di Tvone itu
saya pangling dengan jenggot Akh Arief. Ikhwan banget. Tidak seperti saya yang
dibuat tipis.
Meninggalnya Akh
Arief tentu kehilangan besar. Ia salah satu dakwah yang Doktor. Meninggalnyapun setelah
menunaikan amanah dakwah. Maka, kepergiannya menjadi duka aktivis dakwah di seluruh negeri. Menjadi
berita di laman-laman internet, serta tak terhitung status di fesbuk dan cuit
di twitter.
Yang ketiga,
adalah Bu Robi’atul Adawiyah, meninggal 24 Desember 2012. Lima hari sebelum
kepergian Dr Arief. Saat itu saya dikabari oleh kawan satu kamar kontrakan
waktu kuliah di STAN dulu yang menyampaikan
kabar duka kalau istri salah satu kawan halaqah dan se kontrakan dulu, Mas
Hadidhono, meninggal saat melahirkan ke
sembilan. “innalillahi wainna ilai roji’un”. Saya baru bisa sampaikan rasa berduka
itu.
Pada hari yang
sama, di laman PKSPiyungan Ustadz Cahyadi Takariawan menulis tentang kematian dua ummahat senior yang “mengejutkan”
beliau. Kebetulan beliau sedang jaulah ke Kaltim dan sempat menyalati jenazahnya.
Tadinya saya tidak ngeh kalau yang dimaksud di tulisan Ust Cahyadi Takariawan
di PKSPiyungan itu salah satunya adalah istri Mas Hadi ini. Karena Pak Cah
menyebutnya dengan istri Abu Muhammad.
Kang Hadidhono ini saat penempatan paska lulus, ditempatkan di
Balikpapan, Kaltim. Sedangkan saya di Probolinggo. Sedangkan teman satu halaqah
yang lainnya ada yang ke Palembang, dan
ada yang masih di Jakarta. Mas Hadidhono ini kemudian beristrikan putri seorang
tokoh ulama (Ketua MUI Kutai Kertanegara). Akhwat aktivis yang digambarkan oleh
Ustadz Cayhadi Takariawan sebagai "Seorang ummahat yang luar biasa tegar,
luar biasa berbakti kepada suami, luar biasa aktivitasnya dalam dakwah, luar
biasa semangat dalam melaksanakan amanah dari jamaah, dan akhirnya wafat
menjadi syahadah".
Menyimak sepakterjang beliau dari tulisan Kang Hadi dan
Pak Cah, saya lihat beliau setipe dengan
Almarhumah Ustadzah Yoyoh Yusroh: lincah, semangat, tangguh dan memang ingin
mempunyai banyak anak.
Tulisan Akh Hadi
di laman fesbuknya membuat air mata saya berderai tak tertahankan. Tulisan yang
berisi kesaksian Akh Hadi tentang kemuliaan istrinya yang dimuat di PKSPiyungan
itu mendapat komentar banyak sekali. Mereka mengaku menangis setelah membaca
tulisan itu. Dari tulisan itu saya bisa melihat ke-da’i-an” Mas hadidhono. Bisa
meraba-raba tingginya komitmen beliau. Saya jadi merasa bangga pernah satu kost
dengan Mas Hadi yang hebat ini, yang beristri da’iyah yang sama hebatnya.
Satu kematian
saudara yang dekat dan dua kematian aktivis dakwah yang menjadi berita seantero
negeri. Mengispirasi kita tentang kemuliaan para da’i. Mereka orang-orang hebat
di sekitar kita. Bahkan teman dekat kita. Yang terasa kehebatannya ketika
mereka pergi. Sama dengan kenikmatan Allah yang terasa ketika dicabut
sementara. Keadaan sehat misalnya.
Jiwa lupa dan
minim syukur seringkali memunculkan hijab dari perasaan ini. Bahwa saya berteman
dengan orang-orang mulia. Da’i-da’i tangguh pembawa misi mulia. Mereka para
mujahidin pada zamannya, melanjutkan pendahulunya yang gambarannya kita bisa
baca dalam sejarah. Mereka insya Allah para calon ahli surga. Diantaranya
berhasil meraih syahadah. Walau tidak karena bom Israel seperti di Palestina, tapi
dengan cara lain. Melahirkan misalnya. Bukankah itu sama-sama syahid? Padahal,
nikmat sosial apalagi yang lebih besar daripada kebersamaan dengan orang-orang
sholeh. Apalagi dapat kesempatan bekerjasama dengan mereka dalam satu shaf?
Sungguh, hari ini
saya masih diberi kesempatan untuk menikmati amal jamai bersama ikhwah-ikhwah hebat itu. Karenanya
saya wajib mensyukurinya dengan memelihara baik sangka, husnudzan dan rasa percaya,
tsiqoh. Saling memudahkan langkah. Saling mendo’akan. Saling membantu. Memberi semangat. Memberi masukan dan solusi.
Memberi apresiasi. Saling mensolidkan halaqah pengajiannya. Saling berbagi ilmu. Sambil
mengekspresikan “ana uhibbukum
fillah....!” bahwa “saya mencintai kalian karena Allah”
Dan, cukuplah
kematian itu sebagai nasihat bagi kita...
No comments:
Post a Comment