Alhamdulillah,
akhir tahun 2012 hingga awal 2013 ini saya bisa menikmati lagi suasana kampung halaman kedua :
Probolinggo. Mudik libur akhir tahun sekaligus menghadiri pernikahan adik
nyonya yang dapat jodoh seorang wartawan Republika asal Jakarta.
Karena ingin
kebersamaan, juga dalam rangka berhemat kembali seisi rumah pindah sementara ke
Jawa Timur. Berangkatnya juga bareng-bareng satu mobil. Ditambah seorang
keponakan yang mahasiswa IPB, maka ada delapan kepala berjejalan di dalam satu
mobil. Untungnya kabin Phanter yang lapang bisa menampung seluruhnya dengan
leluasa. Walau masih ditambah seabreg barang bawaan. Mulai dari pakaian,
logistik, hingga oleh-oleh. Sayapun berubah profesi sementara : jadi sopir
AKAP.
Untuk persiapan,
kembali harus membawa si Macan ke bengkel buat tune up. Ban juga diganti karena
sudah waktunya. Juga rem. Momen kebetulan begini memang agak melegakan. Saat
kondisi prima, saat akan dipake perjalan jauh. Ini juga sebentuk ikhtiar dalam
persiapan. Karena kalau terlalu mengikuti kekhawatiran, maka tak akan pernah
saya nyetir sendiri menempuh rute 700-an km itu. Pulang-pergi lagi. Apalagi tak
ada sopir cadangan. Bagaimana kalau malam-malam di jalur sepi dan jauh dari
bengkel tiba-tiba mesin mogok? Bisa kiamat! Tapi saya selalu menancapkan
keyakinan dan tawakkal. Kalau kita sudah melakukan prepare yang memadai, serahkan
saja pada Allah. Insya Allah hati mantap dan tenang.
Fathia n Nafiza @ Rest Area Tol Palikanci-Cirebon |
Agak berbeda
dengan sebelumnya yang selalu menyalakan GPS di Nokia E71. Kali ini ingin
mengandalkan ingatan. Ingin lebih menghayati jalanan yang dilewati. Saat di
Tuban, jalur normal mestinya belok kanan arah Bojonegoro, baru masuk Gresik dan
langsung masuk tol Gresik-Surabaya. Karena keasyikan menelusuri jalur utara
itu, jalur yang ditempuh malah bablas hingga pantura Gresik. Melewati Paciran hingga
bertemu lokasi WBL (Wisata Bahari Lamongan). Jalurnya memang sepi. Tapi terhibur
dengan pemandangan indah pesisir pantura Gresik. Sepanjang jalan terlihat
hijau. Jadinya ini track terjauh menuju Probolinggo.
Setelah track
terjauh, saya juga mengalami track tersulit sepanjang menjalani karir sebagai
sopir. Itu saat melewati jalur berkelok menuju Gunung Bromo. Ini saya tempuh setelah tiba di Probolinggo, tepatnya di penghujung 2012, tanggal 31 Desember 2012. Tadinya mau ke air terjun Madakaripura, namun karena cuaca sudah mendung dan biasanya tidak boleh masuk ke area air terjun karena dikhawatirkan ada banjir di hulu, maka saya ubah rute ke Gunung Bromo. Saya berfikir rutenya tidak
terlalu sulit, karena memang pernah ke sana dua kali. Namun waktu itu terasa
nyaman-nyaman saja, karena statusnya sebagai penumpang. Capek sedikit tinggal
merem. Padahal ternyata jalur berkeloknya sangat tajam. Saat pegang setir terasa sekali
suasana menegangkannya. Apalagi di belakang ada tujuh anak. Empat anak sendiri
dan tiga keponakan. Perasaan juga koq tidak nyampe-nyampe. Padahal sudah puluhan kelokan dilewati.
Jumlahnya saya tak tahu persis. Gak sempat hitung jumlah kelokan. Yang jelas
mah banyak sekali.
Imad @ Mount Bromo, 31 Des 2012 |
Saya pun merasa
benar jadi pemimpin seutuhnya. Karena sepanjang perjalanan saya yang nyopir, saya
seperti dititipi enam nyawa, tujuh dengan punya sendiri. Tidak boleh lengah dan
ceroboh. Lengah sedikit, bisa menyebabkan kecelakaan fatal. Karena di jalan
raya, di tengah arus kendaraan yang saling berpacu. Segala kemungkinan bisa
terjadi. Kalaupun kita sudah hati-hati,
belum tentu kendaraan lain juga hati-hati. Di saat seperti itu terasa betul
kalau hidup kita ada di tangan-Nya. Perjalanan seperti ini memang menjadi
sangat spiritual. Terasa sekali kedekatan dengan Sang Pemilik Nyawa. Karena
jangan heran kalau do’a orang yang safar adalah salah satu do’a yang makbul.
#bersambung
#bersambung
No comments:
Post a Comment