KH Udin Syaefudin |
Suara lelaki itu
terasa akrab benar di telinga. Logatnya Sunda. Guyonan dan celetukan mengena dan jenaka. Tapi sarat makna. Walau sudah jarang sekali mendengar pituturnya, tapi rasa dekatnya tak sirna. Tapi
paling tidak saat lebaran atau pulkam ke
Kuningan, masih bisa menikmati sapa dan senyumnya. Sosoknya yang mungil itu kini
nampak sudah sepuh. Walau begitu
semangatnya tidak berubah apalagi sirna. Juga rasa humornya. Tak heran kalau ia begitu lekat di hati
santri dan warganya .
Ceramahnya pada
pernikahan adik bungsu saya di Bogor siang itu membawa pikiran mengembara ke
masa lalu. Ke saat duduk bersila mendengar bandungan di mushola Al Makmur.
Sebuah mushola di tengah komplek pesantren Al Makmur. Di desa Cipondok yang
indah nan sejuk. Ya, itu di Kuningan, kota kelahiranku.
Sosok itu memang
istimewa. Ia salah satu orang yang mempengaruhi hidup saya. A man who shape my
life, kata orang sononya. Namanya rada mirip nama saya. Ada “udin”nya. Tapi ia
jauh dari sosok “udin sedunia” yang suka narsis dan mengolok-olok nama. Udin yang ini begitu
teduh dan bijaksana. Alim nan berwibawa.
KH Udin Syaefudin, itulah nama lengkapnya. Banyak panggilannya. Kadang
“Mang Haji Udin”, ini panggilan para tetangga. Ada“Akang, ini sebutan para
santri di lingkungan asrama. “Pak Haji Udin”, oleh warga luar pondok, atau sebagai sapaan agak
resminya.
Sejak kelas 1 SMP saya mulai nyantri kalong bareng
beberapa teman. Awalnya ikut-ikutan.
Kebetulan salah satu putra beliau adalah teman SD saya seangkatan. Santri kalong ini istilah untuk santri yang tidak nginap, atau
hanya ikut beberapa kegiatan. Hanya ikut “sorogan” sama “bandungan”.
Sorogan adalah
istilah untuk membaca kitab kuning dan tarjamahnya yang didiktekan. Satu per satu dibaca dan diikuti
secara bergantian. Posisinya berhadap hadapan antara santri dan ajengan. Bagi
saya justru inilah momen belajar paling berkesan. Ada momen manusia dalam keintiman Ada yang
pake bahasa jawa, ada yang pake bahasa pasundan. Saya pake yang bahasa Sunda,
karena merasa lebih nyaman. Sedangkan bandungan adalah mendengar ulasan kitab
kuning, semacam sema’an. “Faslun, ari ieu hiji pasal”, inilah kalimat yang
pasti dikenal oleh alumnus santri kalong yang pernah ikut sorogan.
Para santri
kalong sendiri biasanya berasal dari anak-anak sekitar pesantren. Asal mau
datang saja. Seingat saya tanpa ada biaya sepeserpun. Adapun santri yang mondok
kebanyakan dari wilayah Ciamis dan wilayah Kuningan bagian selatan, seperti
kecamatan Subang. Salah satu alumninya ada yang menikah dengan adik saya. Jadi
adik ipar.
Saat-saat nyantri kalong itulah saya berinteraksi dengan
Haji Udin. Interaksi yang dekat dan berbekas. Berupa ilmu agama. Saya jadi sedikit tahu fiqh ibadah dan kitab
hadits. Pada sorogan pagi yang dibaca adalah kitab safinatun najah. Siangnya bandungan
kitab sulamut-taufiq atau Tanbihul Ghafilin. Kalau hari Ahad pagi kadang ikut bandungan
yang membahas kitab Riyadus Shalihin, kitab kumpulan hadits. Kadang taqribul
ibaad atau ta’lim muta’alim. Kalau malam jum’at ada acara pemacaan kitab Barjanji secara bersama-sama dan berirama.
Dari nyantri
kalong itu saya jadi sedikit tahu dunia pesantren zaman itu. Yang masih
tradisional. Selain mencicipi sorogan dan bandungan, saya jadi tahu budaya
ngaliwet khas para santri itu. Mengenal hidup apa adanya di asrama pondok saat
jauh dari orang tua.
Salah satu yang
membuat saya senang adalah gaya bertutur Haji Udin yang enak didengar. Saya sampai
punya ukuran kalau ceramah yang bagus itu ya ceramahnya Haji Udin. Yang lain
mah, lewaat... ^_^. Dari situ saya
menyadari betapa pentingnya kemampuan publik speaking yang bagus bagi para
da’i. Itulah saat nasihat sampai ke
hati.
Berbekal ilmu
dari nyantri kalong itu, saya jadi pede saat SMA ada pesantren kilat. Saat diskusi
mentoring adalah saat favorit. Di situ saya bisa sedikit berargumen. Walaupun
kalau diukur dari standar keilmuwan, tentu pemahaman saya masih amat sangat
jauh. Tapi setidaknya di situ saya jadi menemukan semangat. Ada konfiden saat
ngomong keislaman. Saya mulai merasakan ada keasyikan di sana. Maka, kalau saya
kemudian masuk rohis SMAN 2 Kuningan, sempat aktif di Remaja Masjid dan
kemudian “kecebur” di halaqah-halaqah
tarbiyah, itu semua berawal dari interaksi dengan Haji Udin ini. Interaksi yang
membawa hidayah.
Maka, sudah seharusnya saya harus menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada beliau, dan umumnya kepada para kyai di berbagai pelosok tempat yang begitu sabar dan telaten membimbing santri dan ummatnya. Dengan ilmu dan tausiyah. Dengan pitutur yang membimbing langkah. Semoga Allah membalasnya dengan balasan yang semulia-mulianya, sebesar-besarnya. Aamiin...
Karawang, awal tahun 2012
No comments:
Post a Comment