Tuesday, December 18, 2012

Karate Kid



Imad, the Karate Kid



Diiringi musik dengan beat menghentak Imad berlari ke atas panggung. Berseragam karate sabuk biru.  Seragam yang putih membuatnya terkesan gagah. Lantas, Imad bareng beberapa temannya membentuk formasi Kata. Di barisan depan Imad bersama Lulu anaknya Pak Lili, teman saya yang guru SMKN 1 Karawang dan pengurus BKC (Bandung Karate Club) Cabang Karawang.  Setelah gerakan Kata serempak selesai,  dilanjut  atraksi memecah bata merah. Saya menjadi rada degdegan, apa bisa kepala Imad menang lawan bata merah?  Setelah melakukan beberapa gerakan pernafasan, batu-bata itu dipegang dua tangan dan serempak dibenturkan ke dahi. Dan “pyar!” pecahlah si bata merah jadi dua keping. Tepuk tangan penonton sontak bergemuruh memenuhi ruangan aula. Di antara tepuk tangan itu mata saya berkaca-kaca. Ada rasa senang dan bangga. 

Ya, saya sedang bercerita tentang Imad yang tampil pada pentas akhir tahun SDIT Harapan Ummah di Aula Husni Hamid, Komplek Pemda Karawang. Saat itu  masih kelas 4.  Anak saya kedua ini memang senangnya olah fisik. Semua yang berbau olah raga inginnya diikuti. Ingin les renang, sepakbola, karate, juga  bulu tangkis. Saya akhirnya cuma bisa memenuhi untuk les Karate di BKC. Sebenarnya ini impian saya waktu kecil dulu. Ingin belajar bela diri namun terkendala materi. Jadinya hanya mimpi. Kini Imad seolah mewujudkan mimpi saya yang tertunda. 

Walaupun tidak ikut semua les olah raga,  Imad mampu juga menguasai olah raga yang lain. Kemampuan berenangnya sudah lumayan.Sudah bisa mengambang. Main bola juga sudah jadi hobi.  Main bulu tangkisnya bagus. Bersepedanya sudah bisa jumping, alias mengangkat ban roda depan layaknya aksi Valentino Rosi di balapan MotoGP saat melakukan victory lap. Main yoyo dan bongkar pasang (lego) kesukaannya adalah kegiatan fisik yang lebih ke permainan tangan. Kini ia sudah mulai merambah bongkar pasang sepeda. Sekarang sudah tambah lagi, tanpa saya ajari Imad sudah bisa mengendarai motor Honda Supra. Sudah bisa bantu uminya beli lauk ke pasar.

Hobinya olah raga kadang bikin pusing uminya. Tidak peduli sedang ada UAS, walau sudah diwanti-wanti untuk tidak main dulu. Begitu ada teman ngajak main bola, Imad langsung hilang entah ke mana. Saat pulang, ia hanya nyengir saat diomelin. Hanya saja senyumnya yang manis sering membuat hati Uminya luluh begitu saja. Ah... Imad, anakku, kadang masih saja abi dan umi terbawa logika sendiri. Maunya mendisiplinkan anak. Tak tahunya malah harus tarik ulur dengan kecenderungan yang kuat di dalam diri Imad. Sesuatu yang memang tak bisa dicegah. Tapi, memang batasan dan larangan harus disampaikan. Karena kelak Imad akan berhadapan dengan aneka pilihan dan prioritas. Tentang memilih mana yang harus didahulukan. 

Imad memang terbukti  konsisten di bidang olah raga. Di BKC ia sudah sabuk coklat. Sekali tes lagi sudah sabuk hitam. Sudah bisa memecahkan genteng memakai  tendangan. Pernah ikut tanding antar club BKC se Jawa Barat di GOR Adiarsa Karawang.  Dua kali menang dan sekali kalah. Menang kalah tak penting. Berani tampil di sebuah even pertandingan dan ditonton banyak orang adalah sebuah pencapaian tersendiri. Saya harus menghargainya. Walau dengan cara yang sederhana. Misalnya dengan menjadi suporter dari balkon, memberi tepuk tangan dan berteriak menyemangati, serta antar jemput.

Konsisten dengan olah fisik, efek ke badannya memang mulai terlihat. Gerakannya lebih lincah dan tulangnya terlihat kokoh. Saat SMA kelak, saya perkirakan Imad akan tumbuh tinggi besar. Akan lebih tinggi dan besar dari abinya, insya Allah. 

Setiap anak memang memerlukan alasan untuk dibanggakan. Dan Imad sudah punya sesuatu yang bisa membuat abi-uminya bangga.  Karena “setiap anak adalah unik”. Ya, pernyataan ini sepertinya harus ditulis dengan huruf besar, dicetak. Kemudian dilaminating dan diberi pigura. Lalu dipasang di tempat paling strategis di dinding rumah hingga gampang dilihat dan sering dibaca.

Kenapa demikian?
Kita, para orang tua kadang membandingkan  anak  dengan orang tuanya, dengan saudaranya, atau dengan anak orang lain. Tentu yang punya keunggulan dan prestasi. Tetapi prestasi akademik yang sering jadi ukuran. Entah itu ranking di kelas, kepandaian mengerjakan matematika, atau juara olimpiade sains. Di sinilah perlunya pernyataan “setiap anak adalah unik” perlu dicamkan baik-baik oleh para orang tua.  

Bahwa keunikan anak adalah fitrah dan anugerah. Wajib disyukuri dengan memberinya apresiasi. Tanpa mencela dan membanding-bandingkan. Niscaya tiap anak akan berkembang dengan kebanggaannya. Menjadi dirinya.  Dengan kepercayaan diri inilah, menurut praktisi sekolah inklusif, seorang anak bisa memacu keunggulan di bidang lainya. 

Semoga Allah jadikan kita orang tua yang memahami dan menghargai anak-anaknya. Aamiin...

Tuesday, December 11, 2012

Keajaiban Hati



Aku dan Kang Ismed, di Jababeka, Cikarang, Bekasi.
Menunggu Feeder-Bus
Bandara Soekarno Hatta

Kawan, pernahkan Engkau rasakan keajaiban HATI?

Selain aqidah, ada kekuatan dahsyat yang Allah berikan pada hati manusia beriman. Namanya ukhuwah. Ini adalah ikatan persaudaraan terkuat. Inilah kekuatan yang sanggup melahirkan pengorbanan-pengorbanan yang begitu memesona. Juga tautan yang begitu indah.

Kini aku coba ceritakan sebuah kisah nyata. Anda boleh mengatakannya sebagai kebetulan. Tapi bagiku ini sebuah keajaiban. Walau wujud keajaibannya  tidak sedahsyat tongkat Nabi Musa membelah Laut Merah.

Malam itu, sekitar tahun 2007. Saat pertemuan dengan beberapa brother di Karawang berlangsung agak lama. Hingga larut malam. Sekitar pukul satu dinihari, barulah Si Honda Supra kuajak pulang. Tiba di rumah pukul setengah dua. Saat itu, setelah mengambil posisi rebahan di tempat tidur, entah apa yang menyebabkan, tetapi ada semacam dorongan untuk mengangkat HP. Lalu kutekan nomor milik seorang kawan nun jauh di Jember sana. Hanya sekedar ingin nelpon. Itu saja, tidak kurang tidak lebih. Dulu, memang amat sering ngobrol dan rapat dengan brother yang satu ini. Karena sama-sama diamanahi merintis sebuah lembaga zakat di sana. 

Saat HP diangkat. Terdengar bunyi suara dari seberang sana, mengandung kesan terkejut namun senang: “Pak, Antum ke mana saja? Dikontak nomor Simpati-nya koq tidak nyambung-nyambung

Oh, iya. Itu karena HP saya hilang. Jadinya nomornya saya blokir. Sampai sekarang belum saya pake lagi. Ini nomor saya yang baru. Memang kenapa, Mas Ismed?” Aku balas telepon dari Kang Ismed, Si Pemilik suara di seberang.

Lha, ini saya sudah ada di Karawang. Habis dari Bandung dan Jakarta, ada studi banding ke PKPU dan Rumah Zakat. Mampir di Karawang mau ketemu Antum. Saya sudah calling teman-teman, nggak ada yang nyambung ke hape Antum!
 
Subhanallah, Allahu Akbar! Allah memang Maha Penyayang! koq bisa ya? Sekarang posisi di mana?” Akupun terbawa suprise. Karena ini sebuah peristiwa menakjubkan. Bayangkan, kekuatan apa yang bisa membuat aku angkat telpon saat pagi buta begini. Kalau bukan Sang Penggenggam Jiwa? yang di tangan-Nya hati bisa dibolak-balik?

Di Perumahan Karaba” Jawabnya sangat antusias.

Lha, dekat itu mah. Ya sudah besok saya jemput ya ke sana!” Akupun menjawab tak kalah antusias.

Iya Pak. Saya tunggu ya. Alhamdulillah ketemu Antum juga akhirnya” sambungya dengan nada masih mengandung heran.

Besoknya kutemui Kang Ismed di Perumahan Karaba yang bertetangga komplek dengan Perumnas. Rupanya itu rumah saudara temannya. Ia memang bareng staf Yayasan RIZKI, rumah zakat yang dirintisnya sejak 2002 lalu.  Siangnya kuajak jalan-jalan ke Karawang dan disambung obrolan hingga malam. Berbagi cerita tentang Jember dan Karawang. Sebelum besoknya terbang kembali ke Jember via Bandara Soekarno Hatta

Kawan, itulah salah satu keajaiban hati. Tentang ta’liful qulub. Anda pasti pernah mengalaminya. Dan mungkin kita perlu momen-momen ajaib nan indah  seperti itu. Walau dalam bentuk yang  sederhana. Artinya tidak perlu berfikir berat. Agar kita diingatkan untuk semakin dekat kepada-Nya. Tidak lalai dan menjauhi-Nya.

Sebenarnya, banyak keajaiban di sekitar kita dan di dalam diri kita. Hanya memang keajaiban itu baru akan tampak saat kita berfikir agak dalam. “Tafakkur” menurut Al Qur’an. “Deep thinking”, kata Harun Yahya, seorang cendekiawan muslim.

Semoga berkenan....

Karawang, 11122012

Sunday, December 9, 2012

Antara Lima Anak dan Aktivitas Keluar Rumah

my Fifth Baby



Menjelang Ramadhan tahun 2012 ini, saya mendapat amanah baru: Anak kelima. Perempuan. Anak kelima yang lahir dengan (H2C) kuadrat: Harap-harap Cemas yang berlipat. Karena Permaisuri sudah masuk usia resti: resiko tinggi. Sudah emak-emak koq masih harus hamil? Namun, Alhamdulillah, takdir Allah akhirnya memberi “hadiah” itu melalui persalinan normal. 

Kata hadiah inilah yang saya lekatkan di kepala. Agar mensikapinya bisa lebih rileks. Agar husnudzan pada Sang Pencipta tetap terjaga. Saya memilih demikian karena banyaknya anak sering menjadi ujian bagi seorang ayah. Alasan banyak anak potensial jadi penghambat langkah. Menurunkan militansi. Akan ada alasan : fokus untuk keluarga. Kalau ditambah dengan ”khan keluarga juga amanah dari Allah”, biasanya membuat melempem kehadiran di luar rumah. Maunya ulukutek di rumah terus.  Menghadiri pengajian misalnya. Padahal itu untuk menyehatkan ruhani kita sendiri, bekal utama kepemimpinan seorang ayah. . Nah, kalau disikapi sebagai hadiah, maka akan terasa lebih ringan kalaupun harus meninggalkan rumah. Karena kita yakin, saat di luar rumah, Sang Pemberi Hadiah, pasti akan menjaganya. Tak usah risau dengan julukan "jarum super" alias jarang di rumah suka pergi. Kalau untuk tujuan kebaikan dan sudah saling dukung dengan pasangan.Insya Allah hidup jadi berkah. Karena tabiat dasarnya :persoalan hidup jauh lebih banyak dari waktu yang dimiliki. Maka saat terlalu banyak waktu luang mestinya jadi warning kalau kita banyak menyiakan waktu. Bahagialah jadi orang sibuk dengan aktivitas kebaikan. Bahkan hingga lelah dan letih. Seakan waktu tujuh hari sepekan terasa kurang. KArena itu tanda waktu kita terpakai secara positif.


Suasana Mabit di Masjid Raya Peruri, Karawang
Seperti Sabtu kemarin, ada acara Mabit (Malam Bina Iman dan Taqwa, acaranya menginap) di Masjid Raya Peruri. Karawang. Ustadznya dari Jakarta dan Karawang. Ini acara untuk pembekalan menjelang Ramadhan. Nah, kalau saya berangkat Mabit berarti harus libur menemani si Kecil. Biasanya jam satu malam mulai begadang gantian bersihin pup, BAB, gantikan popok dan gendong. Tapi Nyonya nyuruh berangkat. “Biar Qiyamullailnya bisa full 11 rakaat”, katanya. Duh, bidadariku, tahu saja kelemahan diriku yang sering tertatih dan ala kadarnya tiap kali menyongsong Ramadhan.

Biasanya kalau acara bermalam, saya mengajak Imad, anak saya yang kedua. Imad sangat senang kalau diajak mabit.
Tapi malam itu nggak jadi ikut, gara-garanya saya berangkatnya telat karena keburu ada tamu yang jenguk si Kecil. Si Imad jadinya ngambek, pergi ke kamar dan tertidur. Agak menyesal juga, karena mabit bareng Imad adalah salah satu acara “kebersamaan” favorit. Padahal acara kebersamaan sebelumnya juga gagal. Si Imad keburu ke tukang cukur karena sudah terlalu gondrong. Padahal, tadinya saya yang mau cukur sendiri.  Karena sensasi anak dicukur oleh bapaknya sendiri adalah hal indah nan tak terlupakan nantinya. Ya sudah lah, mudah-mudahan kalau gondrong lagi bisa sempat saya cukur sendiri.

 



Akhirnya, berangkat menjelang pukul sepuluh malam. Sebelum sampai di Masjid Peruri, jalanan Galuh Mas ternyata macet parah. Ramai sekali. Rupanya sedang ada konser Band Wali. Dari jalan terlihat lautan anak muda yang tumpah ruah. Bahkan ada seorang bapak yang ngajak anak kecilnya nonton konser. Boncengan di atas motor.

Panggung konser juga terlihat megah. Permainan lampu sorot membuat panggung jadi begitu gemerlap warna warni. Dua buah layar raksasa di kiri dan kanan panggung serta sound-system yang menggelegar benar-benar memanjakan pengunjung. Vokalis Wali terdengar jelas melantunkan bait lagu yang ada "astaghfirullah al adzhim...". Iramanya memang membuat badan penonton bergoyang.

Saya tidak tahu maksud penyelenggara. Apakah dalam rangka menjelang ramadhan sehingga Band Wali yang diundang, sehingga ada pesan religius yang sampai ke penonton atau hanya karena memang sedang ngetrend saja. Yang jelas, panggung konser itu berhasil jadi magnet bagi ribuan remaja.

Karawang yang dekat dengan ibukota memang mudah menghadirkan show artis ibukota yang biasa dilihat di Televisi. Selain Wali, dalam satu tahun terakhir nggak terhitung artis yang mampir ke bumi Pangkal Perjuangan ini. Dari Jiji, Iwan Pals, ST dua gelas, Perinces, Slang hingga Ajis Gagap. Ada juga karena lokasi di Karawang jadi tempat syuting sinetron Cecece. Kuburan elit San Diego Hill jadi jadinya didatangi boyband lokal Smest (maaf saya tidak menyebut merek dengan jelas, nanti dikira promosi, he he)


Suasana Tahajjud berjamaah
Masjid  Raya Peruri hanya berjarak 300 meter saja dari konser Wali. Dari lantai dua Masjid bagian teras yang terbuka akan terlihat hingar bingar konser. Suasana di dalam masjid jelas berbeda dibanding di depan panggung itu. Kalau di sana pada jingkrak-jingkrak, sedang di dalam masjid penuh kekhusyukan. Duduk bersimpuh mendengar lantunan ayat suci atau tausiyah penceramah. Di situ bicara akhirat. Tentang keutamaan Ramadhan dan bagaimana kita mengisinya jadi ladang ibadah dan memanen pahala berlipat. Dua tempat beda suasana. Seakan mempertontonkan dua kubu yang saling berebut pengaruh. Mana yang lebih diminati. Di sana dakwah ke arah kesenangan duniawi, di sini dakwah kepada kekhsyukan ukhrawi.

Apakah takdir kebaikan memang selalu minim pengikut ataukah upaya para da’i yang belum canggih men
yampaikan ajakan? Hingga jelas beda kuantitas itu. Di Masjid Peruri itu “hanya” ada 300-an peserta. Sedangkan di sekitar panggung konser ada ribuan manusia yang menyemut.

Cerita tentang kehidupan akan selalu sama : ada pemenang dan pecundang. Diantara pemenangnya adalah tiga anak remaja SMA yang saya temui di teras masjid. Ternyata mereka bisa mengalahkan kesenangan yang sesaat itu. Lebih memilih duduk mendengar taushiyah
  ketimbang menghadiri konser musik. Sayangnya, jumlah remaja yang ikut hanya segelintir. Kebanyakan yang hadir itu jenggotnya udah pada panjang dan ubanan. Itu tanda alam bahwa tak lama lagi akan jadi abah-abah.


Malam itu saya kembali menikmati qiyamullail berjamaah. Imamnya ustadz muda yang hafidz dan fasih baca Qur’annya. Saya memang memerlukan datang ke acara seperti ini karena tahajjud berjamaahnya mampu menguatkan semangat yang sedang kendur.   

Ustad Solmed di Masjid Al Jihad, Karang Pawitan, Karawang

Besok siangnya, sekitar pukul sembilan saya ajak si Teteh dan si Uki meluncur ke Al Jihad, Karang Pawitan. Ada undangan menghadiri ceramah Ustadz Solmed. Saya menyempatkan hadir karena undangannya disampaikan langsung oleh kawan saya yang jadi panitia. Namanya, Mas Arief Widieharto, kader muda NU yang sangat enerjik.   Juga agar Si Teteh mengenal  “dunia lain”, karena biasanya hanya bergaul dengan anak-anak di Sekolah Amani, atau anak-anak Remas Blok T Perumnas. Saya juga ingin menyaksikan geliat kalangan muda Nahdliyin Karawang yang kini seperti tengah mengalami kebangkitan lagi itu.  

Saat masuk ruang utama Masjid Al Jihad itu anak muda Nahdhiyin masih sedikit yang hadir. Walaupun penyelenggaranya IPNU dan IPPNU, tapi yang hadir banyak  dari Fatayat dan pengurus NU. Ada juga beberapa dari FPI, lengkap dengan uniform gamis putih. Ternyata, menurut Ustadz Solmed, mengutip Habib Riziek, FPI itu adalah NU yang “agak nakal”.   Hari itu Bupati Karawang, H Ade Swara yang berkesempatan hadir menyampaikan sambutan sebelum Ustadz Solmed menyampaikan tausiyahnya.

Kalau dilihat-lihat, dibanding Mabit di Masjid Peruri ternyata ada kesamaannya. Yaitu, anak muda yang hadir relatif sedikit dibanding para senior.  Ya....di dua tempat itu saya merasakan dua keprihatinan yang sama: Anak-anak remajanya pada kemana?  Karena itulah saya ajak Si Teteh ke sana...

Karawang, 9 Juli 2012

KELUARGA : DARI KETAHANAN MENUJU PERADABAN

  Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...