|
Nilep pajak? Apa kata dunia??? | sumber : internet |
Pajak, memang
dibenci dan dirindu. Dibenci oleh Wajib Pajak. Tapi dirindu oleh pemerintah.
Karena tak akan jalan pemerintahan tanpa adanya dana pendukung. Kebetulan di
Indonesia ini, porsi pajak dalam menopang anggaran pemerintah semakin besar. Bila pada 2006 penerimaan pajak baru mencapai Rp358,05 triliun, maka
pada 2007 telah melewati Rp426,23 triliun, 2008 Rp571,1 triliun, 2009 Rp544,53 triliun, 2010 Rp627,89 triliun, dan pada 2011 Rp742,63
triliun.Tahun 2012 ditarget Rp885,03 triliun. Tahun 2013 menembus 1000 Triliun.
Memang tidak
ada yang suka membayar pajak. Bagi pembayarnya ia adalah biaya yang real. Tidak bisa dipungkiri pajak akan mengurangi pengasilan kita. Akibatnya, kalau tidak mengurangi harta,
pajak akan mengurangi konsumsi. .
Tanpa kita sadari sebenarnya hampir setiap hari kita bayar pajak. Saat membeli barang di toko, mengandung Pajak Pertambahan Nilai. kita bayar Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak bumi dan Bangunan setiap tahun. Para pegawai akan diptong Pajak Penghasilan Pasal 21 setiap bulan dari gajinya. Nah, sesuatu
yang terjadi dalam keseharian kita tentu akan pas dan mantap kalau kita bisa
memahaminya. Sehingga, kalaupun membayar ya membayar dengan kejelasan dasar hukumnya. Kalau tidak membayar, kita punya argumennya. Karena memungut
pajak tanpa dasar hukum yang membolehkan, adalah sebuah perampokan (taxation
without repressetative is robbery). Sebagai contoh, saat kita memarkir motor atau
mobil lantas ada orang minta bayaran parkir. Kita bisa menolak kalau memang tidak
ada perda yang mengijinkan. Alias parkir liar.
A. Tinjauan Pajak
Menurut Fiqh Islam
Kalau di
Indonesia ada istilah pajak, retribusi, tol atau mel. Zaman Belanda ada istilah
Belasting. Dalam fiqh
Islam, istilah pajak dikenal dengan beberapa sebutan, dan masing-masing
memiliki arti sendiri-sendiri. Diantaranya :
1. Al-‘Usyr
Istilah al-‘usyr (الْعُشْرُ) secara bahasa berarti sepersepuluh. Dalam
prakteknya, sepersepuluh yang dimaksud adalah nilai harta yang dipungut dari
pedagang, atau dari hasil bumi. Pihak yang memungut nilai sepersepuluh itu
disebut dengan al-asysyaar (العشّار).
2. Al-Maks
Istilah al-maksu (الْمَكْسُ) secara bahasa bermakna “an-naqshu” yaitu pengurangan, dan juga bermakna “adz-dhulmu” , yaitu penzaliman atau perampasan.
Sedangkan secara istilah makna al-maksu sebagaimana disebutkan di dalam kamus
Al-Muhith adalah :
دَرَاهِمُ كَانَتْ تُؤْخَذُ مِنْ بَائِعِي السِّلَعِ فِي الأْسْوَاقِ فِي
الْجَاهِلِيَّةِ
Uang-uang dirham yang dipungut dari para penjual barang di pasar di masa jahiliyah.
Di dalam kamus Al-Mu'jam Al-Wasith disebutkan makna al-maksu adalah :
الضَّرِيبَةِ يَأْخُذُهَا الْمَكَّاسُ مِمَّنْ يَدْخُل الْبَلَدَ مِنَ التُّجَّارِ
Pajak yang dipungut oleh pemungutnya dari para penjual yang masuk ke dalam
negeri.
Orang yang melakukan pemungutannya disebut dengan al-makkas (المَكاَّسُ) atau
al-makis (اَلمَاكِسُ).
3. Adh-Dharibah
Istilah adh-dharibah (الضَّرِيْبَةُ) artinya pajak atau pungutan. Sering
didefinisikan sebagai :
الماَلُ الَّتِي تُؤْخَذُ فِي الأْرْصَادِ وَالْجِزْيَةِ وَنَحْوِهَا
Harta yang dipungut dari sumber-sumbernya atau dari jizyah dan lainnya.
4. Al-Kharaj
Istilah al-kharaj (الْخَرَاجُ) dari kata kharaja yang bermakna keluar. Secara
istilah, yang dimaksud al-kharaj sebagaimana disebutkan oleh Al-Mawardi adalah
:
مَا وُضِعَ عَلَى رِقَابِ الأْرَضِينَ مِنْ حُقُوقٍ تُؤَدَّى عَنْهَا
Apa yang ditetapkan atas pemilik tanah dalam bentuk pungutan yang harus
ditunaikan.
B. Pendapat Yang Mengharamkan
1. Dalil-dalil
Kalangan yang mengharamkan pajak berhujjah dengan dalil-dalil yang umum dan
khusus. Di antara dalil yang masih bersifat umum misalnya firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan cara yang batil….”(QS. An-Nisa’ : 29)
Menurut pandangan mereka, pajak itu termasuk memakan harta sesamanya dengan
jalan yang batil, sehinga hukumnya haram. Pandangan ini dikuatkan lagi dengan
hadits berikut :
لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسلِمٍ إِلاَّ بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya”
Adapun dalil secara khusus, ada beberapa hadits yang menjelaskan keharaman
pajak dan ancaman bagi para penariknya, di antaranya bahwa Rasulullah SAW
bersabda :
إِنَّ صَاحِبَ الْمَكسِ فِيْ النَّارِ
Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak diadzab di neraka. (HR Ahmad dan Abu Dawud)
Hadits inilah yang acap kali digunakan untuk mengharamkan memungut pajak, dan
juga sebagai dalih untuk tidak bayar pajak. Serta untuk mengharamkan secara
total apa-apa yang berbau pajak. Dan ancamannya juga tidak main-main, yaitu api
neraka yang pedih.
a. Al-Imam An-Nawawi
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang mengisahkan dilaksanakannya hukum
rajam atas zina yang dilakukan oleh seorang wanita dari Bani Ghamidiyah.
Setelah wanita tersebut diputuskan untuk dirajam, datanglah Khalid bin Walid
radhiyallahuanhu menghampiri wanita itu dengan melemparkan batu ke arahnya,
lalu darah wanita itu mengenai baju Khalid, kemudian Khalid marah sambil
mencacinya, maka Rasulullah SAW bersabda.
مَهْلاً يَا خَالِدُ فَوَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً
لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَصَلَّى
عَلَيْهَا وَدُفِنَتْ
“Pelan-pelan, wahai Khalid, demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh
dia telah bertaubat dengan taubat yang apabila penarik/pemungut pajak mau
bertaubat (sepertinya) pasti diampuni. Kemudian Nabi SAW memerintahkan (untuk
disiapkan jenazahnya), maka Nabi SAW menshalatinya, lalu dikuburkan” (HR
Muslim)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat
beberapa hikmah yang agung diantaranya bahwasa pajak termasuk sejahat-jahat
kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan pelakunya, hal ini lantaran dia
akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan yang banyak sekali di akhirat
nanti.[1]
b. Ibnu Hazm
Ibnu Hazm berpendapat bahwa para petugas yang ditugaskan untuk mengambil uang
denda yang wajib dibayar di atas jalan-jalan, pada pintu-pintu gerbang kota,
dan apa-apa yang biasa dipungut dari pasar-pasar dalam bentuk pajak atas
barang-barang yang dibawa oleh orang-orang yang sedang melewatinya maupun
(barang-barang yang dibawa) oleh para pedagang (semua itu) termasuk perbuatan
zhalim yang teramat besar, (hukumnya) haram dan fasik.[2]
Maka tidak mengherankan kalau banyak kalangan ikut-ikutan juga mengharamkan
pajak. Sebab dalil-dalilnya secara lahiriyah memang demikian, apalagi juga
banyak pendapat para ulama salaf yang ikut mengharamkannya.
C.
Pendapat Yang Menghalalkan
Adapun pendapat yang menghalalkan pajak berhujjah bahwa dalil-dalil di atas itu
tidak tepat untuk diterapkan pada pajak yang berlaku di masa sekarang. Alur
logikanya sebagai berikut :
Pungutan yang dimaksud di dalam dalil-dalil di atas memang haram, karena
merupakan pemerasan dari pihak yang kuat kepada pihak yang lemah.
Dalil-dalil di atas lebih tepat untuk diterapkan pada zaman jahiliyah di masa
sebelum kenabian, namun setelah kedatangan risalah Islam, pajak masih ada meski
dengan syarat-syarat tertentu.
Kalau dibandingkan dengan masa kini, maka pajak yang haram itu bisa ditetapkan
pada masa penjajahan, yaitu ketika pemerintah Hindia Belanda berkuasa dan
memungut pajak yang memeras keringat dan darah rakyat. Dan oleh karena itulah
maka rakyat negeri ini berjihad secara fisik untuk mengusir penjajah, yang pada
intinya mereka tidak lain adalah para pemungut pajak.
Di masa sekarang ini, meski pajak dikenakan kepada rakyat, tetapi dilaksanakan
oleh negara atas dasar kebutuhan dan juga atas persetujuan dari perwakilan
rakyat. Jadi pajak di masa sekarang sifatnya disesuaikan dengan kemampuan.
Misalnya pajak barang mewah, tentu hanya dikenakan pada kalangan yang memiliki
barang mewah. Rakyat jelata yang miskin tentu tidak dikenakan.
Kalau kita makan di warung pinggir jalan, harganya sangat murah, karena tidak
dikenakan pajak. Sebaliknya, harga makanan di restoran bintang lima menjadi
berkali lipat, salah satu faktornya karena dikenakan pajak.
2. Pajak Kembali Untuk Rakyat
Berbeda dengan pungutan di masa lalu yang diharamkan, maka pajak pada hari ini
pada prinsipnya lebih merupakan kesepakatan di antara rakyat untuk sama-sama
membiayai penyelenggaraan negara. Jadi prinsipnya uang pajak dari rakyat itu
pasti akan dikembalikan kepada rakyat, dan demi kepentingan rakyat.
Ibarat iuran keamanan dan kebersihan di lingkungan tempat tinggal kita, setiap
bulan masing-masing rumah dipungut iuran yang digunakan untuk membayar satpam
dan petugas kebersihan. Tentu semua demi keamanan dan kebesihan lingkungan.
Maka kita tidak mungkin mengatakan bahwa iuran keamanan dan kebersihan sebagai
pembayaran yang haram. Justru sebaliknya, pembayaran itu malah wajib hukumnya.
3. Ada Kewajiban Harta Selain Zakat
Pihak-pihak yang mengharamkan pajak sering berdalil bahwa tidak ada kewajiban
dalam urusan harta kecuali zakat.
لَيسَ فيِ الماَلِ حَقُّ سِوَى الزَّكاَة
Namun pengertian hadits di atas tentu tidak tepat kalau kita terapkan secara
acak-acakan. Kalau begitu, nanti orang yang berhutang tidak mau bayar hutanya,
dengan alasan bahwa agama hanya mewajibkan kita membayar zakat dan bukan
membayar hutang.
Begitu juga, orang yang bernadzar untuk memberikan hartanya di jalan Allah,
juga akan membatalkan niatnya, hanya karena alasan bahwa harta yang wajib
ditunaikan hanya terbatas zakat saja.
Orang yang melanggar suatu aturan lalu ditetapkan kaffaratnya, bisa saja
mangkir tidak mau bayar, dengan alasan yang sama. Maka denda kaffarat seperti
menyembelih kambing, atau memberi makan 60 fakir miskin, atau membebaskan
budak, dan yang lainnya, tentu bisa saja dibatalkan, apabila kita keliru dalam
memahami dan menerapkan hadits di atas.
Sesungguhnya makna hadits di atas hanya ingin menetapkan bahwa pada dasarnya
kewajiban dasar dalam Islam adalah zakat. Adapun bila terjadi kasus dimana
seseorang berhutang, tentu saja dia wajib bayar hutang. Begitu juga kalau kita
sepakat untuk menjadi warga suatu negara dan telah ditetapkan bahwa di antara
kewajiban kita sebagai warga negara adalah membayar pajak, tentu dengan mudah
kita pahami bahwa kewajiban itu harus kita akui.
Ibarat kita mau bepergian menumpang pesawat, maka sebagai penumpang, tentu kita
wajib membayar tiket. Kita tidak bisa naik pesawat gratisan, dengan alasan
bahwa Islam tidak mewajibkan kita membayar apapun kecuali bayar zakat.
D.
Pendapat Pertengahan
Pendapat yang dipertengahan tidak mengharamkan pajak secara keseluruhan, tetapi
juga tidak menghalalkan secara keseluruhan. Dalam pandangan pendapat ketiga
ini, tidak semua jenis pajak itu merugikan atau merupakan penzaliman. Sebagian
dari pajak itu ada yang memang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. Maka
batasan halal dan haramnya pajak disebutkan sebagai berikut :
1. Dilakukan Oleh Pemerintah Yang Sah dan Adil
Pajak atau pungutan yang haram adalah yang sifatnya liar, dipungut oleh oknum
diluar ketentuan yang telah ditetapkan.
Pungutan liar yang dilakukan oleh preman termasuk ajak yang haram. Demikian
juga meski dipungut oleh petugas negara, tetapi di luar batas wewenangnya
adalah pungutan yang haram hukumnya.
2. Tidak Mencekik Rakyat
Pajak yang sifatnya mencekik rakyat miskin, sehingga membuat kehidupan mereka
yang sudah susah jadi bertambah susah, merupakan bentuk kezaliman yang nyata.
Meski pajak itu ditetapkan oleh pemerintah yang sah, namun bila sampai mencekik
rakyat, maka pada dasarnya pajak itu sebuah kezaliman yang haram hukumnya.
3. Sepenuhnya Digunakan Untuk Kepentingan Rakyat
Apabila pajak yang dipungut oleh pemerintah kemudian diselewengkan penggunaannya,
maka meski pajak itu resmi namun sama saja dengan penzaliman atas harta rakyat.
Maka dalam kasus seperti ini, sebelum para koruptor uang pajak itu dihukum dengan berat, pajak bisa saja menjadi sesuatu yang zalim juga.
Ini yang bisa kita fahami dari munculnya seruan bokit pajak oleh Pimpinan NU, KH Said Agil Siradj,
pada musyawarah alim ulama NU di Cirebon, awal tahun 2012 lalu. Alasan muncul seruan
boikot pajak karena penyelewengan pajak sudah keterlaluan.
Sumber :
No comments:
Post a Comment