Senin pagi, 8 Oktober
2012, jam masih menunjukkan angka 07.15 saat seorang lelaki sederhana memasuki masjid Thoriq Bin
Ziyad, komplek KPP Pratama Cikarang Utara, Bekasi. Ritual rutin petugas Satpam KPP
setelah membersihkan ruangan dan teras masjid itu adalah shalat dhuha, berdo’a
dan membaca Qur’an. Tak lama, biasanya
beberapa pegawai KPP akan menyusul. Mereka menyempatkan untuk bercengkerama
pagi dengan Sang Khalik. Khusyuk dalam ruku, sujud dan do’a. Cukup lima belas
menit untuk menyegarkan spiritual. Kemudian bergegas menuju ruangan
masing-masing. Memulai hari bergulat kembali dengan pelayanan dan pengawasan
Wajib Pajak. Menunaikan amanah, mengejar target penerimaan dan kinerja.
Di KPP Madya Bekasi,
Jalan Cut Meutia, Bekasi, suasana pagi di
atas juga akan kita jumpai. Siang harinya, masjid Shalahudin di sana selalu
ramai waktu shalat jamaah Dzuhur dan Ashar. Baik oleh pegawai maupun Wajib Pajak yang
sedang berkunjung. Apalagi di sana ada
dua kantor, bersama KPP Pratama Bekasi
Selatan. Rutinitas lainnya, sekali dalam sepekan diselenggarakan kajian
Islam.
Di Kantor Pusat DJP,
Jalan Gatot Subroto, Jakarta, suasana
religius lebih terasa lagi. Tidak seperti di banyak kantor, hotel, pabrik dan
pusat perbelanjaan yang menempatkan masjid di pojok parkir atau basement, posisi masjid Shalahudin di sana teramat
bagus. Arsitekturnya yang indah dan menyandingkannya dengan gedung utama seperti mewakili visi DJP.
Kegiatannya beragam.
Tidak hanya pengelolaan ibadah shalat, ceramah yang jadi budaya pesantren sudah
lama diakrabi pegawai DJP. Saat memberikan nasihat singkat itu para pejabat
eselonpun menjadi seorang ustadz. Selain
itu ada peringatan hari besar Islam, santunan yatim, bulletin dakwah, qurban, dan shalat ‘Ied. Saat bulan Ramadhan
suasana religus amatlah terasa.
Ketaatan kaum
Kristiani juga difasitasi. Seperti saat perayaan Natal 2011, bertempat di Auditorium
Cakti Buddhi Bhakti, Minggu 15 Januari 2012 lalu, panitia Natal DJP mengajak
umat Kristiani untuk berkarya dalam sukacita. Pemimpin kebaktiannya adalah Pdt
Marnangkok Situmorang. Pemberi khotbah Natalnya, Romo Yohanes Edy Purwanto Pr. Saat sambutan Natal, Dirjen Pajak menyatakan
bahwa jika seluruh pegawai bersikap optimis serta selalu penuh sukacita di
dalam pekerjaannya, akan memberikan suasana kerja yang baik sehingga
menghasilkan output yang lebih baik
pula.
Umat Hindu di
lingkungan Kanwil DJP Bali ada sekitar 230-an pegawai. Saat Perayaan Nyepi,
April 2012 lalu, Kanwil DJP Bali menyelenggarakan Dharma Santhi Nyepi Tahun
Caka 1934. Di sana para pegawai DJP melakukan
sejumlah kegiatan, seperti kegiatan sosial ke Panti Asuhan Dharma Jati, donor
darah, persembahyangan bersama dan penanaman pohon. Di mata umat Hindu, Nyepi
sebagai Tahun Baru Caka merupakan perenungan dan refleksi.
Paradoks DJP dan Tren Global Kesadaran Spiritual
Suasana seperti di
atas memang menjadi paradoks ketika media lebih banyak mengungkap sosok
kebalikannya seperti GT, BA, DW, TH. Pemberitaan media yang membuat citra DJP
terpuruk di masyarakat. Dikesankan sarang korupsi. Padahal, DJP sendiri adalah pelopor reformasi birokrasi
yang menjunjung tinggi nilai integritas.
Pertanyaannya,
bagaimana sumberdaya DJP mampu menjaga stamina modernisasi itu dalam jangka
panjang sehingga bisa jadi acuan yang kokoh dan mampu mengatasi badai
pencitraan negatif yang datang silih berganti?
Di sinilah peran
spiritual bicara. Consciousness, kesadaran, keberadaan atau
kewaspadaan, aura jiwa yang memberi
semangat, serta keikhlasan akan menjadi sumber api yang menyala. Tanpa
keikhlasan biasanya semangat untuk berbuat kebaikan tidak akan berlangsung
lama. Sedangkan aktivitas ibadah di
atas, tujuannya agar kesadaran (dzikr,
consciousness) itu senantiasa menyala dan terjaga.
Di KPP yang tersebar di
berbagai kota seluruh nusantara, keberadaan tempat ibadah menjadi penting. Ke
dalam untuk menjaga spiritualitas
pegawai, ke luar untuk membawa pesan bahwa DJP menjunjung tinggi nilai-nilai
religius. Dengan komitmen dan dinamika yang terbangun tersebut, nilai-nilai institusi
yang ditegakkan akan seperti sila-sila Pancasila yang dilandasi sila pertama Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Diluar DJP sendiri,
kesadaran spiritualisme adalah tren yang tengah melanda dunia. Bahkan di tengah pusaran kapitalisme yang selama
ini terkesan menuhankan uang, laba dan
egoisme. Bahkan “juru bicara resmi” kapitalisme, Alan Greenspan, mengakui
kekurangan kapitalisme itu.
Penulis buku “The Corporate Mistics”, Gay Hendriks Ph.d menggunakan istilah corporate mistics atau sufi-sufi korporat, untuk menyebut para
pelaku bisnis yang sangat menjunjung
etika dan menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual. Sedangkan Patricia
Aburdence, di dalam buku “Megatrends 2010” yang ia tulis, banyak
menguraikan kisah-kisah para eksekutif perusahaan yang berhasil mentransformasi
nilai-nilai spiritual pribadi menjadi nilai korporasi. Membangun sebuah dunia
baru dimana uang dan moral berdiri berdampingan. Muaranya adalah laba
perusahaan yang melimpah dan berkelanjutan.
Kini para pengusung
kapitalisme sadar bahwa pencarian moral, keinginan untuk mengalami kedamaian
dan tujuan dari sesuatu yang sakral di dunia bisnis yang materialis adalah
realitas-yang-dalam, yang hidup di hati jutaan orang dan sangat memengaruhi
tingkah laku. Maka, jangan heran kalau di perusahaan kelas dunia di Amerika
Serikat seperti Ford, American Airlines, Texas Instrument dan Intel
mendukung aktivitas berbagai kelompok keagamaan.
Para pekerja muslim
di Ford, misalnya, mendapat fasilitas dari Interfaith
Network yang didanai Ford untuk dapat melaksanakan ritual shalat di Product Development Center. American
Airlines menyetujui adanya kelompok karyawan Kristen, Yahudi dan Muslim, dan
tidak ada masalah dengan adanya berbagai kelompok keagamaan tersebut.
Di dalam negeri,
perusahaan-perusahaan kini tak asing dengan aktivitas bernuansa religius.
Contohnya, dalam rangka menyambut Ramadhan dan Lebaran 1433 H, PT Astra Honda
Motor (AHM) menggelar beragam program untuk menemani dan berbagi bersama
konsumen di bulan suci yang dikemas
dalam kegiatan Sirkuit Ramadhan dan Mudik-Balik Bareng Honda (MBH).
Contoh lain,
berangkat dari kesadaran bahwa integritas dan kejujuran hanya bisa dicapai
dengan kembali kepada peran agama, PT Elnusa mendirikan Badan Dakwah Islam
(BDI) Elnusa, yang kemudian bernama Yayasan Baitul Hikmah Elnusa (YBHE).
Kegiatannya juga beragam. Mulai dari penyelenggaraan Shalat Jum’at, Peringatan
Hari Besar Islam, Kajian Rutin, hingga Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA).
Realitas di atas
menjadi argumentasi tak terbantahkan tentang pentingnya menumbuhkan budaya
kerja yang dilandasi kesadaran spritual,
juga menepis anggapan yang keliru, bahwa kegiatan keagamaan akan
mengurangi produktivitas kerja.
Dengan kata lain dari
kegiatan keagamaan di lingkungan DJP di atas, salah satunya adalah agar muncul “sufi-sufi”
DJP. Bukan dalam arti berpakaian lusuh, berjanggut panjang dan senantiasa
berdiam di tempat ibadah. Tapi pegawai dengan kompetensi tinggi dan senantiasa menjunjung
tinggi nilai nilai integritas, profesionalisme, sinergi, pelayanan, dan kesempurnaan. Hingga mencapai
muara paling diidamkan seluruh masyarakat : birokrasi Indonesia yang bersih,
modern, dan melayani.
*tribute to DJP!
No comments:
Post a Comment