|
Peta Karawang |
Di mata kita
seonggok kemasan kopi bekas adalah sampah tak berguna. Banyak diantaranya jadi
polusi tanah karena tak bisa diurai oleh bakteri. Di mata seorang Mang
Kido, petugas kebersihan di kompleks
perumahan saya, sampah itu adalah lahan
pencaharian buat menghidupi keluarga. Namun dimata seorang ysng kreatif, plastik itu menjadi
produk kerajinan yang indah. Bila diberi sentuhan enterpreneur, handycraft itu
itu menjadi komoditas yang diterima
pasar. Dari sampah bisa juga memunculkan “bank sampah”. Menciptakan lapangan
pekerjaan. Gagasan dan kreatifitas menjadikannya berbeda.
Saung bambu, di
mata para petani hanyalah sekedar tempat
berteduh melepas penat setelah mencangkul sawah. Di mata seniman, saung bambu
bisa menjadi sebuah bangunan nan eksotik. Di tangan enterpreneur, saung bambu
menjadi ciri-khas baru bisnis kuliner.
Lihatlah Alam Sari, Lebak Sari Indah atau Cibiuk, dan Walahar di Karawang. Lalu di mata seorang Lendo Novo, saung bambu
adalah tempat paling nyaman buat belajar. Maka saung bambu menjadi ikon di
hampir semua Sekolah Alam se- nusantara yang ia pelopori. Lagi, gagasan dan kreativitas membuat value sebuah benda menjadi berbeda.
Pernah dengar tentang Ubud? Keunikan Ubud
mungkin hanya akan jadi sebuah tradisi budaya di Bali. Tetapi dengan sentuhan kreatif a la Hollywood,
ia jadi eksotika yang mendunia
dalam film Eat, Pray, and Love.
|
Tetralogi laskar pelangi |
Kalau belum puas, lihat gambar sampul empat buku di samping. Di tangan Andrea
Hirata, sebuah sekolah nyaris roboh di Gantong, Belitong Timur dengan latar
sejarah perusahaan timah dan kisah sepuluh anak miskin yang mengejar cita-cita
menjadi cerita dahsyat tentang Laskar Pelangi. Kini Tetralogi Laskar Pelangi
melanglang buana menaklukan pembaca mancanegara. Mengejar Nobel.
Terakhir, lihatlah lukisan
masterpiece Monalisa karya Leonardo Da Vinci. Detailnya, komposisi warnanya, keseimbangannya, “kesan
hidupnya” memang mengagumkan orang se-jagat. Sempurna.
Tapi semuanya tidak ada apa-apanya. Simak saja alam sekitar ciptaan Sang Maha Pencipta. Salah satunya diri kita. Kita adalah sebaik-baik ciptaan. Sebaik-baik kreasi. Dari Sang Kreator yang Maha Sempurna!
Apa kunci
kualitas dan kesempurnaan itu?
Menurut para ahli tasauf, adanya alam ini karena adanya c i n t a. Karena Allah Maha Rahman. Maka terjadilah alam. Juga karena kesungguhan. Tidak ada yang Allah ciptakan sia-sia. Salah satunya lagi karena tidak ada intervensi. Allah menciptakan alam ini
sendirian. Jika ada tuhan lain selain Allah, maka kacaulah alam ini.
Melukis Monalisa tentu Leonardo Da Vinci seorang diri. Akan aneh
kalau ia dilukis bareng lainnya. Konflik dua jiwa akan menghasilkan karya dengan
rasa yang berbeda. Tentu. Jiwa seseorang bisa dirasakan dari buah karyanya. Contoh lain, karakter tulisan
seseorang bisa dirasakan oleh pembacanya. Ada rasa bahasa yang berbeda antara penulis satu
dengan lainnya.
Alam ini dengan
segala isinya disediakan Sang Khalik buat manusia. Mengamanahkannya sebagai
rahmat bagi semesta. Rahmat itu artinya kasih sayang. Jadi, produk dari Wakil- Sang-Pencipta
semestinya mencerminkan kasih sayang pula. Itulah karya yang benar, baik dan
indah. Ketiga-tiganya harus terpenuhi.
Makna “benar”
berarti mencerminkan kesesuaian dengan
nilai kejujuran, amanah, efisiensi, profesionalisme, tidak koruptif . Tak ada
hukum yang dilanggar. Adapun “baik”,
artinya ada manfaat, ada kualitas kehidupan yang terangkat, tidak merugikan
warga, tidak mendzalimi, juga tidak merusak moral. Sedangkan makna “indah”,
adalah kesan artistik yang muncul. Ada kepuasaan saat memandang atau
mendengarnya.
Lalu apa hubungan
semuanya dengan tema Karawang??
Inilah Karawang!
Saat menjejak
kaki pertama kali di Kota Karawang, tahun 2006 lalu, gambaran Karawang yang hijau dan pesawahan
ternyata tidak terlihat, yang ada justru
jalanan berlubang di sani-sini dan “bergoyang” karena kerusakan yang parah. Bagi seorang
pegawai kantor pajak seperti saya, lidah pasti akan kelu kalau harus bicara pajak dalam
suasana seperti itu. Karena hanya menghasilkan ironi : dana pajak ke mana saja?
Waktu itu sempat
terheran-heran karena rusaknya jalan sampai jauh hingga ke pelosok. Di berbagai
kota yang sempat saya singgahi, tidak ada yang separah ini. Di Probolinggo,
Lumajang, Jember, dan Kuningan jalanan ke pelosok sudah mulus dengan lapisan
aspal hotmix. Waktu itu memang masih era awal Bupati Dadang "Hotmix" Mukhtar. Kondisi Karawang di atas adalah “hasil karya” eks bupati Ahmad Dadang
(alm). Melihat jalanan di Karawang (bahkan hingga tulisan ini dibuat) saya seperti melihat lukisan anak yang sedang belajar melukis yang bahkan membuat lingakaranpun belum bulat.
Bila saya bandingkan dengan kota-kota yang pernah saya singgahi dan bermukim di sana, kondisi di atas sungguh sebuah ironi.Di Jember, Jawa
Timur, misalnya, jalan akses menuju
kawasan wisata Bukit Krembangan yang berada di puncak bukit di utara Jember amatlah mulus. Sepanjang jalan menuju Pantai
Watu Ulo dan Tanjung Papuma di wilayah Laut Selatan Jember juga sangat terawat. Sedangkan di Probolinggo, tetangga
kotanya, eksotisme Gunung Bromo dipadu
kekhasan budaya Suku Tengger telah lama
menjadi magnet wisata dunia. Potensi ini sejak lama sudah dikelola
dengan baik oleh pemerintah setempat. Jalanan muluspun selalu siap menuju
lokasi.
|
Bukit Krembangan-Jember. |
| Sumber: Internet |
Juga di
Kuningan, Jawa Barat, jalan menuju ke
salah satu kawasan wisata sekaligus bumi perkemahan yang berada di Palutungan,
Cisantana cukup bagus. Mobil sedanpun
bisa sampai ke lokasi yang berada di lereng Gunung Ciremai itu untuk kemudian
bisa menikmati indahnya Curug Putri yang
hanya berjarak 200 saja dari tempat parkir.
Di semua tempat itu saya bisa merasakan adanya kepedulian, komitmen, kesungguhan, cinta, dan kreativitas. Dalam tataran akademis, ini termasuk fenomena budaya.
Nah, Dengan APBD 2 Triliun, Karawang bisa apa?
Hm, saya yakin di tangan pemimpin yang “berbudaya”,
Karawang adalah sebuah keindahan. Menjadi mahakarya. Bagaimana tidak? Perpaduan antara alam gunung dan pantai, aliran
sungai Citarum, nilai sejarah, luas lahan agraris, kekayaan budaya, sumber daya yang melimpah dan dipadu
dinamika kawasan industri lebih dari cukup untuk menciptakan surga bagi warganya.
|
Candi Jiwa-Batujaya |
Sayang sekali
ternyata, jangankan menciptakan suatu produk budaya baru, atau menciptakan terobosan baru yang bisa jadi fenomena. Sesuatu yang sudah jadi produk budaya pun belum belum terkelola dengan baik.
Bagaimana wisatawan mau ke Candi Jiwa kalau
jalanan mirip lintasan off-road?
Bagaimana Monumen Kebulatan Tekad di Rengas Dengklok
mau dibanjiri wisatawan kalau di dekat sana ada pasar dengan kesemrawutan stadium
berat?
Bagaimana mau ke Monumen Rawa Gede mengenang Tragedi “Karawang Bekasi” kalau jalan akses ke Kecamatan Rawamerta membuat kendaraan bergoyang hebat
sepanjang perjalanan?
Bagaimana membuat
Loji jadi pesaing pesona Puncak kalau jalanan menuju ke sana membuat pegal sekujur
badan dan putus asa.
|
Monumen Rawa Gede |
Padahal Karawang
menikmati berkah ekonomi relatif tanpa perlu terlalu memeras otak dan berfikir sampai
kening berkerut-kerut. Letak geografis
Karawang yang dekat dengan pusat ekonomi, Ibukota Jakarta, menjadikannya lokasi
strategis bagi perusahaan yang berinvestasi. Pilihan setelah Jakarta, Bogor,
Tangerang dan Bekasi yang semakin padat saja.
|
Curug Cigeuntis |
Karawang juga
kebanjiran pendatang baru dengan kualifikasi bagus : kelas menengah.
Mereka karyawan pabrik yang bekerja di perusahaan yang tersebar di kawasan
industri KIIC, KIM, KIKC, Surya Cipta atau Indotaisei. Mereka adalah konsumen
potensial. Ekonomi mereka juga tidak membuat repot pemerintah. Mereka datang sebagai tenaga trampil dan berpenghasilan yang konsumsinya sebagian besar akan dihabiskan di Karawang.
|
Kawasan Industri KIIC |
Multiplier effectnya sudah mulai terlihat. Lihat saja ada perumahan yang menjamur, semua sold out! terjual habis!. Juga rumah makan
yang cepat bermunculan. Ruko-ruko barupun seperti berlomba berdiri. Berkejaran dengan waktu. Mall besar tak
ketinggalan mengikuti. Kabarnya, Karawang sedang disiapkan menjadi kawasan
aetropolis baru untuk menunjang fasilitas bandara internasional penunjang Bandara Soekarno Hatta yang semakin
santer terdengar.
Pengaruh fiskal
langsung adalah dompet Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tebal. APBD Karawang bahkan lebih besar dari
Provinsi Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Bengkulu, Bangka-Beliting. Karawang sudah sejajar dengan APBD
kota besar lain seperti Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bekasi.
Hanya saja, kalau
tidak cermat, sebuah arus deras hanya akan jadi bencana: banjir atau tsunami. Efek dari
industrialisasi sudah mulai terasa. Tanpa konsep pembangunan berwawasan
lingkungan yang baik, munculnya kawasan industri, perumahan dan sentra komersial
baru hanya menghasilkan kegersangan. Buktinya sudah mulai terasa, Karawang-kota
kini dominan panas, kering dan berdebu.Sungai Citarum tak lagi bersahabat dengan biota air. Tercemar limbah industri di sepanjang alirannya.
Pembangunan adalah sebagaimana karya
seni yang harus berangkat dari rasa jiwa yang indah, yang dipadu kreativitas.
Sedangkan jiwa yang indah tak akan muncul dalam suasana marah nan kacau serta
niat yang buruk. Seperti itulah sebuah daerah akan terbangun. Ia akan jadi kota
yang indah, manakala "dilukis" oleh pemimpin yang bersih dan indah jiwanya, serta
penuh kreativitas pikirannya. Ia memimpin berangkat
dari komitmen untuk mengabdi kepada rakyat dan Tuhannya. Bukan datang dari jiwa yang kotor yang lebih
mementingkan diri sendiri dan kelompoknya
Satu hal lain: tidak boleh ada intervensi dan benturan kepentingan. Harus saling percaya. Antara eksekutif dan
legislatif harus saling menghormati posisinya. Salah satu
contoh kecil, akibat masih adanya intervensi legislatif pada eksekutif melalui
program dana aspirasi dengan alasan hak budgeting, membuat banyak ruas jalan di Karawang belang-bentong. Sepotong dicor,
sepotong diaspal. Sisanya masih garinjul. Lihat saja jalan di pasar blok R dan jalan Blok X Perumnas. Jalan cor di situ cuma 50 meter saja.
Koq bisa? Karena di situ ada posisi legislatif
yang off-side. Ikut campur urusan eksekutif dalam hal teknis. Berupa penentuan lokasi dan penerima manfaat/proyek yang berasal dari dana APBD. Termasuk sebagian proyek infrastruktur. Saya yakin dalam situasi begini, fungsi pengawasan DPDRD tidak akan berjalan. Bagaimana mau diawasi, sedangkan yang diawasi adalah program dan proyek usulan sendiri. Ini namanya DPRD mengalami disfungsi.
Maka jangan
terlalu berharap hasil "lukisan" Sang Bupati Karawang akan bisa seindah lukisan
Monalisa.
Wallahu ‘alam.
No comments:
Post a Comment