Masjid Salman, ITB |
Alhamdulillah, awal Oktober
2012 kemarin bisa menyempatkan shalat Jum'at di Masjid Salman, ITB Bandung. Sepulang dari
acara rakor di Hotel Holiday Inn, Dago. Lokasinya memang tidak jauh dari
ITB. Ini memang pengalaman pertama mampir ke sana. Walau
beberapa kali ke kota Kembang, bahkan hingga ke Sabuga, namun tidak
sampai ke Salman. Ada rasa penasaran yang terselip, terutama
saya ingin melihat halaman rumputnya. Koq halaman rumput?
Ya, masjid Salman memang bernilai sejarah bagi kebangkitan generasi muslim modern Indonesia. Masjid yang namanya pemberian Sukarno ini adalah pelopor berdirinya masjid-masjid kampus di Indonesia. Dari sini era gerakan muslim modern Indonesia mulai menemukan lahan subur. Bersemai. Tumbuh. Berkembang dan menyebar ke mana-mana. Diantaranya memunculkan model kegiatan yang ditiru di tempat lain. Seperti virus.
Ya, masjid Salman memang bernilai sejarah bagi kebangkitan generasi muslim modern Indonesia. Masjid yang namanya pemberian Sukarno ini adalah pelopor berdirinya masjid-masjid kampus di Indonesia. Dari sini era gerakan muslim modern Indonesia mulai menemukan lahan subur. Bersemai. Tumbuh. Berkembang dan menyebar ke mana-mana. Diantaranya memunculkan model kegiatan yang ditiru di tempat lain. Seperti virus.
Salah satu “virus” yang
menyebar itu bernama mentoring. Mentoring ini adalah kajian keislaman tematis
yang diikuti sekitar sepuluh peserta saja. Pelopor mentoring sendiri adalah Karisma, salah
satu unit kegiatan Salman. Pada mentoring itu, Sang Mentor yang kebanyakan
adalah senior angkatan menyampaikan materi tertentu, kemudian dilanjut
diskusi. Suasananya memang rileks dan dialogis. Tidak seperti
ceramah dan khutbah yang monolog. Nah, suasana rileks itu muncul karena
terkadang tempat mentoringnya lesehan di rumput. Itulah kenapa saya ingin lihat
rumputnya, he he
Mentoring sendiri saya kenal mulai saat SMA kelas 1. Tahun 1990. Saat pesantren kilat Ramadhan di Masjid Agung Syiarul Islam, Kuningan dua pekan lamanya. Saat itu ada memang dibuat kebijakan ada libur agak lama saat Ramadhan. Inilah kegiatan yang amat berkesan. Momentum munculnya kesadaran keislaman yang mewarnai hidup saya. Hingga kini. Itulah untuk pertama kalinya saya merasa bangga sebagai muslim.
Mentoring sendiri saya kenal mulai saat SMA kelas 1. Tahun 1990. Saat pesantren kilat Ramadhan di Masjid Agung Syiarul Islam, Kuningan dua pekan lamanya. Saat itu ada memang dibuat kebijakan ada libur agak lama saat Ramadhan. Inilah kegiatan yang amat berkesan. Momentum munculnya kesadaran keislaman yang mewarnai hidup saya. Hingga kini. Itulah untuk pertama kalinya saya merasa bangga sebagai muslim.
Ada beberapa literatur yang saya baca berbarengan dengan pengenalan
mentoring. Terutama Buku-buku Muhammad Quthb dan Sayid Quthb yang menghentak
kesadaran. Membangkitkan ghirah.
Menumbuhkan kebanggaan. Membuka cakrawala baru. Bahwa Islam lebih dari sekedar
agama. Tapi the way of life.
Buku-buku yang sampai sekarang masih ada di perpustakaan pribadi itu penerbitnya
adalah pustaka Salman.
Salah satu buah
dari kesadaran itu adalah mulai muncul kesadaran berjilbab bagi yang perempuan.
Terutama mahasiswi dan pelajar SMA. Simbol deklarasi “isyhadu bi annal muslim” atau “saksikanlah, bahwa saya seorang muslim”. Itulah saat
gerakan jilbab mulai muncul, kemudian membesar dan menerabas
belenggu. Mendobrak tirani. Revolusi jilbab.
Dahsyat!
Itulah saat sebuah perjuangan terlihat benar bagaimana awal dan akhirnya.
Mulai dari muncul gagasan, semangat, kesadaran, mulai berbilang jilbaber baru.
Lalu kepedulian dari kalangan ikhwan, para da’i, tokoh, budayawan. Lalu ada
dorongan melawan penghalang. Semakin besar gelombang. Mulai membentur tembok. Mulai
ada korban. Ada siswa yang dikeluarkan dari sekolah. Ada yang dipanggil orang
tuanya. Intimidasi. Tapi justru semakin masif. Emha Ainun Najib, sang
budayakan menyerukan lewat puisi “lautan jilbab”. Lalu tiranipun tumbang.
Tidak berhenti di situ. Kelak beberapa ikon kebangkitan peradaban Islam, embrionya
lahir dari lingkungan Salman. Sejarah bank Syari’ah, BPR Syariah dan BMT tak
lepas dari sini. Dalam perjalanannya kita akan menemukan nama Baitut Tamwil Salman. Begitupun Sekolah Islam Terpadu dan Sekolah Alam yang kini tersebar di
seluruh nusantara. Pada sejarahnya kita akan menemukan nama TK Salman yang memelopori integrasi antara
pengetahuan umum dan agama.
Kembali ke laptop!
Oh,ya. Di halaman depan masjid Salman itu memang saya lihat hamparan rumput
yang luas itu. Tempat kegiatan mentoring selain di teras masjid yang sejuk
berlantai kayu. Unit kegiatan ekonomi juga terlihat di sekelilingnya. Salman
memang menjadi percontohan masjid yang memicu ekonomi.
Saya memang tidak berlama-lama ada di Salman. Bahkan karena Shalat Jum’at-nya
datang terlalu siang, jadinya tidak sempat menikmati lantai kayu masjid dan
ruangan dalam yang tanpa tiang itu. Tapi setidaknya saya sudah tidak penasaran
lagi dengan masjid legendaris ini. Masjid yang salah satu tokohnya, Imadudin
Abdurrahim atau Bang Imad itu menjadi inspirasi saat akan memberi nama anak
saya yang kedua. Maka kuberi nama ia Abdullah Imaduddin Hakam Rahmany.
Salman memang
menjadi salah satu monumen peradaban Islam Indonesia yang dibangun dan dipicu pemikiran
Islam modern era Sayid Quthb, Muhammad Quthb, Rasyid Ridha, Muhamad Abduh,
Jamaludin Al Afghani, juga Muhammad bin Abdul Wahab. Gerakan
yang kemudian disusul oleh gerakan dakwah berikutnya yang muncul lebih masif dan terstruktur. Maka gagasan tentang sekolah Islam terpadu, bank
dan ekonomi syariah, masjid kampus, dakwah sekolah, seni Islami, kelak menjadi trend di masyarakat
karena muncul gerakan yang lebih masif dan berhasil mengeksekusi
gagasan-gagasan di atas menjadi fakta di lapangan. Gerakan ini kemudian dikenal sebagai gerakan tarbiyah.
Karawang, 9 Nopember 2012
No comments:
Post a Comment