“Bi, jalan-jalan
ya....” Kata Dhiya dan Uki, dua jagoan kecil saya. Setiap libur akhir pekan
hampir selalu terlontar kalimat ini.
Mereka menyebutnya “jalan-jalan”. Bisa sekedar jalan kaki ke Galuh Mas
yang jadi pasar kaget saat Ahad pagi, atau sekedar keliling naik mobil ke kota
Karawang, beli es krim, terus pulang. Namun diantaranya ada yang paling
pavorit: jalan kaki menelusuri sawah. Kebetulan di sebelah utara perumnas
Karawang masih ada lahan sawah yang cukup luas.
Lahan sawah itu
kebetulan kini sedang dialihfungsikan. Ditanami ribuan pohon Jabon. Ibu Tua
yang tukang bebersih di sana
menyebutnya “jambon”. Kayunya untuk bahan baku kertas. Nah, saat tinggi Jabon
sekitar dua meter, barisan pohon itu
menghasilkan pemandangan yang indah. Terutama
sayang kalau tidak diambil
fotonya.
Jarang-jarang di
kota Karawang menjumpai pemandangan rindang seperti ini. Kini kota Karawang
memang tidak seperti gambaran saya dulu yang hijau penuh hamparan sawah.
Sekarang lebih dominan kering dan berdebu saat kemarau.
Situasi ini jelas
menyenangkan bagi Si Teteh yang suka
bernarsis ria di depan kamera. Nggak boleh ada pemandangan bagus matanya langsung lirik sana lirik sini
mencari sudut pemotretan yang pas, lalu berpose dan jepret!... jepret!
Apa karena merasa
diri fotogenik atau memang ada keinginan kuat jadi fotografer, kalau kemudian
Si Teteh sering merengek minta dibelikan kamera? Maunya yang SLR lagi, beuu. Inginnya sih memenuhi permintaan
itu. Dengan harapan bakatnya terasah, kelak bisa jadi fotografer profesional
atau wartawan. Cuma harganya itu yang selangit, bisa sepuluh kali lipat dari
kamera saku. Akhirnya Si Teteh cuma bisa puas dengan kamera ponsel yang cuma
3.2 MP, karena kamera saku yang Kodak juga rusak. Hasil gambarnya memang jauh
dari jelas dan tajam. Sabar ya nak.
Nah, hasil jalan-jalan itu adalah beberapa foto narsis anak-anakku.
Biasanya akan jadi bahan pembicaraan saat kembali ke rumah. Terutama kalau ada
foto yang “aneh-aneh”. Si Teteh memang bertolak belakang dengan Abinya yang
nggak bakat buat narsis yang terlalu sering gagap di depan kamera. Sama sekali
tidak fotogenik!
Kebersamaan itu
memang tercipta saat menelusuri pematang, atau saat loncat-loncat. Ada pada
saat ngobrol tentang serangga atau siput sawah. Juga saat foto-foto itu, yang
dilanjut saat melihat hasil jepretan. Indah tak tergantikan. Walaupun di lain waktu kadang ada marah dan
tangis. Ada teriak dan pertengkaran. Justru itu akan jadi warna indah yang
dikenang sepanjang hayat. Tidak mungkin selama kebersamaan isinya semua nasihat
dan petuah, atau kata-kata mutiara. Dalam kebersamaan itu kita akan tahu kapan
waktunya harus tegas dan memarahi serta kapan waktunya bercanda tawa. Wajar dan
mengalir alami.
Namun, ada satu
momen kebersamaan yang terasa begitu sempurna. Walaupun semua anggota keluarga
ada di rumah setiap hari, kumpul ngariung,
namun seringnya aplusan. Ada yang datang ada yang pergi. Ada kesempatan ngariung sebentar saat menjelang tidur,
tapi hanya sebentar. Momen kebersamaan sempurna itu dialami saat perjalanan
jarak jauh Karawang-Probolinggo pulang pergi dalam satu mobil. Di situ seluruh
anggota keluarga ada dalam satu ruangan kabin. Jarak pulang pergi masing-masing
700 km dan ditempuh rata-rata 24 jam itu benar-benar memunculkan kebersamaan yang
sempurna.
Saya pun merasa
benar jadi pemimpin seutuhnya. Karena sepanjang perjalanan saya yang nyopir. Saya
seperti dititipi enam nyawa, tujuh dengan punya sendiri. Tidak boleh lengah dan
ceroboh. Lengah sedikit, bisa menyebabkan kecelakaan fatal. Karena di jalan
raya, di tengah arus kendaraan yang saling berpacu. Segala kemungkinan bisa
terjadi. Kalaupun kita sudah hati-hati,
belum tentu kendaraan lain juga hati-hati. Di saat seperti itu terasa betul
kalau hidup kita ada di tangan-Nya. Perjalanan seperti ini memang menjadi
sangat spiritual. Terasa sekali kedekatan dengan Sang Pemilik Nyawa. Karena
jangan heran kalau do’a orang yang safar adalah salah satu do’a yang makbul.
Disamping itu saya
harus memastikan kondisi mobil secara keseluruhan laik jalan. Juga harus
memastikan melewati rute yang benar. Tidak tersesat. Kemudian harus menjaga
fisik agar mampu nyetir sampai finish. Karena itu memahami peta dan teknologi
aplikatif sangat membantu sebagai sopir atau pemimpin. Terutama faktor keyakinan.
Alhamdulillah, saya sudah terbiasa memakai aplikasi GPS di HP sehingga bisa
memastikan berada di posisi mana. Walaupun sama sekali belum pernah melalui
rute yang dilalui, namun kita bisa yakin kalau tidak tersesat. Logistik juga harus
memadai. Karena ada satu balita dan satu bayi menyusui. Jangan sampai kelaparan
di jalan dan membuat keributan.
Akhirnya, saya
berharap dalam momen-momen seperti ini menjadi kenangan tak terlupa di benak
anak-anak. Bahwa mereka punya keluarga yang saling mencintai. Punya abi dan umi
yang berupaya jadi ortu yang baik. Punya saudara yang selalu merindukan
kebersamaan. Itu anugerah yang wajib disyukuri. Mudah-mudahan perasaan cinta
itu terus tumbuh dan ditularkan ke sekelilingnya. Menjadi penebar kasih sayang.
Dari kebersamaan itu menjadikan mereka inklusif di tengah masyarakat, tidak
autis, penuh kepedulian, juga memahami arti penting kerjasama. Terakhir, dari
perjalanan melewati banyak kota dengan beragam pemandangan itu mudah-mudahan
mereka memahami betapa bumi Allah itu
luas dan indah.
No comments:
Post a Comment