Sejak
mulai tertarik menulis dan kenal ngeblog setiap peristiwa kini terasa
lebih bermakna. Rasanya segala sesuatu inginnya ditulis dan diposting.
Dimana asyiknya? Menulis blog seperti menyusun ulang peristiwa dan
menemukan sesuatu makna yang baru. Bahkan yang saat mengalami nggak
kepikiran. Pun saat lebaran edisi 1433H kemarin. Ada saja yang menarik
buat ditulis. Terutama karena ada tiga agenda yang terlalu sayang
dilewatkan : silaturahim, reuni dan wisata.
Sebelum
lebaran sebenarnya sudah ada tulisan tentang lebaran dan mudik. Sempat
jadi blog pilihan versi detiknews.com dan dibanjiri pengunjung dan
komentar dari pembaca sejagat maya. Judulnya “haruskah kita mudik?”.
Pembaca yang belum menyimak sila menuju ke sini.
Pulkam
lebaran kali ini setelah mempertimbangkan berbagai hal, terutama karena
baru diberi hadiah Allah seorang bayi cantik usia dua bulan, akhirnya
diputuskan berangkatnya setelah shalat ‘Ied. Pukul 10 pagi, Si Macan
Phanter 2.500 cc pun kembali mengaum, melahap solar, memutar roda dan
mengukur jalanan. Kali ini rutenya via Jalur alternatif Sadang,
Kalijati, Subang, Cikamurang, Tomo, Kadipaten, Cirebon, dan Kuningan.
Jalanan berkelok mulai Kalijati hingga Tomo menjadikan suasana lebih
variasi. Mata Pak Sopir bisa lebih segar.
Ada
untungnya tidak ikut arus mudik beberapa hari sebelumnya. Perjalanan
lancar hingga Kuningan. Cukup enam jam waktu yang dibutuhkan hingga
kembali merasakan kesejukan hawa kota di lereng Ciremai itu. Waktu yang
normal. Kalau mendengar cerita para mudikers yang berangkat H-3,
ceritanya bikin mental para driver anjlok. Bagaimana tidak?
Bekasi-Kuningan yang biasanya cuma 6 jam, ini bisa 25-30 jam.
Benar-benar penderitaan nan tak terperikan. Tapi, semakin sengsara saat
mudik biasanya semakin seru dan semangat yang cerita. Kita memang
terkadang aneh.
Ritual
mudik sebenarnya hanya silaturahim plus maaf-maafan. Selebihnya adalah
bumbu penyedap. Ada mercon, kembang api, pakaian baru, atau salam
tempel. Kalau ada yang menambahkan dengan pamer kekayaan, itu sih sudah
keluar dari tujuan. Maka beberapa kerabatpun dikunjungi. Karena sama
mudiknya memang jadinya mudah bertemu. Mungkin inilah satu hal yang
tidak tergantikan dari mudik. Bisa bertemu dalam satu kali waktu. Kalau
hari lain mah mana gampang? paling tidak kita harus janjian dulu.
Salah
satu kunjungan adalah menghadiri walimahan anak saudara sepupu jauh dari
garis bapak. Menghadirinya karena ada alasan khusus. Saudara sepupu
ini meninggal beberapa bulan lalu dengan meninggalkan sembilan anak.
Tujuh anaknya masih kecil-kecil. Anak paling besar usia 20-an, berijazah
SMP, putus sekolah. Dia bekerja serabutan di Depok. Bekerja apa saja.
Praktis Ia jadi kepala keluarga menggantikan sang ayah. Adiknya yang
perempuan inilah yang kemarin menikah. Dapat orang Cilacap.
Pernikahan yg bersahaja |
Melihat
tujuh anak yatim itulah yang membuat hati ini trenyuh. Kadang berfikir,
bagaimana mereka melewati hari-demi hari tanpa kehadiran sang ayah?
Pernah mengutarakan mau mengambil salah satu anak yang mau lulus SD buat
jadi anak asuh. Tapi ibunya menolak. Setelah saya pikir lagi sambil
bergantian melihat anak-anak sendiri. Rupanya kasih Ibu memang teramat
luas. Si anak juga rupanya tidak sanggup lepas dari kehangatan
Ibundanya.
.
Reuni SMP
Sedangkan
peristiwa asyiknya adalah saat reuni terbatas SMP. Memang ini bukan
reuni akbar. Hanya beberapa kawan yang sebelumnya intens komunikasi via
BBM dan FB. Akhirnya ada yang inisiatif bertemu di salah satu rumah
alumni, rumahnya Eka yang di Pasapen III. Nama jalan yang dulu begitu
akrab. Saat ketemu itulah yang heboh. Semua pada saling nanya “kamu
siapa ya?” Ha ha ha. Agak berbeda dengan yang SMA tahun kemarin yang
relatif masih bisa dikenali. Walau sudah ada fotonya di FB, tetap saja
harus mengernyitkan dahi dulu. Ada yang hafal wajah lupa nama. Tapi
kebanyakan lupa wajah juga lupa nama. Meni blank pisan geuning... he he he.
Reuni
sesunguhnya sebuah silaturahim. Maka motivasinya memang tak boleh keluar
dari itu. Reuni bukan untuk bangga-banggaan atau pamer. Lagipula apa
yang harus dibanggakan? Semuanya toh relatif. Saya sendiri paling
semangat kalau saat ngobrol menyebut jumlah anak. Lima anak saya kira
masih rekor untuk generasi seangkatan. Itupun harus disertai kesadaran
bahwa jumlah itu adalah sebanding amanah. Diantaranya malah jadi ujian.
Semakin banyak semakin susah pertanggungjawabannya kelak. Jadi apanya
yang harus dibanggakan? Begitupun harta dan kedudukan.
Kesan
nostalgia memang terasa. Itu karena suasana tempat dan lingkungan yang
dekat dengan lokasi sekolah. Terik dan cerahnya siang hari itu,
menjadikannya terasa SPENDA banget. Seperti memasuki lorong waktu.
Mundur ke masa seragam putih biru celana pendek yang masih polos dan
ababil. Mencari jatidiri.
Maka saat
acarapun kayak orang baru ketemu. Motto yang pas dalam suasana begini
memang “tak kenal maka kenalan”, he he. Maka masing-masing mengenalkan
siapa jatidiri sebenarnya. Seperti menepis tabir misteri. Maka kata
“Oooo...h” bergantian muncul saat Elie, Leni Sudrajat, Deden, Eka,Yulie,
Ajeng-Julaeha Rustam, Yoyoh, Yeyet, Ira dan diriku bergiliran
mengenalkan diri.
nama kamu siapa....? |
emak-emak narsis |
Seperti
biasa, di ujung acara, sesi foto-foto adalah acara wajib. Bagi
kebanyakan orang ini adalah sesi favorit. Ajang narsis walau wajah sudah
berkurang manis. Tapi bagi saya, sesi foto-foto adalah moment paling
mengerikan. Siap-siap harus meratapi nasib. Karena hasil jepretan yang
seringnya jauh dari fotogenik. Melas liat wajah sendiri, ..he.. he...
Saya
rupanya kurang beruntung karena keburu pulang, si kecil Uki yg saya bawa
mulai rewel. Padahal ada Kang Dede Badrudin dan Bapak Kuswata, kepala
Spenda sekarang yang datang ke situ. Kebetulan depan rumah Eka adalah
rumah beliau. Padahal tadinya saya mau studi banding dengan beliau
sekalian konsultasi mengatasi kendala psikologis saat rambut di kepala
mulai mengalami krisis pertumbuhan. Agar tetap pede dan berkarya seperti
beliau, he he
.
Terpesona di Palutungan
Saat
mudik yang asyik juga adalah saat wisata alam. Kenal Gunung Ciremai?
Pernah ke sana? Nah, yang pernah silaturahim ke gunung tertinggi Jawa
Barat melalui Kuningan, hampir pasti kenal tempat ini. Namanya
mengingatkan pada sejenis primata berwarna hitam atau cerita rakyat
Sunda “Lutung kasarung”. Namanya Palutungan.
Tempat
ini memang berfungsi sebagai bumi perkemahan sekaligus hutan wisata.
Saya sendiri lupa persisnya kapan terakhir ke Palutungan. Kalau tidak
salah waktu SMA kelas dua tahun 1991. Jadi sudah 21 tahun tidak ke sana.
Lama sekali ya. Karena lamanya bahkan lupa kalau di sana ada Curug
Putri. Air terjun indah yang cukup tinggi dan deras airnya.
Melihat
Curug Putri jadi teringatAir Terjun Mada Karipura di Probolinggo, lereng
gunung Bromo. Bedanya Mada Karipura jauh lebih tinggi dan suasananya
lebih mistis. Mungkin karena bentuknya seperti lorong vertikal raksasa
dengan debit air yang lebih deras. Saya jadi merindukan Probolinggo.
Tanah air kedua setelah Kuningan.
Suasana
pedesaan Cisantana yang dilewati, juga mengingatkan pada suasana
pedesaan Ngadisari di Pegunungan Bromo . Konturnya berbukit dengan
tanaman sayur kol di sana sini. Ada juga yang berkebun Strawberry. Hanya
jurang-jurang dan perbukitan di kiri-kanan jalan menuju Bromo memang
lebih eksotik karena arealnya lebih luas. Sayapun jadi merindukan
Bromo. Minimal sudah latihan membawa Si Macan menyusuri jalan menanjak
sampai ke gunung.
Di lokasi
Palutungan, rupanya sudah terkelola dengan baik oleh Pemda setempat.
Sudah ada fasilitas outbond. Juga warung-warung makanan dan minuman. Di
situ sempat menikmati mi Instan dan bakso. Dinginnya hawa membuat rasa
mi dan bakso jadi lebih nikmat. Sayangnya lagu yang di-stel di situ
ternyata dangdut koplo. Kenapa bukan irama degung ya, atau kecapi
suling, gitu? Biar suasana Sundanya terasa banget. Paling tidak Rhoma
Irama lah, peupeuriheun murottal mah, biar kayak suasana hajatan atau
saat ada layar tancap di Alun-alun kecamatan Kadugede dulu, he he
Oh,
ya.... anak saya yang ikut memang tidak semua. Hanya Si Teteh, Imad dan
Dhiya. Ditemani Iping (adik ketiga saya) dan pasukannya. Sedangkan
nyonya memilih istirahat di rumah bareng Si Kecil dan Kakaknya. Soalnya
besoknya langsung balik lagi ke Karawang. Menghindari macet arus balik.
Saat
mencapai Curug Putri, anak-anak yang ikut langsung bersorak. Maklum jadi
anak warga kota Karawang jauh dari air mengalir. Adanya juga selokan
depan rumah. Sungai Citarum-pun jauh dari bersih. Malah punya pengalaman
pahit saat diterjang banjir besar luapan Citarum, tahun 2010 lalu.
Merasakan derita jadi pengungsi.
Puas
rasanya menikmati air jernih dingin nan alami Curug Putri. Saat itu
kebetulan sedang ramai. Banyak pengunjung yang ikut memanfaatkan
indahnya sekeliling curug. Terutama para abege. Ramai-ramai berpose alay
dan difoto pake hape. Ada yang berpose di bawah guyuran air, di dekat
akar pohon, atau dekat batu besar. Saya yakin habis itu ramai-ramai
di-upload di fesbuk, lantas nge tag teman2nya yang di alam ghaib itu.
Tapi saya gak yakin kalau diantaranya mereka ada blogger nyasar lalu
posting di Blogdetik kayak saya, he he. Nah, sayapun jadi ketularan.
Sebagian fotonya ada dibawah ini.
A Father 'n Three Children |
Imad di belakang, Teteh di depan....narsis dulu... aahh |
Aa Dhiya gak mau kalah narsis sama kakaknya |
Euuuh..... waktosna seep para mitra... itulah sekilas catatan lebaran edisi tahun ini. Semoga Allah mempertemukan kembali dengan Ramadhan dan lebaran tahun depan. Amiin.
Karawang, Syawal 1433H
No comments:
Post a Comment