Selama ini kalau bicara pendidikan bisa dipastikan akan berbicara tentang isu-isu sebagai berikut
- Gedung sekolah yang rusak sehingga menyulitkan anak belajar.
- Guru yang masih perlu perjuangan memperbaiki kesejahteraan.
- Kompetensi guru yang masih harus diupgrade
- Ujian nasional yang mengandung kontroversi serta isu kebocorannya
- Mahalnya biaya pendidikan terutama pendidikan menegah dan tinggi
- Tingginya angka putus sekolah
- Peringkah Human Development Index Indonesia yang masih rendah dibanding negara tetangga sekalipun.
Seolah pendidikan itu milik sekolah, milik guru, kepala sekolah, lembaga kursus, universitas, dikbud, UNESCO, atau milik para pakar pendidikan.
Kenapa tidak banyak yang
mengedepankan faktor keluarga? Dan ketika membahas keluargapun mata kita
lebih melirik ke ibu? Bisa jadi karena kaum ibu lebih banyak di rumah.
Alam bawah sadar kita sepertinya mempersepsikan bahwa ibu lebih cocok
jadi seorang guru. Mungkin karena sifat keibuannya.
Lalu di mana ayah dalam variable
pendidikan? Jujur, peran ayah seringkali hanya dipandang perlu dari sisi
pembiayaan pendidikan. Betul?
Tapi tahukah Anda, bahwa Ayah justru punya andil besar bagi sukses tidaknya pendidikan putra putrinya? Dan itu bukan karena peran membiayai, tapi peran dalam proses pendidikannya itu sendiri.
Kita memang lahir di
negeri yg menyerahkan pendidikan anak kepada ibu. Ibu memang madrasah
pertama, tapi ingat ayah adalah kepala sekolahnya. Sampai ada yang
berseloroh bahwa Indonesia praktis adalah negeri tanpa ayah, NII (negeri
ibu-ibu) karena masih asingnya para ayah dari dunia pengasuhan anak.
Padahal.
Ibu takkan bisa menggantikan peran
ayah. Anak membutuhkan dua sayap. Sayap pengasuhan dari ayah dan ibunya.
Tak boleh hanya satu, idealnya begitu. Karena itulah fitrah anak yang
Allah titipkan dalam jiwa raganya. Sayap ibu tak bisa digantikan oleh
sayap ayah dan demikian sebaliknya. (Dikutip dari buku RAHASIA JADI AYAH
HEBAT karangan Irwan Rinaldi).
Contoh, ketika yang bercerita
tentang gagahnya panglima perang Muhamad Fatih penakluk Konstantinopel
adalah sosok ibunda yang gemulai, maka secara kognitif sudah sampai
pesan tentang Al Fatih yang gagah. Tapi bagaimana seorang anak
mendapatkan gambaran utuh seorang jenderal perang? Maka ayahlah yang
harus memberi contoh ekpresi kegagahan seorang Al Fatih.
Kesibukan ayah menjadikan banyak anak yang yatim sebelum waktunya. Yatim secara psikologis. Terjadi fenomena father-hunger,
ketiadaan ayah pada jiwa anak. Maka jiwa anak yang jauh dari ayahnya
kelak akan jadi generasi minder, peragu. Praktis ayah sekarang hanya
berfungsi jadi mesin ATM. Hanya jadi tempat meminta uang.
Teladan dari kisah Muhammad saw, saat ayahanda Abdullah wafat, Muhammad kecil lantas diasuh oleh kakek Abdul Mutholib, lalu ke paman beliau Abu Thalib. Karena anak memang perlu sosok ayah.
Semangat pengasuhan di Al Quran
ternyata lebih ke spirit keayahan, 17 ayat dialog pengasuhan di Al
Quran, 14 ayat diantaranya adalah dialog ayah-anak.
Belajar dari Ibrahim as
Maka, contohlah Ibrahim. Bapak para Nabi itu. Ia adalah AYAH HEBAT dalam sejarah, krn :
Pertama, dua anaknya
juga menjadi Nabi, yaitu Nabi Ismail dan Ishak. Dari keturunan Ismail
pula kelak lahir Muhammad, sang nabi pamungkas. Dari sudut pandang
pendidikan, Ibrahim adalah seorang ayah yang sukses mendidik anaknya.
Kedua, mengasuh dari jauh dengan doa yang khusyuk. Pada
kondisi tertentu, seorang ayah bisa berjauhan secara geografis. Tapi
ini bukan lasan untuk lepas tangan dari mendidik anak. Ibrahim ada di
Palestina, sedangkan anak & istri (hajar) ada di Mekah. Ibrahim
mengganti kedekatan secara fisik dengan kedekatan spriritual. Dengan
doa.
Ketiga, memilih istri yang pandai mengasuh. Bahkan jauh sebelum diamanahi anak, seorang ayah sudah harus membuat perencanaan terbaik. Salah satunya dalam memilih pasangan. Sejarah
mencatat bahwa pilihan Ibrahim as adalah tepat. Siti Hajar terkenal
dengan kisah Shofa & Marwa. Dimana ia dengan heroik berupaya mencari
air bagi putranya Ismail, selepas ditinggal ayahanda Ibrahim karena
memenuhi titah Tuhannya. Kemudian mendidiknya sehingga Ismail "layak"
jadi nabi penerus ayahandanya.
Keempat, memilih
tempat tinggal yang baik. Ismail tumbuh besar di sekitar Kabah. Pusat
ibadat yang ramai dikunjungi. Lingkungan Kabah yang baik tentu memberi
pengaruh yang besar bagi Ismail.
Kelima, selalu
mengajak anaknya berdialog dalam setiap keputusan. Bahkan dalam
melaksanakan perintah dari Tuhan yang mutlak sekalipun. Contoh dialog
Irahim dengan Ismail ini terabadikan dalam Al Quran surat 37: 102.
Keenam, menegakkan
sholat untuk diri & keturunannya. Ini menciptakan atmosfir religius
dan semangat penghambaan pada Sang Pencipta. Inilah basis pendidikan
Ibrahim. Menjadi hamba Sang Khalik adalah pondasi bagi pembebebasan
manusia dari penghambaan antar sesama manusia. Maka di
hadapan manusia ia menjadi merdeka. Dan mempelakukan manusiapun sebagai
manusia merdeka pula. Tidak rendah diri, juga tidak arogan.
Itulah sedikit renungan untuk Indonesia yang lebih baik...
Selamat Hari Pendidikan nasional 2 Mei 2012...
Karawang 02052012
No comments:
Post a Comment