Tuesday, November 27, 2012

Sakinah Ala Kang Parman

by: Nurul Hidayati




Kang Parman dan seorang Putrinya


Setangkai bunga digenggamannya diserahkan dengan malu-malu. Mungkin karena di depan khalayak. Namun di hadapannya Sang Nyonya menerima dengan antusias. Ia kelihatan begitu sumringah. Rupanya, dimana-mana perempuan itu senang dengan bunga ya. Apalagi yang memberi adalah sang suami. Maka, iapun membalasnya dengan ciuman mesra, di kiri dan kanan pipi orang nomor satu di Karawang itu. Suasana ruangan Aula Husni Hamid di satu hari di bulan Juli 2011 itu pun ikut sumringah. Tepuk tangan dari 120-an pasutri begitu membahana. Dan, Daurah Keluarga Samarada (Pelatihan Keluarga Sakinah, Mawaddah, Rahmah di jalan Dakwah) yang menghadirkan trainer pasutri Satria Hadi Lubis dan Kinkin Annida itu menjadi penuh warna.

Setelah sang suami  bernama Haji Ade Swara itu memberi sambutan, improvisasi panitia belum berhenti. MC kemudian menyebut satu pasang nama dan memintanya naik ke panggung. Namanya  memang tidak begitu popular, mungkin. Tapi pagi itu ia mendapat kehormatan. Bahkan jadi bintang acara itu. Ia dipanggil bersama sang isteri, menuju panggung. MC kemudian kembali berhasil  “memaksa” Haji Ade dan nyonya kembali ke panggung acara. Kali ini untuk memberikan ucapan selamat. Untuk apa? Ternyata pasangan  mendapat penghargaan Keluarga Teladan tingkat DPW PKS Jawa Barat.

Cara panitia memberikan apresiasi cukup diacungi jempol. Tidak sekedar ucapan selamat dan sebentuk bingkisan yang biasanya. Tapi melalui ucapan selamat dari Bupati itu. Panitia, dalam hal ini mewakili DPD PKS Karawang berhasil memberikan apresiasi terbaiknya terhadap kader yang memang layak diapresiasi.

Siapa kader itu? Namanya Bapak Suparman. Isterinya bernama Ibu Reni. Melalui seleksi oleh para pembimbing kader (muroby) terpilihlah ia mewakili Karawang. Ia terpilih untuk kategori keluarga muda. Tentu prestasi khas ala PKS. Bukan prestasi semu semacam Cerdas Cermat Keluarga, misalnya. Tapi prestasi kehidupan. Prestasi sebuah keluarga yang bertahan di tengah badai. Prestasi dalam konsistensi memegang prinsip di tengah segala keterbatasan ekonomi. Ia adalah pahlawan di tengah-tengah kita. Dekat dengan kita. Ia adalah contoh hidup dari nilai-nilai yang selama ini kita peroleh dalam tarbiyah.

Kalau kita cermat melihat para kader, tak perlu sebenarnya mencari sumber inspirasi dari negeri nun jauh. Ia ada di depan mata. Tak perlu kita mengoleksi buku-buku semacam Chicken Soup, kalau hanya untuk mencari kisah yang menggugah. Semua ada di lingkaran kita. Salah satunya Kang Parman dan Teh Reni ini. Ia adalah potret keluarga kader dakwah yang visi ketika pernikahannya adalah dakwah. Ia adalah contoh hidup cinta sejati di jalan dakwah. Pas dan cocok benar dengan tema pelatihan pagi itu : “Keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah di jalan dakwah”.


Siapakah Kang Parman?

Keluarga  Suparman adalah keluarga yang sederhana. Beliau  tinggal di Cikampek, Kabupaten Karawang. Masuk ke Cikampek tahun 2002 beliau sekeluarga menempati sebuah rumah kontrakan di Perumahan Pondok Melati, Cikampek selama lima tahun. Kemudian mereka menempati rumah seorang kader di Griya Citra Persada. Terakhir dan hingga saat ini tinggal di rumah seorang karyawan bank Muammalat, menempati cuma-cuma dengan catatan mau membentuk dan mengelola TPA di rumah tersebut, saat ini anak-anak yang ikut belajar di TPA khairunnisa berjumlah 35.

Memulai hidup di Cikampek dengan berjualan jamu keliling dan bunga plastik,beralih ke jualan baso dan nasi goreng, mie ayam jamur,dan bekam. Tapi yang terakhir ditekuni adalah berjualan jilbab di pasar kaget dari tahun 2004 sd sekarang. Bahkan untuk lebih rapi dalam pengelolaan wirauasaha-nya, usaha jilbab langsung dikelola oleh Bu Reni, istrinya. Sementara kang Parman kini tengah menekuni usaha kereta listrik

Keluarganya sederhana, namun harmonis, juga kompak dalam usaha (dalam hal ini berdagang). Anak anaknya santun dan sangat memahami kondisi orang tuanya, tapi memiliki prestasi yang baik di sekolah. Suami istri aktif berdakwah. Inilah alasan dicalonkannya keluarga Kang Parman. Hal istimewa lainnya, saat putra-putrinya diwawancara dan ditanya “apa Abi Umi pernah bertengkar?”, Mereka kompak mengatakan “Itu dia, Abi dan Umi nggak pernah marah atau bertengkar”. Subhanallah.

Berikut testimoni dari Ketua DPD PKS Karawang, Ustadz Jajat Sudrajat, Lc saat memberi pengantar pada berkas pencalonan:
“Dengan mengharap ridha Allah SWT semata, dan kesaksian ikhwan dan akhwat mautsuqin (terpercaya) yang selama ini berinteraksi dengan keluarga ini, serta mempelajari jejak rekam dan muamalah sepasang suami istri ini dalam berinteraksi di keluarga, partai dan masyarakat kami jatuhkan pilihan kepada keluarga pak Suparman sebagai profil calon penerima Keluarga Idaman Award.  Secara pribadi saya sebagai kader PKS memberi kesaksiaan lillahi ta’ala sejauh pengetahuan saya, - walaa Uzakki ‘alallahi Ahadan - bahwa beliau adalah seorang kader tangguh dan saya mengagumi dedikasinya kepada partai dan serta mengagumi kesederhaan, kerja keras dan komitmennya pada syari’ah dan tarbiyatul aulad walau dalam keterbatasan ekonominya.”

Kalau melihat profil putra-putri Kang Parman, kita juga patut iri, simak saja :
  • Anak pertama :  Rosida Ulfah, lahir di Lampung,23-02-1993, menempuh Pendidikan di lembaga tahfizh Asy Syifa Subang Jawa Barat, sudah tarbiyah sejak 2008. Hafal Al Qur’an 8 juz
  • Anak kedua :  M Dhofir Ali, lahir di Lampung,14 Juli 1994, sekolah di SMA  Baitul Qur’an Depok (Ust Muslih A Karim) sudah tarbiyah sejak 2010. Hafal AlQur’an 19 juz.
  • Anak ketiga : M.Rafiq Abdurrahim, lahir di Lampung, tanggal 28-10-1997. Sekolah SMP kelas 2. Meraih Rangking 3 di kelasnya.
  • Anak ke empat : M.Faruq Abdullah, lahir di Lampung, tanggal 6-04-2002. Sekolah di SD kelas 2. Meraih rangking 4
  • Anak kelima: Sofia A. Haura, lahir di Karawang, tanggal 7-4-2008.

Untuk keluarga dengan segala keterbatannya, capaian Kang Parman memang patut dijadikan contoh.
Mudahan-mudahan sekilas tentang Kang Parman ini menjadi inspirasi bagi keluarga kita.

Karawang, Juli 2012

Nurul Hidayati
Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan DPD PKS Karawang

Monday, November 26, 2012

Tentang Pajak dan Bekerja di Kantor Pajak



Nilep pajak? Apa kata dunia???sumber : internet



Pajak, memang dibenci dan dirindu. Dibenci oleh Wajib Pajak. Tapi dirindu oleh pemerintah. Karena tak akan jalan pemerintahan tanpa adanya dana pendukung. Kebetulan di Indonesia ini, porsi pajak dalam menopang anggaran pemerintah semakin besar. Bila pada 2006 penerimaan pajak baru mencapai Rp358,05 triliun, maka pada 2007 telah melewati Rp426,23 triliun, 2008 Rp571,1 triliun, 2009 Rp544,53 triliun, 2010 Rp627,89 triliun, dan pada 2011 Rp742,63 triliun.Tahun 2012 ditarget Rp885,03 triliun. Tahun 2013 menembus 1000 Triliun.

Memang tidak ada yang suka membayar pajak. Bagi pembayarnya ia adalah biaya yang real. Tidak bisa dipungkiri pajak akan mengurangi pengasilan kita. Akibatnya, kalau tidak mengurangi harta, pajak akan mengurangi konsumsi. .

Tanpa kita sadari sebenarnya hampir setiap hari kita bayar pajak. Saat membeli barang di toko, mengandung Pajak Pertambahan Nilai. kita bayar Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak bumi dan Bangunan setiap tahun. Para pegawai akan diptong Pajak Penghasilan Pasal 21 setiap bulan dari gajinya. Nah, sesuatu yang terjadi dalam keseharian kita tentu akan pas dan mantap kalau kita bisa memahaminya. Sehingga, kalaupun membayar ya membayar dengan kejelasan dasar hukumnya. Kalau tidak membayar, kita punya argumennya. Karena memungut pajak tanpa dasar hukum yang membolehkan, adalah sebuah perampokan (taxation without repressetative is robbery).  Sebagai contoh, saat kita memarkir motor atau mobil lantas ada orang minta bayaran parkir. Kita bisa menolak kalau memang tidak ada perda yang mengijinkan. Alias parkir liar.


A.
Tinjauan Pajak Menurut Fiqh Islam

Kalau di Indonesia ada istilah pajak, retribusi, tol atau mel. Zaman Belanda ada istilah Belasting.  Dalam fiqh Islam, istilah pajak dikenal dengan beberapa sebutan, dan masing-masing memiliki arti sendiri-sendiri. Diantaranya :

1. Al-‘Usyr
Istilah al-‘usyr (الْعُشْرُ) secara bahasa berarti sepersepuluh. Dalam prakteknya, sepersepuluh yang dimaksud adalah nilai harta yang dipungut dari pedagang, atau dari hasil bumi. Pihak yang memungut nilai sepersepuluh itu disebut dengan al-asysyaar (العشّار).
2. Al-Maks
Istilah al-maksu (الْمَكْسُ) secara bahasa bermakna an-naqshu yaitu pengurangan, dan juga bermakna adz-dhulmu , yaitu penzaliman atau perampasan.
Sedangkan secara istilah makna al-maksu sebagaimana disebutkan di dalam kamus Al-Muhith adalah :
دَرَاهِمُ كَانَتْ تُؤْخَذُ مِنْ بَائِعِي السِّلَعِ فِي الأْسْوَاقِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ
Uang-uang dirham yang dipungut dari para penjual barang di pasar di masa jahiliyah.
Di dalam kamus Al-Mu'jam Al-Wasith disebutkan makna al-maksu adalah :
الضَّرِيبَةِ يَأْخُذُهَا الْمَكَّاسُ مِمَّنْ يَدْخُل الْبَلَدَ مِنَ التُّجَّارِ
Pajak yang dipungut oleh pemungutnya dari para penjual yang masuk ke dalam negeri.
Orang yang melakukan pemungutannya disebut dengan al-makkas (المَكاَّسُ) atau al-makis (اَلمَاكِسُ).
3. Adh-Dharibah
Istilah adh-dharibah (الضَّرِيْبَةُ) artinya pajak atau pungutan. Sering didefinisikan sebagai :
الماَلُ الَّتِي تُؤْخَذُ فِي الأْرْصَادِ وَالْجِزْيَةِ وَنَحْوِهَا
Harta yang dipungut dari sumber-sumbernya atau dari jizyah dan lainnya.
4. Al-Kharaj
Istilah al-kharaj (الْخَرَاجُ) dari kata kharaja yang bermakna keluar. Secara istilah, yang dimaksud al-kharaj sebagaimana disebutkan oleh Al-Mawardi adalah :
مَا وُضِعَ عَلَى رِقَابِ الأْرَضِينَ مِنْ حُقُوقٍ تُؤَدَّى عَنْهَا
Apa yang ditetapkan atas pemilik tanah dalam bentuk pungutan yang harus ditunaikan.

B. Pendapat Yang Mengharamkan

1. Dalil-dalil
Kalangan yang mengharamkan pajak berhujjah dengan dalil-dalil yang umum dan khusus. Di antara dalil yang masih bersifat umum misalnya firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”(QS. An-Nisa’ : 29)
Menurut pandangan mereka, pajak itu termasuk memakan harta sesamanya dengan jalan yang batil, sehinga hukumnya haram. Pandangan ini dikuatkan lagi dengan hadits berikut :
لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسلِمٍ إِلاَّ بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya”
Adapun dalil secara khusus, ada beberapa hadits yang menjelaskan keharaman pajak dan ancaman bagi para penariknya, di antaranya bahwa Rasulullah SAW bersabda :
إِنَّ صَاحِبَ الْمَكسِ فِيْ النَّارِ
Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak diadzab di neraka. (HR Ahmad dan Abu Dawud)
Hadits inilah yang acap kali digunakan untuk mengharamkan memungut pajak, dan juga sebagai dalih untuk tidak bayar pajak. Serta untuk mengharamkan secara total apa-apa yang berbau pajak. Dan ancamannya juga tidak main-main, yaitu api neraka yang pedih.
2. Pendapat Para Ulama
a. Al-Imam An-Nawawi
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang mengisahkan dilaksanakannya hukum rajam atas zina yang dilakukan oleh seorang wanita dari Bani Ghamidiyah. Setelah wanita tersebut diputuskan untuk dirajam, datanglah Khalid bin Walid radhiyallahuanhu menghampiri wanita itu dengan melemparkan batu ke arahnya, lalu darah wanita itu mengenai baju Khalid, kemudian Khalid marah sambil mencacinya, maka Rasulullah SAW bersabda.
مَهْلاً يَا خَالِدُ فَوَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا وَدُفِنَتْ
“Pelan-pelan, wahai Khalid, demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh dia telah bertaubat dengan taubat yang apabila penarik/pemungut pajak mau bertaubat (sepertinya) pasti diampuni. Kemudian Nabi SAW memerintahkan (untuk disiapkan jenazahnya), maka Nabi SAW menshalatinya, lalu dikuburkan” (HR Muslim)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat beberapa hikmah yang agung diantaranya bahwasa pajak termasuk sejahat-jahat kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan pelakunya, hal ini lantaran dia akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan yang banyak sekali di akhirat nanti.[1]
b. Ibnu Hazm
Ibnu Hazm berpendapat bahwa para petugas yang ditugaskan untuk mengambil uang denda yang wajib dibayar di atas jalan-jalan, pada pintu-pintu gerbang kota, dan apa-apa yang biasa dipungut dari pasar-pasar dalam bentuk pajak atas barang-barang yang dibawa oleh orang-orang yang sedang melewatinya maupun (barang-barang yang dibawa) oleh para pedagang (semua itu) termasuk perbuatan zhalim yang teramat besar, (hukumnya) haram dan fasik.[2]
Maka tidak mengherankan kalau banyak kalangan ikut-ikutan juga mengharamkan pajak. Sebab dalil-dalilnya secara lahiriyah memang demikian, apalagi juga banyak pendapat para ulama salaf yang ikut mengharamkannya.

C. Pendapat Yang Menghalalkan

Adapun pendapat yang menghalalkan pajak berhujjah bahwa dalil-dalil di atas itu tidak tepat untuk diterapkan pada pajak yang berlaku di masa sekarang. Alur logikanya sebagai berikut :
1. Pajak Bukan Pemerasan
Pungutan yang dimaksud di dalam dalil-dalil di atas memang haram, karena merupakan pemerasan dari pihak yang kuat kepada pihak yang lemah.
Dalil-dalil di atas lebih tepat untuk diterapkan pada zaman jahiliyah di masa sebelum kenabian, namun setelah kedatangan risalah Islam, pajak masih ada meski dengan syarat-syarat tertentu.
Kalau dibandingkan dengan masa kini, maka pajak yang haram itu bisa ditetapkan pada masa penjajahan, yaitu ketika pemerintah Hindia Belanda berkuasa dan memungut pajak yang memeras keringat dan darah rakyat. Dan oleh karena itulah maka rakyat negeri ini berjihad secara fisik untuk mengusir penjajah, yang pada intinya mereka tidak lain adalah para pemungut pajak.
Di masa sekarang ini, meski pajak dikenakan kepada rakyat, tetapi dilaksanakan oleh negara atas dasar kebutuhan dan juga atas persetujuan dari perwakilan rakyat. Jadi pajak di masa sekarang sifatnya disesuaikan dengan kemampuan. Misalnya pajak barang mewah, tentu hanya dikenakan pada kalangan yang memiliki barang mewah. Rakyat jelata yang miskin tentu tidak dikenakan.
Kalau kita makan di warung pinggir jalan, harganya sangat murah, karena tidak dikenakan pajak. Sebaliknya, harga makanan di restoran bintang lima menjadi berkali lipat, salah satu faktornya karena dikenakan pajak.
2. Pajak Kembali Untuk Rakyat
Berbeda dengan pungutan di masa lalu yang diharamkan, maka pajak pada hari ini pada prinsipnya lebih merupakan kesepakatan di antara rakyat untuk sama-sama membiayai penyelenggaraan negara. Jadi prinsipnya uang pajak dari rakyat itu pasti akan dikembalikan kepada rakyat, dan demi kepentingan rakyat.
Ibarat iuran keamanan dan kebersihan di lingkungan tempat tinggal kita, setiap bulan masing-masing rumah dipungut iuran yang digunakan untuk membayar satpam dan petugas kebersihan. Tentu semua demi keamanan dan kebesihan lingkungan. Maka kita tidak mungkin mengatakan bahwa iuran keamanan dan kebersihan sebagai pembayaran yang haram. Justru sebaliknya, pembayaran itu malah wajib hukumnya. 
3. Ada Kewajiban Harta Selain Zakat
Pihak-pihak yang mengharamkan pajak sering berdalil bahwa tidak ada kewajiban dalam urusan harta kecuali zakat.
لَيسَ فيِ الماَلِ حَقُّ سِوَى الزَّكاَة
Namun pengertian hadits di atas tentu tidak tepat kalau kita terapkan secara acak-acakan. Kalau begitu, nanti orang yang berhutang tidak mau bayar hutanya, dengan alasan bahwa agama hanya mewajibkan kita membayar zakat dan bukan membayar hutang.
Begitu juga, orang yang bernadzar untuk memberikan hartanya di jalan Allah, juga akan membatalkan niatnya, hanya karena alasan bahwa harta yang wajib ditunaikan hanya terbatas zakat saja.
Orang yang melanggar suatu aturan lalu ditetapkan kaffaratnya, bisa saja mangkir tidak mau bayar, dengan alasan yang sama. Maka denda kaffarat seperti menyembelih kambing, atau memberi makan 60 fakir miskin, atau membebaskan budak, dan yang lainnya, tentu bisa saja dibatalkan, apabila kita keliru dalam memahami dan menerapkan hadits di atas.
Sesungguhnya makna hadits di atas hanya ingin menetapkan bahwa pada dasarnya kewajiban dasar dalam Islam adalah zakat. Adapun bila terjadi kasus dimana seseorang berhutang, tentu saja dia wajib bayar hutang. Begitu juga kalau kita sepakat untuk menjadi warga suatu negara dan telah ditetapkan bahwa di antara kewajiban kita sebagai warga negara adalah membayar pajak, tentu dengan mudah kita pahami bahwa kewajiban itu harus kita akui.
Ibarat kita mau bepergian menumpang pesawat, maka sebagai penumpang, tentu kita wajib membayar tiket. Kita tidak bisa naik pesawat gratisan, dengan alasan bahwa Islam tidak mewajibkan kita membayar apapun kecuali bayar zakat.


D. Pendapat Pertengahan

Pendapat yang dipertengahan tidak mengharamkan pajak secara keseluruhan, tetapi juga tidak menghalalkan secara keseluruhan. Dalam pandangan pendapat ketiga ini, tidak semua jenis pajak itu merugikan atau merupakan penzaliman. Sebagian dari pajak itu ada yang memang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. Maka batasan halal dan haramnya pajak disebutkan sebagai berikut :
1. Dilakukan Oleh Pemerintah Yang Sah dan Adil
Pajak atau pungutan yang haram adalah yang sifatnya liar, dipungut oleh oknum diluar ketentuan yang telah ditetapkan.
Pungutan liar yang dilakukan oleh preman termasuk ajak yang haram. Demikian juga meski dipungut oleh petugas negara, tetapi di luar batas wewenangnya adalah pungutan yang haram hukumnya.
2. Tidak Mencekik Rakyat
Pajak yang sifatnya mencekik rakyat miskin, sehingga membuat kehidupan mereka yang sudah susah jadi bertambah susah, merupakan bentuk kezaliman yang nyata.
Meski pajak itu ditetapkan oleh pemerintah yang sah, namun bila sampai mencekik rakyat, maka pada dasarnya pajak itu sebuah kezaliman yang haram hukumnya.
3. Sepenuhnya Digunakan Untuk Kepentingan Rakyat

 
Apabila pajak yang dipungut oleh pemerintah kemudian diselewengkan penggunaannya, maka meski pajak itu resmi namun sama saja dengan penzaliman atas harta rakyat. Maka dalam kasus seperti ini, sebelum para koruptor uang pajak itu dihukum dengan berat,  pajak bisa saja menjadi sesuatu yang zalim juga.   Ini yang bisa kita fahami dari  munculnya seruan bokit pajak oleh Pimpinan NU, KH Said Agil Siradj, pada musyawarah alim ulama NU di Cirebon, awal tahun 2012 lalu. Alasan muncul seruan boikot pajak karena penyelewengan pajak sudah keterlaluan.




Sumber :

Quo Vadis Karawang?



Peta Karawang


Di mata kita seonggok kemasan kopi bekas adalah sampah tak berguna. Banyak diantaranya jadi polusi tanah karena tak bisa diurai oleh bakteri. Di mata seorang Mang Kido,  petugas kebersihan di kompleks perumahan saya,  sampah itu adalah lahan pencaharian buat menghidupi keluarga. Namun dimata seorang ysng kreatif,  plastik itu menjadi produk kerajinan yang indah. Bila diberi sentuhan enterpreneur, handycraft itu itu  menjadi komoditas yang diterima pasar. Dari sampah bisa juga memunculkan “bank sampah”. Menciptakan lapangan pekerjaan. Gagasan dan kreatifitas menjadikannya berbeda.

Saung bambu, di mata para petani hanyalah sekedar  tempat berteduh melepas penat setelah mencangkul sawah. Di mata seniman, saung bambu bisa menjadi sebuah bangunan nan eksotik. Di tangan enterpreneur, saung bambu menjadi ciri-khas  baru bisnis kuliner. Lihatlah Alam Sari, Lebak Sari Indah atau Cibiuk, dan Walahar di Karawang.  Lalu di mata seorang Lendo Novo, saung bambu adalah tempat paling nyaman buat belajar. Maka saung bambu menjadi ikon di hampir semua Sekolah Alam se- nusantara yang ia pelopori. Lagi, gagasan dan kreativitas membuat value sebuah benda menjadi berbeda.

Pernah dengar tentang Ubud? Keunikan Ubud mungkin hanya akan jadi sebuah tradisi budaya di Bali.  Tetapi dengan sentuhan kreatif a la  Hollywood,  ia jadi eksotika yang mendunia  dalam  film  Eat, Pray, and Love

Tetralogi laskar pelangi
Kalau belum puas, lihat gambar sampul empat buku di samping. Di tangan Andrea Hirata, sebuah sekolah nyaris roboh di Gantong, Belitong Timur dengan latar sejarah perusahaan timah dan kisah sepuluh anak miskin yang mengejar cita-cita menjadi cerita dahsyat tentang Laskar Pelangi. Kini Tetralogi Laskar Pelangi melanglang buana menaklukan pembaca mancanegara. Mengejar Nobel.

Terakhir, lihatlah lukisan masterpiece Monalisa karya Leonardo Da Vinci. Detailnya, komposisi warnanya, keseimbangannya, “kesan hidupnya” memang mengagumkan orang se-jagat. Sempurna.
Tapi semuanya tidak ada apa-apanya. Simak saja alam sekitar ciptaan Sang Maha Pencipta. Salah satunya diri kita. Kita adalah sebaik-baik ciptaan. Sebaik-baik kreasi. Dari Sang Kreator yang Maha Sempurna!

Apa kunci kualitas dan kesempurnaan itu?
Menurut para ahli tasauf, adanya alam ini karena adanya c i n t a.  Karena Allah Maha Rahman. Maka terjadilah alam. Juga karena kesungguhan. Tidak ada yang Allah ciptakan sia-sia. Salah satunya lagi karena tidak ada intervensi. Allah menciptakan alam ini sendirian. Jika ada tuhan lain selain Allah, maka kacaulah alam ini.  
Melukis Monalisa tentu Leonardo Da Vinci seorang diri. Akan aneh kalau ia dilukis bareng lainnya. Konflik dua jiwa akan menghasilkan karya dengan rasa yang berbeda. Tentu. Jiwa seseorang bisa dirasakan dari buah karyanya. Contoh lain, karakter tulisan seseorang bisa dirasakan oleh pembacanya. Ada rasa bahasa yang berbeda antara penulis satu dengan lainnya.

Alam ini dengan segala isinya disediakan Sang Khalik buat manusia. Mengamanahkannya sebagai rahmat bagi semesta. Rahmat itu artinya kasih sayang. Jadi, produk dari Wakil- Sang-Pencipta semestinya mencerminkan kasih sayang pula. Itulah karya yang benar, baik dan indah. Ketiga-tiganya harus terpenuhi.

Makna “benar” berarti  mencerminkan kesesuaian dengan nilai kejujuran, amanah, efisiensi, profesionalisme, tidak koruptif . Tak ada hukum yang dilanggar.  Adapun “baik”, artinya ada manfaat, ada kualitas kehidupan yang terangkat, tidak merugikan warga, tidak mendzalimi, juga tidak merusak moral. Sedangkan makna “indah”, adalah kesan artistik yang muncul. Ada kepuasaan saat memandang atau mendengarnya.

Lalu apa hubungan semuanya  dengan tema Karawang??


Inilah Karawang!

Saat menjejak kaki pertama kali di Kota Karawang, tahun 2006 lalu,  gambaran Karawang yang hijau dan pesawahan ternyata tidak terlihat,  yang ada justru jalanan berlubang di sani-sini dan “bergoyang” karena kerusakan yang parah. Bagi seorang pegawai kantor pajak seperti saya, lidah pasti akan kelu kalau harus bicara pajak dalam suasana seperti itu. Karena hanya menghasilkan ironi : dana pajak ke mana saja?

Waktu itu sempat terheran-heran karena rusaknya jalan sampai jauh hingga ke pelosok. Di berbagai kota yang sempat saya singgahi, tidak ada yang separah ini. Di Probolinggo, Lumajang, Jember, dan Kuningan jalanan ke pelosok sudah mulus dengan lapisan aspal hotmix. Waktu itu memang masih era awal Bupati Dadang "Hotmix" Mukhtar. Kondisi Karawang  di atas adalah “hasil karya” eks bupati Ahmad Dadang (alm). Melihat jalanan di Karawang (bahkan hingga tulisan ini dibuat) saya seperti melihat lukisan anak yang sedang belajar melukis yang bahkan membuat lingakaranpun belum bulat. 
Bila saya bandingkan dengan kota-kota yang pernah saya singgahi dan bermukim di sana, kondisi di atas sungguh sebuah ironi.Di Jember, Jawa Timur,  misalnya, jalan akses menuju kawasan wisata Bukit Krembangan yang berada di puncak bukit di utara Jember  amatlah mulus. Sepanjang jalan menuju Pantai Watu Ulo dan Tanjung Papuma di wilayah Laut Selatan Jember juga sangat terawat. Sedangkan di Probolinggo, tetangga kotanya,  eksotisme Gunung Bromo dipadu kekhasan budaya Suku Tengger telah lama  menjadi magnet wisata dunia. Potensi ini sejak lama sudah dikelola dengan baik oleh pemerintah setempat. Jalanan muluspun selalu siap menuju lokasi.  

Bukit Krembangan-Jember. 
Sumber: Internet







Juga di Kuningan, Jawa Barat,   jalan menuju ke salah satu kawasan wisata sekaligus bumi perkemahan yang berada di Palutungan, Cisantana  cukup bagus. Mobil sedanpun bisa sampai ke lokasi yang berada di lereng Gunung Ciremai itu untuk kemudian bisa  menikmati indahnya Curug Putri yang hanya berjarak 200 saja dari tempat parkir.

Di semua tempat itu saya bisa merasakan adanya kepedulian,  komitmen, kesungguhan, cinta, dan kreativitas. Dalam tataran akademis, ini termasuk fenomena budaya.  

Nah, Dengan APBD 2 Triliun, Karawang bisa apa?

Hm, saya yakin di tangan pemimpin yang “berbudaya”, Karawang adalah sebuah  keindahan. Menjadi mahakarya. Bagaimana tidak? Perpaduan antara alam gunung dan pantai, aliran sungai Citarum, nilai sejarah, luas lahan agraris, kekayaan budaya, sumber daya yang melimpah dan dipadu dinamika kawasan industri lebih dari cukup untuk menciptakan surga bagi warganya.

Candi Jiwa-Batujaya
Sayang sekali ternyata, jangankan menciptakan suatu produk budaya baru, atau menciptakan terobosan baru yang bisa jadi fenomena. Sesuatu yang sudah jadi produk budaya pun belum belum terkelola dengan baik.
Bagaimana wisatawan mau ke Candi Jiwa kalau jalanan mirip lintasan off-road?
Bagaimana Monumen Kebulatan Tekad di Rengas Dengklok mau dibanjiri wisatawan kalau di dekat sana ada pasar dengan kesemrawutan stadium berat?
Bagaimana mau ke Monumen Rawa Gede mengenang Tragedi “Karawang Bekasi”  kalau jalan akses ke Kecamatan Rawamerta membuat kendaraan bergoyang hebat sepanjang perjalanan?
Bagaimana membuat Loji jadi pesaing pesona Puncak kalau jalanan menuju ke sana membuat pegal sekujur badan dan putus asa.

Monumen Rawa Gede
Padahal Karawang menikmati berkah  ekonomi  relatif tanpa perlu  terlalu memeras otak dan berfikir sampai kening berkerut-kerut.  Letak geografis Karawang yang dekat dengan pusat ekonomi, Ibukota Jakarta, menjadikannya lokasi strategis bagi perusahaan yang berinvestasi. Pilihan setelah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi yang semakin padat saja.

Curug Cigeuntis
Karawang juga kebanjiran pendatang baru dengan kualifikasi bagus : kelas menengah. Mereka karyawan pabrik yang bekerja di perusahaan yang tersebar di kawasan industri KIIC, KIM, KIKC, Surya Cipta atau Indotaisei. Mereka adalah konsumen potensial. Ekonomi mereka juga tidak membuat repot pemerintah. Mereka datang sebagai tenaga trampil dan berpenghasilan yang konsumsinya sebagian besar akan dihabiskan di Karawang. 

Kawasan Industri KIIC
Multiplier effectnya sudah mulai terlihat. Lihat saja ada perumahan yang menjamur, semua sold out! terjual habis!. Juga rumah makan yang cepat bermunculan. Ruko-ruko barupun seperti berlomba berdiri. Berkejaran dengan waktu. Mall besar tak ketinggalan mengikuti. Kabarnya, Karawang sedang disiapkan menjadi kawasan aetropolis baru untuk menunjang fasilitas bandara internasional penunjang Bandara Soekarno Hatta yang semakin santer terdengar.

Pengaruh fiskal langsung adalah dompet Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tebal.  APBD Karawang bahkan lebih besar dari Provinsi Nusa Tenggara Barat,  Nusa Tenggara Timur, Bengkulu, Bangka-Beliting. Karawang sudah sejajar dengan APBD kota besar lain seperti Kabupaten Bandung  dan Kabupaten Bekasi.

Hanya saja, kalau tidak cermat, sebuah arus deras hanya akan jadi bencana: banjir atau tsunami. Efek dari industrialisasi sudah mulai terasa. Tanpa konsep pembangunan berwawasan lingkungan yang baik, munculnya kawasan industri, perumahan dan sentra komersial baru hanya menghasilkan kegersangan. Buktinya sudah mulai terasa, Karawang-kota kini dominan panas, kering dan berdebu.Sungai Citarum tak lagi bersahabat dengan biota air. Tercemar limbah industri di sepanjang alirannya.

Pembangunan adalah sebagaimana karya seni yang harus berangkat dari rasa jiwa yang indah, yang dipadu kreativitas. Sedangkan jiwa yang indah tak akan muncul dalam suasana marah nan kacau serta niat yang buruk. Seperti itulah sebuah daerah akan terbangun. Ia akan jadi kota yang indah, manakala "dilukis" oleh pemimpin yang bersih dan indah jiwanya, serta penuh kreativitas pikirannya. Ia memimpin  berangkat dari komitmen untuk mengabdi kepada rakyat dan Tuhannya.  Bukan datang dari jiwa yang kotor yang lebih mementingkan diri  sendiri dan kelompoknya

Satu hal lain: tidak boleh ada intervensi dan benturan kepentingan. Harus saling percaya. Antara eksekutif dan legislatif harus saling menghormati posisinya. Salah satu contoh kecil, akibat masih adanya intervensi legislatif pada eksekutif melalui program dana aspirasi dengan alasan hak budgeting, membuat  banyak ruas jalan di Karawang belang-bentong. Sepotong dicor, sepotong diaspal. Sisanya masih garinjul. Lihat saja jalan di pasar blok R  dan jalan Blok X Perumnas. Jalan cor di situ cuma 50 meter saja.
Koq bisa? Karena di situ ada posisi legislatif yang off-side. Ikut campur urusan eksekutif dalam hal teknis. Berupa penentuan lokasi dan penerima manfaat/proyek yang berasal dari dana APBD. Termasuk sebagian proyek infrastruktur. Saya yakin dalam situasi begini, fungsi pengawasan DPDRD tidak akan berjalan. Bagaimana mau diawasi, sedangkan yang diawasi adalah program dan proyek usulan sendiri. Ini namanya DPRD mengalami disfungsi.
Maka jangan terlalu berharap hasil "lukisan" Sang Bupati Karawang akan bisa seindah lukisan Monalisa.

Wallahu ‘alam.






KELUARGA : DARI KETAHANAN MENUJU PERADABAN

  Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...