Wednesday, October 31, 2012

Kreativitas 20000

Dhiya dan aneka Kreasi Lego-nya

Anak saya, Dhiya, sedang keranjingan lagi mainan lego. Gara-garanya adalah saat belanja sembako di sebuah minimarket, Dhiya tiba-tiba berteriak: "Bi, ada mainan bongkar pasang baru, manteeep!" Dhiya memang sering menggunakan kata mantep untuk sesuatu yang menurutnya hebat dan menarik.

Lego adalah mainan bongkar pasang kesukaannya. Saya sendiri ikut senang, karena tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari mainan ini. Lego justru mainan yang sangat merangsang kreativitas. Masalahpun cuma satu, itulah saat nggak ada uang cash di tangan. Inginnya memberi lego dalam jumlah yang banyak, sehingga kreativitasnya terus tersalurkan.

Beruntung, hari itu saya menemukan trik, agar kreativitas tidak cepat luntur, tepatnya bosan. Saya pasang target, kalau Dhiya mampu membuat 50 variasi lego, saya belikan satu kotak lagi lego seharga Rp 20.000 itu.

Rupanya manjur juga, Dhiya yang sebentar lagi masuk SD ini sangat bersemangat membuat bentuk-bentuk baru dari pecahan lego. Untuk menghargai upayanya, setiap selesai satu model saya potret pake kamera ponsel. Akibatnya, puluhan gambar kreasi lego menyesaki memori ponsel saya. Ada 30-an variasi lego berbagai bentuk! Dari bentuk rumah, mobil, robot, hingga pesawat masa depan.

Akhirnya, justru Umi-nya yang menyerah. Nggak tega, katanya. Belum mencapai 40 model, sekotak lego baru harga 20.000 itu sudah ada di genggaman Dhiya. Ada binar menyala di matanya. Sebelumnya, binar matanya selalu terlihat saat saya memotret dengan kamera ponsel dan memperlihatkan hasil jepretannya. Biasanya saya beri satu acungan jempol sambil bilang hebat! atau mantep!, persis ucapannya saat melihat kotak lego di rak toko itu. 

Itulah penghargaan sederhana saya untuknya. Saya yakin, gembira benar hatinya. Sebentar kemudian, kembali Dhiya tenggelam dalam keterhanyutan berkreasi. Ya, segudang kreativitas seharga Rp 20.000 .

Begitulah, menjadi ayah 4 anak memang sebuah amanah, tantangan, sekaligus anugerah. Menjadi ayah ternyata lebih merupakan sebuah perjalanan. Sebuah pencarian. Dan itu dimulai sejak sebelum kita memilih calon ibu buat anak-anak kita. Kebanyakan kita melaluinya dengan otodidak, learning by doing. Trial and error. Bahkan error-nya sering mendominasi. Sampai sekarangpun saya masih dalam perjalanan itu.

Mendampingi anak adalah salah satu agenda besar seorang ayah. Ini memerlukan komitmen tinggi walaupun sederhana bentuknya. Seperti contoh di atas, hanya mendampingi proses kreatif membuat lego ternyata membutuhkan komitmen tidak kalah besar seperti halnya menghadapi proyek bisnis skala besar. Terutama waktu dan kebersamaan di tengah berbagai tuntutan peran itu.

Satu yang pasti : anak-anakku ayah mencintai kalian :-)

Karawang, 21-12-2010


catatan:

Desember 2012...
Kegemaran Dhiya main lego makin canggih saja. Disamping modelnya makin variatif dan rumit. Cara bermainnya juga lebih hi-tech. Dhiya sudah bisa cari sendiri info jenis dan model lego di internet. Sudah mahir main sama Mbah Google. Lalu dicoba dipraktekan sendiri. Salh satunya model mobil balap F1, sepetri gambar di bawah ini:



Mobil balap F1 kreasi Dhiya. Sayangnya bahan legonya kurang krn ukuran keping yg tidak sama.

























Tuesday, October 30, 2012

Anakku bukan SUPERBOY



sumber : internet
Sumber : Internet


Tadi pagi, anak saya kedua, Imad, merengek-rengek minta dibantu ngerjakan PR matematika. Biasanya malam hari. Saya lihat soalnya cudah cukup rumit untuk anak usia kelas 6 SD. Bahasanya sangat akademik. Seingat saya, model soal seperti itu ditemukan saat SMA. Soalnya butuh ketelitian yang tinggi. Karena rumit. Imad sedang mengerjakan soal cerita tentang konversi satuan.

Beberapa waktu sebelumnya, saya sampai harus membawa Imad mengungsi untuk bisa mendampingi belajar Basa Sunda. Saat itu Nyonya tidak sempat masak. Maka tugas saya mencari lauk teman nasi. Maka, sambil menunggu pesanan ikan Etong bakar di sebuah kedai Sea Food, saya bantu terjemahkan teks basa Sunda yang ada di buku yang dibawa. Lumayan, satu bab bisa selesai.

Harus diakui, kurikulum pendidikan sepertinya menggiring anak-anak kita jadi superboy dan supergirl: menjadi manusia super yang menguasai seluruh ilmu, baik sains, matematika, sosial,olah raga, seni, agama, keterampilan, kewarganegaraan, hukum,  dan juga bahasa. Sekolah dan ortu ingin anak-anak itu jadi serba tahu. Serba bisa. 

Agar tujuan di atas tercapai, maka tiap mata pelajaran diampu oleh guru yang pakar di bidangnya. Lulus sarjana dari jurusan yang sesuai. Maka pada setiap sesi pelajaran, calon anak-anak super itu berhadapan dengan guru-guru super. 

Di sinilah letak anomali pendidikan kita. Antara contohnya dan hasil tidak nyambung. Bagaimana tidak? gurunya spesialis sedang siswa generalis. Tapi dalam waktu bersamaan masing-guru menuntut anak-anak itu jago di semua mata pelajaran. Artinya anak-anak dituntut jadi spesialis di semua mata pelajaran!
  • SangGuru yang jago matematika menuntut anak-anak itu jago matematika, seperti dirinya.
  • SangGuru yang jago Sains menuntut anak-anak itu jago sains, seperti dirinya.
  • SangGuru yang jago olah raga menuntut anak-anak itu jago olah raga, seperti dirinya.
  • SangGuru yang jago bahasa Inggris menuntut anak-anak itu mahir bahasa Inggris, seperti dirinya.
  • SangGuru yang jago bahasa Sunda menuntut anak-anak itu cas cis cus berbahasa Sunda, seperti dirinya.

Menurut saya itu TIDAK REALISISTIS dan ANEH. Karena kalaupun dipaksakan akibatnya justru :

  • Siswa hanya tahu konsep, tapi tak bisa mengaplikasikan,
  • Siswa yang mau serius menggeluti dan mengaplikasikan pelajaran tertentu harus merelakan pelajaran lain jadi korban. Maka bisa ditebak nilai rata-rata rapornya akan  jelek.
  • Beberapa siswa yang mau jadi olahrgawan berprestasi terpaksa harus mau homeschooling. Belajar di rumah. Dengan biaya tinggi.
  • Pada akhirnya, kebanyakan siswa yang tidak punya kemampuan untuk memilih sesuai minat dan bakat “terpaksa” mempelajari smua pelajaran dengan tertatih dan terseok. Tapi akhirnya tak mahir di semua pelajaran. Hasilnya sekedar teori dan hafalan. Semuanya serba tanggung.Sebatas kognitif.
Maka jangan heran, ending cerita dari calon anak-anak super itu adalah :
  • Tidak memiliki bekal kemampuan saat siswa lulus, belum bisa mandiri, masih tergantung ortu. Jangankan memberdayakan, menghidupi diri sendiri saja tidak mampu
  • Siswa menjadi  tidak kreatif dan inovatif. Karena kreatif itu harus melalui eksplorasi dengan alokasi waktu yang cukup. Dalam keadaan berfikir tenang, fokus  tak dikejar target deadline. Diburu-buru apalagi dimarahi. Tegang karena banyak Pe Er dan tugas.

So, jangan heran kalau secara keseluruhan kualitas pendidikan Indonesia  masih rendah. Dari tahun ke tahun tetap begitu. Mau ngeles bagaimana lagi, duhai Pak Menteri dan Pak Guru?

Tapi khan ada siswa yang bisa juara olimpiade internasional?? Berarti anak-anak Indonesia sebenarnya mampu donk jadi juara?
Ya, benar! Ada segelintir anak yang sukses juara olimpiade, tapi itu hanya seupil. Sedikit sekali. Itu karena kesempatannya untuk jadi juara olimpiade juga terbatas.  Sedangkan  anak yang tidak ikut olimpiade itu jauh lebih banyak, bukan?  apakah mereka siswa gagal?

Maka, menurut saya sikap ortu yang perlu dicoba adalah:

*      Jangan nambah stress anak dengan mengharuskan less ini dan itu. Lihat dulu kecenderungan, dan gairah si anak. Jadikan anak sumbyek belajar, jangan jadi objek obsesi ortu dan guru
*      Kalaupun kesempatan yang ada hanya bisa bersekolah di sekolah yang orientasinya hanya akademik, maka lebih baik bantu sisi akademisnya itu. Lalu biarkan anak memiliki waktu cukup untuk menyenangi keunggulannya dan mengembangkan karakternya. Biarkan beban akademis anak ditanggung bareng-bareng ortu. Salahkah ini? Ow, menurut saya tidak salah. Anggap saja ikut bimbel. Yang bimbingnya ortu sendiri.
*      Membantu dengan analisis. Karena di kelas  anak-anak itu kebanyakan diberi teori. Saat ada soalpun diberi pilhan jawaban. Sesulit apapun jawaban sudah tersedia, tinggal memilih.  Analisis membantu anak untuk berfikir proses serta sebab akibat. Tidak hanya berfikir bagaimana menikmati makanan, tapi bagaimana membuat makanan. Dan bagiamana membuat makanan baru yang enak, dan layak jual.
*      Mendampingi anak belajar. Tidak sekedar menyuruh
*      Membesarkan hati dan beri motivasi
*      Diajak berdialog. Seperti teladan Nabi Ibrahim kepada Ismail, putranya. Atau Sang Ortu bijak Lukman dengan putranya. 
*      Ajaklah pada momen sederhana tapi berkesan:  berenang, bergurau, hujan-hujanan, jalan ke sawah saat akhir pekan. Buat kue bareng-bareng. Berkebun

Masalahnya memang tinggal WAKTU KEBERSAMAAN ORTU bersama ANAK

Waah saya harus belajar ke Ayah Edy, Kang Bendri, Pak Irwan Rinaldi, Ustadzah Yoyoh, Pak Tamim, Kak Seto, Kak Neno Warisman, atau Melly Kiong dan Amy Chua nih...

Yah, mau gimana lagi. Pak mendikbudnya belum mau berubah siy. Daripada anak sendiri jadi korban, ya nggak?

yuuk belajar lagi jadi orang tua yang bijak....!

KELUARGA : DARI KETAHANAN MENUJU PERADABAN

  Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...