Di layar Metro TV tadi malam, sosok itu tetap tampil apa adanya. Sederhana. Rambut ikalnya yang panjang juga tetap dikuncir. Acara Journalist Of Duty semalam memang mengangkat profil dua tokoh penerima MAARIF Award 2012.
Penghargaan yang bertujuan mencari model alternatif kepemimpinan lokal
yang konsisten menanamkan dan melembagakan nilai toleransi, pluralisme,
dan keadilan sosial pada masyarakat serta memperkuat optimisme masa
depan keindonesiaan.
MAARIF Award 2012
merupakan bentuk apresiasi dan pengakuan terhadap anak-anak bangsa yang
berdedikasi tinggi untuk merawat keindonesiaan dan memerjuangkan
kemanusiaan melalui kerja-kerja inisiatif kepemimpinan di tingkat lokal
berbasis nilai-nilai keagamaan yang universal. MAARIF Award 2012 kali
ini diberikan kepada tokoh lokal yang bekerja tanpa hiruk pikuk
publikasi media. Satu untuk Ahmad Bahruddin dari Salatiga, satu lagi untuk pendeta Charles Patrick Edward Burrows dari Cilacap.
Kang Din (sapaan akrab Ahmad Bahruddin) ini kebetulan saya kenal
mulai tahun 2002 saat Koran Kompas memuat sebuah sekolah komunitas
bernama Qaryah Thoyyibah.
Sekolah murah namun memerdekakan siswa, sekolah di desa namun
berwawasan global. Sarana apa adanya namun kreativitasnya melimpah ruah.
Kemudian membaca profilnya di laman maya saat akses ke sana mulai
mudah, kira-kira mulai tahun 2006. Sempat mengenal lebih dekat lewat
rekaman video produksi TV Edukasi yang diberikan file-nya oleh kawan saya alumnus UPI Bandung asal Karawang.
Beruntung, saya bisa bertemu langsung Kang Din, pada Oktober tahun
2011. Itu saat pulang dari Ngawi, Jawa Timur. Lewat dan mampir di
Kalibening, Salatiga. Walau hanya bertatap muka sekitar 30 menit, tapi
seakan sudah mengenal dekat dan akrab. Tapi jangan salah, hanya saya
yang kenal beliau, walau sama-sama ada “din“-nya, Kang Din mah pasti tak kenal saya, he he. (Tulisan ttg ini ada di sini).
Melalui berita tentang MAARIF Award itulah saya jadi tahu lebih
banyak kiprah Kang Din. Ia yang mulai beruban itu sesungguhnya adalah
pahlawan bagi ribuan petani di Salatiga dan sekitarnya. Ia adalah
pendiri Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thayyibah (SPPQT)
yang anggotanya sudah 16.348 petani Salatiga, Magelang, dan Kabupaten
Semarang. Melalui SPPQT, Kang Din melatih petani bagaimana mengolah
lahan dan menghasilkan produk pertanian yang bisa meningkatkan taraf
hidup mereka. Walaupun terkesan komunitas Islam, SPPQT tak membedakan
anggotanya dari agama yang dipeluknya. Kini pun SPPQT diketuai seorang
perempuan beragama Kristen.
Tetapi langkah Bahruddin dalam memajukan desa tidaklah mudah, apalagi
listrik belum mengaliri daerah ini. Bersama-sama warga, Kang Din lalu
mendirikan pembangkit listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Kebumen,
Banyubiru, dan Semarang. Kapasitas dayanya 170 KVA.
Saat berkunjung ke Q-Tha, Kalibening, Salatiga |
Baru-baru ini Menteri BUMN Dahlan Iskan meresmikan PLTMH ini. Tidak
itu saja, PLN membeli pembangkit listrik ini agar daerah-daerah lain
teraliri listrik. Desa jadi daulat energi dan punya posisi tawar dengan
pusat, kata dia. Di samping oleh PLTMH, rumah-rumah warga juga diterangi
enegri biogas dari kotoran sapi.
Terakhir, sebelum tayangan Metro TV itu, saya nonton sekilas acara Kick Andy yang bertema Dendam Pendidikan. Ternyata Kang Din juga muncul di sana. Ia tampil bersama Bu Nurul Karimah pendiri sekolah gratis dari Temanggung, Jawa Tengah, dan Pak Darsono,
perintis sekolah murah hingga universitas di Pamulang, Tangerang
Selatan. Di acara Kick Andy itu, Kang Din saya lihat tampilannya juga
tetap sederhana. Rambutnya tetap berkucir. Kali ini Kang Din
diwawancarai sehubungan rintisannya berupa Sekolah Komunitas Qaryah
Thoyyibah yang fenomenal itu.
Walau rambutnya dikuncir ala roker atau anak kuliahan, tapi kiprahnya itu yang memang sangat layak untuk jadi inspirasi.
Selamat Mas Bahrudin, Anda memang layak dapat bintang!
Karawang, 5 Juni 2012
No comments:
Post a Comment