sumber: internet |
Sebuah kisah fiksi ditulis dengan sangat mengharu biru oleh kawan blogger kita (kisahnya bisa dibaca di sini).
Tentang perjuangan seorang guru melawan kecurangan UN. Dimana kejujuran
seperti membeku dan disimpan sementara di suatu tempat yang gelap.
Kalau di kisah terebut, nyontek saat UN dilakukan
terang-terangan, dalam kasus berbeda modus kecurangan UN bisa lebih
canggih. Siswa tidak tahu kalau ada kecurangan. Karena yang mengubah
jawaban adalah tim khusus yang bekerja setelah lembar jawaban dikerjakan
siswa dan sebelum sampai ke komputer pembaca lembar jawaban. Karenanya
kecurangan UN menjadi makin seperti angin. Ada tapi tak terlihat.
Selama ini masyarakat, termasuk media, ketika terjadi kecurangan saat berlangsungnya UN (Ujian Nasional) cenderung menyudutkan pihak siswa yang nyontek, ortu siswa yang ingin anaknya lulus dengan cara apapun, atau pihak sekolah yang diam-diam melegalkannya, sebagai aktor kecurangan UN. Karenanya mereka PANTAS DISALAHKAN.
Saat UN pun jadi ajang kecurigaan negara kepada
rakyatnya. Anak-anak bangsa itu dicurigainya sebagai tukang contek. Para
guru, pengawas dan siapa saja yang mengurus soal dan pengawas ujian
dicurigai sebagai pembocor soal dan pembuat kunci jawaban. Negarapun
pamer kekuatan. Polisi dikerahkan. Peringatanpun keras tak luput
dilontarkan oleh seorang sekelas menkokesra. Si pembocor soal masuk
kategori pidana membocorkan rahasia negara.
Apakah kasus contek UN hanya kita lihat dengan
kacamata hitam putih? Bahwa itu adalah kesalahan mutlak. Sama dengan
tindak kriminal lainnya semisal mengedarkan narkoba, membunuh, mencuri
dan kejahatan keji lainnya? Tidak adakah sisi lain yang bisa membela
para pencontek itu? Yang notabene mereka adalah anak-anak kita, dan
guru-guru kita?
Kadang, secara tidak sadar kita cenderung memilah
para pihak itu diantara dua kemungkinan : Si Jujur atau si Curang. Si Pahlawan atau Si
Jahat. Sepertinya kita terbawa alur logika di sinetron
yang senantiasa disuguhi alur cerita antara si Protagonis dan Si
Antagonis.
Sebagai contoh, saat kasus Bu Siami di Gadel,
Surabaya yang meledak dan menjadi kasus nasional, maka yang disalahkan
adalah pihak sekolah dan pihak orang tua yang mendukung contek massal
UN. Sebaliknya Bu Siami menjadi pahlawan kejujuran. Tak kurang dari
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memberi anugerah kejujuran
kepada Bu Siami.
Saya tidak pada posisi membenarkan pihak-pihak
orang yang (terpaksa) menyontek. Tapi coba berfikir dari sisi yang
berbeda. Empati. Saya sendiri sangat membenci makhluk bernama nyontek.
Alhamdulillah, walaupun ada praktek membocorkan jawaban saat Ebtanas
dulu yang masih malu-malu dan tidak vulgar, saya tidak tergoda untuk
ikut nyontek.
Tapi, hemat saya, yang nyontek dan yang menolak
nyontek sebaiknya bisa menyampaikan pendapatnya. Tidak diam-diam.
Sehingga letak kebenaran menjadi jelas. Kesalahan juga bisa dilihat.
Pihak yang melakukan kesalahan seyogyanya diberi ruang untuk
menyampaikan argumentasi kenapa berbuat salah. Seperti di pengadilan,
yang salahpun diberi kesempatan untuk membela. Dengan kejelasan
pihak-pihak itulah sang hakim bisa memutuskan dengan adil. Masalahnya,
pihak yang nyontek dan curang saat UN itu cenderung diam.
Empati? Kenapa harus empati? Dikritik saja tidak menghilangkan nyontek apalagi diberi empati?
Empati? Ya... kita coba berada seandainya kita ada dipihak mereka. Yang nyontek itu.
Kalau kita mau jujur, ya harus objektif donk, betul? Masak menyikapi ketidakjujuran juga dengan ketidakjujuran?
Pertama, Sudah Jujurkah kebijakan UN?
Sebenarnya kalau kita mau jujur, kecurangan UN itu berawal dari hulu. Dari kebijakan UN itu sendiri. Kenapa dia ada?
Niat yang baik tak mesti berbuah baik. Niat Pak
Menteri untuk menjadikan generasi emas yang salah satunya dengan UN,
tak otomatis menjadi amal baik. UN adalah bentuk arogansi kekuasaan yang
masuk ke dunia humanisme bernama pendidikan. Dengan mengandalkan hasil
UN, masa depan dan nasib siswa dipertaruhkan. Maka UN menjadi palu godam
vonis. Padalah ia hanyalah pilihan dari empat atau lima pilihan
jawaban. Diantaranya bisa jadi (kalau nggak nyotek) hanyalah spekulasi
jawaban. Jadi, masa depan ditentukan oleh jawaban yang spekulatif.
Secara tidak sadar, Pak Menteri sudah menjerumuskan anak pada perjudian
nasib.
Bukankah sudah ada perkembangan teori-teori baru
pendidikan yang mengakomodir keistimewaan semua anak? Tentang pendidikan
karakter? Tentang Multiple Inteligence? Tentang EQ dan ESQ? Tetapi
kenapa itu tak juga menjadi kebijakan. Keukeuh dengan UN yang sangat IQ
dan otak kiri?
Saya tidak mengerti pola pikir sekelas wakil
menteri yang mengatakan kalau tanpa UN anak-anak tidak akan belajar?
Teori darimana ini? Dari dulu yang tanpa UN juga anak-anak bangsa ini
belajar.
Akibatnya, UN menjadi monster para orang tua
Bayangkan saja, segala biaya dan usaha enam tahun
SD, tiga tahun di SMP, atau tiga tahunSMA harus kandas gara-gara gagal
di UN. Orang tua mana yang mau menanggung malu anaknya tidak lulus
gara-gara satu hal? Kemudian kerugian waktu dan biaya. Nama baik dan
kehormatan keluarga menjadi pertaruhan. Itulah kenapa para orang tua
tidak banyak yang protes saat tahu di sekolahnya boleh nyotek. Bu Siami
hanya sebuah pengecualian.
Dimata Guru dan Sekolah, UN adalah Zombie.
Segala jerih payah guru dan sekolah selama
bertahun-tahun mengajari siswa seakan tak dihargai. Dirampas 60% oleh
negara. Secara tidak langsung guru tak dipercaya lagi oleh negara.
Negara tak percaya kepada rakyatnya. Itu kesimpulan saya.
Maka siapa yang rela anak didik yang sudah
capek-capek diasuh kemudian gagal lulus hanya karena gagal UN. Maka
mayoritas guru akan luluh hatinya ketika diberi argumen untuk berbuat
curang. Sebagus dan sejujur apapun, biasanya akan luluh dengan kalimat :
hanya sekali ini saja ya, mohon dimaklumi
Akhirnya, UN menjadi hantu pocong bagi siswa
Betapa tertekannya mereka, saat nasib dan masa
depan ditentukan oleh soal-pilihan-ganda. Padahal ia sudah survive hidup
hingga usia itu. Sudah bisa belajar mandiri. Sudah bisa bersosialisasi.
Sudah bisa berorganisasi. Sebagian sudah berprestasi di bidang olah
raga dan seni. Sudah belajar hidup dan tumbuh karakter. Sudah beradab
dan berbudaya. Sudah keluar biaya dan waktu. Juga korban waktu bermain.
Saat UN tiba-tiba semua itu nyaris tak
diperhitungkan. Ia direduksi kemanusiaanya. Maka terjadilah tekanan.
Tekanan itu secara alamiah akan mencari jalan keluar. Maka ketika ada
jalan keluar bernama nyontek, segera saja disambut dengan alamiah. Hanya
mereka dengan kekuatan iman luar biasa yang bisa tercegah dari hantu
pocong ini.
Bahkan UN ini dibanding EBTANAS adalah kemunduran.
Dulu Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) tidak seheboh dan
semenakutkan seperti sekarang. Biasa saja. Yang dapat angka 3 juga tidak
ada yang stress. Karena kelulusan ditentukan oleh STTB. Nilai Ebtanas
dipakai untuk bertarung di sekolah pilihan. Cukup fair dan memacu
prestasi. Tanpa harus menista diri dengan nyontek. Apalagi contek
massal.
Nah, pada sebagian kasus, nyontek saat UN adalah
upaya memperoleh HAK UNTUK LULUS dan tidak dipermalukan. Saya
menganalogikan dari kasus hukum suap menyuap.
Bahwa syarat untuk dibolehkannya seseorang memberi suap kepada seseorang. Pertama,
dia membayarnya untuk mendapatkan haknya atau untuk mencegah kezaliman
atas dirinya. Sedangkan bila ia memberi suap untuk mengambil yang bukan
haknya, itu merupakan dosa besar. Kedua, tidak ada jalan lain untuk mendapatkan hak atau mencegah kezaliman itu kecuali melalui suap tersebut. (lihat linknya di bawah)
Lantas, Kepada Siapa Kejujuran Disandarkan?
Akhirnya apakah kejujuran hanya berhak disemat oleh
seorang manusia super yang semi malaikat? Bu Siami itu. Apakah
kejujuran memang sudah menjauh dari kebanyakan orang? Dan kitapun sudah
secara tidak sadar men-judge sebagai bangsa yang sedang menjadi bangsa
yang tidak jujur? Sebenarnya warga Singapura sama berpotensi curangnya
dengan orang Singaparna. Orang Chicago sama punya potensi bohongnya
dengan warga Cikaso. Yang membedakan adalah sistem dan kebijakannya
Nah, empati kepada siswa yang masa depannya jadi
taruhan, juga kepada orang tua yang stress dan sekolah yang ditekan dari
atas dan bawah, nggak ada salahnya bukan? Lagipula, akankah kita
mengandalkan kejujuran itu pada kepahlawanan Siami. Akankah kebesaran
bangsa ini diserahkan kepada segelintir orang jujur dengan keimanan yang
luar biasa itu. Sekali-kali tidak cukup! Ia harus didukung oleh sistem
yang jujur. Kekuasaan yang jujur. Dan salah satu kejujuran itu adalah
meninjau kembali kebijakan UN.
Karawang, Medio MEI 2012
* Beberapa link media yang memuat ttg kecurangan UN diantaranya :
http://muhammadekoatmojo.blogspot.com/2012/03/un-sebagai-ajang-pembodohan-nasional.html
yg coba empati juga ada di http://pakdeazemi.wordpress.com/2011/06/24/nasibmu-guru-curang/
No comments:
Post a Comment