Monday, May 28, 2012

Aa Gym dan Reformasi Ditjen Pajak



Sosok sederhana yang biasanya terlihat di televisi  itu kini ada di depan mata. Satu ruangan dan live. Karena kepribadiannya, ia sempat dijuluki The Holy-Man oleh majalah Time. Pernah jadi salah seorang tokoh pengusaha panutan pembayar pajak.  Jadi panutan anak muda muslim yang taat. Idola Ibu-ibu sebelum citranya tenggelam karena pilihan poligami.  Sosoknya mungil namun berkarakter. Sosok itu adalah Aa Gym.

Rabu, 23 Mei 2012, saya berkesempatan  bertemu  langsung dengan pemilik nama lengkap Abdullah Gymnastiar itu. Sore itu Aa  diundang oleh DKM Masjid Kantor Pelayanan Pajak Pratama Karawang Utara untuk memberi tausyiyah kepada pegawai. Selain untuk pegawai KPP Pratama Karawang Utara, panitia juga mengudang pegawai  kantor sekitar, seperti pemkab Karawang dan kantor dinas. KPP lain sekitar Karawang  dan masyarakat umum juga ada yang hadir. Spanduk yang dipasang di pagar depan kantor melengkapi acara informal tersebut.

Sebagaimana  sudah sering terdengar di televisi,  sore itu Aa berbicara tentang tauhid. Seperti biasanya, dengan bahasa yang sederhana, renyah, dan mudah dimengerti. Guyonannya yang  cerdas kadang menggelitik, namun tak terduga, kerap menyertai tausiyahnya. Kadang menusuk tajam, misalnya tentang rokok.  Di sana Aa lebih banyak mengulas sikap yang benar tentang rizki. Tema yang mungkin pas di telinga audiens yang sehari-hari berurusan dengan angka rupiah.

Di sini, saya justru ingin melihat sisi lain Aa Gym yang ada hubungannya dengan reformasi birokrasi ditjen Pajak. Koq,  Aa Gym dibawa-bawa? Ya, ini hanya pintu masuk untuk melihat bagaimana sebuah reformasi birokrasi berjalan hingga sekarang. 

Benar, karena reformasi DJP memang tidak berhenti. Ia sudah menjadi karakter DJP sekarang yang terus berubah. Perubahannya pun alamiyah. Seperti tumbuhnya pepohanan dan makhluk hidup lainnya. Tumbuhnya memang tidak terlihat dibanding kalau dicetak dan dipaksakan. Tetapi ia berproses dan tumbuh dari dirinya sendiri.  Karena ruh perubahannya memang hidup. Ia menjadi nyawa yang dengannya terus bergerak. Reformasi DJP memang muncul dari dalam. Faktor luar hanya faktor pendukung. Saya yakin itu. Juga merasakannya.

Nah, dalam proses reformasi itulah Aa Gym seperti menjadi pendamping. Menjadi saksi hidup. Mulai awal, saat geliat reformasi mulai hidup dan tumbuh. Ia dan Darut Tauhid bahkan menjalin kemitraan dengan program Diklat Management Qalbu yang pesertanya utusan dari kantor pajak seluruh Indonesia. 

Sampai tiba saatnya  ada badai GT, BA hingga DW. Seperti tsunami yang membuat citra DJP terpuruk. Citra yang hancur lebur. Moral seluruh pegawai DJP terjun bebas. Setitik nila bernama GT yang merusak susu se-Indonesia.  Saat dilanda keterpurukan itulah Aa Gym pun datang memberi angin sejuk. Seperti seorang begawan menasihati muridnya.  Aa Gym keliling ke KPP di berbagai tempat. Mengangkat kembali moral yang jatuh terpuruk seiring pemberitaan yang gegap gempita dan bertubi-tubi. Maka, moral yang sempat terpuruk hingga titik nadir itupun kembali bangkit. Tegak dan lantang. Dari berbagai ruang pertemuan, lantang suara bergemuruh serempak : DJP Maju PasTI!

Dan reformasi DJP-pun terus bergulir hingga genap satu dekade. September tahun 2012 ini.
 

Tuesday, May 15, 2012

Nyontek?

sumber: internet




Sebuah kisah fiksi ditulis dengan sangat mengharu biru oleh kawan blogger kita (kisahnya bisa dibaca di sini). Tentang perjuangan seorang guru melawan kecurangan UN. Dimana kejujuran seperti membeku dan disimpan sementara di suatu tempat yang gelap.

Kalau di kisah terebut, nyontek saat UN dilakukan terang-terangan, dalam kasus berbeda modus kecurangan UN bisa lebih canggih. Siswa tidak tahu kalau ada kecurangan. Karena yang mengubah jawaban adalah tim khusus yang bekerja setelah lembar jawaban dikerjakan siswa dan sebelum sampai ke komputer pembaca lembar jawaban. Karenanya kecurangan UN menjadi makin seperti angin. Ada tapi tak terlihat.

Selama ini masyarakat, termasuk media, ketika terjadi kecurangan saat berlangsungnya UN (Ujian Nasional) cenderung menyudutkan pihak siswa yang nyontek, ortu siswa yang ingin anaknya lulus dengan cara apapun, atau pihak sekolah yang diam-diam melegalkannya, sebagai aktor kecurangan UN. Karenanya mereka PANTAS DISALAHKAN.

Saat UN pun jadi ajang kecurigaan negara kepada rakyatnya. Anak-anak bangsa itu dicurigainya sebagai tukang contek. Para guru, pengawas dan siapa saja yang mengurus soal dan pengawas ujian dicurigai sebagai pembocor soal dan pembuat kunci jawaban. Negarapun pamer kekuatan. Polisi dikerahkan. Peringatanpun keras tak luput dilontarkan oleh seorang sekelas menkokesra. Si pembocor soal masuk kategori pidana membocorkan rahasia negara.

Apakah kasus contek UN hanya kita lihat dengan kacamata hitam putih? Bahwa itu adalah kesalahan mutlak. Sama dengan tindak kriminal lainnya semisal mengedarkan narkoba, membunuh, mencuri dan kejahatan keji lainnya? Tidak adakah sisi lain yang bisa membela para pencontek itu? Yang notabene mereka adalah anak-anak kita, dan guru-guru kita?

Kadang, secara tidak sadar kita cenderung memilah para pihak itu diantara dua kemungkinan : Si Jujur atau si CurangSi Pahlawan atau Si Jahat. Sepertinya kita terbawa alur logika di sinetron yang senantiasa disuguhi alur cerita antara si Protagonis dan Si Antagonis.

Sebagai contoh, saat kasus Bu Siami di Gadel, Surabaya yang meledak dan menjadi kasus nasional, maka yang disalahkan adalah pihak sekolah dan pihak orang tua yang mendukung contek massal UN. Sebaliknya Bu Siami menjadi pahlawan kejujuran. Tak kurang dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memberi anugerah kejujuran kepada Bu Siami.

Saya tidak pada posisi membenarkan pihak-pihak orang yang (terpaksa) menyontek. Tapi coba berfikir dari sisi yang berbeda. Empati. Saya sendiri sangat membenci makhluk bernama nyontek. Alhamdulillah, walaupun ada praktek membocorkan jawaban saat Ebtanas dulu yang masih malu-malu dan tidak vulgar, saya tidak tergoda untuk ikut nyontek.

Tapi, hemat saya, yang nyontek dan yang menolak nyontek sebaiknya bisa menyampaikan pendapatnya. Tidak diam-diam. Sehingga letak kebenaran menjadi jelas. Kesalahan juga bisa dilihat. Pihak yang melakukan kesalahan seyogyanya diberi ruang untuk menyampaikan argumentasi kenapa berbuat salah. Seperti di pengadilan, yang salahpun diberi kesempatan untuk membela. Dengan kejelasan pihak-pihak itulah sang hakim bisa memutuskan dengan adil. Masalahnya, pihak yang nyontek dan curang saat UN itu cenderung diam.

Empati? Kenapa harus empati? Dikritik saja tidak menghilangkan nyontek apalagi diberi empati?
Empati? Ya... kita coba berada seandainya kita ada dipihak mereka. Yang nyontek itu.
Kalau kita mau jujur, ya harus objektif donk, betul? Masak menyikapi ketidakjujuran juga dengan ketidakjujuran?

Pertama, Sudah Jujurkah kebijakan UN?

Sebenarnya kalau kita mau jujur, kecurangan UN itu berawal dari hulu. Dari kebijakan UN itu sendiri. Kenapa dia ada?

Niat yang baik tak mesti berbuah baik. Niat Pak Menteri untuk menjadikan generasi emas yang salah satunya dengan UN, tak otomatis menjadi amal baik. UN adalah bentuk arogansi kekuasaan yang masuk ke dunia humanisme bernama pendidikan. Dengan mengandalkan hasil UN, masa depan dan nasib siswa dipertaruhkan. Maka UN menjadi palu godam vonis. Padalah ia hanyalah pilihan dari empat atau lima pilihan jawaban. Diantaranya bisa jadi (kalau nggak nyotek) hanyalah spekulasi jawaban. Jadi, masa depan ditentukan oleh jawaban yang spekulatif. Secara tidak sadar, Pak Menteri sudah menjerumuskan anak pada perjudian nasib.

Bukankah sudah ada perkembangan teori-teori baru pendidikan yang mengakomodir keistimewaan semua anak? Tentang pendidikan karakter? Tentang Multiple Inteligence? Tentang EQ dan ESQ? Tetapi kenapa itu tak juga menjadi kebijakan. Keukeuh dengan UN yang sangat IQ dan otak kiri?
Saya tidak mengerti pola pikir sekelas wakil menteri yang mengatakan kalau tanpa UN anak-anak tidak akan belajar? Teori darimana ini? Dari dulu yang tanpa UN juga anak-anak bangsa ini belajar.

Akibatnya, UN menjadi monster para orang tua
Bayangkan saja, segala biaya dan usaha enam tahun SD, tiga tahun di SMP, atau tiga tahunSMA harus kandas gara-gara gagal di UN. Orang tua mana yang mau menanggung malu anaknya tidak lulus gara-gara satu hal? Kemudian kerugian waktu dan biaya. Nama baik dan kehormatan keluarga menjadi pertaruhan. Itulah kenapa para orang tua tidak banyak yang protes saat tahu di sekolahnya boleh nyotek. Bu Siami hanya sebuah pengecualian.

Dimata Guru dan Sekolah, UN adalah Zombie.
Segala jerih payah guru dan sekolah selama bertahun-tahun mengajari siswa seakan tak dihargai. Dirampas 60% oleh negara. Secara tidak langsung guru tak dipercaya lagi oleh negara. Negara tak percaya kepada rakyatnya. Itu kesimpulan saya.

Maka siapa yang rela anak didik yang sudah capek-capek diasuh kemudian gagal lulus hanya karena gagal UN. Maka mayoritas guru akan luluh hatinya ketika diberi argumen untuk berbuat curang. Sebagus dan sejujur apapun, biasanya akan luluh dengan kalimat : hanya sekali ini saja ya, mohon dimaklumi

Akhirnya, UN menjadi hantu pocong bagi siswa
Betapa tertekannya mereka, saat nasib dan masa depan ditentukan oleh soal-pilihan-ganda. Padahal ia sudah survive hidup hingga usia itu. Sudah bisa belajar mandiri. Sudah bisa bersosialisasi. Sudah bisa berorganisasi. Sebagian sudah berprestasi di bidang olah raga dan seni. Sudah belajar hidup dan tumbuh karakter. Sudah beradab dan berbudaya. Sudah keluar biaya dan waktu. Juga korban waktu bermain.

Saat UN tiba-tiba semua itu nyaris tak diperhitungkan. Ia direduksi kemanusiaanya. Maka terjadilah tekanan. Tekanan itu secara alamiah akan mencari jalan keluar. Maka ketika ada jalan keluar bernama nyontek, segera saja disambut dengan alamiah. Hanya mereka dengan kekuatan iman luar biasa yang bisa tercegah dari hantu pocong ini.

Bahkan UN ini dibanding EBTANAS adalah kemunduran. Dulu Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) tidak seheboh dan semenakutkan seperti sekarang. Biasa saja. Yang dapat angka 3 juga tidak ada yang stress. Karena kelulusan ditentukan oleh STTB. Nilai Ebtanas dipakai untuk bertarung di sekolah pilihan. Cukup fair dan memacu prestasi. Tanpa harus menista diri dengan nyontek. Apalagi contek massal.
Nah, pada sebagian kasus, nyontek saat UN adalah upaya memperoleh HAK UNTUK LULUS dan tidak dipermalukan. Saya menganalogikan dari kasus hukum suap menyuap.

Bahwa syarat untuk dibolehkannya seseorang memberi suap kepada seseorang. Pertama, dia membayarnya untuk mendapatkan haknya atau untuk mencegah kezaliman atas dirinya. Sedangkan bila ia memberi suap untuk mengambil yang bukan haknya, itu merupakan dosa besar. Kedua, tidak ada jalan lain untuk mendapatkan hak atau mencegah kezaliman itu kecuali melalui suap tersebut. (lihat linknya di bawah)

Lantas, Kepada Siapa Kejujuran Disandarkan?
Akhirnya apakah kejujuran hanya berhak disemat oleh seorang manusia super yang semi malaikat? Bu Siami itu. Apakah kejujuran memang sudah menjauh dari kebanyakan orang? Dan kitapun sudah secara tidak sadar men-judge sebagai bangsa yang sedang menjadi bangsa yang tidak jujur? Sebenarnya warga Singapura sama berpotensi curangnya dengan orang Singaparna. Orang Chicago sama punya potensi bohongnya dengan warga Cikaso. Yang membedakan adalah sistem dan kebijakannya

Nah, empati kepada siswa yang masa depannya jadi taruhan, juga kepada orang tua yang stress dan sekolah yang ditekan dari atas dan bawah, nggak ada salahnya bukan? Lagipula, akankah kita mengandalkan kejujuran itu pada kepahlawanan Siami. Akankah kebesaran bangsa ini diserahkan kepada segelintir orang jujur dengan keimanan yang luar biasa itu. Sekali-kali tidak cukup! Ia harus didukung oleh sistem yang jujur. Kekuasaan yang jujur. Dan salah satu kejujuran itu adalah meninjau kembali kebijakan UN.

Bagaimana pendapat Anda?


Karawang, Medio MEI 2012


* Beberapa link media yang memuat ttg kecurangan UN diantaranya :
http://muhammadekoatmojo.blogspot.com/2012/03/un-sebagai-ajang-pembodohan-nasional.html
yg coba empati juga ada di http://pakdeazemi.wordpress.com/2011/06/24/nasibmu-guru-curang/

KELUARGA : DARI KETAHANAN MENUJU PERADABAN

  Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...